Anak jalanan adalah sebutan bagi semua anak yg beraktivitas di jalan. Mulai dari yang menjadi pengamen sampai yang mengemis. Mereka pada dasarnya adalah korban. Korban kekerasan dalam berbagai bentuk. Mulai dari kekerasan sistematik seperti kemiskinan (atau pemiskinan?), kekerasan fisik, emosional, seksual dan lainnya. Mereka seharusnya termasuk dalam pihak yg dilindungi negara dalam UUD. Namun prakteknya, seringkali ditemukan berbeda. Bukannya sy katakan selalu, tapi sering kali dan yg biasanya ditemukan seperti itu. Artinya, memang ada beberapa pihak yg sudah berusaha memanusiakan mereka. Salut utk mereka ini.
Oleh pihak non empatik kepada anak jalanan, mereka dianggap sebagai sampah. Dianggap mengotori. Namun seperti yg pernah sy tuliskan secara pribadi bertahun-tahun yg lalu, mereka itu cermin kebobrokan masyarakat. Cermin perilaku kita sendiri. Betapa kita kurang peduli dan kurang memperhatikan mereka yg termarginalkan sehingga melahirkan anak-anak yg terdorong keluar dan berkarya di jalan. Kita membiarkan ego kita berkembang tanpa membantu mereka yg mengulurkan tangan dan mengais nasi sisa. Anak jalanan menjadi bukti betapa belum mampunya sistem dan masyarakat menangani persamaan kesempatan untuk mendapatkan fasilitas yg memadai. Akibatnya, jelas. Anak-anak jalanan mengalami kekurangan dari semua aspek perkembangan. Mereka bahkan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk, seperti yg diungkapkan di atas, sehingga makin memperparah kehidupan mereka.
Salah satu contoh tindakan non-empatik yg diberlakukan kepada anak jalanan kembali 'kumat' dilakukan. Selain razia 'rutin' yg dialami, yg pernah sy lihat sendiri bukan merupakan kegiatan yg efektif dan bertujuan jelas. Kali ini ada yg namanya razia dubur. Sebagian besar dari kita tentu sudah bisa membayangkan apa yg terjadi ketika seorang anak diminta memperlihatkan bagian tubuhnya yg pribadi di depan seorang (atau bahkan beberapa orang) yg belum dikenalnya, ditambah dengan aspek tempat yg tidak pantas. Bisa dibayangkan pula apa perasaan yg timbul ketika akan, pada saat, dan setelah kejadian itu terjadi. Malu, marah, sedih, dsb. Perasaan ini yg mungkin akan menjadi catatan luka batin yg tak seorg pun tau tingkat kedalamannya. Apalagi menyembuhkannya. Ya, kalau pemeriksaan berlaku secara etis dan dilakukan oleh tenaga profesional seperti dokter. Bila tidak, tentu ada banyak hal yg bisa terjadi. Seperti pelecehan seksual, yg notabene katanya menjadi alasan razia ini dijalankan. Menyedihkan dan tragis bila hal itu terjadi.
Menurut peraturan Hak Asasi Anak sebuah peraturan atau kegiatan terhadap seorang anak seharusnya mengedepankan nilai "best interest for children", atau "mengutamakan kepentingan dan kebaikan anak". Artinya, apapun kegiatan yg berkaitan dengan anak, diharuskan mengutamakan kepentingan dan kebaikan anak. Nilai lain yg lebih universal dan lebih umum untuk dipahami, yg patutnya dipertimbangkan sebelum razia semacam ini digelar adl nilai Empati. Empati, bagaimana kita bisa menempatkan diri kepada posisi seseorang-termasuk seorang anak, sehingga bisa memahami sudut pandang pikiran dan perasaannya. Dari situ kita seharusnya bisa menilai apakah suatu perilaku tepat atau tidak dilaksanakan kepada seseorang (anak). Dan dengan menerapkan nilai empati serta best interest for children, tidak mungkin muncul kegiatan semacam razia dubur ini. Mengapa seringkali kebijakan muncul tanpa kesensitifan akan nilai empati ini? Apakah demikian rendahnya perkembangan kemanusiaan kita jaman sekarang? Pertanyaan yg selalu dipertanyakan dari periode ke periode.
