Senin, 29 Februari 2016

Palace of Illusion Divakaruni

Tahun ini (2016), saya berniat menjalankan misi-misi pribadi yang sederhana. Salah duanya adalah rajin menulis dan membaca. Seperti Budi di pelajaran Bahasa Indonesia jaman saya SD ya.... hahaha... maksudnya adalah saya berniat untuk menargetkan minimal 10 buku terbaca di tahun ini. Lalu juga meniatkan lebih banyak menulis tentang apapun di blog saya ini. Kenapa di blog? Karena saya bisa secara praktis menulis via hand phone, tersimpan file nya dan bisa berbagi jika ada yang ingin membaca tulisan saya.

Sesudah membaca setiap buku, saya usahakan akan membuat resensi dan kilasannya seperti dalam postingan kali ini.

Buku pertama yang saya baca di tahun ini adalah buku novel The Palace of Illusion (Istana Khayalan) oleh penulis perempuan asal India, Chitra Banerjee Divakaruni. Seperti yang tertulis di sinopsis cerita, novel ini merupakan penulisan ulang kisah Mahabarata dengan menggunakan sudut pandang tokoh perempuan, yang menjadi ciri khas buku-buku karangan Divakaruni, Tokoh utama dalam buku ini adalah si empunya sudut pandang yang menceritakan sejak awal sampai akhir, yaitu Dropadi atau Panchali.

Kisah dimulai dengan masa kecil Dropadi, dimana digambarkan betapa sejak kecil Dropadi sudah dipenuhi ide-ide yang tidak lazim bagi perempuan pada jamannya. Dengan persahabatan yang erat dan penuh kasih sayang dengan saudara lelakinya Dre dan sahabat jiwanya, Krisna, Dropadi mengembangkan wawasan dan insting nya sebagai pemimpin yang tangguh. Bersiap untuk memenuhi ramalan hidupnya ke depan yang memang luar biasa.

Dipenuhi dengan keinginan memberontak tradisi imaji perempuan ideal di masanya, ia tidak menyukai hal-hal 'kewanitaan' seperti menari, memasak belaka, namun ia sangat tertarik mempelajari ilmu politik, sejarah dan pemerintahan yang pada waktu itu hanya dipelajari oleh kaum laki-laki. Pengetahuannya membuatnya semakin matang sebagai pribadi yang kuat dan cerdik. 
" Dengan tegas aku tidak menghiraukan mereka dan terus membaca. Buku yang dengan rinci menguraikan secara cermat dan muram undang-undang tentang barang-barang miliki rumah tangga - termasuk para pelayan dan istri-istri - membuat kelopak mataku terasa berat. Tetapi aku bertekad mempelajari apa yang perlu diketahui seorang raja. (Kalau tidak, bagaimana aku bisa berharap akan berbeda dari gadis-gadis bodoh ini, atau dari istri-istri ayahku, yang menghabiskan hari-hari mereka dengan bersaing untuk memperoleh kemurahan hatinya? Kalau tidak, bagaimana aku sendiri bisa kuat?) Maka aku tidak memperdulikan bujukan musim panas dan memilih berjuang dengan buku itu." 
Sudut pandang khas perempuan yang ingin memberontak sistem patriarkis, dilontarkan juga seperti dibawah ini :
" ... Guru Dre berpendapat perempuan-perempuan bajik langsung dikirim ke kelahiran mereka yang berikutnya, dan kalo beruntung mereka berinkarnasi menjadi laki-laki. Tetapi aku berpendapat kalau toh loka-loka itu memang ada, semua perempuan baik pasti akan pergi ke loka dimana kaum laki-laki tidak diizinkan masuk sehingga akhirnya mereka akan bebas dari berbagai tuntutan laki-laki. Tetapi dengan bijaksana aku menyimpan teori ini dalam hatiku."
Meski ada moment dimana Dropadi menyimpulkan bahwa seorang perempuan dengan sejumlah emosi dan ketidakpedulian akan reputasi namun mengutamakan kasih sayang kepada pihak-pihak sekitarnya, pada akhirnya juga menciptakan dendamnya sendiri.
".. Perempuan tidak berpikir demikian. Aku pasti akan maju untuk menyelamatkan mereka waktu itu, seandainya aku mampu. Aku tidak peduli apa yang dipikirkan siapapun....Selama ini aku menyangka diriku lebih baik dari ayahku, lebih baik dari pada semua laki-laki yang menyebabkan penderitaan ribuan orang yang tidak bersalah demi menghukum satu laki-laki yang sudah berbuat salah kepada mereka. Tetapi aku juga ternoda karenanya, balas dendam sudah tertanam di dalam darahku. Jika sudah tiba saatnya aku tak bisa menolaknya ..." 
Setiap detil peristiwa digambarkan dengan menarik dan penuh drama oleh Divakaruni. Dengan memperlihatkan pendapat-pendapat jitu dari Sang Dropadi dengan sudut pandang perempuan yang khas. Sebagaimanapun Dropadi sempat tidak menginginkan menikah, namun akhirnya beragam strategi dipikirkan bahwa akhirnya dia harus menjalani takdirnya untuk menyaksikan sayembara yang merubah hidupnya ke depan. 
" Ketika aku masuk ke balairung pernikahan, suasananya langsung hening sempurna. Seolah-olah aku adalah pedang yang dengan sekaligus sudah memutuskan setiap tali suara. Di balik kerudungku, aku tersenyum suram. Nikmati saat-saat penuh kekuasaann ini, kukatakan kepada diriku sendiri. Barangkali ini momen satu-satunya."
Pernikahannya penuh dengan drama layaknya sebuah rumah tangga yang biasa kita dengar dalam keseharian gosip para ibu. Mulai dari penerimaan ibu mertua yang penuh ujian, terlibat dalam kerumitan dendam keluarga para suami di masa lalu, mengenali sejumlah suami dengan karakternya yang berbeda, berjuang mengelola perasaan cinta mendalam yang disangka bertepuk sebelah tangan, dan turut campur tangan memutuskan banyak keputusan penting dalam kehidupan keluarga Pandawa.

