Sabtu, 09 Juli 2016

Carrie by Stephen King


Buku Stephen King yang pertama kali saya baca sudah sekitar usia SMP yang lalu dan saya pun sudah lupa akan ceritanya. Namun saya akui Mr. King adalah raja cerita horor. Kisahnya bisa membuat kita penasaran dari awal sampai akhir cerita. Begitu pula dengan kisah Carrie ini sehingga saya membacanya dalam waktu kurang lebih 4 jam saja. 

Carrie, ternyata adalah novel pertama King (menurut mbah Google) dan diakui sebagai kisah terbanyak yang dibaca oleh banyak penggemarnya, bahkan sudah beberapa kali dipertunjukkan lewat film atau panggung. Meski saya akan mempertimbangkan dulu apakah akan menontonnya atau tidak, karena imajinasi saya ketika membaca bukunya saja sudah menakutkan apalagi harus melihat dan mendengarnya dalam film.

Kisah Carrie mengambil latar belakang tahun 70-an dengan latar kota kecil di Amerika dengan aspek fanatisme agama Kristen yang kental, bahkan bermain peranan penting dalam kisah ini. Karena notabene, jelas Carrie menjadi Carrie yang dikenal itu, karena faktor fanatisme. Ibu Carrie, tampil sebagai perempuan "gila" yang sangat fanatik dan menganiaya anaknya karena faktor kepercayaannya. Carrie tumbuh dalam suasana rumah yang diluar bayangan keluarga normal dengan ilustrasi verbal yang membuat saya ngeri membayangkan konteks rumah tempat ia besar. Dan malangnya, Carrie menjadi olok-olok di sekolah sehingga ia menjadi yang terkucilkan. Tragedi hidupnya kembali memuncak oleh kejadian "berdarah" di sekolah, ketika Carrie mendapatkan haid pertamanya. Para pem-bully, teman-temannya di sekolah, menyudutkannya dan terlihat betapa "aneh"nya Carrie di antara teman-teman perempuannya yang sudah "melek" akan seksualitas. Tragedi ini terus bergulir dengan puncak di malam dansa yang menjadi tragedi seluruh kota, bukan lagi hanya milik Carrie seorang. Karena Carrie sudah berlatih akan kemampuan telekinesisnya dan ia membuktikan kekuatannya sehingga mengakibatkan tragedi yang tak habis-habis di bahas baik masyarakat awam maupun ilmuwan.

Ketika membaca kisah ini, rasa penasaran terus menggiring saya untuk membacanya, pun buku ini tidak tebal, hanya 253 halaman. Meski sedikit ada keanehan dalam penerjemahannya, namun tetap mudah untuk dipahami dan  terus dibaca sampai akhir. Kesan horor sangat kental dari awal ke ujung cerita. Cara penulisan yang unik, dengan menyelipkan beragam cuplikan analisa kasus, artikel berita dan pergantian orang pertama yang bercerita dalam kisah ini, membuat kita harus sedikit jeli dalam membaca. Meski, saya tidak merasa kesulitan mengikuti alurnya dan membedakan tokoh siapa yang sedang berkisah pada suatu bagian. Tampaknya Mr. King cukup jeli merangkai alur dan sudut pandang masing-masing tokoh. Konsistensi cerita, karakteristik tokoh juga sangat baik diberikan. Dan tentu bumbu hubungan seksual tidak lupa Mr. King tambahkan. Tampaknya Mr. King cukup merasa hal ini penting meski sedikit berhubungan dengan karakter dan tragedi utamanya.

Buat saya, buku ini dapat direkomendasikan bagi pembaca yang menyukai bacaan yang intens dan tahan akan horor yang secara frontal disajikan, seperti adanya darah, penganiayaan dan semacamnya. Saya pribadi, merasa buku ini hanya selingan saja. Meski tetap bisa menarik benang merah buat saya prbadi, bahwa fanatisme bisa merusak inti kemanusiaan seseorang dan menciptakan kesintingan yang sulit diterima nalar. 


Inteligensi Embun Pagi



Setelah menghabiskan buku kedua, Tanah Lada, proses saya membaca buku tidak selancar sebelumnya. Karena memang pekerjaan sudah mulai menyita fokus dan waktu saya. Eniwey, bersyukur menemukan buku Inteligensi Embun Pagi (IEP) karya Dee ini, yang menjadi edisi pamungkas untuk serial Supernova yang fenomenal. Maka ketika ada diskon buku di salah satu toko buku di Bandung (kebetulan mampir sewaktu ada tugas di sana), langsunglah buku ini menjadi fokus bacaan saya dan resmi menjadi buku ketiga untuk meneruskan misi membaca (minimal)10 buku di tahun 2016 ini.

Terus terang saya sudah lama tidak updating dengan karya2 Dee, terutama deretan Supernova dan saya tipe yang tidak berusaha membaca ulang serial yang sebelumnya untuk catch up cerita *selain karena time cosuming juga krn ada bbrp buku yang entah ada di mana disimpannya dan cukup memakan budget kalo beli dulu. So, saya cus membaca buku pamungkas Supernova ini. Awal membaca, tentu saya roaming sedikit-sedikit mengingat2 yang sudah ada di edisi2 Supernova sebelum IEP ini. Maklum saya agak2 lemot or kata Dory (dalam Finding Dory), short memory lost disorder, eh ga nyampe disorder deng hehhe... hanya saja buat saya ketika membaca buku, kebanyakan saya akan mengambil makna personal dan pelajaran dari buku itu sehingga detil alur cerita dan bahkan nama tokoh nya kadang lost dalam ingatan saya. Jadi ya saya membaca IEP ini ingin tahu ending Supernova dan ingin tahu bagaimana Dee, yg merupakan salah satu penulis hebat menurut saya, meramu novelnya kali ini. 

Novel IEP ini terdiri dari Keping 45 - 99 (keping = bab) dalam 620 halaman, so mengingat ketebalan bukuny dan alur ceritanya yg kaya, saya ga akan terlalu detil juga mengulas disini. Selain keterbatasan waktu saya menulis, saya pikir akan lebih seru jika teman-teman dan pemirsah sekalian membacanya sendiri hehehe... Maka di bawah ini saya akan lebih mengungkapkan kesan-kesan saya terhadap IEP. 

Sepanjang membaca IEP, saya merasa keseruan cerita yang terbangun dengan baik oleh penulis. Biasanya dalam membaca buku novel, saya akan merasa tidak sabaran melalui bagian 'prolog' dimana pada bab2 awal sekitar 3 sampe 5 bab biasanya adalah bagian membangun konflik dan kompleksitas cerita. Namun pada IEP ini konflik sudah terbangun dimana-mana dan jelas karena merupakan buku pamungkas di serial Supernova, maka kompleksitas cerita sudah ada dan tinggal dirawat dan ditambah. Di sana sini muncul kejutan-kejutan serta keseruan cerita yang masing-masing berarti personal bagi masing-masing tokoh. Konflik batin masing-masing tokoh pun terkesan bisa dibangun dengan apik tanpa melupakan sejarah personal masa lalu si tokoh. Lagi-lagi karena ini edisi pamungkas, karakter masing-masing tokoh sudah sangat kaya namun tokoh-tokoh yang 'baru' pun ternyata tidak hilang ke-khas annya. Klimaks cerita pun tidak garing dan tidak mudah ditebak. Mungkin inilah kunci karya ini sehingga mendapat banyak fans, karena tidak mudah ditebak dan belum ada (belum banyak) rasanya penulis Indonesia yang bermain di area ala science fiction ini.

Hal khas dari rangkaian cerita Supernova adalah kedalaman serta kreativitas Dee untuk meramu hal-hal yang saintifik dengan imajinasi serta pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupan yang ia satukan dalam jalinan cerita banyak tokoh yang rumit. Bahkan sedikit memberikan warna sejarah dunia juga di dalamnya, dengan memasukkan mitologi Yunani. Kepiawaian Dee ini mengingatkan saya akan keahlian yang tak kalah dari Ayu Utami (misalnya di novel Bilangan Fu dan judul2 terkait) yang banyak mengandalkan pada referensi literatur dan budaya yang kaya. Jadi suatu catatan pribadi saya, bahwa menulis sebaiknya tidak asal menulis tp harus memperdalam bahan penulisan kita sehingga menjadi karya yang kaya dan tidak kering dari lingkup sekitar *baik ilmu pasti dan sosial.

IEP ini buat saya mengantarkan pesan tertentu yaitu sbb:
- bahwa di dunia ini ga ada yang kebetulan, semua sudah dalam perencanaan takdir meski kemudian manusia lah yang memegang peranan penting untuk memtuskan mau bagaimana dan apa dengan takdir yang ada
- bahwa setiap individu memiliki sejarah pribadi yang rumit, emosional dan mempengaruhi langkah-langkah nya ke depan.
- bahwa meski tidak mengecilkan peranan orang-orang penting dalam hidup kita, namun ada saat2 krusial dimana kita harus rela meninggalkan mereka (sementara atau selamanya), untuk kemajuan diri kita dan karya serta manfaat karya kita utk orang banyak

Secara kognitif saya terpikat pada karya Dee ini. Mengingat kompleksitas cerita yang dibangun dan kekayaan budaya yang internasional. Serta genre cerita yang cenderung science fiction ini,yg cukup unik buat saya. Namun secara emosional, saya sadar ternyata cukup sulit untuk benar-benar merasa tersentuh akan kisah ini karena sifat saya yang lebih menyukai mendalami setiap karakter secara personal. sedangkan IEP ini terbangun dari kerumitan relasi dan misi yang saling berkait dan porsi individual tokohnya saya rasa memang bukan prioritas dari kisah ini. Namun saya tetap menikmati pengalaman membacanya.

Notes, maaf catatan kali ini sangat umum karena terus terang ini ditulis sebulan setelah saya menyelesaikan IEP jadi memori saya mengenai buku ini tidak sedetail biasanya. 

Senin, 23 Mei 2016

Idola

Dia hebat begitu memukau semua
(Siapa dia? Bicara apa dia)
Semua kerumunan membicarakannya

Sayapun tertarik,
Bukan karena kehebatannya tapi krn cara dia menjadi hebat
Bukan karena pulasan senyumnya tp karena penasaran cara pengelolaan emosinya
Bukan karena berapa banyak dirinya muncul di media, namun karena ingin tahu apa keunggulan dan daya jualnya

Semua tampak gemilang
Tanpa cela
Tanpa duka
Tak tahu apa yg dia alami di luar panggung

Di dalam Angkot

Hujan di luar
Dingin seharusnya
Namun panas di dalam sini

Hujan di luar
Kami memegangi payung bertetes
Setidaknya tidak membasahi baju kami

Hujan di luar
Panas tubuh kami menguap di dalam
Tanpa ventilasi karena jendela ditutup
Embun menutupi kaca

Hujan di luar,
Jalanan mulai menggenang
Namun kering dan panas
Di dalam angkot merah ini

Minggu, 08 Mei 2016

Langkah-langkah Semu

Selangkahku disini
Disana mungkin ada teriak
Ada nestapa ketika otonomi tubuh dikoyak
Ada sebuah jiwa diremukkan

Selangkahku berjalan ke depan
Namun tetap ku dengar angka2 mengerikan, memertanyakan kemanusiawiann manusia
Tetap ku baca berjuta sengsara karena kemarahan, duka dan tangis akibat cabikan kekerasan

Langkahku kemana lagi....
Agar menyasar mengurangi nestapa jiwa para korban
Mencegah tangan2 kotor mempermainkan nasib sesama
Agar setidaknya mengurai sebenang dari bola kusut yg terus bergulir...

Minggu, 01 Mei 2016

Hay Perempuan!

Hay Perempuan yang berpakaian merah dan berjalan ringan, tahukah kamu aku ingin seperti kamu tampak tak ada beban tampak menjalani hidup sederhana tanpa pusing memperhitungkan predator di luar sana Hay Perempuan yang berpakaian merah dan berjalan ringan sambil membawa buku di dada, tahukah kamu aku ingin seperti kamu yang masih memiliki banyak alternatif pilihan cita masih memiliki kemudaan untuk bergaul dengn siapapun masih memilki kesempatan untuk memilih dimana ingin tinggal dan menyayangi Hay Perempuan yang berpakaian merah, berlangkah ringan, membawa buku di dada dan bernyanyi kecil mengikuti lagu di earphone tahukah kamu aku ingin berada di posisimu, yang masih terus positif memandang hidup tidak mempermasalahkan masalah sosial yang membusuk akibat ketamakan dan kekerdilan hati para oknum yang hanya perlu gadget keren, nilai bagus dan pekerjaan stabil utk merasa stabil dan bahagia Hay Perempuan yang berpakaian merah, berlangkah ringan, membawa buku di dada dan bernyanyi kecil mengikuti lagu di earphone tahukah kamu... betapa aku ingin seringan langkahmu, meski tanggung jawab, tugas dan konsekuensi2 memilinku tahukah kamu.. betapa aku ingin semantap dirimu, mencari ilmu dan memupuk rasa ingin tahu serta mengejar jawaban sampai ke sudut dunia? tahukah kamu... betapa aku ingin terus bisa bernyanyii agar dunia tahu bahwa kekelaman ini tidak sempurna dan ada secercah keindahan yang patut mereka dapatkan?

Jam-jam Beracun

Dan kita menari di antara racun-racun Detik demi detik menit menjadi jam dan hari menyerap racun-racun di sekitar kita Tanpa ampun Tanpa toleransi dan Tanpa bisa menghentikannya Hanya melompat dan menghindari adl strategi kita Semua strategi pintar masuk ke kolong laci Tersimpan rapi terlipat di dasar otak Tertimbun emosi-emosi kacau Karena semua indra teraktivasi kini bekerja Kita menari-nari di atas racun Demi apa kadang ku tak tahu Demi untuk mereka yang menderita? Demi untuk aku yang berjuang? Demi untuk yang berkuasa mencari uang? Kadang tujuan menjadi tertutup kabut racun Hidup di tengah racun membuat kita mendamba sedikit ketenangan sedikit kesunyian untuk kembali bersekutu bersama damai untuk kembali menemukan cinta untuk kembali merasa utuh Saat-saat ini seperti racun tak ada yang tau kapan bisa hilang tak ada yang tau sampai seberapa dalam membuat kita membusuk

Minggu, 06 Maret 2016

Ava dan Pepper

Ternyata buku kedua di tahun ini cukup cepat juga saya selesaikan. Judulnya adalah Di Tanah Lada oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, yang saya akan singkat jadi Z.Z. Cerita ini adalah Pemenang II Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Saya tertarik membeli buku ini bukan karena titel pemenangnya tapi karena ketika membaca sinopsisnya di bagian belakang buku terlihat topik yang cukup unik serta sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang seorang anak.

