Kamis, 20 Desember 2012

Konsistensi

Dalam pengasuhan anak, konsistensi memegang peranan penting. Hal ini saya simpulkan setelah mencermati berbagai kasus pengasuhan anak, terutama dua kasus berikut yang kebetulan sy temukan di lingkungan yang sama. Kebetulan juga, keduanya berkaitan dengan pengaruhnya ke kemampuan anak berprestasi dan motivasi berprestasinya. Saya mulai dengan cerita pertama, ibu yang konsisten.

1. Cerita Ibu yang Konsisten (IK) Saya bertemu IK secara tidak sengaja bertemu di sekolah anak saya. Sambil menunggu anak-anak kami pulang sekolah, kami pun mengobrol. Herannya, meski baru pertama kali bertemu dan mengobrol, kami tidak merasa jengah untuk mengobrol satu sama lain. Keakraban terasa dari isi pembicaraan dan nada suara kami berdua. Ternyata ngobrol punya ngobrol, I adalah orang tua salah seorang teman anak saya (T) yaitu E. E dan T sering bermain bersama sepulang sekolah. Dan setahu saya E merupakan murid yang cukup mampu mengikuti pelajaran dengan memadai, yaitu jarang ketinggalan catatan ketika di kelas. I pun mengakui hal ini dan hal menarik disini, I juga menyatakan bahwa I tidak pernah mengikuti secara detil pelajaran-pelajaran E di SD ini. Kerena menurut I, E sudah sangat mandiri untuk melaksanakan rutinitas belajarnya di rumah. Hasil nilai yang E dapatkan juga rata-rata 90 dan 80. Kemandirian E dalam belajar juga terbentuk karena TK yang dienyam E dulu adalah TK yang cukup disiplin (tentang tuntutan TK ini tentu bisa menjadi bahan tulisan selanjutnya...) E mengenyam TK hanya dari TK B saja. --> belajar di sekolah yang sama = konsistensi 1 (mengapa belajar di skolah yang sama saya berikan penekanan? karena ada kaitannya dengan cerita Ibu yang kurang konsisten di bawah)

E juga mandiri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditugaskan oleh I, yaitu mencuci piring dan menyapu rumah. Hal ini dibiasakan oleh IK kepada E agar E mandiri sejak kecil, mengingat I dan suami bekerja. --> ini konsistensi 2.

Ketika E kecil, memang ada pengasuh yang menjaga E dan adiknya di rumah. Namun akhir-akhir ini, E dan adiknya harus dititipkan pada tetangga karena pengasuh tidak lagi bekerja di rumah mereka.

Setiap hari E dan adiknya terbiasa "mengikuti" jadwal kerja I, yaitu biasa terbangun pagi pukul 04.30,dimandikan dan disuapi oleh I. Menurut I, kegiatan ini adalah prinsip I sejak anak2nya kecil bahwa mandi dan makan adalah urusan I. --> konsistensi 3

Lalu E diantarkan I bersekolah dan meski E meminta I mengantarkan sampai di depan kelas, namun I sering kali membiasakan E untuk berjalan sendiri. Lalu siangnya, tugas Auah lah yang menjemput E dari sekolah. Secara rutin I selalu membiasakan jam 5 sore sudah berada di rumah. Jadi jam 4.30 sore ia pasti sudah pulang dari rumah. --> jadwal yang pasti, konsistensi 4

Jadi dapat dilihat bahwa pengasuhan IK dilakukan secara konsisten kepada E sehingga E memiliki dasar yang baik untuk mengembangkan potensi dirinya. Hal ini terlihat dari performanya di sekolah. Tentu saja ini adalah analisa kasar dari obrolan 30 menit-an ditambah observasi acak yang tidak direncanakan kepada E. Tapi cerita ini cukup baik menggambarkan bahwa komunikasi yang baik, pengasuhan yang konsisten akan dapat memfasilitasi anak mengembangkan dirinya dengan baik.

