Minggu, 27 September 2015

Heritage of Tangerang, Heritage of My History

Hari Jumat yang lalu, 25 September 2015, saya mendapat libur dari kantor. Dan karena anak saya masih tetap bersekolah, maka saya punya waktu untuk mencari "getaway" dari rutinitas. Seperti biasa karena keterbatasan waktu hanya dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang, maka saya pun mencari daerah menarik yang terjangkau dengan KRL/Commuter Line. Sasaran saya kali ini Tangerang. Setelah browsing singkat dan tanya beberapa teman, maka saya memutuskan untuk ke Pasar Lama Tangerang dan mengunjungi Vihara Boen Tek Bio dan tentu Museum Benteng Heritage. Berikut kisah saya.

Saya berangkat kurang lebih jam 08.30 pagi dari Stasiun Pasar Minggu dan menaiki kereta ke arah Jatinegara agar bisa turun di Stasiun Duri. Sesampainya di Stasiun Duri, saya langsung menaiki kereta ke Tangerang dan turun di Stasiun Tangerang, stasiun terakhir. Di kereta yang saya naiki dari Pasar Minggu, penumpang cukup penuh sehingga saya harus berdiri meski tidak sepadat hari kerja lainnya. Masih tidak sesesak itu lah. Lalu di kereta menuju Tangerang, seperti yang sudah ditebak, kereta amat lowong. Saya menjejakkan kaki di Stasiun Tangerang kurang lebih pukul 10.00. 

Sesampainya di Stasiun Tangerang, saya langsung mengabari teman saya yang sudah berjanji sejak pagi ini (iya agak dadakan emang hehehe...) untuk temu kangen dan sekalian jadi guide kuliner saya, maklum teman saya ini asli orang Tangerang. Jadi dia tahu persis tempat yang menjual makanan yang enak. Namun karena masih menebak-nebak titik pertemuan maka kami memutuskan akan saling mengabari jika saya sudah sampai pada titik tertentu yang juga diketahui teman saya.

Lalu saya berjalan keluar dari stasiun Tangerang dan sampai di pinggir jalan raya. Ketika saya berada di pinggir jalan itu, saya sempat bertanya kepada beberapa supir angkot mengenai arah ke Pasar Lama. Ternyata dekat sekali tinggal berjalan kaki kurang lebih 10-15 menit. sesampainya di Pasar Lama, saya mulai bingung. Pertama, bingung karena ga menemukan arah yang tepat ke Museum Benteng Heritage. Kedua, bingung memilih mau ngemil apa dan dimana, karena perut sudah meminta diisi camilan. 

Akhirnya saya menemukan seseorang petugas parkir yang bisa menunjukkan arah jalan ke Museum tersebut. Dan saya langsung saja memilih jajanan otak-otak yang sedang dibakar di pinggir jalan. Setelah arah jelas, saya menuju  jalan yang ditunjuk. Sesampai di mulut jalan, saya langsung tahu bahwa menuju Museum tersebut (yang juga dekat sekali dengan Vihara Boen Tek Bio) ditutupi oleh pasar 'basah' alias pasar dengan penjual sayur dan bahan makanan lainnya. Jadi bisa dibayangkan betapa 'crowded' situasi disitu. Tapi saya santai saja karena tokh judul tujuan saya memang "Pasar" jadi ya sudah siap tokh untuk menghadapi keramaian. Saya pun dengan sabar menjajaki jalanan pasar itu, dengan melihat ke kanan kiri yang sudah kental dengan kebudayaan Cina, misalnya banyak yang menjual moon cake, ada bahkan yang menjual makanan non halal alias daging babi. Jadi, untuk teman-teman yang muslim, sebaiknya memilih makanan yang ingin dikonsumsi ya. 

Perhatian saya mengarah kepada seorang pedagang kaki lima dengan tulisan "Panggang Babi Budi". Wah, saya langsung ingat petunjuk 2 orang teman sebelumnya bahwa, makanan ini termasuk yang wajib dicicipi. Maka saya langsung membeli di tempat tersebut. Satu bungkus sate babi manis Rp. 35.000,- dan memilih sekitar Rp.50,000 daging panggang (seprapat daging panggang Rp. 75.000). Lalu saya meneruskan perjalanan dan sampai di Vihara Boen Tek Bio (seperti foto di bawah ini). Vihara ini bernuansa merah dan saya hanya melihat dari depan saja. Karena saya tidak paham tata cara untuk masuk serta berfokus pada Museum.
Vihara Boen Tek Bio, Pasar Lama, Tangerang