Ketika saya membaca halaman-halaman awal, saya tahu penulis ini sungguh one of a kind, karena berani menulis secara sederhana dan mengambil hal kecil yang mungkin tidak banyak orang sadari dan tertarik. Yaitu sudut pandang seorang anak perempuan. Cara penulisanpun sangat konsisten menjaga alur dan ciri khasnya dari awal sampai akhir, dari cara memilih nama-nama panggilan setiap tokoh di dalamnya, cara memasukkan konsep-konsep khas untuk memberikan kesan kuat akan tokoh utama yang menceritakan kisahnya, dalam hal ini hobi dan cara pikir Ava yang selalu mengartikan segala sesuatu melalui pemahaman verbal. Yang mungkin semakin menarik buat saya untuk membaca, karena sayapun sering terpesona dengan arti kata-kata.

Semakin membaca, saya semakin merasa bukan suatu kebetulan saya memilih buku ini, meski waktu itu saya sedang rajin membisiki ke diri saya untuk berhemat dan tidak membeli tambahan buku lagi, karena di rumah sudah bertumpuk banyak buku yang belum dibaca. Saya merasa buku ini datang secara indah tapi getir di saat yang sama, karena ternyata topik buku ini adalah penghayatan seorang anak yang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), topik yang menjadi ranah kerja saya selama ini. Disini seorang ZZ mampu menggambarkan secara membumi mengenai penghayatan anak-anak yang selama hidupnya tidak mengalami kasih sayang dan hanya dicaci sert dikucilkan. Sehingga ketika cinta itu datang, mereka merasa sangat posesif dan tidak mau melepaskan.

Kegetiran-kegetiran kekerasan yang dialami Ava, si anak perempuan sebagai tokoh utama, dari Papanya digambarkan secara jelas dari sudut pandang khas anak-anak yang sederhana dalam mengambil kesimpulan sebab akibat.
" Papa juga kesal kalau melihatku. Padahal, kadang-kadang aku tidak melakukan apa-apa. Kurasa, berarti semua Papa memang seperti itu. "
Dan ternyata tidak hanya Ava yang memiliki kondisi yang kurang lebih sama, seperti fakta pahit dalam hidup ini bahwa sungguh banyak anak-anak yang terpaksa hidup dalam kubangan kekerasan, Ia bertemu dengan P, seorang anak di Rusun Nero, tempat tinggal Ava yang baru. Pertemuan dengan P membuat Ava dan P saling menguatkan persepsi mengenai kondisi kehidupan mereka. Tampak bahwa logika bertumbuh di diri anak-anak, bahwa anak adalah subjek, bukan objek.
"Iya. Papaku jahat sih, Aku sudah biasa."
"Oh ya? Papaku juga jahat, kok. Mungkin semua Pap memang jahat."
"Iya juga. Tapi kamu juga kan nanti jadi Papa. Nanti kamu juga jahat, dong?"
"Kalau begitu aku nggak mau jadi Papa, ah. Aku nggak mau jadi jahat."
"Kamu jadi kakek saja. Kakek Kia baik, soalnya."
"Boleh, aku jadi Kakek saja. Kamu jadi nenek ya?"
"Nggak, ah. Aku mau jadi mama. Mama aku baik, soalnya."
" Oh, ya? Mama aku jahat."
"Masa?"
"Nggak tahu. Tapi kata Papa, sih, dia jahat. Kalau orang jahat bilang orang lain jahat, berarti orang lain itu lebih jahat dari orang jahat itu, kan?"
"Aku nggak mengerti."
"Ya sudah."
Sampai bagaimana sulitnya bagi kedua anak ini memahami kejadian-kejadian di sekitarnya. Misalnya pendapat Ava mengenai Mamanya.
"Kuharap Mama tidak terlalu penurut, jadi dia tidak menuruti Papa terus. Papa tidak boleh dituruti. Kata Kakek Kia, tidak boleh menuruti setan. Papa kan setan."
Lalu pendapat Ava dan nalar P mengenai keputusan yang dibuat Mama yang pada akhirnya bercerai dengan Papa, yang ternyata sangat rumit untuk mereka.
"Mama sama Papa kamu mau cerai, tahu?" kata P lagi.
Lalu, dia memandangku. ... "Kenapa?"
Dia mengangkat bahu, "Aku dikasih tahu Mas Alri. Tapi nggak tahu kenapa. Mungkin karena Papa kamu jahat."
Aku berpikir, itu memang benar,"Tapi kan Papa jahatnya dari dulu. Kenapa pisahnya baru sekarang?"
"Nggak tahu. Mungkin karena kalau dulu, Papa kamu punya rumah bagus dan kerjaan yang bagus. Sekarang, dia mau judi saja."
"Terus kenapa?"
"Jadi, kalau dulu Mama kamu cerai, dia bisa kehilangan rumah dan uang dari Papa kamu. kalau sekarang, nggak kehilangan apa-apa. Soalnya, rumahnya sudah nggak ada. Uangnya juga semakin habis."
Dia blang, "Kan, dulu kamu pernah bilang alasan Mama kamu kabur ke hotel. Sama saja seperti ini, kan alasannya?"
Aku mengangguk, "Jadi mereka cerai karena Papa ga punya uang lagi?"
"Kayaknya sih begitu, Biasanya sih, begitu." "Jadi, cerainya bukan karena Papa jahat, dong?"
"Hmm, bukan."
Begitulah mereka berdua saling menguatkan satu sama lain, meski baru berkenalan secara singkat. Bahkan ketika Ava harus "kabur" dari Rusun Nero bersama Mamanya, akibat Papanya Ava mengamuk sedemikian rupa, Ava terdorong untuk kembali ke Rusun Nero "hanya" untuk bertemu P kembali. Beberapa orang menyatakan ini seperti cinta monyet, cinta masa kanak-kanak. Mungkin ada benarnya. Namun saya lebih melihat bahwa tampak bahwa anak (kita) akan sangat lengket pada orang yang memahami dan melihat dunia 'sama' dengan kita. Apalagi kondisi si anak (kita) kekurangan sumber kasih sayang tulus yang ajeg. Disitulah akar dari magnet yang tercipta di antara P dan Ava, saya pikir.