2. Ibu yang tidak konsisten (ITK) ITK adalah seorang orang tua dari salah satu teman anak saya jugam yaitu F. F saat ini masih kurang mampu secara lancar mengikuti pelajaran di sekolah, yaitu sering tidak termotivasi untuk menulis catatan di kelas, belum lancar membaca, serta sering kali 'mogok' melakukan tugas-tugas sekolah. Sejarahnya, F ini berpindah-pindah sekolah sejak kelompok bermain. Jumlah total sekolah yang telah dihadiri oleh F semasa pra sekolah adalah kurang lebih 4 sekolah yaitu 2 sekolah di taman bermain, 2 sekolah di masa TK. Lalu masuklah F ke SD nya sekarang ini, dimana tentu saja masing-masing sekolah memiliki standar prestasi yang berbeda-beda (ya, prestasi, meski ini TK, hal ini memang bisa menjadi bahan menarik lainnya utk dibicarakan). --> tidak konsisten 1

Lalu ketidakkonsistenan kedua adalah, ketika pra sekolah, F mengalami 2 masa yaitu masa ketika ITK tidak bekerja dan masa ketika ITK bekerja. Ketika ITK bekerja, F dititipkan pada seorang tetangga (T1). ITK bercerita T1 itu merupakan pengasuh yang tidak dapat memberikan disiplin kepada F sehingga F bebas berbuat sesukanya. ITK pun merasa tak kuasa mengendalikannya. Ketika T1 pergi entah kemana, F pun berganti pengasuh, tetangganya yang lain (T2). Bersama T2, menurut ITK, F memiliki jadwal harian yang lebih teratur. Meski belum seperti harapan ITK --> tidak konsisten 2 (berganti-gantinya pengasuh dan peraturan pengasuhan yang tidak konsisten)

Dari dua faktor tersebut terlihat bahwa F memiliki dasar pengasuhan yang tidak bisa diandalkan. Anak memang memiliki karakteristik khas nya masing-masing. Namun ketika anak dihadapkan pada lingkungan yang tidak konsisten, baik dari segi significant others (pengasuh2 yang utama) dan juga nilai-nilai yang diterapkan (termasuk sistem disiplin), maka anak akan 'goyah', seperti rumah yang tidak memiliki pondasi yang kuat.

Dari kedua kasus tersebut, saya memang hanya menyoroti faktor konsistensi pengasuhan secara kasar saja. Hanya sebagai reminder untuk saya, sebagai psikolog dan orang tua serta sebagai sharing saya kepada teman-teman orang tua semua, bahwa jadilah orang tua dengan pengasuhan berkualitas yang baik dan KONSISTEN. Karena dengan konsistensilah, anak mendapatkan dasar bagi kehidupannya kelak.

Catatan : cerita ini berdasarkan cerita dari kalangan para ibu, bukan berarti meniadakan peranan ayah atau menaruh beban yang berat sebelah kepada ibu dalam pengasuhan anak. namun hanya mengambil sisi praktis dari cerita yang kebetulan saya dapatkan.

Kamis, 11 Oktober 2012

Hari Ini Menyenangkan Sekali di Sekolah!

Hari ini, hari UTS kelima utk Teresa. UTS pertamanya di kelas 1 SD ini. Jadi yang sibuk bersiap-siap bukan hanya Teresa tapi juga Emaknya hehe... Eniwey ini bukan tentang UTS nya tapi cerita Teresa tentang hari ini. Ketika pulang sekolah, T bercerita hari asyik di sekolahnya. Karena hari ini ia berimajinasi menjadi detektif dan bajak laut bersama teman-temannya. Dan itu semua ide yang dicetuskan T kepada teman-temannya. Tumben, saya pikir dalam hati, karena biasanya T adalah follower ide orang lain... Hm, rupanya imajinasi memang akan menemukan jalannya ketika terus dipupuk ya... Berikut ceritanya T yang sudah ditulis ulang oleh Emak hehe... 1. Detektif Rihana (sepertinya bukan terinspirasi dari nama penyanyi itu loh... tapi dari salah satu tokoh di buku cerita yang semalam dibacakan) T bercerita : Tadi T ajak R dan A (temen-temen perempuannya) utk jadi detektif. Mengejar pencuri uang. Yang jadi pencuri adalah S (teman laki-laki T). Awalnya S tidak mau tapi akhirnya mau juga. Terus cuma T yang berhasil melompati selokan yang isinya singa, semut besar dan laba-laba (yah inilah ajaibnya, singa pun bisa hidup di selokan). Di deket kantin kita buat markas. Markasnya anti pencuri dan gempa bumi jadi terus bisa berdiri. Tapi ga anti pencuri anak, soalnya kelupaan pas membangunnya. Terus kalo menunjukkan keberanian berarti detektifnya dapet tambahan power. T blg ke R dan A, kamu kan udah menunjukkan keberanian berarti kamu dapet tambahan power (keren deh...hehehe...)Terus karena T berhasil nangkep S, T sirem pake air minumnya R, dikit kokkk... (Emak : wah kasian jgn banyak2 ntar kebasahan), jadi T maju ke tahap berikutnya. Tahap berikutnya menjaga S kabur dari penjara di markas. Tapi karena markasnya ga anti pencuri jadinya S bisa kabur deh... (wadehhhh bisa jadi ide bikin cerpen ke BOBO kalo seseru ini ceritanya...) 2.Bajak Laut Rahhh... T bercerita juga, pulang sekolah T liat K (teman perempuan lainnya) naik2 ke tiang, T terus punya ide Aha! T ajak aja main bajak laut aja. Terus ceritanya mau cari harta karun. Harta karunnya pura-pura, yaitu es kelapa yg dipegang K. Tapi kita ga boleh menyentuh lautnya. Lautnya itu batu2 yang item, jadi bolehnya injek batu bata yang merah itu. kalo kena laut, berarti hartanya berkurang sedikit demi sedikit. Terus Mama dateng jadi udahan maennya... (dan T ga mau main lagi pas Emak dateng, mungkin karena udah cape... maklum lah abis 2 ujian dan 1 pelajaran hihihihi...) Seru dan menyenangkan sekali mendengar ceritanya T, sungguh penuh imajinasi dan keseruan. Maka ga heran jika T bilang : Hari ini menyenangkan sekali di sekolah!

Selasa, 11 September 2012

Galauers

Kata 'galau' akhir-akhir ini sering digunakan. Terutama pada kalangan kaum remaja alias ABG. Artinya sih ga jauh dari arti harafiahnya, merasa gelisah, khawatir dstnya. Namun ternyata yang bisa galau tidak hanya kaum remaja. Tapi juga para orang tua. Lalu, apa mereka telat berkembang sehingga mengalami kegalauan? Hem, ya enggak juga sih karena kegalauan mereka khas banget orang tua. Jika anda orang tua seperti saya, mari simak kegalauan-kegalauan yang dirasakan para galauers berikut ini.

Kegalauan orang tua diawali ketika anak berada di dalam kandungan. Mulai dari kekhawatiran tentang kesehatan janin dan ibu yang mengandung, memberikan asupan gizi yang cukup dari susu sampai makanan-makanan sehat. Bahkan ada juga yang berambisi akan pencapaian prestasi anak, sehingga sudah mendaftarkan si janin (!!) ke sekolah yang "favorit". Hal ini memang sungguh fenomena tersendiri yang cukup membuat saya terkejut ketika pertama kali mendengarnya.

Lalu ketika si bayi lahir, makin banyaklah kegalauan orang tua, yang ternyata tak akan kunjung selesai sampai anak besar. Ketika lahir, orang tua galau, apakah mampu memberikan ASI secara eksklusif, kemudian MPASI apa yang cocok, stimulasi dini apa yang harus diberikan kepada bayi, apakah perlu memasukkan anak ke sekolah bayi, dst. Ketika memasuki usia 1 tahun, orang tua mungkin galau tentang pesta ulang tahun yang akan diadakan, apakah besar-besaran, private party, family party, thematic party, atau ide-ide lain yang seakan tak ada habisnya. Padahal kadang anak pun belum paham apa arti pesta tersebut. Ketika berusia 1 tahun ke atas, terutama 3 tahun ke atas, yang paling terasa mungkin adalah kegalauan tentang teknologi dan pretasi akademik. Kegalauan-kegalauan ini terus berkembang tanpa kadang disadari keberadaaan dan bahayanya. Secara praktis, kegalauan ini juga membawa peluang bisnis di berbagai kalangan. Namun hal ini biar menjadi topik tersendiri di lain waktu, ya :)

Kali ini saya akan menyorot kegalauan orang tua di bidang akademik, alias skolastik. Masa era globalisasi sekarang ini, tuntutan prestasi terhadap anak dirasakan semakin meningkat jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Sejak masa bayi pun, orang tua sudah sibuk menstimulasi anak agar anak mengembangkan potensinya. Untuk saya, jika masih dalam jalur yang semestinya, yaitu menuruti track perkembangan anak, masih sah-sah aja. Tapi jika sudah berlebihan apalagi membuat anak tertekan, jadi tidak ada gunanya stimulasi dini itu. Lebih baik dihentikan. Stimulasi potensi sejak dini ini dimaksudkan agar anak menjadi 'pemenang' dalam kompetisi global.

Ketika memasuki masa balita, orang tua sibuk mencari sekolah yang dapat mendidik anak agar dapat membaca-menulis-berhitung sampai ditambah kemampuan berbahasa bilingual, bahkan trilingual (ada ga ya istilah ini? hehe..). Intinya, orang tua ingin anaknya tidak kalah dengan anak lainnya. Ingin anaknya menjadi pemenang. Tidak ada salahnya sih memberikan stimulasi dan pengasuhan yang mengutamakan motivasi untuk menjadi pemenang. Namun jika tidak disertai pemahaman yang tepat apa arti "menang" sesungguhnya, tentu anak menjadi pejuang tanpa hati dan jiwa. Hanya ambisi belaka. Dan nantinya akan mudah rontok karena hanya mengukur keberhasilan dari sebuah penghargaaan harafiah dan sering kali materialistis.

Dengan harapan orang tua yang setinggi langit itu, banyak murid TK bersekolah dengan jam sekolah yang cukup lama, sampai setengah hari-an. Belum ditambah les. Ya, les! Kalau secara logika, tentu kita akan bertanya, les apa yang diperlukan oleh anak TK? Jenjang TK utamanya adalah sarana mengembangkan kemampuan sosial emosional anak, ditambah pengenalan awal untuk tuntutan skolastik, bukan drill/mencapai tuntutan nilai akademik. Jadi idealnya, anak TK boleh saja diberikan pengenalan calistung, namun tidak dilatih untuk HARUS mampu. Hanya pengenalan. Namun banyaka lembaga pendidikan dan orang tua yang salah kaprah dan 'memaksakan' anak untuk bisa calistung, seperti layaknya anak usia sekolah (6 tahun ke atas). Memaksakan disini, patokannya adalah kematangan mental anak. Jika dilihat dari sisi perkembangan psikologisnya, anak pada usia TK memiliki tugas perkembangan utama untuk bersosialisasi, mengenal lingkungannya, dan kematangan emosinya. Bukan penekanan akademik.

Ketika memasuki jenjang SD, orang tua akan menularkan kegalauan tambahan kepada anak. Di jenjang ini, anak sendiri saja perlu masa adaptasi yang sangat khas untuk masing-masing pribadi, terhadap tuntutan lingkungan SD. Tuntutan yang dimaksud bukan hanya secara akademik, tapi secara psikologis. Misalnya, lingkungan fisik sekolah yang mungkin masih terlalu berukuran besar untuknya, teman-teman baru, guru-guru baru dengan gaya mengajar yang tentu berbeda dengan guru-guru di TK, dsb. Intinya, anak perlu masa untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Ketika anak dalam proses ini, ternyata pihak luar menambah tekanan kepada anak. Anak dituntut terutama untuk mengejar kemampuan akademik tertentu, padahal keberhasilan prestasi akademik tidak hanya bergantung pada pemahaman anak akan materi pelajaran saja. Tuntutan akademik masa SD adalah perpanjangan dari salah kaprah masa TK. Karena dianggap sebagian besar atau semua murid sudah bisa calistung, maka materi pelajaran SD (kelas 1) sudah berisi kalimat-kalimat yang cukup panjang. Meski memang setahu saya, secara resmi kurikulum TK dan SD didesain untuk mengikuti masa perkembangan anak. Namun pada prakteknya tidak begitu. Materi dengan kalimat panjang serta cenderung kompleks menyiratkan bahwa anak sudah dituntut harus dapat membaca (secara lancar) sebelum masuk SD. Hal ini yang membedakan dari masa SD pada masa saya. Dimana kelas 1 SD jaman saya, adalah masa perkenalan awal terhadap tugas-tugas akademik, seperti calistung itu.

Dengan kondisi demikian, siapakah yang paling panik? Orang tua tentunya. Orang tua lantas berperan SANGAT aktif dalam membimbing anaknya. Sangat disini diberi huruf kapital karena kadang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Misalnya, pada sebuah sekolah yang memang tidak begitu kaku, seorang ibu tidak segan-segan mengintip dari jendela kelas untuk mencatat soal latihan ulangan agama (ulangan pertama bagi si anak pada tahun ajaran ini) karena tidak ingin anaknya tertinggal. Di satu sisi bisa dimaklumi karena memang si anak tidak selesai menyalin dan mengerjakan soal tersebut. Namun tentu tidak dapat dibenarkan begitu saja cara ini karena tidak melatih kemandirian anak dan tidak adil bagi anak lain yang orang tuanya tidak bisa mencatat seperti ibu ini.

Para murid ini pun mendapat batunya dari kepanikan orang tua. Belum lagi berjalan setengah semester, orang tua sudah merasa panik karena anak belum mampu mengikuti materi pelajaran sepenuhnya. Kepanikan ini sudah cukup mengganggu. Apalagi jika disertai pemaksaan dengan cara-cara yang traumatik atau tidak tepat. Misalnya dengan memarahi anak, mencubit anak ketika anak sudah mengantuk dan tidak mau meneruskan menulis.

Padahal bila secara objektif, tentu wajar jika anak usia 6-7 tahun masih belajar dan melatih motorik halusnya untuk menulis, serta kemampuannya mencerna materi-materi yang diberikan, apalagi di awal 1-2 bulan di masa SD ini. Maka wajar jika : catatan yang diberikan di sekolah, sering kali atau bahkan selalu tidak selesai, buku penghubung yang isinya biasanya menginformasikan PR atau pengumuman penting pun terlewatkan, tidak ditulis oleh anak.

Lalu, apakah orang tua tidak boleh galau? Tentu boleh dong! Hanya saja, cobalah kelola rasa galau itu agar tidak berimbas negatif terhadap anak. Orang tua dapat mengobservasi selama 1-2 bulan mengenai kemampuan anak, dengan terus memberikan rutinitas keseharian (termasuk kegiatan belajar) dan motivasi yang tepat kepada anak. Coba sasar kemampuan anak yang masih kurang dengan bantuan latihan di rumah. Jika latihan di rumah tampak masih kurang dalam waktu kira-kira 3 bulan, mungkin anak dapat diikutkan les. Les ini dapat diberikan dengan catatan tetap memberikan keseimbangan untuk aktivitas lain, terutama bermain dan beristirahat. Serta bukan berarti orang tua lepas tanggung jawab untuk membimbing anak belajar jika sudah ikut les.

Kegalauan orang tua juga dapat dipergunakan untuk menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap berbagai informasi dan pengetahuan mengenai pengasuhan serta pendidikan anak. Carilah berbagai sumber-sumber terpercaya mengenai tema ini. Sehingga orang tua tidak tercebur ke dalam kegalauan yang tak berguna atau bahkan merusak anak.

Jadi, jangan sampai galauers melahirkan generasi yang galauers, yaa...


Rasa Aman

Rasa aman rupanya menjadi barang langka di lingkungan tempat tinggal di kota besar, seperti Jakarta ini. Ketika melangkahkan kaki keluar dari rumah, biasanya kita sudah dipenuhi pikiran-pikiran antisipatif. Awasi kanan kiri, jangan-jangan dia copet, jangan-jangan dia penculik anak, jangan sampai ada orang asing yang menculik anak kita, hati-hati memberi sedekah kepada pengemis, jangan-jangan dia sebenarnya sudah kaya atau jika memberikan uang pada pengamen, khawatir uang kita akan dipakai madat atau cuma setoran ke gembongnya.

Ada-ada saja kekhawatiran sebagai warga kota besar.

