Selasa, 18 Januari 2011

Gila

A : Kamu gila, tahu gak?!
B : Masak?!
A : Iya, aku yakin kamu gila!
B : Yah, mungkin saja. Itu yang selalu dia katakan kepadaku. Bahwa aku gila.
A : Apa?
B : Iya, bahwa aku gila. Yah... mungkin perkataannya benar. Aku juga mulai percaya kalau aku gila.
A : Tapi, katanya, orang gila ga mungkin ngaku gila. Berarti kamu ga gila. Mungkin kamu cuma pengen jadi gila.
B : Iya, mungkin kalo ada yang mensahkan bahwa aku gila, aku ga akan dikatai gila lagi oleh dia. Karena dia puas bahwa hipotesisnya selama ini benar, bahwa aku gila.
A : Ah, kamu rela jadi gila kalo bisa lepas dari dia. Gila!
B : Abis, sekarang, apa lagi yang waras di sini? Semua sudah gila kan?
A : Iya kalo lihat keadaanmu, aku bisa percaya sih, semua sudah gila.
B : Ya, betul. Semua sudah gila!
A : Gila apa ga, yang penting kamu masih hidup tokh... Masih ada kesempatan untuk memilih terus jadi gila atau berenti jadi gila.
B : Ah gila kamu! Kalau orang udah jadi gila, mana bisa berenti jadi waras? Lihat saja dia! Ga henti-hentinya bilang aku gila, padahal dia sendiri?! Kelakuannya ga ada yg bener!
A : Ya, memang perlu orang gila untuk mengetahui siapa orang gila lainnya...
B : Well, mungkin kamu ada benarnya juga. Mungkin tidak sembarangan orang kan bisa bilang seseorang itu gila.
A : Iya, betul itu.
B : Buktinya dia. Dia setiap hari mengatai aku gila, sambil melayangkan apapun yang ada di sekitarnya ke badanku. Sampai aku tak bergerak pun dia tak tahu. Mungkin dia benar. Aku gila. Karena tidak bisa lari dari orang seperti dia. Gila karena malah menetap dan terdiam ketika dia memukuliku.
A : Kau harus lari! Kali ini aku serius. Kalau tidak, besok kau pasti mati. Karena besok dia akan jadi semakin gila dan memukulimu lebih sadis karena lebih mabuk dari hari ini. Lihat saja kondisi mu hari ini. Tampak sangat mengkhawatirkan. Mengapa kau tak lari?
B : Sudah kubilang, otak warasku sudah lama hilang. Jadi mana mungkin aku merencanakan pelarian yang brilian dari dia, orang gila yang akan memburuku kemanapun aku pergi?
A : Ah, memang dunia sudah gila. Seorang istri seperti kau, tidak mendapatkan kewarasan dan kenyamanan di rumahnya sendiri. Malah menjadi gila lantaran suamimu yang edan itu! Sudahlah, kamu tinggal disini saja denganku. Nanti kurawat kau seperti aku merawat anak-anakku, sehingga kujamin kau tak jadi gila beneran.
B : Inilah gilanya lagi, bahwa aku ga bisa menginap disini, menyanggupi tawaran baikmu itu. Karena aku masih terikat dengan janji suci di depan altar, 8 tahun yang lalu. Dia masih jadi suamiku. Mereka akan selalu jadi anak-anakku. Siapa yang bisa menjadi istri dan ibu untuk mereka, selain aku? Keterikatan itu begitu mengekang sekaligus memberikan fungsi bagi hidupku yang sudah gila ini. Tolonglah, lain kali bawakan polisi sekalian bila kau dengar dia memukulku lagi. Karena aku tak sanggup menolong diriku sendiri.
A : Ah, kau memang gila, sahabat.
B : Yah... begitulah. Biarkan aku pulang ya... Dan ingat pesanku tentang polisi tadi. Aku serius tentang itu. Dan biarkan percakapan kita ini hilang ditelan udara. Jangan biarkan tembok itu menyebarkannya. Karena ini hanya sekedar pembicaraan gila, yang tak mungkin dipercayai orang.
A : ...

