Rabu, 24 Maret 2010

Penguatan

Kulihat kesedihan dimatanya kala menggandeng pergi peri mungilnya, di bawah naungan malaikat bumi, penunjuk arah hidupnya kini.
Mungkin benar ia menaat janji setianya
Mungkin tepat langkahnya untuk menjauh
Tapi hati dan perasaan tak pernah bohong
Emosi tetap tercermin samar dari matanya
Bahwa ia inginkan cara lain
Inginkan cara yang lebih membawa keamanan emosional utuh nan ideal bukan hanya keamanan fisik yang fana.

Tapi tentu, ia tidak bisa melampaui realita
Bahwa kini kakinya menginjak tanah lain
Biarkan akar tetap kokoh berpusat pada ibu pertiwi namun bebaskan batang, dahan dan ranting kemanapun ia berguna
Kemanapun pilihannya berlabuh.
Meski sering terasa labil akar ini, sering mempertanyakan tak henti
Hanya tanda tanya mengambang
biarkan...
Karena hidup tak bertugas untuk menyediakan jawaban
Hidup hadir secara lugas tapi lembut, bebas diartikan oleh masing-masing jiwa kelana

Pertanyaan dan konflik batin mungkin akan dibawa sampai ke surga
Biar Yang Kuasa, sang Empunya Hidup yang menjelaskan
Laksana guru yang bijak nan adil

Hidup hanya sekali, dengan bermilyar kesempatan dan sejuta hal indah.
Hidup tentang menjalani pilihan, terbuka terhadap pelajaran dan dinamika tak henti.

Laksana dongeng, ia mencaiptakan dunianya sendiri
Menempatkan masing-masing puhak pada posisi yang dianggap cocok.
Kini, meski kesedihan mewarnai mata hati, tapak hatinya telah memilih.
Kesanalah ia akan berjalan
Kesanalah ia mencurahkan diri
Disanalah komitmennya sudah ditetapkan
Tak ada penyesalan dan dendam
Hanya siklus hidup dan perkembangan pribadi alasannya

Meski rasio telah sempurna, emosi tak kunjung menguap sempurna
Lembab dan mungkin akan ditumbuhi lumut dan berkerak
Entahlah...

Jiwanya terus menghibur dirinya sendiri
Tak putus mencari cahaya penerangan hati
Agar tetap dapat menopang kekasih-kekasihnya, yang menjadi komitmen hidupnya kini

Selasa, 09 Maret 2010

Kecanduan Buku

Membaca buku merupakan salah satu hobi saya sampai sekarang yang cukup konsisten dijalani. Meski sempat terhenti ketika Teresa lahir karena terserapnya energi dan waktu ke pernak pernik pengasuhannya. Namun mulai (akhir) tahun kemarin, perlahan saya mulai bisa menyisihkan waktu untuk membaca. Membaca di sini artinya, membaca buku selain koran berita dan materi yg berhubungan dengan pekerjaan. Lebih spesifiknya buku-buku fiksi (atau non fiksi, jika ada yang menarik).

Berikut adalah ulasan singkat dari beberapa buku yang telah saya baca akhir-akhir ini :

1. "Kau Panggil Aku Malaikat" by Arswendo Atmowiloto :

Buku ini sudah cukup lama saya selesaikan membacanya. Jadi isi ceritanya agak lupa hehe... Intinya tentang seorang malaikat yang bersama seorang anak mengamati kehidupan berbagai orang yang akan dipanggil olehNya. Seperti biasa, karya Arswendo, membuatku kagum bagaimana beliau membuat pembaca masuk ke dalam situasi sehari-hari yang nyata dan mampu menyoroti ketidakbiasaan yang ada. Imajinasinya juga terasa sangat dekat dengan isu sehari-hari namun dikemas dengan menarik dan dramatis tanpa memaksa. Deskripsi karakter yang baik dan unik menyerap perhatian saya. Isu-isu sosial riil dipotret dalam masing-masing karakter dan alur hidupnya masing-masing. Salah satu buku Arswendo lagi yang worth to read.

2. "Ritual Gunung Kemukus" karya F. Rahardi :

Buku ini saya beli setelah melihat ulasannya di harian Kompas. Saya tertarik membelinya karena menyukai buku-buku yang berangkat dari isu sosial masyarakat yang riil. Demikianlah buku ini berdasar. Isu ritual seks yang dipercayai masyarakat untuk meluluskan permintaan pribadi mereka menjadi latar dan isu utama yang mengkaitkan beberapa karakter dalam buku ini. Jika suka dengan novel chicklit yang berbau pop, mungkin buku ini jauh dari harapan anda. Karena yang dalam buku ini lebih kental menggambarkan pengharapan dan dinamika hidup masyarakat golongan ekonomi bawah. Bagaimana mereka berusaha survive ditengah realita hidup dan harapan tinggi akan kesuksesan materiil dan badani. Perubahan dinamika pribadi karakternya juga mewakili fenomena manusia klise, dari pribadi yang menjunjung kejujuran dan kesejahteraan hati nurani, berubah menjadi pribadi yang mengutamakan materi dan mengesampingkan hati. Mungkin cenderung miris nuansanya. Namun saya cukup senang cara penulis mengangkat isu riil masyarakat yang khas Indonesia dan masalah-masalah kehidupannya.Meski ada teman lain yang membaca buku ini mengatakan bahwa penulis terlalu banyak memasukkan berbagai topik ke dalam buku ini, saya sendiri tidak menyesal untuk membeli dan membacanya. Suatu buku yang memotret keadaan sosial selalu saya hargai :)

3. "Winner Stands Alone" karya Paulo Coelho :

Buku ini saya beli setelah sekian lama tidak membaca karya Sir Coelho. Beliau bagi saya penulis yang amazing, seperti yang banyak orang setujui, saya yakin. Meski nge-fans dengan beliau, ternyata saya baru sedikit ya, membaca karya nya. Dalam memori saya, baru ada 2 buku. Wah, gawat kan... Masak ngaku fans tapi baru baca 2 buku dari sekian banyak buku karya beliau. Maka, saya bertekad membaca buku ini setelah menimbang-nimbang harganya yang lumayan untuk kantong saya. Ternyata, buku ini cukuplah mengobati kerinduan saya kepada Sir Coelho. Meski cukup beda nuansanya dengan The Alchemist, yang merupakan buku pertama yang saya baca, hehe.... (ketauan ya, saya ketinggalan banget...). Buku ini menceritakan dinamika hidup kaum selebritis dan kaum yang ingin masuk ke dunia selebriti itu. Latar belakangnya adalah pemberian penghargaan international di bidang film, yaitu penghargaan Cannes. Cukup khas beliau, mengangkat nuansa Eropa yang klasik, bergairah dan 'smart'. Materi alur cerita dan karakter juga digambarkan secara matang, kaya dan menggambarkan kepioniran beliau dalam bercerita dan berwawasan. Meski buat saya, membutuhkan kesabaran untuk mengikuti alurnya, karena detil dan keberagaman deskripsi serta cerita yang ingin disampaikan pada suatu moment. Dasar cerita sebenernya tidak terlalu istimewa, maksudnya cukup bisa ditemukan di buku-buku lain. Namun bagaimana membangun alur dan menggambarkan karakter serta dinamika mereka, kaitan satu sama lain begitu matang dan baik. Meski pelajaran hidup yang biasa menjadi trademark beliau tidak begitu mudah ditarik secara tersirat. Pesan-pesan tersurat tentu banyak... tersebar di berbagai dialog karakter. Seperti, selalu ada kesempatan untuk menjadi diri sendiri di tengah kepalsuan materi duniawi, orang terdekat belum tentu selamanya menjadi malaikat baik untuk kita, dan pesan inti dari buku ini yang saya tangkap adalah kesuksesan materiil tidak menjamin kebahagiaan hati dan jiwa. Bahkan digambarkan dengan sangat sinis, merusak otentisitas seorang pribadi. Jadi jika senang akan cerita dinamika dunia gemerlap yang cenderung palsu bisa mencoba membaca karya Sir Coelho yang satu ini.

4. "Halo, Aku dalam Novel" karya Nuril Basri :

Novel ini saya pinjam dari adik saya, yang katanya iseng saja membeli novel ini. Karena sedang ingin membaca buku dan buku sebelumnya sudah habis terbaca, ya saya coba saja membaca buku dengan sampul bergrafis menarik ini. Inti dari buku ini seperti tampak dari judulnya, adalah seorang tokoh pemuda yang menulis sebuah novel dan bagaimana novel itu menjadi bagian dari realita hidupnya. Kalau ditilik lebih dalam, ada isu psikologis yang cukup kental. Nuansa novel ini cenderung suram dan di beberapa bagian terekam adegan-adegan yang aneh dan tidak nyaman dibaca menurut ukuran saya. Pesan yang disampaikan tidak begitu kuat saya tangkap. Dasar cerita dan karakter-karakternya cukup menarik sebenarnya, hanya saya merasakan alur yang kurang greget dan ya itu tadi, ada adegan-adegan yang mungkin dimaksudkan untuk membuat pembaca excited justru membuat saya merasa sebaliknya, bad mood dengan novel ini. Penutupnya memang happy ending, jadi tidak terlalu muram lagi. Jadi, karena judulnya coba-coba membaca, yah tak perlu disesali sudah membacanya. Lain cerita, lain pesan dan ciri khasnya.

5. "Pintu Terlarang" karya Sekar Ayu Asmara :

Novel ini adalah novel thriller indonesia pertama yang saya baca. Tadinya saya tidak tahu persis apa cerita dalam buku ini, karena juga tidak mengikuti munculnya film dengan judul yang sama. Saya tertarik membaca karena profil penulisnya yang mengagumkan. Apalagi setelah membaca buku sebelumnya (no.4 di atas), saya seperti mencari buku yang mengobati kekecewaan pada buku sebelumnya itu. Ternyata baru beberapa lembar saya membaca buku ini, saya benar-benar tidak menyesal dan mendapat penghiburan dari kekecewaan sebelumnya. Saya seperti terserap pada gaya magnet yang dihadirkan penulis dalam alur cerita yang padat dan apik serta penggambaran karakteristik tokoh yang matang dan kuat. Alur cerita dan karakter tokoh yang kuat diberikan dengan detil deskripsi serta pengulangan-pengulangan yang indah. Alur yang berkembang diramu sedemikian rupa sehingga membuat pembaca enggan melepaskan buku ini dari awal sampai akhir. Cerita ini bernuansa 'gelap' dan memang menegangkan. Secara pribadi saya memiliki kesan ada keseragaman nasib kaum lelaki di dalam kisah ini, yaitu hampir semuanya memiliki sifat atau nasib yang buruk, bahkan tokoh utama cerita ini yang adalah laki-laki, merupakan korban yang sangat tragis hidupnya. Tak banyak yang bisa dibocorkan mengenai konten cerita, karena akan merusak semangat pembaca yang belum membaca buku ini. Intinya, kalo belum tau cerita tentang buku maupun filmnya, saya sarankan mencoba membaca buku ini. Isu dasar dari cerita ini membuat saya semakin salut kepada penulis, yaitu mengenai kemanusiaan, terutama kekerasan pada anak. Cukup baik menggambarkan efek tragis secara dramatis dari penyiksaan anak, meski formatnya fiksi. So, two (or more) thumbs up for this book! :D

6. "The Book of The Lost Things" karya John Connolly :

Cover buku ini mengingatkan pada buku-buku dongeng anak-anak yang banyak saya baca jaman kecil dulu. Dan memang di dalamnya berisi serupa dengan dongeng anak-anak, hanya dengan materi yang lebih cocok untuk orang dewasa. Jangan sekali-kali mencoba membacakannya untuk anak-anak, deh. Nanti pasti jadi panjang urusannya hehehe... Buku ini menceritakan perjalanan hidup David sejak kecil dengan keluarganya, Ayah, Ibu, Ibu tiri dan adik tirinya. Buku ini berlatar belakang suasana perang di dunia Barat pada jaman dulu. Kesan keseluruhan memang suram namun bagaimana penulis menjalin cerita di bagian-bagian akhir, sungguh mempesona dan membahagiakan secara tulus. David diceritakan sangat suka membaca, kebiasaan yang ditularkan dari Ibu kandungnya. Nasib suramnya berawal dari sang Ibu kandung yang mengalami sakit keras, yang amat mempengaruhi kepribadian David. Ketika akhirnya Ibu meninggal, David berproses dalam kedukaan bersama sang Ayah. Ayah menemukan pengganti istrinya, dan David mendapat keluarga tiri yang baru. Kehadiran keluarga baru ini ditolaknya sebisa mungkin, karena terbayangi oleh memori Ibu kandung yang tak kunjung usai. Pindahnya David ke rumah yang baru, mengantarnya ke pengalaman di dunia yang berbeda dengan dunia nyata tempatnya hidup. Di dunia inilah ia banyak mendapatkan pengalaman menakjubkan serupa cerita-cerita dongeng yang pernah ia baca. Dalam misi mencari jalan pulang, David berkembang menjadi pribadi yang semakin matang dan dewasa. Dalam dunia dongeng yang ia alami, saya menarik pelajaran yang mungkin ingin disampaikan oleh penulis. Bahwa masing-masing dari kita memiliki dongeng hidup masing-masing. Bagaimana dongeng itu menjadi nyata dan seperti apa kita menjalani dinamika dongeng kita itu, tergantung pada diri kita sendiri. Bila kita menghadapi monster, seperti yang beberapa kali dihadapi David, mungkin sekali monster itu adalah ciptaan kita sendiri sehingga hanya kita yang bisa mengalahkannya. Alur cerita buku ini memang mengedepankan keseruan ala dongeng. Jadi ada saatnya saya merasa agak bosan dan kurang sabar karena merasa tidak sampai-sampai pada inti atau belum menangkap pesan yang ingin disampaikan penulis. Hm, rupanya saya cenderung tidak sabar ketika membaca buku ini. Namun endingnya yang indah membuat saya tidak menyesal membaca buku ini dan merasa senang sudah membacanya.

