Minggu, 30 Agustus 2009

Secangkir Coklat Hangat...

(inspired by "Chocolate High" - India Arie feat. Musiq Soulchild)

Pagi itu, aku sudah di depan komputer meja kerjaku. Kulirik sebelah kanan mouse yang kugenggam. Sebuah cangkir, bertuliskan Mine, berisi cairan ternikmat, at least for me.... coklat hangat telah tersedia. Menemani aku, seperti anjing setia. Lemak? Ah, siapa peduli! Tokh aktivitas di gym selalu menemaniku di sore hari. Kusesap perlahan coklat hangat itu.

Hmm... nikmat...

Sesekali aku menggantinya dengan teh atau juice, tapi selalu kembali ke secangkir coklat panas. Seperti sesuatu memuaskan dahagaku ketika menyeruput cairan hangat itu. Mungkin memang benar kata para ahli, coklat memberikan rasa santai dan gembira.

***

"Jadi, kamu maunya apa sih?" kataku gemas menatap wajahnya di seberang meja.

" ... " dia terdiam.

"Aku sudah berikan semuanya. Aku berusaha menjadi yang kamu mau. Tapi masih belum cukup rupanya... Apa maumu... Aku ga ngerti lagi... " kataku tak sengaja terkesan putus asa.

"Maafin aku, Say..." dia berusaha menjawab.

"Maaf... gampang... tapi, apa kita mau seperti ini terus? Sudah dua kali! Aku sudah muak...!" kataku tiba-tiba melontarkan magma dari perut gunung merapi cintaku.

"Aku masih sayang kamu... Please..." katanya tak berani menatap wajahku.

"Bull shit!! Kalau kamu sayang aku, kenapa kamu begitu?!" semprotku.

"..." bisu lagi dia.

"Ah aku tak tahu lah... Sekarang aku ingin sendiri... Pergi. Sekarang juga." aku menegaskan keinginanku.

"Tapi say, ..." dia berusaha membantah.

"Pergi. Sekarang." kataku menatap ke luar jendela, tak lagi memberi kesempatan menerima bantahan.

Dia pergi dengan lunglai. Entah lunglai dari hati atau hanya fisik belaka.

***

Secangkir coklat menemaniku sesorean setelah percakapan melelahkan tadi. Aku hanya termenung. Kadang memejamkan mataku. Ditemani sayup-sayup live music dari panggung cafe ini..

Tiba-tiba, ada suara memanggilku, "Arumi... apa kabar?"

Aku menengok ke arah suara itu. Sesosok laki-laki berpakaian casual tersenyum membawa secangkir coklat.

"Oh, hay... Kabarku baik... Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tanyaku gagap. Mencoba mengaduk memori tentang teman-teman masa laluku.

"Sudah kusangka kamu lupa. Aku Doni. Aku temanmu semasa SD di Yogya. Ingat? Ga heran kamu lupa, karena setelah kelas 1 SD kamu pindah ke Jakarta." katanya berusaha mengingatkanku akan identitasnya.

Maka akhir hari itu tidak seburuk awalnya. Karena kehadiran seorang teman ternyata cukup dapat mengalihkan luka akibat percakapan dan kejadian sebelumnya. Meski untuk sejenak.

***

Sore sudah mulai lewat. Aku pun tiba di kamar apartemen satu kamarku. Kutaruh tas ku di atas bufet dekat pintu. Sofa menjadi tangan setia memeluk badanku setelah penat hari ini. Kupejamkan mata lelahku. Laksana film rusak, adegan siang tadi berputar.

***

"Adi, tolong datang ke kantorku. Kalau bisa sekarang juga. Ada yg perlu aku sampein ke kamu. Mendesak. " kataku melalui SMS, tanpa basa-basi dan nada manja seperti biasanya.

Tak lewat 2 jam-an, Adi datang. Seperti biasa aroma parfun macho kesukaanku semerbak seiring kehadirannya di kamar kerjaku yang tak begitu luas ini. Rambutnya tersisir rapi, lengkap dengan stel kemeja berlengan panjang dan celana bahan yg rapi terjatuh di atas sepatu mengkilapnya.

"Halo, Say... " katanya terkesan agak gugup, menghampiri pipiku untuk mendaratkan kecupan.

Namun aku mengelak kecupannya, yang pernah aku rindukan. Kujauhkan kepalaku. Sehingga ia pun berada di posisi yg tak seimbang. Untung meja ada di situ, untuk menahan bobot badannya.

