Sabtu, 09 Juli 2016

Carrie by Stephen King


Buku Stephen King yang pertama kali saya baca sudah sekitar usia SMP yang lalu dan saya pun sudah lupa akan ceritanya. Namun saya akui Mr. King adalah raja cerita horor. Kisahnya bisa membuat kita penasaran dari awal sampai akhir cerita. Begitu pula dengan kisah Carrie ini sehingga saya membacanya dalam waktu kurang lebih 4 jam saja. 

Carrie, ternyata adalah novel pertama King (menurut mbah Google) dan diakui sebagai kisah terbanyak yang dibaca oleh banyak penggemarnya, bahkan sudah beberapa kali dipertunjukkan lewat film atau panggung. Meski saya akan mempertimbangkan dulu apakah akan menontonnya atau tidak, karena imajinasi saya ketika membaca bukunya saja sudah menakutkan apalagi harus melihat dan mendengarnya dalam film.

Kisah Carrie mengambil latar belakang tahun 70-an dengan latar kota kecil di Amerika dengan aspek fanatisme agama Kristen yang kental, bahkan bermain peranan penting dalam kisah ini. Karena notabene, jelas Carrie menjadi Carrie yang dikenal itu, karena faktor fanatisme. Ibu Carrie, tampil sebagai perempuan "gila" yang sangat fanatik dan menganiaya anaknya karena faktor kepercayaannya. Carrie tumbuh dalam suasana rumah yang diluar bayangan keluarga normal dengan ilustrasi verbal yang membuat saya ngeri membayangkan konteks rumah tempat ia besar. Dan malangnya, Carrie menjadi olok-olok di sekolah sehingga ia menjadi yang terkucilkan. Tragedi hidupnya kembali memuncak oleh kejadian "berdarah" di sekolah, ketika Carrie mendapatkan haid pertamanya. Para pem-bully, teman-temannya di sekolah, menyudutkannya dan terlihat betapa "aneh"nya Carrie di antara teman-teman perempuannya yang sudah "melek" akan seksualitas. Tragedi ini terus bergulir dengan puncak di malam dansa yang menjadi tragedi seluruh kota, bukan lagi hanya milik Carrie seorang. Karena Carrie sudah berlatih akan kemampuan telekinesisnya dan ia membuktikan kekuatannya sehingga mengakibatkan tragedi yang tak habis-habis di bahas baik masyarakat awam maupun ilmuwan.

Ketika membaca kisah ini, rasa penasaran terus menggiring saya untuk membacanya, pun buku ini tidak tebal, hanya 253 halaman. Meski sedikit ada keanehan dalam penerjemahannya, namun tetap mudah untuk dipahami dan  terus dibaca sampai akhir. Kesan horor sangat kental dari awal ke ujung cerita. Cara penulisan yang unik, dengan menyelipkan beragam cuplikan analisa kasus, artikel berita dan pergantian orang pertama yang bercerita dalam kisah ini, membuat kita harus sedikit jeli dalam membaca. Meski, saya tidak merasa kesulitan mengikuti alurnya dan membedakan tokoh siapa yang sedang berkisah pada suatu bagian. Tampaknya Mr. King cukup jeli merangkai alur dan sudut pandang masing-masing tokoh. Konsistensi cerita, karakteristik tokoh juga sangat baik diberikan. Dan tentu bumbu hubungan seksual tidak lupa Mr. King tambahkan. Tampaknya Mr. King cukup merasa hal ini penting meski sedikit berhubungan dengan karakter dan tragedi utamanya.

Buat saya, buku ini dapat direkomendasikan bagi pembaca yang menyukai bacaan yang intens dan tahan akan horor yang secara frontal disajikan, seperti adanya darah, penganiayaan dan semacamnya. Saya pribadi, merasa buku ini hanya selingan saja. Meski tetap bisa menarik benang merah buat saya prbadi, bahwa fanatisme bisa merusak inti kemanusiaan seseorang dan menciptakan kesintingan yang sulit diterima nalar. 


Inteligensi Embun Pagi



Setelah menghabiskan buku kedua, Tanah Lada, proses saya membaca buku tidak selancar sebelumnya. Karena memang pekerjaan sudah mulai menyita fokus dan waktu saya. Eniwey, bersyukur menemukan buku Inteligensi Embun Pagi (IEP) karya Dee ini, yang menjadi edisi pamungkas untuk serial Supernova yang fenomenal. Maka ketika ada diskon buku di salah satu toko buku di Bandung (kebetulan mampir sewaktu ada tugas di sana), langsunglah buku ini menjadi fokus bacaan saya dan resmi menjadi buku ketiga untuk meneruskan misi membaca (minimal)10 buku di tahun 2016 ini.

Terus terang saya sudah lama tidak updating dengan karya2 Dee, terutama deretan Supernova dan saya tipe yang tidak berusaha membaca ulang serial yang sebelumnya untuk catch up cerita *selain karena time cosuming juga krn ada bbrp buku yang entah ada di mana disimpannya dan cukup memakan budget kalo beli dulu. So, saya cus membaca buku pamungkas Supernova ini. Awal membaca, tentu saya roaming sedikit-sedikit mengingat2 yang sudah ada di edisi2 Supernova sebelum IEP ini. Maklum saya agak2 lemot or kata Dory (dalam Finding Dory), short memory lost disorder, eh ga nyampe disorder deng hehhe... hanya saja buat saya ketika membaca buku, kebanyakan saya akan mengambil makna personal dan pelajaran dari buku itu sehingga detil alur cerita dan bahkan nama tokoh nya kadang lost dalam ingatan saya. Jadi ya saya membaca IEP ini ingin tahu ending Supernova dan ingin tahu bagaimana Dee, yg merupakan salah satu penulis hebat menurut saya, meramu novelnya kali ini. 

Novel IEP ini terdiri dari Keping 45 - 99 (keping = bab) dalam 620 halaman, so mengingat ketebalan bukuny dan alur ceritanya yg kaya, saya ga akan terlalu detil juga mengulas disini. Selain keterbatasan waktu saya menulis, saya pikir akan lebih seru jika teman-teman dan pemirsah sekalian membacanya sendiri hehehe... Maka di bawah ini saya akan lebih mengungkapkan kesan-kesan saya terhadap IEP. 

Sepanjang membaca IEP, saya merasa keseruan cerita yang terbangun dengan baik oleh penulis. Biasanya dalam membaca buku novel, saya akan merasa tidak sabaran melalui bagian 'prolog' dimana pada bab2 awal sekitar 3 sampe 5 bab biasanya adalah bagian membangun konflik dan kompleksitas cerita. Namun pada IEP ini konflik sudah terbangun dimana-mana dan jelas karena merupakan buku pamungkas di serial Supernova, maka kompleksitas cerita sudah ada dan tinggal dirawat dan ditambah. Di sana sini muncul kejutan-kejutan serta keseruan cerita yang masing-masing berarti personal bagi masing-masing tokoh. Konflik batin masing-masing tokoh pun terkesan bisa dibangun dengan apik tanpa melupakan sejarah personal masa lalu si tokoh. Lagi-lagi karena ini edisi pamungkas, karakter masing-masing tokoh sudah sangat kaya namun tokoh-tokoh yang 'baru' pun ternyata tidak hilang ke-khas annya. Klimaks cerita pun tidak garing dan tidak mudah ditebak. Mungkin inilah kunci karya ini sehingga mendapat banyak fans, karena tidak mudah ditebak dan belum ada (belum banyak) rasanya penulis Indonesia yang bermain di area ala science fiction ini.

Hal khas dari rangkaian cerita Supernova adalah kedalaman serta kreativitas Dee untuk meramu hal-hal yang saintifik dengan imajinasi serta pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupan yang ia satukan dalam jalinan cerita banyak tokoh yang rumit. Bahkan sedikit memberikan warna sejarah dunia juga di dalamnya, dengan memasukkan mitologi Yunani. Kepiawaian Dee ini mengingatkan saya akan keahlian yang tak kalah dari Ayu Utami (misalnya di novel Bilangan Fu dan judul2 terkait) yang banyak mengandalkan pada referensi literatur dan budaya yang kaya. Jadi suatu catatan pribadi saya, bahwa menulis sebaiknya tidak asal menulis tp harus memperdalam bahan penulisan kita sehingga menjadi karya yang kaya dan tidak kering dari lingkup sekitar *baik ilmu pasti dan sosial.

IEP ini buat saya mengantarkan pesan tertentu yaitu sbb:
- bahwa di dunia ini ga ada yang kebetulan, semua sudah dalam perencanaan takdir meski kemudian manusia lah yang memegang peranan penting untuk memtuskan mau bagaimana dan apa dengan takdir yang ada
- bahwa setiap individu memiliki sejarah pribadi yang rumit, emosional dan mempengaruhi langkah-langkah nya ke depan.
- bahwa meski tidak mengecilkan peranan orang-orang penting dalam hidup kita, namun ada saat2 krusial dimana kita harus rela meninggalkan mereka (sementara atau selamanya), untuk kemajuan diri kita dan karya serta manfaat karya kita utk orang banyak

Secara kognitif saya terpikat pada karya Dee ini. Mengingat kompleksitas cerita yang dibangun dan kekayaan budaya yang internasional. Serta genre cerita yang cenderung science fiction ini,yg cukup unik buat saya. Namun secara emosional, saya sadar ternyata cukup sulit untuk benar-benar merasa tersentuh akan kisah ini karena sifat saya yang lebih menyukai mendalami setiap karakter secara personal. sedangkan IEP ini terbangun dari kerumitan relasi dan misi yang saling berkait dan porsi individual tokohnya saya rasa memang bukan prioritas dari kisah ini. Namun saya tetap menikmati pengalaman membacanya.

Notes, maaf catatan kali ini sangat umum karena terus terang ini ditulis sebulan setelah saya menyelesaikan IEP jadi memori saya mengenai buku ini tidak sedetail biasanya.