Selasa, 25 November 2008

Ulfa

Tentu nama Ulfa dan Syekh Puji tak asing bagi kita yang rajin mengikuti berita-berita di berbagai media. Ya, mereka ada dua sosok yang tengah menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Hal yang paling mendapat banyak sorotan adalah usia Ulfa, sang istri dari Syekh Puji, yang baru berusia 12 tahun. Sedangkan Syekh sendiri berusia 56 tahun (!). Alangkah prihatinnya saya ketika pertama kali mendengar berita tersebut. Beberapa kali saya menyimak wawancara beberapa stasiun televisi dengan kedua sosok itu. Usia Ulfa yang demikian belia membuat saya berpikir dalam konteks psikologi perkembangan.

Anak berusia 12 tahun termasuk dalam usia perkembangan anak-anak akhir. Pada masa ini anak-anak sedang mengembangkan konsep dirinya dengan seluas-luasnya mengeksplorasi kemampuannya. Maka bisa dibayangkan, Ulfa dalam masa perkembangannya telah diberikan pilihan yang amat sempit untuk menjadi istri (dan kemudian menjadi ibu) pada usia yang amat belia. Potensi dirinya yang amat mungkin dikembangkan (mengingat prestasi akademiknya yang baik menurut kesaksian para gurunya-yang saya dengar dari sebuah televisi swasta) menjadi terhambat. Dari sudut ini, jelaslah Ulfa mengalami kerugian dalam mengembangkan dirinya. Belum lagi kerugian yang mungkin sekali dialami anak-anak yang akan dihasilkan dari pekawinan ini akibat kurangnya kesiapan mental dari Ulfa untuk menjadi seorang ibu.

Setelah melihat dampak pernikahan tersebut pada diri Ulfa, maka berikutnya saya ingin menyorot mengenai perkembangan moral Ulfa, untuk lebih memahami bagaimana anak seusia Ulfa menimbang nilai-nilai atau norma-norma masyarakat sehingga memutuskan untuk menikah.

Anak usia 10-13 tahun memasuki tahapan perkembangan moral yang disebut Conventional Morality (Kohlberg, 1964 dalam Pappalia & Olds, 1995). Dalam tahapan ini, anak telah menginternalisasi standard yang diberikan figur otoritas dalam lingkungannya. Mereka menaati peraturan untuk menyenangkan hati orang lain atau menjaga keteraturan. Jadi dapat dikatakan Ulfa, yang berusia 12 tahun, memiliki pertimbangan moral yang amat tergantung pada nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarganya, sebagai lingkungan sosial yang terdekat baginya. Keputusannya untuk menikah bisa diasumsikan merupakan keputusan yang diambil hanya untuk ‘menyenangkan’ orangtua dan lingkungannya. Artinya, pihak keluarga (orangtua Ulfa) merupakan pihak yang memiliki ‘wewenang’ paling besar untuk mencegah atau membatalkan perkawinan ini. Maka patutlah kita memandang peristiwa ini bukan hanya dengan menyorot Ulfa dan Syekh sebagai tokoh utama, namun juga bagaimana pengaruh/peranan keluarga, terutama peranan orangtua Ulfa. Latar belakang inilah yang bisa membuat kita, terutama sebagai keluarga, dapat mengambil pelajaran agar dapat lebih baik lagi melindungi anak-anak kita. Namun, rasanya pembahasan peristiwa ini kebanyakan masih berkembang sekitar ranah hukum serta pemahaman agama. Semoga dengan peristiwa ini kita semakin disadarkan betapa pengaruh keluarga amat menentukan ‘nasib’ seorang anak.

Dari dua aspek tersebut, tentu dapat disimpulkan bahwa keputusan pernikahan Ulfa dan Syekh Puji merupakan kejadian yang memprihatinkan dan patut mendapat perhatian dari kalangan luas sehingga dapat mencegah kejadian yang sama terulang kembali.

Tidak ada komentar: