Selasa, 25 November 2008

Khayalanku

“Kriiiingg…..!” Suara telpon berdering-dering mengejutkanku. Lho, ternyata yang berbunyi adalah telpon di atas meja kantorku. “Kantor?!” pikirku heran. “Sejak kapan aku bekerja di kantor ini?” aku berkata dalam hatiku tak habis pikir. Aku lihat sekelilingku. Ada beberapa meja yang tertata rapi dengan nuansa ceria seperti sekolah Taman Kanak-kanak. Dering telpon masih terus berbunyi seakan-akan menyuruhku mengangkat telepon itu. Maka aku mengangkat telpon itu meski tidak tahu mengapa aku berada di sini. “Halo …, ” kataku menggantung. Suara di seberang menjawab, “ Bisa saya bicara dengan Mbak Irena?” Aku menjawab, “Ya, saya sendiri Bu. Ini dengan siapa ya?” Suara itu menjelaskan, “Ini Ibunya Michael. Saya ingin memberi tahu, hari ini Michael tidak bisa datang ke Klinik, karena sakit kepalanya kambuh lagi. Maaf ya, Mbak, sudah beberapa kali Michael tidak bisa ikut terapi dengan Mbak di Klinik.” Aku menjawab seadanya, “Iya, Bu tidak apa-apa.” Ibunya Michael mengucapkan salam terburu-buru, “Terima kasih, Mbak. Selamat siang.” “Selamat siang, Bu,” aku menjawab salamnya dengan pikiran masih bertanya-tanya.
Belum habis rasa bingungku, tiba-tiba terdengar suara anak-anak. Suara yang menurutku menyenangkan untuk didengar, sehingga menimbulkan senyuman sekilas di wajahku. “Tante, aku pingin duduk di kursi merah ya.” “Kalau aku pingin di kursi sebelah Tante! Boleh, ‘kan?” demikian celoteh beberapa anak. Kemudian aku mendengar suara perempuan dewasa menimpali dengan suara lembut namun tegas, “Iya, kalian bebas memilih dimana kalian mau duduk. Sekarang jangan keluar ruangan ini dulu ya, Tante mau memanggil Mbak Irena dulu untuk membantu Tante hari ini, oke?” “Okeee…!” terdengar suara anak-anak itu menjawab bersamaan. Lalu muncullah perempuan itu, yang tadi hanya kudengar suaranya.
Ya ampun! Itu ‘kan Anna, teman kuliahku dulu. Kenapa kami ada di ruangan yang sama? Kami sudah lama tidak bertemu sejak kami lulus bersama-sama dari bangku kuliah. Memang menangani anak-anak adalah spesialisasi yang kami ambil sebagai psikolog, ilmu yang kami pelajari ketika kuliah dulu. Anna dan aku adalah sahabat karib. Ketika Anna memanggilku dengan seruan bersemangat, aku pun langsung menyambutnya dengan senyuman ceria. Rasa bingung yang tadi memenuhi pikiranku hilang seketika itu juga. Semangat lain juga muncul karena aku akan bertemu anak-anak, yang selalu membawa energi positif tersendiri bagiku. Kegiatan selanjutnya aku jalani tanpa tanda tanya lagi, seakan-akan aku sudah lama menjalani profesi impianku sebagai seorang psikolog anak profesional. Ah, betapa aku merasa puas akan diriku hari ini.
Belum habis rasa puas itu, tiba-tiba aku mendengar suara musik dari sebuah Band. Di panggung telah terlihat teman-teman lamaku yang pernah sama-sama tergabung dalam satu Band ketika kami SMA dulu. Mereka adalah Elmo sebagai drummer memegang stick pemukul drum dengan mantap, Deni sebagai gitaris bersiap memetik gitarnya, dan Melani yang sudah siap menekan tuts-tuts organnya dengan indah. Tapi …, tunggu dulu, kok posisi penyanyi dalam band itu masih kosong ya? Sayup-sayup aku mendengar para penonton mengelu-elukan nama penyanyi yang kelihatannya belum muncul di tengah panggung.