7. "Perahu Kertas" karya Dewi 'Dee' Lestari :

Buku ini buku terakhir yang saya baca sejauh ini. Terus terang buku ini saya simpan terakhir untuk menghibur diri saya setelah membaca buku-buku yang lumayan menguras energi dan emosi seperti buku no.6 tadi. Setelah membaca buku-buku yang tadi saya ungkapkan, buku Dee ini sangat menyegarkan karena nuansa yang ceria dan positif. Meski pastilah di dalamnya ada masa-masa patah hati dan kesulitan secara emosional dari tokoh-tokohnya. Namun karena sejak awal sampai akhir selalu diselimuti nuansa cerah, maka dalam membaca saya seperti terhanyut dan mengkonsumsi sebuah cerita ftv yang berbobot. Nge-pop tapi berisi dan berkesan. Mungkin karena pada dasarnya, kisah cinta tak pernah basi untuk dikupas. Cerita berputar pada cerita cinta dan kehidupannya Kugy dan Keenan. Dua manusia yang sejak awal diceritakan berjodoh namun tak kunjung bersatu. Selain kisah cinta, buku ini juga bercerita mengenai perjalanan pencapaian cita-cita jiwa dan bagaimana hidup bisa begitu dinamis dan harmonis menyatukan apa yang sudah berjodoh, apakah jodoh cinta ataupun profesi impian. Buku ini memang sangat mudah dibaca dan dinikmati. Kata-kata dan alurnya nyaman serta cukup mudah menarik pembaca untuk terus penasaran membaca sampai akhir. Endingnya juga tidak terlalu simpel namun membahagiakan. Emosi yang ditampilkan dalam buku ini terasa pas dan tak berlebihan seperti sinetron. Demikian juga alur cerita yang cukup natural. Meski tidak seberat novel Supernova, saya senang ada prinsip-prinsip alam yang terus disisipkan Dee, seperti tidak ada kesengajaann yang terjadi dalam hidup ini. Semua kejadian di dunia ini ada alasannya masing-masing. Jadi, tak berlebihan jika saya berkata, saya mengagumi cara penulisan Dee.

Fiuh! Akhirnya selesai juga tulisan ini. Tak mudah ternyata membuat ulasan buku-buku ;). Pasti yang baca juga pegel ya... hihihi...

Dari 2 buku karya penulis non Indonesia serta 5 buku karya penulis Indonesia, saya merasa, kok buku dari penulis non Indonesia terkesan lebih berat dan njelimet dari segi materi dan alur cerita ya? Apakah karena karakter penulis yang lebih kompleks, atau karena tuntutan pembaca (penerbit) dengan karakter yang berbeda atau memang kemampuan saya pribadi saja sehingga saya lebih mudah mencerna buku dari penulis lokal? Entahlah. Satu hal yang jelas, semakin saya banyak membaca buku, semakin merasa teradiksi dan ingin lagi dan lagi dan lagi membaca lebih banyak buku. Bagaimana dengan anda? :) Happy reading to all!

Senin, 08 Maret 2010

Bukan Sekedar Pentas Seni

Hari Sabtu kemarin, Pentas Seni (Pensi) di TK tempat anakku bersekolah telah digelar. Bukan Pensi yg jor-joran tapi cukup memberi kesempatan untuk anak tampil secara membanggakan dan tentu jg cukup membuat para orangtua dan guru-guru sibuk bin sibuk. Meski ga sampai selesai menyaksikan acara Pensi ini, tapi kesanku akan acara ini : yah not bad lah... ;)

Teresa sendiri termasuk anak yang enjoy dengan penampilannya di panggung. Teresa dan teman-teman dari kelompok bermain kebagian menari kodok hihihi... Kebayang kan gaya tarian kodok yg melompat-lompat dan mengharap hujan turun. Teresa cukup excited memakai kostum kodok yg serba hijau dari kepala hingga kaki. Meski panas, pastinya..., tapi dia tetep setia memakainya selama kurang lebih 1 jam dari awal acara sampai pentas di panggung. Untung, urutan tampilnya bukan urutan belakang-belakang amat. Jadi waktu menunggu pentas tidak terlalu lama. Di panggung bahkan Teresa senyam-senyum sendiri dan langsung menari ketika lagu iringan terdengar. Hebat lah pokoee... hehehe...