Kalau memang ingin mencari tahu mengenai anak-anak jalanan yang menjadi korban kekerasan seksual, lebih baik gunakanlah cara-cara yg lebih manusiawi. Misalnya yg paling mudah, melalui lembaga-lembaga yg bergerak di bidang bimbingan anak jalanan. Mereka yg bergerak di lembaga tersebut telah memiliki hubungan baik dengan anak-anak itu, sehingga memiliki akses yg lebih terbuka dan valid mengenai data anak-anak yg mendapat kekerasan dalam berbagai bentuk. Selain itu, dapat juga bekerjasama dengan para petugas sosial atau psikolog dalam mencari data dengan metode persuasif yang tentu mengedepankan kepentingan anak.
Janganlah semakin menyudutkan anak-anak jalanan, yang sudah menjadi korban begitu banyak kondisi. Kapankah sistem kenegaraan kita bisa mendukung mereka seutuhnya? Pertanyaan yg saya tahu, mungkin tak ada yg bs menjawabnya dengan pasti.
Tampilkan postingan dengan label child issues. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label child issues. Tampilkan semua postingan
Jumat, 22 Januari 2010
Selasa, 25 November 2008
Apakah Siti Harus Memakai Rok?
(catatan : tulisan ini dibuat pada tanggal 7 Maret 2008)
Pernah lihat acara “Idola Cilik” di sebuah televisi swasta? Bagi mereka yang sempat menyaksikan televisi jam 13.0 WIB setiap hari Senin sampai Jumat, pasti hafal pada wajah-wajah cilik yang ingin menjadi kontestan di acara tersebut. Bukan, saya tidak akan membicarakan mengenai acara tersebut. Di sini saya akan menyorot seorang kontestan yang bernama Siti. Siti tampak cukup menyita perhatian dari para komentator, pembawa acara dan semua yang menyaksikan penampilannya. Saya menjadi penasaran akan penampilannya, terutama komentar-komentar apa lagi yang akan dikatakan para komentator dan yang lainnya.
Menurut cerita sang pembawa acara, Siti adalah seorang anak perempuan (saya lupa usianya, kurang lebih 12 tahun) yang tinggal di Surabaya serta datang dari keluarga tidak mampu. Penampilan Siti memang tidak seperti anak perempuan pada umumnya. Rambutnya dipotong pendek, kulitnya berwarna gelap tanda banyak berada di bawah sinar matahari, serta tidak pernah sekalipun memakai pakaian ala perempuan pada umumnya. Maklum sering kali Siti harus mengamen dan secara berkala menjadi petinju (!) jalanan untuk sedikit meringankan beban ekonomi orangtuanya. Ibunya menjadi pemulung sampah, sedangkan Ayahnya sedang sakit parah sehingga tidak dapat memenuhi perannya sebagai pencari nafkah. Maka keikutsertaan Siti di ajang Idola Cilik ini tentu membawa harapan besar bagi keluarga Siti.
Hal menarik yang saya ingin bahas di sini adalah reaksi para pelaku acara tersebut (komentator, pembawa acara, maupun Ibu dari Siti sendiri) yang sibuk mencoba ‘merubah’ penampilan Siti yang tomboy itu menjadi seorang perempuan sejati. Misalnya, salah seorang komentator memintanya memakai rok, yang pada akhirnya membawa bahasan lain dari komentator lainnya. Atau juga komentar Ibu dari Siti yang mengatakan bahagia Siti memakai rok meskipun belum menjadi perempuan 100%. Mungkin komentar-komentar demikian yang membuat Siti berkata, “Saya tidak nyaman pakai rok ini tapi karena saya perempuan maka harus bisa memakai rok.” Buat saya, reaksi-reaksi tersebut tampak berlebihan dan menampakkan kentalnya tuntutan gender kepada anak-anak, anak perempuan khususnya. Mengapa seorang anak perempuan yang begitu hebat dengan banyak talenta dan kebisaan harus merubah dirinya? Mengapa Siti yang jago bertinju dan bermain drum harus merubah bahasa tubuh dan pakaiannya untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri? Mengapa seorang anak seperti Siti harus merubah dirinya sehingga membuatnya tidak nyaman menjadi dirinya yang hebat itu?
Sebagai orangtua atau orang dewasa, memang tidak mudah bagi kita untuk membiarkan seorang anak, yang notabene masih polos, untuk menjadi dirinya sendiri. Sering kali kita sibuk membentuk anak-anak kita atau kaum muda di sekitar kita sesuai dengan harapan dan kemauan kita. Seorang anak, baik itu perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai sifat-sifat bawaan untuk menjadi feminin(baca: sifat-sifat/karakteristik yang diharapkan dimiliki pada seorang perempuan, misalnya : memakai rok, teliti, kalem, dll) maupun maskulin (baca : sifat-sifat/karakteristik yang diharapkan dimiliki pada seorang laki-laki). Memang betul manusia terlahir dengan kondisi fisik yang berbeda, sehingga seseorang dapat disebut seorang laki-laki atau perempuan. Perkembangan fisik antara bayi perempuan maupun laki-laki pun berbeda. Namun, secara psikologis, perbedaan karakteristik yang dimiliki bayi perempuan dan laki-laki bukanlah sesuatu yang terberi (nature) namun sesuatu yang terjadi karena pengaruh lingkungan atau faktor eksternal (nurture).
Jadi apakah seorang anak perempuan atau laki-laki menyukai jenis pakaian tertentu atau kegiatan tertentu adalah hasil pembelajaran dari lingkungannya. Seperti Siti, yang jelas lebih memilih memakai celana panjang dan kaos t-shirt daripada tank top dan rok karena memang menjalani keseharian yang memang lebih nyaman dan aman jika memakai baju pilihannya tersebut. Juga tidak mengherankan jika gerak-gerik Siti jauh dari gemulai anak perempuan pada umumnya, karena dituntut tegar menghadapi aktivitas yang ‘lebih keras’ daripada anak perempuan lainnya. Nah, kalau melihat apa yang dihadapi Siti dalam kesehariannya, tentu kurang bijak jika para orang dewasa di sekitarnya memaksakan atau menyarankan Siti untuk bertindak-tanduk lemah gemulai ataupun luwes ketika berjalan di panggung dengan memakai rok dan cardigan. Menurut saya, seperti yang dikatakan juga oleh salah satu komentator acara Idola Cilik, sebaiknya Siti tetap menjadi dirinya sendiri. Siti dapat memilih pakaian serta gaya panggung ataupun sikap yang sesuai dengan dirinya. Tak ada salahnya menjadi anak perempuan yang tomboy. Tak ada salahnya sebagai anak perempuan untuk selalu menggunakan celana panjang dari pada rok. Tak ada salahnya bertangan kasar dan bersikap maskulin meskipun tetap menjadi perempuan. Apa lagi Siti masih berusia belia. Ia akan masih terus menjalani proses kehidupan yang membantu pembentukan kepribadiannya. Tokh banyak perempuan dewasa yang tetap menjalani kehidupannya sebagai seorang perempuan dengan begitu banyak peran yang dekat dengan dunia maskulin, namun tidak meninggalkan tuntutan perannya sebagai ibu dan istri.
Saya harap kasus-kasus seperti Siti ini dapat kita hadapi dengan bijak, terutama bagi para orangtua. Sehingga anak-anak Indonesia semakin jauh berkembang dan maju karena tidak lagi dibebani tuntutan-tuntutan yang tidak perlu.
Pernah lihat acara “Idola Cilik” di sebuah televisi swasta? Bagi mereka yang sempat menyaksikan televisi jam 13.0 WIB setiap hari Senin sampai Jumat, pasti hafal pada wajah-wajah cilik yang ingin menjadi kontestan di acara tersebut. Bukan, saya tidak akan membicarakan mengenai acara tersebut. Di sini saya akan menyorot seorang kontestan yang bernama Siti. Siti tampak cukup menyita perhatian dari para komentator, pembawa acara dan semua yang menyaksikan penampilannya. Saya menjadi penasaran akan penampilannya, terutama komentar-komentar apa lagi yang akan dikatakan para komentator dan yang lainnya.
Menurut cerita sang pembawa acara, Siti adalah seorang anak perempuan (saya lupa usianya, kurang lebih 12 tahun) yang tinggal di Surabaya serta datang dari keluarga tidak mampu. Penampilan Siti memang tidak seperti anak perempuan pada umumnya. Rambutnya dipotong pendek, kulitnya berwarna gelap tanda banyak berada di bawah sinar matahari, serta tidak pernah sekalipun memakai pakaian ala perempuan pada umumnya. Maklum sering kali Siti harus mengamen dan secara berkala menjadi petinju (!) jalanan untuk sedikit meringankan beban ekonomi orangtuanya. Ibunya menjadi pemulung sampah, sedangkan Ayahnya sedang sakit parah sehingga tidak dapat memenuhi perannya sebagai pencari nafkah. Maka keikutsertaan Siti di ajang Idola Cilik ini tentu membawa harapan besar bagi keluarga Siti.
Hal menarik yang saya ingin bahas di sini adalah reaksi para pelaku acara tersebut (komentator, pembawa acara, maupun Ibu dari Siti sendiri) yang sibuk mencoba ‘merubah’ penampilan Siti yang tomboy itu menjadi seorang perempuan sejati. Misalnya, salah seorang komentator memintanya memakai rok, yang pada akhirnya membawa bahasan lain dari komentator lainnya. Atau juga komentar Ibu dari Siti yang mengatakan bahagia Siti memakai rok meskipun belum menjadi perempuan 100%. Mungkin komentar-komentar demikian yang membuat Siti berkata, “Saya tidak nyaman pakai rok ini tapi karena saya perempuan maka harus bisa memakai rok.” Buat saya, reaksi-reaksi tersebut tampak berlebihan dan menampakkan kentalnya tuntutan gender kepada anak-anak, anak perempuan khususnya. Mengapa seorang anak perempuan yang begitu hebat dengan banyak talenta dan kebisaan harus merubah dirinya? Mengapa Siti yang jago bertinju dan bermain drum harus merubah bahasa tubuh dan pakaiannya untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri? Mengapa seorang anak seperti Siti harus merubah dirinya sehingga membuatnya tidak nyaman menjadi dirinya yang hebat itu?
Sebagai orangtua atau orang dewasa, memang tidak mudah bagi kita untuk membiarkan seorang anak, yang notabene masih polos, untuk menjadi dirinya sendiri. Sering kali kita sibuk membentuk anak-anak kita atau kaum muda di sekitar kita sesuai dengan harapan dan kemauan kita. Seorang anak, baik itu perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai sifat-sifat bawaan untuk menjadi feminin(baca: sifat-sifat/karakteristik yang diharapkan dimiliki pada seorang perempuan, misalnya : memakai rok, teliti, kalem, dll) maupun maskulin (baca : sifat-sifat/karakteristik yang diharapkan dimiliki pada seorang laki-laki). Memang betul manusia terlahir dengan kondisi fisik yang berbeda, sehingga seseorang dapat disebut seorang laki-laki atau perempuan. Perkembangan fisik antara bayi perempuan maupun laki-laki pun berbeda. Namun, secara psikologis, perbedaan karakteristik yang dimiliki bayi perempuan dan laki-laki bukanlah sesuatu yang terberi (nature) namun sesuatu yang terjadi karena pengaruh lingkungan atau faktor eksternal (nurture).