Lalu dari Vihara itu, saya bertanya arah lagi ke seorang tukang parkir. Dia menunjukkan bahwa ternyata belokan jalan menuju museum sudah saya lewati, yaitu di sebelah Vihara. Maka kembali saya menjalani jalan pasar tersebut yang sangat ramai. Bahkan kadang tersendat oleh lalu lalang becak yang masih berusaha mengantar penumpang di tengah jalan yang sempit. Terpaksa kami menunggu dengan sabar sampai si becak lewat. Di pinggir jalan penuh penjual makanan. Mulai penjual sayuran, masih ada juga yang berjualan moon cake, peralatan sembahyang, daging beragam macam dari yang halal sampai yang non halal. Yang non halal selain daging babi juga ada daging kodok. Nah, karena banyak pedagang ini, maka saya pun ternyata melewati si Museum. Terpaksa saya bertanya lagi di mulut jalan dan barulah saya sampai di Museum. Sesampainya di Museum, saya diberi keterangan oleh petugas bahwa saya baru bisa masuk dan ikut tour pukul 11.00. Sedangkan saat itu jam baru menunjukkan pukul 10.30. Jadi masih ada waktu sekitar setengah jam. Sambil duduk menikmati ruang depan Museum, saya memotret beberapa interior ruang depan Museum yang amat menakjubkan buat saya. Sambil meng-update kabar kepada teman saya yang sedang berada dalam perjalanan.

Foto Naga yang ada di dalam ruang tunggu Museum Benteng Heritage, Pasar Lama, Tangerang

Bagian Muka Museum Benteng Heritage, Tangerang


Bagian Depan Museum Benteng Heritage, Tangerang


Berfoto di Lobi Museum Benteng Heritage

Setelah akhirnya bertemu dengan teman saya, kami berdua pun masuk ke dalam Museum. Oiya harga tiket masuk cukup terjangkau yaitu Rp. 20.000. Harga tersebut sudah termasuk tour guide selama kurang lebih 45 menit-1 jam. Sepanjang tour, saya cukup terkesan dengan pembawaan si tour guide, Mbak Dewi, yang ternyata asli orang Jawa, dan kefasihannya menceritakan bagian-bagian rumah serta sebagian sejarah ras Cina di daerah Tangerang ini. 

Tour dimulai di lantai pertama, mengenai sejarah berdirinya Museum oleh Bapak Udaya Halim, yang membawa kekaguman saya kepada beliau. Tanpa beliau, semua budaya dan warisan budaya Cina di Tangerang khususnya tidak akan terekam dengan baik dan indah seperti di Museum ini. Museum ini mulai direstorasi pada tahun 2009 dan dibuka pada tahun 2011.

Di bagian dalam lantai satu ini terasa adem udaranya meski tak ber-AC. Menurut Mbak Dewi, hal ini karena arus udara dipikirkan secara baik, khususnya menggunakan perhitungan feng shui. Diterangkannya juga bahwa lantai serta struktur bagunan masih dipertahankan dari bangunan aslinya, yang sudah berusia 300 tahun (wowww!). Jadi aksi-aksi penguatan bangunan adalah untuk restorasi bangunan bukan renovasi. Namun asesoris seperti lukisan dan hiasan interior lainnya pada umumnya adalah tambahan yang tema nya disesuaikan dengan tema Museum. 


Lantai pertama terdiri dari ruang luas berlangit-langit tinggi dengan furniture meja-meja lebar yang dikelilingi kursi-kursi seperti kursi makan. Ruangan ini memang bisa digunakan untuk para tamu yang sudah memesan paket wisata kuliner plus wisata museum. Hal menarik di ujung kanan ruang lantai satu adalah sebuah prasasati batu yang ditulis oleh aksara Cina, yang ternyata ditemukan di dekat daerah Pasar Lama ini. Isi prasasti itu adalah daftar nama yang dinyatakan ikut menyumbang dana untuk pembangunan di daerah tersebut.