Dunia Panchali (Dropadi) tidak sepenuhnya mulus seperti istana yang pernah dialami, ia mengalami semua kejatuhan yang bisa dialami perempuan manapun. Mulai menjadi miskin secara hartawi, merasa dendam dan haus akan cinta serta harta, berada dalam bahaya dilecehkan serta menjadi objek, tidak memiliki status, memilih pilihan-pilihan sulit sampai pergumulan mempertanyakan cinta. Perasaan bersalah dan dilematis pun sering ia hadapi dan selalu diperlihatkan sosok manusiawi seorang Panchali, yang sangat kuat dalam daya tahan namun sangat rentan akan emosi.

Panchali dengan kemampuannya yang dianggap berada di atas rata-rata, menerima pengelihatan-pengelihatan yang tidak dimiliki orang lain untuk menyaksikan perang besar antara Pandawa dan Korawa, Dalam perang ini banyak pelajaran hidup yang ia saksikan dan membawanya pada kebijakan dalam menyikapi (sisa) hidupnya.

Seperti yang kita pelajari bersama bahwa keterpurukan manusia melahirkan pergerakan perubahan nasib. Semangat perubahan dibawa Dropadi di kondisi terburuk setelah perang terjadi, dengan menyuntikkan semangat berjuang dan bertahan hidup kepada kaum perempuan tanpa menutupi kerapuhan dirinya, dengan berkata,
"Meskipun kita berduka, kita harus tetap hidup demi masa depan.' Aku mulai dengan berbicara kepada para perempuan itu seperti seorang ratu kepada rakyatnya, tetapi sementara kata-kata terbentuk dalam mulutku, aku berbicara sebagai seorang ibu di antara kaum ibu dan kami menangis bersama-sama."
Selanjutnya, Dropadi menolak berputus asa dan berpangku tangan dengan menginisiasi tindakan nyata karena melihat semasa setelah perang, banyak kaum perempuan, para janda dan anak-anak yang ditinggal mati oleh para prajurit laki-laki di masa perang, mendapat kesulitan hidup dan ditindas. Maka Dropadi menggerakan para ratu dan permaisuri di kerajaan untuk mendirikan ruang sidang khusus bagi para perempuan.
"Hastinapura sesudah perang menjadi kota yang kebanyakan pendudukanya adalah perempuan, janda-janda yang tidak pernah menyangka bahwa kelangsungan hidup keluarga akan bergantung kepada mereka. Mereka yang lebih melarat sudah terbiasa bekerja, tetapi kinni sesudah tidak mempunyai perlindungan laki-laki, mereka mendapati diri mereka dieksploitasi. Perempuan-perempuan kaya, yang dimanja dan terlindungi sampai sekarang, adalah korban yang paling mudah... Keadaan ini sangat buruk - dan itu menyelamatkan aku. Aku tahu bagaimana rasanya tidak berdaya dan putus asa.... Sudah saatnya aku menyingkirkan rasa kasihan pada diri sendiri dan melakukan tindakan nyata. Aku memutuskan membentuk ruang sidang terpisah, tempat para perempuan bisa mengutarakan kesengsaraan mereka kepada sesama perempuan..."
Sampai terbentuk inisiatif dari salah satu menantu Dropadi, Utara, menyumbangkan sejumlah harta benda nya yang akhirnya membangun ketahanan ekonomi dan pendidikan bagi kaum perempuan.
"Semua (harta) ini memungkinkan kami membantu mereka yang melarat untuk memiliki rumah sendiri dan membeli barang-barnag untuk memulai usaha. Tidak lama kemudian, pasar kaum perempuan menjadi pusat perdagangan yang subur di kita, karena pemilik-pemilih yang baru ini merasa bangga atas barang dagangan mereka, dan cerdik tapi adil dalam transaksi mereka. Kami melatih mereka yang menaruh minat untuk belajar, menjadi guru bagi anak-anak gadis dan laki-laki. Dan bahkan pada masa sesudahnya, di bawah pemerintahan Parikesit, ketika dunia sudah masuk ke dalam Abad Keempat Manusia dan Kali, roh gelap, mencengkeram dunia dalam cakarnya, Hastinapura tetap menjadi salah satu kota dimana para perempuan bisa menjalani kehidupan sehari-harinya tanpa diganggu.
Dalam kisah ini saya mempelajari betapa manusia berada dalam tangan takdir yang bisa seenaknya saja membelokkan ke dalam jurang ataupun ke dalam pesta yang memabukkan nafsu. Namun manusia tercipta tidak seperti batu yang tak berkehendak, namun sebagai makhluk hidup berakal budi yang berkemauan kuat yang bisa merubah apapun yang diinginkan. Selama ada kemauan positif untuk mengembangkan diri, maka disitu lah kita berada, ditempat yang kita pilih sendiri. Bahkan sampai pemilihan cara menghampiri ajal yang legendaris.
"Semakin banyak orang-orang membujukku untuk tidak ikut serta, semakin kuat tekadku Mungkin itulah masalahku selama ini, memberontak terhadap batas-batas yang ditentukan masyarakat untuk kaum perempuan. Tetapi apa alternatifnya? Duduk, membungkuk diantara para nenek, bergunjing dan mengeluh, mengunyah daun sirih yang sudah dicacah ddengan rahang tak bergigi sambil menunggu kematian? Tidak bisa diterima! Aku lebih baik mati di gunung. Kematian mendadak dan bersih, akhir yang pantas dinyanyikan para penyair, kemenangku yang terakhir di atas istri-istri lain : Dia satu-satunya permaisuri yang berani mendampingi para Pandawa pada petualagnan akhir yang mengerikan ini, Ketika terjatuh, dia tidak menangis, hanya mengangkat tangannya sebagai salam perpisahan yang gagah. Bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?" 



Rangkaian

Hidup adalah serangkaian kejadian, yg saling bertaut tanpa tahu sebelumnya berkaian kemana

Hidup seperti memegang seutas tali, menitinya sambil menikmati kejadian yg hadir d sekitarnya, mengambil peranan yg bisa kita jalani. Menyapa dan berbagi dg orang2 yg ditemui, serta kadang kala melepas tali kita utk serangkaian kejadian bermakna. Dan moment2 itu berakhir, sehingga kita kembali meniti tali hidup kita, ruas demi ruas.

Rasa senang dan sedih, manis dan asam. Rasa marah dan kecewa, pedas dan getir. Rasa bahagia yang menyegarkan. Campur aduk dan membentuk jiwa yang kaya.

Hidup adalah serentetan peristiwa, satu mengantar pada yg lain. Satu mempersiapkan manusia utk berjuta lainnya. Satu dialami dan dipelajari tanpa tahu apa gunanya kelak. Ketika di satu titik masa, coba lihat ke masa lalu dimana keluh kesah mewarnai hati, maka semua tampak logis dan estetis. Everything fall gracefully in its place.

Tanpa perlu ngotot, namun ttp kerja keras
Tanpa perlu memaksa, namun ttp konsisten n persisten
Maka hidup memberikan yg manusia butuhkan dan memfasilitasi agar bs hidup sepenuhnya....

Minggu, 28 Februari 2016

Menulis 1

Untuk menulis ga perlu berumur tertentu, berprestasi tertentu. Yg diperlukan hanyalah keberanian, rasa ingin tahu, keinginan berbagi, sedikit rasa marah, sedikit rasa sedih dan kemampuan ekspresif yg tulus. Mari menulis.

Rabu, 17 Februari 2016

Bising

Media massa dan media sosial sering kali kongkalingkong membungkus isu sedemikian rupa sehingga orang2 lupa apa hal yg bermakna dlm hidupnya. Bergulirnya e-poster ttg kelompok support kepada sebuah kelompok marginal, memicu komentar2 dan pendapat informil yg menyudutkan. Betapa tidak nyan bagi kelompok support itu. Bermaksud membantu malah terinjak injak. Bergulirnya analisa informil ditanggapi dengan tanpa pikir panjang oleh seorang mentri dg larangan. Hebohlah dunia.maya n masyarakat (umum?) ..... mempermasalahkan yg tadinya adem2 saja. Buahnya, diskriminasi kepada kaum marginal semakin nyata. Dan ilmuwan serta tokoh masy (seakan) diuji. Disini terlihat siapa yg turut arus dan makan umpan mentah info yg ga jelas n menyudutkan kelompok ttt. Mana yg berusaha mnerima dan merangkul.
Dan memang ga hanya terjadi kali ini. Sudah berulang kali massa dg mudah termakan isu yg kemudian smkn bulat menggelinding dibungkus "kaidah" agama....
Kapan kita belajar dan lbh bijak? Tampaknya masih akan mjd proses yg panjang.