Selain laporan pandangan mata dari acara di hari H, berikut seulas share tentang kepanitiaan Pensi.

Aku sendiri sebenarnya tergabung dalam panitia yang tersusun dari beberapa orang tua murid. Aku diminta membantu seksi dana. Wah, kalo dilihat dari job desc. seksi dana, males bener yak... krn harus cari dana sekian banyak untuk kelancaran acara ini. Mau dibolak balik, kan tetep ya dana yg jadi highlite hehehe... Tapi karena pengen bantu, secara ini juga pertama kalinya terlibat dalam Pensi, so aku berusaha santai dan coba bantu sebisanya.

Awalnya, dalam persiapan Pensi, aku masih sempat hadir dalam rapat panitia. Tapi menjelang akhir-akhir mendekati hari H, justru aku sering (bahkan kayanya selalu hehe) tidak hadir, karena ada saja pekerjaan di hari Sabtu. Maklumlah pengasong... Jadi aku berkoordinasi saja di hari-hari lain dengan guru dan teman sesama panitia.
Ketidakhadiranku ini sebenarnya bagus juga untuk menghindari gejolak (halah bahasanya hihihih) emosi dan energi pribadi.

Aku pribadi, merasa ada sedikit ketidakcocokan pola pikir dalam proses persiapan pensi. Maka dengan kesadaran akan ketidakcocokan ini, aku pun merasa cukup berperan seadanya, agar tidak banyak mengkonsumsi emosional dan energi yg tidak perlu.
Sepertinya terkesan egois dan cari aman, ya. Well, ga pa-pa lah kalo memang dianggap begitu. Karena kalau aku mengambil posisi sebaliknya, wah ga kebayang deh apa yang terjadi. Dengan posisi dalam panitia ini, aku belajar untuk tidak mudah jumawa/over PD bahwa pemikiran dan ideku lah yang terbaik. Aku belajar untuk realistis dan menyesuaikan diri dengan tuntutan situasi yang ada. Konsep yang ideal tidak bisa tumbuh di tanah yang berbatu dan liat. Seperti perumpamaan religius, bahwa bibit yang baik tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, bukan tanah yang berbatu. Bibit/ide yang baik akan bisa digunakan ketika sumber daya nya cocok dan subur. Bukan mencap kondisi panitia dan pihak sekolah adalah tempat yang berbatu alias tidak subur, namun setiap ide memiliki ruangnya masing-masing untuk berkembang. Tidak mudah untuk memupuk sebuah ide dan mewujudkannya menjadi buah yang berguna bagi banyak orang. Dengan kata lain, aku juga belajar untuk menjadi lebih pintar membaca situasi dan menentukan peranan dalam suatu lingkungan.

Di luar refleksi pribadiku, panitia keseluruhan plus guru-gurunya dan anak-anak terutama, menciptakan prestasi tersendiri dengan berhasil mengadakan pensi ini. Mulai dari pelatihan tarian, drum band, paduan suara dan aksi-aksi lainnya, yang memakan banyak energi dan ketekunan. sudah sejak beberapa bulan yl persiapan latihan ini dilakukan. Anak-anak pun terlatih untuk tampil di depan umum, melatih potensi diri dan yakin akan kemampuannya sendiri. Dengan berproses sejak latihan sampai tampil, anak belajar untuk bekerja secara ulet dan bahwa hasil kerja keras akan mendapat apresiasi yang sebanding. Meski tentu dibumbui tangisan, rengekan, dan kelelahan yang menambah keseruan prosesnya. Para panitia orangtua pun tak kalah hebatnya. Mengingat panitia dan guru didominasi oleh kaum Ibu, maka kekuatan perempuan lagi-lagi pantas mendapatkan applause, meski tidak mengecilkan bantuan kaum laki-laki yang turut berperan.

Jadi Pensi kemarin ternyata bukan Pensi biasa ya... ;)