Ketika naik ke lantai dua, Mbak Dewi berpesan bahwa kami tidak diperbolehkan mengambil gambar di lantai dua. Di lantai dua, hal pertama yang diceritakan adalah mengenai pembuatan kecap tradisional asli Tangerang. Yang produknya bisa kami beli nanti di toko suvenir. Lalu diperlihatkan mengenai beragam alat timbangan untuk perdagangan biasa sampai untuk konsumsi heroin. Ada juga novel-novel silat khas Cina yang ternyata penerjemahnya sempat tinggal di dekat Pasar Lama. Beliau sekarang sudah meninggal sehingga rumahnya hanya ditinggali oleh cucunya. Di ruang lainnya terpampang sebuah poster besar menceritakan mengenai masuknya budaya Cina ke Indonesia. Serta sedikit diceritakan mengenai tradisi kuno dari Cina untuk 'mengkerdilkan' kaki perempuan, karena dianggap kaki kecil sebagai syarat perempuan yang cantk. Untunglah budaya ini sudah tidak lagi berlaku sekarang ini. Lalu juga ada sebuah ranjang pengantin dan diceritakan mengenai budaya pernikahan Peranakan (keturunan Cina yang sudah menikah dan beranak dengan orang asli Indonesia).Di lantai yang sama dijelaskan juga mengenai beberapa Dewa-Dewi dari agama Budha serta tradisi judi yang memang asli dari Cina.

Bagian yang menakjubkan buat saya di lantai dua ini adalah Relief yang menceritakan mengenai cerita silat Cina (maaf saya lupa karena cerita Cina kurang familiar untuk saya). Relief ini sangat indah. Terbuat dari pahatan batu dan ditempeli keramik berwarna cerah, Menurut Mbak Dewi, cara pengerjaan relief ini pun unik. ketika struktur bangunna sudah jadi, batu yang menjadi bahan dasar ditaruh di atas struktur dan si pemahat pun langsung bekerja di tempat itu untuk menghasilkan relief tersebut. Yang artinya ia harus bekerja tanpa salah sedikitpun. Ketika proses restorasi,, relief ini mendapat perhatian khusus dan dibersihkan dengan menyemprot relief dengan air dari jauh, alias tidak boleh terkena tangan karena takut merusak karya ini.  

Setelah berputar di lantai dua ini, tour pun selesai dengan memakan waktu kurang lebih satu jam. Setelah membeli kecap sebagai oleh-oleh, maka kami pun pamit dan berjanji suatu waktu lain akan berkunjung kembali. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Mbak Dewi, plus pujian karena sudah dengan baik menjadi tour guide kami.

Saya dan teman saya pun cukup lelah ternyata berputar Mueseu tanpa duduk selama sejam, maka kami langsung menuju kedai mie yang menurut teman saya memang sangat direkomendasikan. Kami pun bercakap mengenai pengalaman kami tadi dan merasa amat terkesan bisa memahami warisan budaya yang sungguh mengagumkan.

Sesudah kenyang, sayapun pulang kembali dengan menggunakan KRL kembali. Dan beruntunglah sampai di sekolah anak saya cukup tepat waktu untuk menjemputnya.

Ya, sungguh berkesan betapa budaya bisa melebur dengan indah. Budaya Indoensia dan budaya Cina, yang menjadi Budaya Peranakan yang unik.Siapa yang tahu bila mungkin saya nenek moyang saya juga berasal dari Tangerang sini? Mungkin itu jadi misi saya selanjutnya untuk mengkorek cerita dari orang tua saya.... Terima kasih Tangerang untuk pengalaman kali ini... tampaknya saya akan kembali lagi. Apalagi mengingat teman saya sudah berpesan dengan semangat, "El. lain kali ke sini lagi ya. Masih banyak makanan yang enak belum elo coba...." Well, sampai berjumpa Tangerang.... :D




Selasa, 22 September 2015

What is My Values?

Pada masa-masa ini, saya merasa banyak mendapatkan tantangan dalam menerapkan nilai-nilai yang sebelumnya saya yakini kebenarannya dan saya lakukan dengan tegas serta yakin. Nilai apa sih maksudnya? Nilai tentang keyakinan beragama? bukan. Lebih pada nilai yang saya anut dalam bekerja.