Gadis

Badannya semampai
Tapi sayang tidak sewangi perempuan seusianya

Rambutnya panjang menghias wajah tirusnya
Tapi sayang tampak gimbal dan kumal

Bajunya dekil
Ketika berdekatan dengannya dijamin hidung akan berdesir menjauh

Celananya...
mirip celana olahraga anakku

Ucapannya sesuai dengan habitatnya, jalanan

Sungguh, kupikir dia memiliki profile yang cantik
Di balik debu menghitam dan daki mengental membalut tubuhnya

Ah, Gadis... (lepas dari prasangka apakah dia benar masih gadis atau tidak)
Mengapa engkau begitu kumuh
Mengapa engkau tampak sangat tak tersentuh
Mengapa engkau hadir dan mengundang tanya
Meski tak ada yang sanggup berbahasa

Ah, Gadis...
Seandainya aku bisa,
Aku ajak kamu ke tempatku
Bukan untuk mengubahmu
Tapi agar kamu bisa merasakan menjadi manusia

Gadis,
Jika aku bisa,
Ingin kurengkuh bahumu yang kurus
Ingin kusisiri dan kucuci rambutmu hingga harum
Ingin kuberikan baju terbaikku agar kecantikanmu terpancar

Betapa ingin aku menatap matamu
Sekadar untuk memberi sinyal
Bahwa kau tak sendiri
Bahwa kau punya teman
Bahwa kau dipahami

Apapun yang kau alami
Aku yakin kamu akan terus meradang
Berjuang
Dengan segala bentuk bentengmu

Jagalah dirimu, Gadis

Meski kita tak sempat berkenalan
Karena ada jarak sosial dan emosional
Kuingin menorehkan cerita ini
Agar ketika lain kali kulihat engkau, atau 'Gadis2' lainnya
Aku tidak hanya bisa menorehkan sebagai tulisan
Tapi juga sebagai tindakan

Gadis,
Meski harummu menusuk hidungku
Tapi kehadiranmu bernilai sejumput melati.

gambar diambil dari sini

Kamis, 06 Januari 2011

Little Stories 5

Adegan 1 :

Teresa sedang mewarnai tugas dari sekolah. Yaitu gambar binatang kuda nil.
T : Aku mau warna warni
M : (berusaha mengarahkan) hm... boleh, tapi Teresa tau ga warna sebenernya apa kuda nil itu?
T : ....
M : Kuda Nil itu warnanya abu-abu atau coklat. Supaya bisa menyamar, ngumpet di balik pohon atau batu-batu. Itu lho... kamuflase. Teresa pernah denger kan?
T : Iya. Tapi kan tetep keliatan matanya?
M : Oiya ya... (ternyata kalah sama logikanya anak kecil, hehehe...)

Adegan 2 :

Mama lagi sibuk membungkus kado untuk baksos Natal di sekolahnya Teresa. Ketika sudah terbungkus satu :
T : Kok cuma satu? Kata Bu Guru disuruh bawa dua.
M : Oooo... maksudnya Bu Guru, satu kotak yang gede kalo ada, nah yang satu lagi, dibungkus kecil untuk kamu bawa.
T : Ga.... Bu Guru suruh bawa dua... Teresa mau bawa dua... *berkaca-kaca..
M : Ya udah Mama sms Bu Guru dulu, tanya dulu ya...
Sesaat setelah SMS balasan dari Bu Guru datang...
M : Iya kata Bu Guru, boleh satu boleh dua. Apa Teresa mau kasih satu lagi? Sikat gigi aja ya? Kata Bu Guru boleh bawa sikat gigi utk besok.
T : Iya mau! (semangat)
M : (ambil sikat gigi orang dewasa, stok di lemari)
T : Jangan yang untuk orang gede. Kan untuk temen-temen di panti asuhan. Sikat gigi anak kecil dong ngasihnya...
M : (waduh ribet niiih) Tapi disana kan ada kakak-kakak yang udah gede, pake sikat gigi orang gede.
T : Ga mau.... mau kasih yang untuk anak-anak... (berkaca-kaca lagi... *sejak kapan ni anak jadi gampang merajuk gini ya...-batin Mama)
M : Oke oke... berarti kita kasih satu sikat gigi anak-anak. Tapi mendingan ada odolnya. Boleh ya kasih odol kamu itu?
T : Ga boleh....
M : Nti kita beli lagi, di supermarket banyak...
T : Jangan... *berkaca-kaca lagi...
M : Oke... jadi kasih apa dong, masak satu bungkus cuma satu sikat gigi... O.. gini aja, kita kasih satu sikat gigi orang gede, satu sikat gigi anak-anak ya...
T : Iya iya! *jingkrak2
M : (membungkus kado...) --> sambil batin... duh ilaaaahhh kok ya ribet sih masalah kado aje... hihihihi, tapi seneng juga T ada kepedulian ke sesama dan memperhatikan apa yg dikatakan Bu Guru ;)