Jalinan cerita cukup ketat dan menarik untuk terus diikuti. Dan ada titik-titik gemas dimana saya ingin cerita ini normal saja dan happy ending. Terutama ketika Ava dan P melarikan diri dan pergi ke tempat-tempat yang jauh dari orang-orang dewasa yang menyayangi mereka. Entah karena memang saya mengidentifikasikan sebagai orang dewasa yang peduli dengan mereka, entah karena saya memilikirkan harapan saya ketika anak saya diposisi mereka. Begitulah manusia selalu mengidentifikasikan kejadian dengan dirinya. Namun seperti semua kejadian dalam hidup, dalam pelariannya, Ava dan P bertemu dengan banyak orang yang mengajarkan mereka bahwa banyak karakter baik yang bisa menyayangi anak-anak secara tulus. Seperti ketika mereka bertemu Pak Tukang Sate dan Ibu Tukang Sate. Setidaknya mereka menemukan sosok-sosok yang berbeda dengan yang biasa mereka alami. Begitulah, anak sangat membutuhkan role model, sosok contoh yang hidup dan walk the talk, mempraktekkan apa yang ingin diajarkan dan disampaikan kepada anak. Kasih sayang dalam bentuk nyata.

Nafas lega akan muncul di beberapa titik cerita karena tampak P dan Ava akan memiliki hidup yang baik dan sehat sebagaimana mestinya. Namun tidak di cerita ini.

Cerita ini mengajarkan juga bahwa sering kali orang dewasa lengah tanpa maksud khusus, kepada anak-anak. Orang dewasa memberikan penalaran, yang memang sudah semestinya sebagaimana tugas orang dewasa. Namun di selah-selah keputusan itu, sering kali orang dewasa terlalu lelah untuk memeriksa dan mengklarifikasi apakah si  anak-anak tersebut telah memiliki rencana dan persepsi khas mereka sendiri. Itulah yang terjadi di cerita ini bahwa orang dewasa "kalah" dan gagal memahami penghayatan anak-anak. Dimana orang dewasa gagal memberikan dunia anak yang sehat.

Cerita ini sangat direkomendasikan bagi siapapun yang prihatin dan bekerja di isu anak untuk memahami penghayatan anak dalam sikon KDRT serta kemiskinan yang membelitnya, dimana anak mendapatkan pengalaman traumatis dalam segala bentuk-bentuk kekerasan dan penelantaran. Meski seperti yang diungkapkan di halaman 225 buku ini mengenai alasan :
"Alasan itu ada. Kadang-kadang tidak masuk akal. Kadang-kadang, mengada-ada. Kadang-kadang, tidak pernah kita ketahui. Tapi, pasti ada."
Namun semakin saya mempelajari kasus-kasus kekerasan anak, tampaknya tidak ada alasan yang membenarkan untuk membiarkan kekerasan anak.

Terus terang, akhir cerita ini sangat mengenaskan dan saya jadi memikirkan si penulis, apakah dia berada dalam keadaan yang baik-baik saja... karena sering kali cerita kita adalah refleksi hidup kita. Saya harap tidak untuk cerita ini.

Sabtu, 05 Maret 2016

Alasan-alasan

Manusia berpikir, menemukan penjelasan-penjelasan.
Menentukan alasan utk semua yang terjadi.
Mencari hubungan di antara ketidakjelasan
Agar terang dan aman
Namun proses pencarian alasan malah sering membuat tersesat krn kadang bercampur baur dg niat yg kurang murni dan sering menyalahi kemanusiaan

Alasan-alasan bertebaran di.kepalaku
Bertanya, menganalisa, menautkan satu sama lain, melahirkan tindakan yg kuharap berguna
Kadangpun aku tau alasan2 hanya alasan yg tak berguna, membuat stagnan saja

Manusia berpikir maka dia ada, begitu sang filsuf menyatakan
Manusia mencari penjelasan n berpikir dan dunia pun berputar.....