Wah! Ternyata mereka semua menyerukan namaku! Belum habis terpana mendengar betapa banyak orang yang menginginkan kehadiranku di panggung, aku bertambah kaget melihat betapa indah dandananku malam ini. Tak pernah aku merasa sehebat ini. Tak terasa aku sudah berada di tengah-tengah panggung memegang microphone dengan erat. Band pengiring pun mulai memainkan intro lagu yang terasa akrab bagiku. Aneh, aku tidak tahu lagu ini sebelumnya, tapi aku bisa menyanyikannya seakan merupakan bagian dari jiwaku. Seiring lagu mengalun, aku bernyanyi tanpa kesulitan, seakan menyuarakan apa yang selama ini terpendam. Seolah inilah sesuatu yang selama ini aku inginkan tanpa sadar. Entah kapan aku pernah merasa melayang seperti ini. Mungkin begini rasanya ekstase yang dialami para penyandu narkotik ketika memasukkan barang-barang maut ke dalam darah nadi mereka.
Lagu pun selesai kulantunkan dengan sukses. Para penggemarku bersorak tak henti sambil berteriak memanggil namaku. Belum sampai aku di ujung panggung yang megah itu, aku merasa terjatuh ke dalam lorong sepi. Ketika aku sadar, ternyata aku dikelilingi rak-rak buku yang tak terhitung banyaknya. Aku sedang berdiri di depan sebuah rak yang berisi buku-buku mengenai spiritualitas, pencerahan jiwa yang dicari semua manusia secara sadar atau bawah sadar. Aku memegang sebuah buku karangan Karen Armstrong yang terbaru. Dia salah satu penulis yang kukagumi karya-karyanya. Belum habis aku merasa heran dengan kontrasnya suasana hiruk pikuk panggung dengan senyapnya ruangan penuh rak buku ini, aku dikejutkan oleh sebuah suara yang berbisik di belakangku, “Hey, jangan melamun ‘Na. Itu buku Armstrong yang terbaru ya? Wah, kamu beruntung bisa membacanya untuk pertama kali. Ya sudah, jangan kelamaan melamun, cepat taruh buku itu di tempatnya. Kita masih harus mengatur kembali buku-buku di bagian Fiksi.” Aku langsung menoleh ke arah suara itu, dan aku melihat Dilla, salah satu teman akrabku sejak kecil. Sedari dulu kami memang penggila buku. Kami bahkan bercita-cita membuka perpustakaan umum bersama. Cita-cita yang belum terwujud sampai sekarang. Namun impian itu tetap menjadi pengikat spesial bagi persahabatan kami.
Tanpa menunggu jawabanku, Dilla langsung membalikkan badannya dan melangkah pasti ke bagian Fiksi. Aku pun menaruh buku tadi di tempatnya dan mengikuti Dilla dari belakang. Aku memandang berkeliling dengan bersemangat ke semua buku yang seakan mengawal langkah kami. Semua buku itu menghapus rasa ekstase yang menggebu-gebu, yang tadi aku rasakan ketika menyanyi di atas panggung. Rasa puas hati ketika menghadapi anak-anak sebagai seorang psikolog pun terbang entah kemana. Buku memang selalu menumbuhkan rasa damai khusus dalam hatiku. Seakan mengobati segala kegundahan yang pernah kualami. Aku merasa bukulah ensiklopedi yang dikirimkan Tuhan melalui para penulisnya, sehingga membantu para pembacanya tercerahkan.
Aku pun memperhatikan dengan asyik judul-judul buku yang aku lalui. ‘Selasa bersama Morrie’, buku yang sangat menginspirasikanku tentang kematian dan tentunya juga tentang kehidupan, demikian pikirku. Lalu aku sampai di bagian fiksi, yang tak kalah menariknya. Ada berbagai judul teenlit, chicklit sampai beberapa novel karya Marga T. dan Sidney Sheldon. Wah! Aku bangga bisa mempunyai perpustakaan selengkap ini. Akhirnya aku tahu, perpustakaan ini adalah perpustakaan yang aku dan Dilla miliki. Aku mengetahuinya dari selembar pengumuman yang tertempel di salah satu dinding yang aku lalui tadi. Di situ pun dicantumkan bahwa tidak ada biaya yang ditarik bagi para pelajar dan mahasiswa. Memang itulah salah satu misi kami untuk mendirikan perpustakaan, memberikan akses tanpa batasan biaya bagi para generasi muda sehingga mereka memiliki wawasan yang luas. Ah, betapa membahagiakan jika setiap impian bisa terwujud seperti ini. Pasti surga akan kehilangan pamornya, jika dunia seakan mampu menjadi taman firdaus bagi para manusia pemimpi untuk merealisasikan impiannya.