Jadi apakah seorang anak perempuan atau laki-laki menyukai jenis pakaian tertentu atau kegiatan tertentu adalah hasil pembelajaran dari lingkungannya. Seperti Siti, yang jelas lebih memilih memakai celana panjang dan kaos t-shirt daripada tank top dan rok karena memang menjalani keseharian yang memang lebih nyaman dan aman jika memakai baju pilihannya tersebut. Juga tidak mengherankan jika gerak-gerik Siti jauh dari gemulai anak perempuan pada umumnya, karena dituntut tegar menghadapi aktivitas yang ‘lebih keras’ daripada anak perempuan lainnya. Nah, kalau melihat apa yang dihadapi Siti dalam kesehariannya, tentu kurang bijak jika para orang dewasa di sekitarnya memaksakan atau menyarankan Siti untuk bertindak-tanduk lemah gemulai ataupun luwes ketika berjalan di panggung dengan memakai rok dan cardigan. Menurut saya, seperti yang dikatakan juga oleh salah satu komentator acara Idola Cilik, sebaiknya Siti tetap menjadi dirinya sendiri. Siti dapat memilih pakaian serta gaya panggung ataupun sikap yang sesuai dengan dirinya. Tak ada salahnya menjadi anak perempuan yang tomboy. Tak ada salahnya sebagai anak perempuan untuk selalu menggunakan celana panjang dari pada rok. Tak ada salahnya bertangan kasar dan bersikap maskulin meskipun tetap menjadi perempuan. Apa lagi Siti masih berusia belia. Ia akan masih terus menjalani proses kehidupan yang membantu pembentukan kepribadiannya. Tokh banyak perempuan dewasa yang tetap menjalani kehidupannya sebagai seorang perempuan dengan begitu banyak peran yang dekat dengan dunia maskulin, namun tidak meninggalkan tuntutan perannya sebagai ibu dan istri.
Saya harap kasus-kasus seperti Siti ini dapat kita hadapi dengan bijak, terutama bagi para orangtua. Sehingga anak-anak Indonesia semakin jauh berkembang dan maju karena tidak lagi dibebani tuntutan-tuntutan yang tidak perlu.
Ulfa
Tentu nama Ulfa dan Syekh Puji tak asing bagi kita yang rajin mengikuti berita-berita di berbagai media. Ya, mereka ada dua sosok yang tengah menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Hal yang paling mendapat banyak sorotan adalah usia Ulfa, sang istri dari Syekh Puji, yang baru berusia 12 tahun. Sedangkan Syekh sendiri berusia 56 tahun (!). Alangkah prihatinnya saya ketika pertama kali mendengar berita tersebut. Beberapa kali saya menyimak wawancara beberapa stasiun televisi dengan kedua sosok itu. Usia Ulfa yang demikian belia membuat saya berpikir dalam konteks psikologi perkembangan.
Anak berusia 12 tahun termasuk dalam usia perkembangan anak-anak akhir. Pada masa ini anak-anak sedang mengembangkan konsep dirinya dengan seluas-luasnya mengeksplorasi kemampuannya. Maka bisa dibayangkan, Ulfa dalam masa perkembangannya telah diberikan pilihan yang amat sempit untuk menjadi istri (dan kemudian menjadi ibu) pada usia yang amat belia. Potensi dirinya yang amat mungkin dikembangkan (mengingat prestasi akademiknya yang baik menurut kesaksian para gurunya-yang saya dengar dari sebuah televisi swasta) menjadi terhambat. Dari sudut ini, jelaslah Ulfa mengalami kerugian dalam mengembangkan dirinya. Belum lagi kerugian yang mungkin sekali dialami anak-anak yang akan dihasilkan dari pekawinan ini akibat kurangnya kesiapan mental dari Ulfa untuk menjadi seorang ibu.
Setelah melihat dampak pernikahan tersebut pada diri Ulfa, maka berikutnya saya ingin menyorot mengenai perkembangan moral Ulfa, untuk lebih memahami bagaimana anak seusia Ulfa menimbang nilai-nilai atau norma-norma masyarakat sehingga memutuskan untuk menikah.
Anak usia 10-13 tahun memasuki tahapan perkembangan moral yang disebut Conventional Morality (Kohlberg, 1964 dalam Pappalia & Olds, 1995). Dalam tahapan ini, anak telah menginternalisasi standard yang diberikan figur otoritas dalam lingkungannya. Mereka menaati peraturan untuk menyenangkan hati orang lain atau menjaga keteraturan. Jadi dapat dikatakan Ulfa, yang berusia 12 tahun, memiliki pertimbangan moral yang amat tergantung pada nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarganya, sebagai lingkungan sosial yang terdekat baginya. Keputusannya untuk menikah bisa diasumsikan merupakan keputusan yang diambil hanya untuk ‘menyenangkan’ orangtua dan lingkungannya. Artinya, pihak keluarga (orangtua Ulfa) merupakan pihak yang memiliki ‘wewenang’ paling besar untuk mencegah atau membatalkan perkawinan ini. Maka patutlah kita memandang peristiwa ini bukan hanya dengan menyorot Ulfa dan Syekh sebagai tokoh utama, namun juga bagaimana pengaruh/peranan keluarga, terutama peranan orangtua Ulfa. Latar belakang inilah yang bisa membuat kita, terutama sebagai keluarga, dapat mengambil pelajaran agar dapat lebih baik lagi melindungi anak-anak kita. Namun, rasanya pembahasan peristiwa ini kebanyakan masih berkembang sekitar ranah hukum serta pemahaman agama. Semoga dengan peristiwa ini kita semakin disadarkan betapa pengaruh keluarga amat menentukan ‘nasib’ seorang anak.