Saya termasuk cukup perfeksionis dan ambisius dalam memenuhi target-target dan rencana-rencana kerja saya. Target saya biasanya ga besar dan ga abstrak. Karena saya cukup konkrit dan realistis. Sehingga rencana-rencana saya yang ambisius ingin dicapai adalah rencana-rencana jangka pendek yang menurut saya sangat bisa ditepati sesuai standar-standar kerja saya yang sebisa mungkin dipersiapkan. Misalnya saja, jika saya diberi tanggung jawab untuk melaksanakan sebuah acara besar, maka saya akan memusatkan perhatian saya pada acara ini. Mulai dari persiapan, pembentukan panitia, detail pembagian kerja, persiapan teknis, peserta, narasumber bahkan sampai publikasi acara. Intinya saya ingin semua aspek acara itu sudah direncakan dan berjalan sesuai time table yang saya rencanakan. Bagaimana jika ada perubahan last minute? Nah, inilah yang saya bisa sebutkan sebagai sikap kerja kedua saya, yaitu fleksibel tapi bukan tanpa perencanaan dan tanpa usaha. Artinya Fleksibilitas tetap diperlukan dalam setiap rencana. Namun bukan tanpa persiapan atau tanpa usaha. Buat saya yang penting saya sudah menyiapkan, melaksanakan perencanaan sebaik mungkin, sehingga meminimalisir kekurangan-kekurangan yang sudah dapat diprediksi. Intinya perencanaan mendukung kualitas pencapaian rencana. jika ada yang di luar rencana, saya akan bisa menyesuaikan karena biasanya sudah terpikirkan sebelumnya. Termasuk dukungan tim kerja dan panitia.

Tampak jelas ya, bahwa saya agak-agak terfokus pada kerja saya agar meminimalisir sesedikit mungkin eror. Maka bisa terbayang betapa saya akan cukup stress jika ada rencana kerja lain yang menghadang di tengah-tengah rencana saya itu.

Sikap kerja ketiga yang cukup dominan pada saya adalah dorongan utk terus meraih yang terbaik dan melakukan yang terbaik, dengan cepat dan tepat. Ya, Cepat. sampai-sampai sering kali sih kurang tepat hehehehe.... Karena saya ingin melakukan yang tercepat dan terbaik, sering kali saya cenderung kecemplung kepada reaksi yang impulsif.Meski beberapa kali saya merasa tindakan saya adalah yang terbaik sih.... No complicated reasons here, karena emang simply saya pengen merespon cepat dan memberikan yang terbaik.

Namun hal ini tampaknya harus saya hadapi dan sudah terus saya pelajari sejak lama karena bidang pekerjaan saya yang sangat rentan akan perubahan last minute. Ya, bekerja di bidang pelayanan sosial sebenarnya menjadi tantangan bagi saya, terutama dalam sikap kerja yang sering kali tidak bisa diprediksi, tidak bisa direncanakan dan bisa terjadi perubahan pada menit-menit terakhir. Karena saya berhubungan dengan manusia dengan beragam dinamikanya, bukan robot yang terprogram rapih.

Lalu, mungkin banyak orang mengernyitkan dahi, bertanya akan tulisan saya ini (saya ga bisa lihat anda sih, cuma berasumsi saja hehehe...), "Lalu mengapa kamu kekeuh tetap pada bidangmu itu kalau sebenarnya bikin kamu stress dalam sikap kerjanya?" Well, itu sih yang selalu saya pertanyakan juga ke diri saya, yang mana sudah saya putuskan sejak 17 tahun yang lalu, bahwa saya memang senang bekerja dalam bidang ini. Jadi memang sudah lama juga saya menyadari bahwa saya harus banyak mengelola diri agar saya bisa fleksibel agar terus eksis di bidang ini. Meskiiii... ternyata karena karakteristik keteraturan itu tampak cukup mendarah daging, sering kali pada titik-titik tertentu, fleksibilitas saya amat terbatas.Nah pada titik-titik itulah saya merasa amat sulit mengelola energi agar tetap waras. dan sering kali bertanya, What is my values? dan How much is enough?

Selasa, 01 September 2015

Film Inside Out

Sejak film ini muncul teasernya di channel anak televisi berbayar, saya sudah mendapat gosip bahwa film ini sangat recommended karena membantu edukasi buat anak untuk memperkenalkan emosi dalam diri kita masing-masing. Maka ini menjadi salah satu film yang saya tunggu dan masuk dalam daftar wajib nonton. Jauh-jauh hari saya berusaha mencari jadwal yang pas untuk menonton karena ternyata film ini tidak diputar di bioskop dekat rumah yang sangat aksesibel. Maka di hari Minggu kemarin, saya berniat untuk menonton di bioskop yg posisinya agak jauh dari rumah, sekalian ada acara halal bihalal. Dan akhirnya berhasil menonton juga film Inside Out di bioskop xxi di mall ciputra cibubur. (eh kenapa ga ntn di dvd? biar seru dong ntn di bioskop hehehe....). Nah ternyata memang filmnya sangat kereeenn... berikut review saya, yang penuh SPOILER ya... jadi bagi yang memang ga mmencari SPOILER please read this after you watch the movie hehe....