Tadi siang saya mengalami rasa khawatir itu. Seorang petugas yang sedang membangun ruko (rumah toko) di sebelah rumah saya memanggil-manggil saya, sebagai tuan rumah, "Ibu... " Saya pun menanggapi. Ternyata petugas tersebut menjatuhkan pernik kecil untuk memasang jendela bangunan yang sedang dikerjakannya. Pernik/alat tersebut jatuh di halaman rumah saya, yang memang berdempetan dengan bangunan tersebut. Setelah berusaha mencari yang dimaksud, saya tidak berhasil menemukannya. Maka si petugas meminta ijin untuk masuk ke halaman saya. Wah, sebetulnya agak dag-dig-dug-der juga sih. Karena di rumah sedang tidak ada orang dewasa lainnya. Hanya saya dan anak saya, yang sedang tidur. Tapi melihat gelagatnya yang tidak mencurigakan saya pun mempersilahkan dia masuk. Dan selama ia mencari, saya secara tidak sadar memegang erat sebatang besi bengkok, selot pagar darurat yang baru saja saya buka. Seakan-akan bersiap menggunakannya sebagai 'senjata' kalau dia berbuat macam-macam. Dan syukurlah, sampai ia keluar lagi dari halaman rumah saya, tidak ada perbuatan jahat apapun. Dan dengan was-was saya masih saja mengawasi sekitaran rumah saya, yang ternyata memang sedang ramai karena beberapa kuli bangunan sedang menurunkan bahan bangunan di sebelah rumah saya itu. Tapi saya berhasil menenangkan diri saya dan kembali mengerjakan perkerjaan saya di dalam rumah.

Rasa was-was yang terbentuk mungkin terjadi karena proses belajar pribadi atas pengalaman-pengalaman yg saya alami, dengar maupun pengkondisian dari berbagai berita dan nilai ketidakamanan yang cenderung didengungkan di kota besar ini. Memang tidak dielakkan lagi bahwa tingkat kriminalitas di Jakarta memang cukup tinggi, maafkan jika tidak sempat mencantumkan angkanya di sini. Namun kadang kala ada saatnya kita sebagai warga Jakarta harus menempatkan rasa takut yg proporsional, jangan sampai berlebihan dan menghalangi kita sendiri atau pun orang lain. Misalnya jadi parno/ketakutan untuk keluar rumah, dll.

Di lain pihak jangan sampai juga tidak memiliki rasa was-was lalu jadi tidak berhati-hati karena tentu bisa fatal akibatnya. Usahakan untuk tetap waspada :) Jika kewaspadaan dan usaha antisipatif seperlunya sudah dilakukan, maka semoga rasa aman menjadi pegangan kita.

Jumat, 07 September 2012

Lautan

Aku pernah tenggelam di lautan Tenang! Bukan lautan yang ganas Tapi lautan pengalaman Ada sebuah permata di dalam sebuah kerang, tapi ketika kudekati, kerang menutup cangkangnya Dia berkata, jika ingin permata, aku harus membuatnya sendiri Diajarinya cara membuat permata Aku pun mencoba dengan tekun karena ingin permata itu Permata yang berharga bisa untuk merias diri atau untuk dijual dan mendapat rupiah Ketika dalam proses Aku melihat terumbu karang yang berwarna warni Sungguh menarik Dan banyak ikan yang mencarinya Aku dekati dan ternyata aku suka ikut beramai disitu Beberapa rupiah juga kudapat Kembalilah aku ke kerangku Permataku tampak tak berkembang Akibat teralihnya perhatianku kepada warna2 terumbu Aku rawat dia kembali Tapi aku lalu sadar Di punggungku ada kecilku yang beranjak besar Selalu mengajakku bermain Selalu ingin diperhatikan Dan selalu menimbulkan kebahagiaan bagiku Itulah tanggung jawab, cinta kasih dan hidupku Maka aku pun pulang Membawa cangkang kerang yg aku rawat hingga tumbuh permata terbaik Dan memeluk kecilku agar dia tumbuh dalam sayang

Minggu, 19 Agustus 2012

Mimpi = Cita-cita

Sudah cukup lama ternyata sy memiliki blog ini sejak 2008! Tapi ga kontinyu pengisiannya. Blog ini sy buat utk menyalurkan hobi menulis saya dan memulai mimpi sy utk menjadi penulis. Tapi kadang nasib mengarahkan ke lain hal, tapi karena sy juga sih yg mengijinkan. Mulai dari pekerjaan rutin yg part time tapi menyita energi pastinya yaitu dosen part time dan associate psikolog anak di sebuah LSM, sampai tentu saja printilan melayani konsumen di Allegra os, sebuah online shop... (well, masih based di FB siih hehehe..) Semua pilihan kegiatan tsb tentu ada alasannya... Kemarin ini sy menerima satu sms dari seorang perempuan remaja yg hamil di luar nikah/hamil yg tak diinginkan... mengingatkan saya pada beberapa sms yg serupa sblmnya serta kasus2 yg aku pernah hadapi di kantor serta tentu saja berjuta kasus sama di luar sana. Maka, satu mimpi lagi terwujud dalam benak saya, membuat shelter plus pelayanan bagi remaja2 ini. Mau tau lagi mimpi lainnya? Pengen banget bikin taman bacaan dan bahkan perpustakaan, yang tempatnya nyaman dengan buku2 beragam. Mungkin awalnya fokus utk anak, utk menumbuhkan benih cinta membaca. *eits, ini mah menyentuh teknis.... hihihihi... Intinya banyaaak ya angan-angan saya.. dan entah kapan eksekusinya. Kata orang banyaklah bermimpi agar sukses, tapi menurut saya banyak mimpi tanpa eksekusi akan membuat kita tidak berpijak pada tanah. Hanya menjadi ilusionis tanpa realita. Well, meski saya baru beberapa langkah mewujudkan mimpi saya, saya ingin menganggap mimpi-mimpi saya menjadi cita-cita saya. Banyak cita2 seperti anak-anak? Well, why not? :)

Selasa, 15 Mei 2012

Siapa sih yang mau rusuh?

Tadi baru saja aku mengantar Teresa berlomba nyanyi bersama di TMII. Setelah berlomba, T minta naek skylift alias kereta gantung. Sehubungan aku juga belum pernah (padahal rumah deket dengan TMII loh!) jadilah aku dan T naik kereta gantung. ketika mengantri, bertemulah kami dengan sepasang ibu dan anak perempuan persis seperti aku dan T. Usia anak tsb pun seusia dengan T meski beda sekolah. Ternyata ngobrol punya ngobrol dengan si ibu, anak tsb katakan bernama F, juga baru berlomba ucap syair. Karena T dan F tampak langsung akrab meski baru saja berkenalan. Maka aku memutuskan untuk mundur sedikit dan mempersilahkan dua orang di belakangku untuk maju, agar aku dan T bisa masuk satu gerbong dengan F dan ibunya itu.



Di tempat antri, F tiba-tiba berbisik-bisik kepada ibunya sambil melirik2 aku tersenyum lucu. Dia langsung bilang dengan polos, "Kok mamanya Teresa sipit ya matanya, Teresa juga... kayak orang Cina..." Aku langsung spontan tertawa lepas dan berkata, "Iya memang ada keturunan Cina dan memang kan Teresa anak Tante jadi sama dong sipit.." Dalam hati aku tertawa geli menyaksikan komentar si F yang sangat polos tanpa pretensi apapun. Berbeda kalo aku ditanya oleh orang dewasa di sikon lain yg mungkin pertanyaan semacam itu dianggap sensitif serta bernada hati-hati. Memang ya judgemental budaya seperti itu terbukti dipelajari bukan terberi.



Di dalam kereta rupanya kami berempat cukup klop. layaknya tour guide, aku dan si ibu menyebutkan beberapa gedung dan pemandangan yg terlintas di bawah. untung ga ada yg parno ketinggian hehehe... Lalu ketika sampai di tempat beribadah, kami, si ibu dan aku, menyebutkan satu per satu tentang nama tempat ibadah dan umat beragamanya masing-masing. Aku senang ternyata respon F dan T cukup baik tanpa memberikan komentar-komentar yang berbau SARA. Karena aku sangat memperhatikan hal ini, bahwa banyak anak di sekitar masyarakat pada umumnya akan memberikan komentar-komentar yang menunjukkan bahwa pembedaan SARA dan mengutamakan golongannya sendiri sudah 'ditularkan' sejak dini. Sehingga anak cenderung merasa curiga dan membedakan orang lain berdasarkan golongan.



Ketika kembali melewati rumah ibadah ketika dalam rute kembali ke stasiun tempat kami naik, sang ibu berkomentar dengan nada ringan cenderung bangga, "Cuma di Indonesia nih bisa ada berbagai rumah ibadah berjejeran seperti ini..." Aku berkomentar, "Betul, bu. Mangkanya sangat menyebalkan kalo ada oknum-oknum yang bikin rusuh." Ibu itu menanggapi, "Iya. memang... makanya saya males liat berita, yg penting sy bisa kerja. memang jadi apatis sih ya... tapi mau gimana lagi..." Aku pun menanggapi menyetujuinya.



Aku yang mendengarnya merasa senang sekaligus terkejut, karena topik semacam ini berani diucapkan olehnya, mengingat banyak orang, termasuk aku, sangat berhati-hati membicarakan topik seperti ini. Mungkin karena teringat berbagai isu kerusuhan berlatar belakang perbedaan SARA. Dan ditambah lagi fakta bahwa kebetulan si ibu memakai kerudung yg identik dengan perempuan muslim, yang merupakan kaum beragama yg mayoritas di masyarakat kita. Dan saya, yg notabene berwajah Cina ini tentu dengan mudah disangka non muslim (dan memang begitu keadaannya). Meski aku banyak juga mengenal dan berteman baik dengan perempuan muslim berjilbab yang moderat, tetap aku kagum dan senang mendengar komentar si ibu yang membuatku damai.Artinya kami berdua berhasil membangun komunikasi yang mengabaikan atau meminimalisir prasangka buruk terhadap kelompok/individu yang berbeda. Artinya juga kami mempraktekkan toleransi keberagaman. Artinya kami berhasil menolak segala provokasi bahwa berbeda itu salah, berbeda itu harus dilawan. Karena kami berdua yg nyata berbeda ini bisa saling berinteraksi dengan damai bahkan memiliki kebanggaan yg sama, yaitu bisa hidup di Indonesia yang amat plural ini.



Aku menjadi semakin yakin bahwa kejadian2 provokatif kerusuhan berdasarkan isu SARA terutama perbedaan keyakinan, yg akhir-akhir ini marak terjadi, hanyalah "rekayasa" pihak2 yg tidak bertanggungjawab dan rendah hati nuraninya. Karena ketika aku berhubungan dengan berbagai macam masyarakat dengan bermacam SARA, ternyata perbedaan itu tidak menciptakan permusuhan. Bahkan persahabatan bisa terus berlangsung. Perbedaan malah membuat aku dan teman2ku itu 'kaya'. Aku pun jadi merasa bahwa bhineka tunggal ika itu tetap bergaung dalam masyarakat secara murni.



Jadi, semakin juga menguat pertanyaan di hati saya, sebenarnya siapa sih yang mau rusuh?

Senin, 02 Januari 2012

Hal-hal yang Sangat Disyukuri

Salah satu resep agar hidup semakin berkualitas adalah dengan bersyukur. Maka terlintaslah beberapa hal yang membuatku merasa bersyukur : - Makanan2 enak - Keluarga yang baik, terutama my angel Teresa - Good books n wonderful writers - Good friends, yg mau mendengarkan ketika kita perlu mengeluarkan semua kata-kata kita, yg bisa berbagi mimpi, berdiskusi tentang berbagai hal. - Good Movies (to be continued)

Baca, baca, baca!

Sekali lagi, sangat bersyukur bisa punya waktu utk membaca buku2 bagus! kl gambaran kutu buku biasanya adl berkacamata tebal, berpakaian rapi, kalo sy : berpakaian santai di rmh (mostly kaos rumahan, celana pendek hehe), tanpa kacatmata, membaca di sela2 kegiatan IRT plus2 ini : ketika nunggu kompi loading, nunggu anak sikat gigi, pis dll, ngisi waktu ketika anak tdr d mobil, dll :D * baru selesai membaca buku Jalinan Jiwa, by Divakaruni ;) " Kadang-kadang, sambil membaca buku baru, aku begitu bergairah sampai lupa bernapas. Begitu banyak yang harus dipelajari, dan aku telah kehilangan begitu banyak waktu. Setiap hari dunia-dunia baru bersinar-sinar di sekitarku. Aku seperti orang rabun ayam memakai kacamata pertamanya. Apartheid. Midnight's Children. Internet. Aung San Suu Kyi. Lalu aku berpikir, apa manfaat semua informasi ini? Apa yang akan diubahnya dalam hidupku? ..." (Anju, dalam buku Jalinan Jiwa, Divakaruni) Yap! semakin banyak buku aku baca semakin sadar aku tidak tahu apa-apa tentang berbagai hal. Baca, baca, baca!