Dari dua aspek tersebut, tentu dapat disimpulkan bahwa keputusan pernikahan Ulfa dan Syekh Puji merupakan kejadian yang memprihatinkan dan patut mendapat perhatian dari kalangan luas sehingga dapat mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
Anak berusia 12 tahun termasuk dalam usia perkembangan anak-anak akhir. Pada masa ini anak-anak sedang mengembangkan konsep dirinya dengan seluas-luasnya mengeksplorasi kemampuannya. Maka bisa dibayangkan, Ulfa dalam masa perkembangannya telah diberikan pilihan yang amat sempit untuk menjadi istri (dan kemudian menjadi ibu) pada usia yang amat belia. Potensi dirinya yang amat mungkin dikembangkan (mengingat prestasi akademiknya yang baik menurut kesaksian para gurunya-yang saya dengar dari sebuah televisi swasta) menjadi terhambat. Dari sudut ini, jelaslah Ulfa mengalami kerugian dalam mengembangkan dirinya. Belum lagi kerugian yang mungkin sekali dialami anak-anak yang akan dihasilkan dari pekawinan ini akibat kurangnya kesiapan mental dari Ulfa untuk menjadi seorang ibu.
Setelah melihat dampak pernikahan tersebut pada diri Ulfa, maka berikutnya saya ingin menyorot mengenai perkembangan moral Ulfa, untuk lebih memahami bagaimana anak seusia Ulfa menimbang nilai-nilai atau norma-norma masyarakat sehingga memutuskan untuk menikah.
Anak usia 10-13 tahun memasuki tahapan perkembangan moral yang disebut Conventional Morality (Kohlberg, 1964 dalam Pappalia & Olds, 1995). Dalam tahapan ini, anak telah menginternalisasi standard yang diberikan figur otoritas dalam lingkungannya. Mereka menaati peraturan untuk menyenangkan hati orang lain atau menjaga keteraturan. Jadi dapat dikatakan Ulfa, yang berusia 12 tahun, memiliki pertimbangan moral yang amat tergantung pada nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarganya, sebagai lingkungan sosial yang terdekat baginya. Keputusannya untuk menikah bisa diasumsikan merupakan keputusan yang diambil hanya untuk ‘menyenangkan’ orangtua dan lingkungannya. Artinya, pihak keluarga (orangtua Ulfa) merupakan pihak yang memiliki ‘wewenang’ paling besar untuk mencegah atau membatalkan perkawinan ini. Maka patutlah kita memandang peristiwa ini bukan hanya dengan menyorot Ulfa dan Syekh sebagai tokoh utama, namun juga bagaimana pengaruh/peranan keluarga, terutama peranan orangtua Ulfa. Latar belakang inilah yang bisa membuat kita, terutama sebagai keluarga, dapat mengambil pelajaran agar dapat lebih baik lagi melindungi anak-anak kita. Namun, rasanya pembahasan peristiwa ini kebanyakan masih berkembang sekitar ranah hukum serta pemahaman agama. Semoga dengan peristiwa ini kita semakin disadarkan betapa pengaruh keluarga amat menentukan ‘nasib’ seorang anak.
Dari dua aspek tersebut, tentu dapat disimpulkan bahwa keputusan pernikahan Ulfa dan Syekh Puji merupakan kejadian yang memprihatinkan dan patut mendapat perhatian dari kalangan luas sehingga dapat mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
Langganan:
Postingan (Atom)