Ketika aku sedang tersenyum-senyum sendiri… tiba-tiba, aku mendengar suara anak kecil yang menggemaskan memanggil-manggil, “Mama, Mama …” Perlahan, kubuka mataku yang hanya bisa melihat sebersit cahaya dengan warna-warni yang tak jelas sosoknya. Setelah mampu menyatukan kesadaranku, aku berhasil menemukan sumber suara menggemaskan itu. Ya ampun! Ternyata itu suara Kiyan, anak laki-lakiku. Ternyata semua pengalaman tadi cuma mimpi. Pasti tidurku nyenyak tadi, sampai merasa mimpi tadi begitu nyata.
Ketika aku menoleh, Kiyan sedang berdiri memegang pinggiran tempat tidurnya yang berpagar. Ia menatapku lugu dengan mata sayu karena masih menyimpan kantuk. Rupanya ia terbangun karena celananya basah. Ia pun seperti biasa menunjuk-nunjuk celananya, sambil berceloteh lucu dengan nada merengek, “Ma, pis… Ma, pis… ,” yang artinya, “Mama, aku pipis.”
Setengah sadar dari mimpiku, aku bangkit dari tempat tidurku yang bersebelahan dengan tempat tidur Kiyan. Aku tersenyum kepada Kiyan sambil berkata lembut, “Ya, sayang. Pipis, ya? Sini, Mama bersihkan.” Aku langsung melepaskan celana basahnya dan mengangkatnya untuk dibersihkan, kemudian memakaikannya celana yang baru. Setelah tenang kembali, aku angkat dia ke dalam dekapanku. Benar saja dugaanku, tak berapa lama kutimang-timang, ia kembali terlelap dengan mudahnya. Terlihat wajahnya yang damai kembali beristirahat. Perlahan kuletakkan dia di dalam tempat tidur berpagarnya.
Aku pun kembali merebahkan badanku di atas tempat tidurku. Saat itu aku teringat lagi akan apa yang aku alami di mimpi tadi. Aku pun tersenyum-senyum sendiri. Mengingat betapa bahagianya aku tadi, bisa mencicipi semua profesi impianku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan menoleh memperhatikan Kiyan yang tertidur dengan nyaman.
Semua profesi dalam mimpi tadi memang amat indah. Namun kenyataan yang aku miliki tidak kalah menariknya. Aku adalah seorang ibu rumah tangga. Aku telah memiliki seorang putra, Kiyan, yang sekarang telah berusia 18 bulan. Putra yang amat kukasihi dan selalu membuatku bangga karena berkembang dengan sehat dan cerdas. Aku pun istri yang berbahagia karena memiliki suami, Mas Argya, yang selalu menyayangi aku dan Kiyan dengan setulus hati. Kami hidup sederhana dan berpandangan positif terhadap hidup. Mas Argya amat mendukung keinginanku untuk tetap mengasuh Kiyan sendiri, tanpa bantuan orang lain. Ia juga membantuku untuk tetap dapat mengaktualisasikan diriku dengan memberikan ruangan kecil di sebelah kamar kami. Ruangan itulah tempatku membaca buku, mengetik puisi-puisi sederhana, melukis Kiyan yang sedang bermain di ruang tengah, atau sekedar duduk santai memandang jalanan yang ramai. Dengan semua kegiatan itu, aku tak pernah merasa bosan di rumah.
Inilah surgaku di dunia fana ini. Aku telah meraih harta yang tak tergantikan, yaitu mewujudkan impian terbesarku untuk memiliki keluarga. Impian-impian lain untuk menjadi seorang psikolog anak profesional, seorang penyanyi, dan seorang pustakawati, pupus dengan sendirinya seiring langkahku mengasuh Kiyan. Tak kurang bahagia diriku dalam menjalaninya. Ada kepuasan yang tak ternilai dan tak akan tergantikan ketika mengasuh Kiyan. Aku percaya, jika kita bisa menikmati mimpi ketika tidur dan mewujudkan impian utama kita dalam kehidupan nyata, maka kita akan menjadi manusia sempurna. Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar: