Selasa, 15 Mei 2012

Siapa sih yang mau rusuh?

Tadi baru saja aku mengantar Teresa berlomba nyanyi bersama di TMII. Setelah berlomba, T minta naek skylift alias kereta gantung. Sehubungan aku juga belum pernah (padahal rumah deket dengan TMII loh!) jadilah aku dan T naik kereta gantung. ketika mengantri, bertemulah kami dengan sepasang ibu dan anak perempuan persis seperti aku dan T. Usia anak tsb pun seusia dengan T meski beda sekolah. Ternyata ngobrol punya ngobrol dengan si ibu, anak tsb katakan bernama F, juga baru berlomba ucap syair. Karena T dan F tampak langsung akrab meski baru saja berkenalan. Maka aku memutuskan untuk mundur sedikit dan mempersilahkan dua orang di belakangku untuk maju, agar aku dan T bisa masuk satu gerbong dengan F dan ibunya itu.



Di tempat antri, F tiba-tiba berbisik-bisik kepada ibunya sambil melirik2 aku tersenyum lucu. Dia langsung bilang dengan polos, "Kok mamanya Teresa sipit ya matanya, Teresa juga... kayak orang Cina..." Aku langsung spontan tertawa lepas dan berkata, "Iya memang ada keturunan Cina dan memang kan Teresa anak Tante jadi sama dong sipit.." Dalam hati aku tertawa geli menyaksikan komentar si F yang sangat polos tanpa pretensi apapun. Berbeda kalo aku ditanya oleh orang dewasa di sikon lain yg mungkin pertanyaan semacam itu dianggap sensitif serta bernada hati-hati. Memang ya judgemental budaya seperti itu terbukti dipelajari bukan terberi.



Di dalam kereta rupanya kami berempat cukup klop. layaknya tour guide, aku dan si ibu menyebutkan beberapa gedung dan pemandangan yg terlintas di bawah. untung ga ada yg parno ketinggian hehehe... Lalu ketika sampai di tempat beribadah, kami, si ibu dan aku, menyebutkan satu per satu tentang nama tempat ibadah dan umat beragamanya masing-masing. Aku senang ternyata respon F dan T cukup baik tanpa memberikan komentar-komentar yang berbau SARA. Karena aku sangat memperhatikan hal ini, bahwa banyak anak di sekitar masyarakat pada umumnya akan memberikan komentar-komentar yang menunjukkan bahwa pembedaan SARA dan mengutamakan golongannya sendiri sudah 'ditularkan' sejak dini. Sehingga anak cenderung merasa curiga dan membedakan orang lain berdasarkan golongan.



Ketika kembali melewati rumah ibadah ketika dalam rute kembali ke stasiun tempat kami naik, sang ibu berkomentar dengan nada ringan cenderung bangga, "Cuma di Indonesia nih bisa ada berbagai rumah ibadah berjejeran seperti ini..." Aku berkomentar, "Betul, bu. Mangkanya sangat menyebalkan kalo ada oknum-oknum yang bikin rusuh." Ibu itu menanggapi, "Iya. memang... makanya saya males liat berita, yg penting sy bisa kerja. memang jadi apatis sih ya... tapi mau gimana lagi..." Aku pun menanggapi menyetujuinya.



Aku yang mendengarnya merasa senang sekaligus terkejut, karena topik semacam ini berani diucapkan olehnya, mengingat banyak orang, termasuk aku, sangat berhati-hati membicarakan topik seperti ini. Mungkin karena teringat berbagai isu kerusuhan berlatar belakang perbedaan SARA. Dan ditambah lagi fakta bahwa kebetulan si ibu memakai kerudung yg identik dengan perempuan muslim, yang merupakan kaum beragama yg mayoritas di masyarakat kita. Dan saya, yg notabene berwajah Cina ini tentu dengan mudah disangka non muslim (dan memang begitu keadaannya). Meski aku banyak juga mengenal dan berteman baik dengan perempuan muslim berjilbab yang moderat, tetap aku kagum dan senang mendengar komentar si ibu yang membuatku damai.Artinya kami berdua berhasil membangun komunikasi yang mengabaikan atau meminimalisir prasangka buruk terhadap kelompok/individu yang berbeda. Artinya juga kami mempraktekkan toleransi keberagaman. Artinya kami berhasil menolak segala provokasi bahwa berbeda itu salah, berbeda itu harus dilawan. Karena kami berdua yg nyata berbeda ini bisa saling berinteraksi dengan damai bahkan memiliki kebanggaan yg sama, yaitu bisa hidup di Indonesia yang amat plural ini.



Aku menjadi semakin yakin bahwa kejadian2 provokatif kerusuhan berdasarkan isu SARA terutama perbedaan keyakinan, yg akhir-akhir ini marak terjadi, hanyalah "rekayasa" pihak2 yg tidak bertanggungjawab dan rendah hati nuraninya. Karena ketika aku berhubungan dengan berbagai macam masyarakat dengan bermacam SARA, ternyata perbedaan itu tidak menciptakan permusuhan. Bahkan persahabatan bisa terus berlangsung. Perbedaan malah membuat aku dan teman2ku itu 'kaya'. Aku pun jadi merasa bahwa bhineka tunggal ika itu tetap bergaung dalam masyarakat secara murni.



Jadi, semakin juga menguat pertanyaan di hati saya, sebenarnya siapa sih yang mau rusuh?