Persahabatan

Bertemu mereka sore tadi. Selalu menghangatkan jiwa. Saling berbagi dan belajar ttg cinta dan cita, ttg hidup.

Dunia mungkin luas, mungkin berjuta orang yg kau temui, tapi hatimu jiwamu tau siapa yang kita sebut sahabat.

Peluks satu2.

Senin, 29 Februari 2016

Palace of Illusion Divakaruni

Tahun ini (2016), saya berniat menjalankan misi-misi pribadi yang sederhana. Salah duanya adalah rajin menulis dan membaca. Seperti Budi di pelajaran Bahasa Indonesia jaman saya SD ya.... hahaha... maksudnya adalah saya berniat untuk menargetkan minimal 10 buku terbaca di tahun ini. Lalu juga meniatkan lebih banyak menulis tentang apapun di blog saya ini. Kenapa di blog? Karena saya bisa secara praktis menulis via hand phone, tersimpan file nya dan bisa berbagi jika ada yang ingin membaca tulisan saya.

Sesudah membaca setiap buku, saya usahakan akan membuat resensi dan kilasannya seperti dalam postingan kali ini.

Buku pertama yang saya baca di tahun ini adalah buku novel The Palace of Illusion (Istana Khayalan) oleh penulis perempuan asal India, Chitra Banerjee Divakaruni. Seperti yang tertulis di sinopsis cerita, novel ini merupakan penulisan ulang kisah Mahabarata dengan menggunakan sudut pandang tokoh perempuan, yang menjadi ciri khas buku-buku karangan Divakaruni, Tokoh utama dalam buku ini adalah si empunya sudut pandang yang menceritakan sejak awal sampai akhir, yaitu Dropadi atau Panchali.

Kisah dimulai dengan masa kecil Dropadi, dimana digambarkan betapa sejak kecil Dropadi sudah dipenuhi ide-ide yang tidak lazim bagi perempuan pada jamannya. Dengan persahabatan yang erat dan penuh kasih sayang dengan saudara lelakinya Dre dan sahabat jiwanya, Krisna, Dropadi mengembangkan wawasan dan insting nya sebagai pemimpin yang tangguh. Bersiap untuk memenuhi ramalan hidupnya ke depan yang memang luar biasa.

Dipenuhi dengan keinginan memberontak tradisi imaji perempuan ideal di masanya, ia tidak menyukai hal-hal 'kewanitaan' seperti menari, memasak belaka, namun ia sangat tertarik mempelajari ilmu politik, sejarah dan pemerintahan yang pada waktu itu hanya dipelajari oleh kaum laki-laki. Pengetahuannya membuatnya semakin matang sebagai pribadi yang kuat dan cerdik. 
" Dengan tegas aku tidak menghiraukan mereka dan terus membaca. Buku yang dengan rinci menguraikan secara cermat dan muram undang-undang tentang barang-barang miliki rumah tangga - termasuk para pelayan dan istri-istri - membuat kelopak mataku terasa berat. Tetapi aku bertekad mempelajari apa yang perlu diketahui seorang raja. (Kalau tidak, bagaimana aku bisa berharap akan berbeda dari gadis-gadis bodoh ini, atau dari istri-istri ayahku, yang menghabiskan hari-hari mereka dengan bersaing untuk memperoleh kemurahan hatinya? Kalau tidak, bagaimana aku sendiri bisa kuat?) Maka aku tidak memperdulikan bujukan musim panas dan memilih berjuang dengan buku itu." 
Sudut pandang khas perempuan yang ingin memberontak sistem patriarkis, dilontarkan juga seperti dibawah ini :
" ... Guru Dre berpendapat perempuan-perempuan bajik langsung dikirim ke kelahiran mereka yang berikutnya, dan kalo beruntung mereka berinkarnasi menjadi laki-laki. Tetapi aku berpendapat kalau toh loka-loka itu memang ada, semua perempuan baik pasti akan pergi ke loka dimana kaum laki-laki tidak diizinkan masuk sehingga akhirnya mereka akan bebas dari berbagai tuntutan laki-laki. Tetapi dengan bijaksana aku menyimpan teori ini dalam hatiku."
Meski ada moment dimana Dropadi menyimpulkan bahwa seorang perempuan dengan sejumlah emosi dan ketidakpedulian akan reputasi namun mengutamakan kasih sayang kepada pihak-pihak sekitarnya, pada akhirnya juga menciptakan dendamnya sendiri.
".. Perempuan tidak berpikir demikian. Aku pasti akan maju untuk menyelamatkan mereka waktu itu, seandainya aku mampu. Aku tidak peduli apa yang dipikirkan siapapun....Selama ini aku menyangka diriku lebih baik dari ayahku, lebih baik dari pada semua laki-laki yang menyebabkan penderitaan ribuan orang yang tidak bersalah demi menghukum satu laki-laki yang sudah berbuat salah kepada mereka. Tetapi aku juga ternoda karenanya, balas dendam sudah tertanam di dalam darahku. Jika sudah tiba saatnya aku tak bisa menolaknya ..." 
Setiap detil peristiwa digambarkan dengan menarik dan penuh drama oleh Divakaruni. Dengan memperlihatkan pendapat-pendapat jitu dari Sang Dropadi dengan sudut pandang perempuan yang khas. Sebagaimanapun Dropadi sempat tidak menginginkan menikah, namun akhirnya beragam strategi dipikirkan bahwa akhirnya dia harus menjalani takdirnya untuk menyaksikan sayembara yang merubah hidupnya ke depan. 
" Ketika aku masuk ke balairung pernikahan, suasananya langsung hening sempurna. Seolah-olah aku adalah pedang yang dengan sekaligus sudah memutuskan setiap tali suara. Di balik kerudungku, aku tersenyum suram. Nikmati saat-saat penuh kekuasaann ini, kukatakan kepada diriku sendiri. Barangkali ini momen satu-satunya."
Pernikahannya penuh dengan drama layaknya sebuah rumah tangga yang biasa kita dengar dalam keseharian gosip para ibu. Mulai dari penerimaan ibu mertua yang penuh ujian, terlibat dalam kerumitan dendam keluarga para suami di masa lalu, mengenali sejumlah suami dengan karakternya yang berbeda, berjuang mengelola perasaan cinta mendalam yang disangka bertepuk sebelah tangan, dan turut campur tangan memutuskan banyak keputusan penting dalam kehidupan keluarga Pandawa.

Dunia Panchali (Dropadi) tidak sepenuhnya mulus seperti istana yang pernah dialami, ia mengalami semua kejatuhan yang bisa dialami perempuan manapun. Mulai menjadi miskin secara hartawi, merasa dendam dan haus akan cinta serta harta, berada dalam bahaya dilecehkan serta menjadi objek, tidak memiliki status, memilih pilihan-pilihan sulit sampai pergumulan mempertanyakan cinta. Perasaan bersalah dan dilematis pun sering ia hadapi dan selalu diperlihatkan sosok manusiawi seorang Panchali, yang sangat kuat dalam daya tahan namun sangat rentan akan emosi.

Panchali dengan kemampuannya yang dianggap berada di atas rata-rata, menerima pengelihatan-pengelihatan yang tidak dimiliki orang lain untuk menyaksikan perang besar antara Pandawa dan Korawa, Dalam perang ini banyak pelajaran hidup yang ia saksikan dan membawanya pada kebijakan dalam menyikapi (sisa) hidupnya.

Seperti yang kita pelajari bersama bahwa keterpurukan manusia melahirkan pergerakan perubahan nasib. Semangat perubahan dibawa Dropadi di kondisi terburuk setelah perang terjadi, dengan menyuntikkan semangat berjuang dan bertahan hidup kepada kaum perempuan tanpa menutupi kerapuhan dirinya, dengan berkata,
"Meskipun kita berduka, kita harus tetap hidup demi masa depan.' Aku mulai dengan berbicara kepada para perempuan itu seperti seorang ratu kepada rakyatnya, tetapi sementara kata-kata terbentuk dalam mulutku, aku berbicara sebagai seorang ibu di antara kaum ibu dan kami menangis bersama-sama."
Selanjutnya, Dropadi menolak berputus asa dan berpangku tangan dengan menginisiasi tindakan nyata karena melihat semasa setelah perang, banyak kaum perempuan, para janda dan anak-anak yang ditinggal mati oleh para prajurit laki-laki di masa perang, mendapat kesulitan hidup dan ditindas. Maka Dropadi menggerakan para ratu dan permaisuri di kerajaan untuk mendirikan ruang sidang khusus bagi para perempuan.
"Hastinapura sesudah perang menjadi kota yang kebanyakan pendudukanya adalah perempuan, janda-janda yang tidak pernah menyangka bahwa kelangsungan hidup keluarga akan bergantung kepada mereka. Mereka yang lebih melarat sudah terbiasa bekerja, tetapi kinni sesudah tidak mempunyai perlindungan laki-laki, mereka mendapati diri mereka dieksploitasi. Perempuan-perempuan kaya, yang dimanja dan terlindungi sampai sekarang, adalah korban yang paling mudah... Keadaan ini sangat buruk - dan itu menyelamatkan aku. Aku tahu bagaimana rasanya tidak berdaya dan putus asa.... Sudah saatnya aku menyingkirkan rasa kasihan pada diri sendiri dan melakukan tindakan nyata. Aku memutuskan membentuk ruang sidang terpisah, tempat para perempuan bisa mengutarakan kesengsaraan mereka kepada sesama perempuan..."
Sampai terbentuk inisiatif dari salah satu menantu Dropadi, Utara, menyumbangkan sejumlah harta benda nya yang akhirnya membangun ketahanan ekonomi dan pendidikan bagi kaum perempuan.
"Semua (harta) ini memungkinkan kami membantu mereka yang melarat untuk memiliki rumah sendiri dan membeli barang-barnag untuk memulai usaha. Tidak lama kemudian, pasar kaum perempuan menjadi pusat perdagangan yang subur di kita, karena pemilik-pemilih yang baru ini merasa bangga atas barang dagangan mereka, dan cerdik tapi adil dalam transaksi mereka. Kami melatih mereka yang menaruh minat untuk belajar, menjadi guru bagi anak-anak gadis dan laki-laki. Dan bahkan pada masa sesudahnya, di bawah pemerintahan Parikesit, ketika dunia sudah masuk ke dalam Abad Keempat Manusia dan Kali, roh gelap, mencengkeram dunia dalam cakarnya, Hastinapura tetap menjadi salah satu kota dimana para perempuan bisa menjalani kehidupan sehari-harinya tanpa diganggu.
Dalam kisah ini saya mempelajari betapa manusia berada dalam tangan takdir yang bisa seenaknya saja membelokkan ke dalam jurang ataupun ke dalam pesta yang memabukkan nafsu. Namun manusia tercipta tidak seperti batu yang tak berkehendak, namun sebagai makhluk hidup berakal budi yang berkemauan kuat yang bisa merubah apapun yang diinginkan. Selama ada kemauan positif untuk mengembangkan diri, maka disitu lah kita berada, ditempat yang kita pilih sendiri. Bahkan sampai pemilihan cara menghampiri ajal yang legendaris.
"Semakin banyak orang-orang membujukku untuk tidak ikut serta, semakin kuat tekadku Mungkin itulah masalahku selama ini, memberontak terhadap batas-batas yang ditentukan masyarakat untuk kaum perempuan. Tetapi apa alternatifnya? Duduk, membungkuk diantara para nenek, bergunjing dan mengeluh, mengunyah daun sirih yang sudah dicacah ddengan rahang tak bergigi sambil menunggu kematian? Tidak bisa diterima! Aku lebih baik mati di gunung. Kematian mendadak dan bersih, akhir yang pantas dinyanyikan para penyair, kemenangku yang terakhir di atas istri-istri lain : Dia satu-satunya permaisuri yang berani mendampingi para Pandawa pada petualagnan akhir yang mengerikan ini, Ketika terjatuh, dia tidak menangis, hanya mengangkat tangannya sebagai salam perpisahan yang gagah. Bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?" 