Film ini khas Disney dengan nilai kekeluargaan yang kental, alur cerita yang compact (utuh), menarik dari segi grafis namun tetap kerasa riil serta terasa familier serta tetap ga kehilangan rasa ajaibnya. Film diawali dengan nuansa yang bahagia dari kehidupan si Riley, anak perempuan yang menjadi tokoh utama dari film ini. Dan sudah dimulai dengan muatan penting yang dijanjikan dari gosip film yang saya dengar sejak awal itu bahwa berisi materi edukasi mengenai emmosi yang ada di dalam diri kita bahkan ada tambahan materi, yaitu mengenai proses informasi dan pengalaman masuk ke kognisi manusia lalu diproses dan masuk ke memori jangka pendek lalu ke jangka panjang dan akhirnya membentuk 'pulau-pulau' kepribadian dari hal-hal penting yang terjadi di dalam kehidupan awal seorang anak, yang menjadi pondasi kepribadian. Hal ini diilustrasikan dengan bagus dan menarik, apalagi untuk seseoang yang memang tertarik pada psikologi seperti saya. Lalu muncul konflik cerita, dimana dimulai dari kepindahan Riley dan keluarganya, yang terus diceritakan secara mengalir dan detil dinamika nya, bagaimana dalam diri seorang anak berproses untuk akhirnya muncul respon2 emosional dan perilaku yang sangat bisa tidak terprediksi karena menghadapi tantangan-tantangan yang juga baru tentunya. Dan memang again, yg paling saya sukai, disney delivered it well, bahwa keluarga memegang peranan PENTING, dalam perkembangan kepribadian anak.

Hal lain yang ingin saya sorot bahwa selain pesan bahwa emosi itu beragam, pembentukan kepribadian serta cara pikir dan proses informasi dalam diri manusia, dengan berproses dalam alurnya, film ini memperlihatkan bahwa sering kali kita mengabaikan salah satu aspek diri kita padahal pada akhirnya aspek itulah yang paling penting bagi hidup kita. Dalam film ini, Sadness dianggap yang paling 'mengganggu' sehingga cenderung diabaikan namun melalui proses yang rumit dan sulit akhirnya Joy menyadari bahwa Sadness lah yang akan membantu Riley melalui krisis ini. Karena sifat Sadness yang reflektif dan menjadi salah satu emosi yang sangat penting utk diekspresikan dalam konflik Riley karena perubahan2 yg terjadi. Pesan kuat di akhir cerita, biarkan semua aspek emosi berperan dan dikenali sehingga membentuk kepribadian yang solid.

Melihat kompleksitas alur cerita dan banyak konsep-konsep abstrak di dalamnya, saya setuju denngan beberapa teman yang berpendapat bahwa film ini bukan film untuk anak balita. jika sudah berusia 6-7 tahun dan memiliki rentang konsentrasi yang baik, anak akan mulai bisa menikmati film ini tentu masih dengan banyak pemahaman yang perlu diberi pengantar dan bimbingan dari orang tua. Karena sesungguhnya banyak hal yang bisa didiskusikan dengan si kecil lewat film ini. Film ini cukup kaya, bahkan saya dan anak saya (usia 9 thn) sepakat rasanya ingin menonton film ini kembali. Untuk anak usia 9-10 tahun ke atas, tentu mereka lebih siap untuk mengikuti alurnya baik secara dramatis dan juga mengenai beragam pesan abstrak di balik cerita. So, ketika anda menonton film ini bersama si kecil pastikan si kecil ga bosan dan sempatkan diskusi kecil2an ketika nonton film (bisik-bisik ya hihihi) atau ketika sudah menonton... lebih baik juga jika beberapa adegan yang relevan dengan si kecil bisa menjadi bahan diskusi khusus. Misalnya untuk anak yang suka marah bisa membantunya dengan mengatakan oh, sekarang kemarahan/anger lagi mencet tombol di dalam dirimu ya.... sehingga membantu anak untuk mengenali emosinya dan bisa disambungkan dengan cara ekspresi emosi yang sehat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa film ini memang sangat baik untuk ditonton bersama orang tua dan anak, terutama anak usia sekolah ke atas. Disarankan juga bagi orang tua yang belum familiar mengenai perkembangan emosi pada anak, pentingnya regulasi dan pengenalan emosi pada anak, sebaiknya mencari referensi-referensi bacaan lain sehingga bisa lebih optimal memberi pengantar dan diskusi bareng anak mengenai materi edukasi film ini. So have fun watching it! :)