Rangkaian

Hidup adalah serangkaian kejadian, yg saling bertaut tanpa tahu sebelumnya berkaian kemana

Hidup seperti memegang seutas tali, menitinya sambil menikmati kejadian yg hadir d sekitarnya, mengambil peranan yg bisa kita jalani. Menyapa dan berbagi dg orang2 yg ditemui, serta kadang kala melepas tali kita utk serangkaian kejadian bermakna. Dan moment2 itu berakhir, sehingga kita kembali meniti tali hidup kita, ruas demi ruas.

Rasa senang dan sedih, manis dan asam. Rasa marah dan kecewa, pedas dan getir. Rasa bahagia yang menyegarkan. Campur aduk dan membentuk jiwa yang kaya.

Hidup adalah serentetan peristiwa, satu mengantar pada yg lain. Satu mempersiapkan manusia utk berjuta lainnya. Satu dialami dan dipelajari tanpa tahu apa gunanya kelak. Ketika di satu titik masa, coba lihat ke masa lalu dimana keluh kesah mewarnai hati, maka semua tampak logis dan estetis. Everything fall gracefully in its place.

Tanpa perlu ngotot, namun ttp kerja keras
Tanpa perlu memaksa, namun ttp konsisten n persisten
Maka hidup memberikan yg manusia butuhkan dan memfasilitasi agar bs hidup sepenuhnya....

Minggu, 28 Februari 2016

Menulis 1

Untuk menulis ga perlu berumur tertentu, berprestasi tertentu. Yg diperlukan hanyalah keberanian, rasa ingin tahu, keinginan berbagi, sedikit rasa marah, sedikit rasa sedih dan kemampuan ekspresif yg tulus. Mari menulis.

Rabu, 17 Februari 2016

Bising

Media massa dan media sosial sering kali kongkalingkong membungkus isu sedemikian rupa sehingga orang2 lupa apa hal yg bermakna dlm hidupnya. Bergulirnya e-poster ttg kelompok support kepada sebuah kelompok marginal, memicu komentar2 dan pendapat informil yg menyudutkan. Betapa tidak nyan bagi kelompok support itu. Bermaksud membantu malah terinjak injak. Bergulirnya analisa informil ditanggapi dengan tanpa pikir panjang oleh seorang mentri dg larangan. Hebohlah dunia.maya n masyarakat (umum?) ..... mempermasalahkan yg tadinya adem2 saja. Buahnya, diskriminasi kepada kaum marginal semakin nyata. Dan ilmuwan serta tokoh masy (seakan) diuji. Disini terlihat siapa yg turut arus dan makan umpan mentah info yg ga jelas n menyudutkan kelompok ttt. Mana yg berusaha mnerima dan merangkul.
Dan memang ga hanya terjadi kali ini. Sudah berulang kali massa dg mudah termakan isu yg kemudian smkn bulat menggelinding dibungkus "kaidah" agama....
Kapan kita belajar dan lbh bijak? Tampaknya masih akan mjd proses yg panjang.