"Silahkan duduk, 'di. " kataku dingin tanpa memandang mata dan mengabaikan peristiwa pengelakkan tadi.

Dia duduk. Mulai menarik ekspresi muka ramahnya.

"Sejak perselisihan kita hari Sabtu kemarin, aku berpikir banyak. Merefleksikan apa yg terjadi dalam hubungan kita selama 3 tahun-an ini. Dua kali sudah aku memberimu kesempatan karena pengkhianatanmu. Dan ternyata kesabaran dan kelebaran maafku tak bisa lagi kuberikan untuk yang ketiga kali ini. Dari semua kejadian itu dan perasaan-perasaan yang berkembang akhir-akhir ini, telah membuatku mengambil suatu kesimpulan. Kamu tidak pantas untukku. Dan aku tak bisa lagi bersamamu. " kataku lancar seakan tanpa beban, meski menyimpan pilu di hati.

" ... Say, tolong kasih kesempatan lagi ... aku akan berusaha... " katanya mencoba memelas, masih mencoba mendapatkan hatiku.

Keputusanku sudah bulat dan kokoh. "Tidak bisa, aku ga bisa kasih kesempatan lagi. Tuhan pasti bisa memberikanmu kesempatan lain, dengan orang lain. Tidak denganku. By the way, tolong panggil aku sekarang dengan namaku, Arumi, bukan lagi 'say. Karena aku bukan lagi sayangmu."

"Tapi... aku.. masih sayang kamu.... " katanya menggantung, seakan mengucapkannya untuk kesadaran dirinya sendiri.

"Adi, aku sudah menyampaikan apa yang ingin kusampaikan. Sekarang tolong tinggalkan kantorku. Aku ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku doakan yang terbaik untukmu. Selamat tinggal. " kataku, berpura-pura menyibukkan diri dengan berbagai kertas laporan di mejaku.

Semoga dia cepat pergi, batinku. Sebab air mata mulai mendesak keluar dari sudut-sudut mataku. Aku tak ingin ia melihat aliran air mata ini. Biar aku menelan dukaku. Dan akhirnya bangkit sendiri, karena diriku. Bukan karena orang lain.

Dia beranjak dari kursinya, agak lambat laksana adegan slow motion pada film-film drama.

"Baiklah, Arumi. Aku pergi. Selamat tinggal. Ingat, aku masih sayang sama kamu. " katanya lirih namun jelas, kali ini ia mengucapkannya dari dalam hatinya. Bukan lagi mencari kesempatan seperti sebelumnya.

Aku tak sanggup menahan air mataku lebih lama lagi. Kuputar kursi ke arah tembok. Tertunduk pasrah membiarkan kesedihan mengalir deras. Terdengar pintu tertutup. Blam. Tertutup juga cintaku kepadanya.

***

Kubuka mataku. Merasa beruntung tak lagi di kantor, dimana bayangnya meninggalkan pintu itu terus berulang. Aku bangkit dengan malas. Memutuskan untuk ke kamar mandi. Mengguyur badan, agar dinginnya air membekukan luka yang menganga. Dan dilanjutkan dengan tidur sampai pagi. Rasa lapar tidak kugubris. Sampai pagi hari datang, terpaksa kubangun. Menyelesaikan rutinitas hari itu serasa robot.

***

Sore datang. Jam kerja usai. Maka kumelaju ke arah cafe favoritku. Tak ingin rasanya sendiri di kamarku lagi. Mengingat aku tinggal sendiri di kamar apartemenku.

Kuraih cangkir berisi coklat yg mulai menghangat. Sambil terus menerawang ke luar jendela cafe sederhana ini. Alunan lagu "I'll Survive"nya Cake terus menemaniku semingguan ini. Ah.... sure! Aku akan survive... Tapi untuk saat ini, sulit rasanya keluar dari kubangan kesedihanku.

Tentu saja, secara rasional, aku menyadari bahwa putus dengannya adalah keputusan terbaikku selama 3 tahun ini. Memutuskan sesuatu yan membebaskanku dari kekhawatiran akan pengkhianatan yg terus berulang. Memberikanku kebebasan dari tanya, apakah dia mencintaiku atau tidak. Karena akhirnya aku tahu, yang paling penting adalah rasa sayang pada diri dari aku sendiri. Akhirnya aku tak lagi merasa takut akan kehilangan cintanya. Karena aku tahu sekarang, cintanya bukan untukku. Dan rasa sayangku tak pantas diberikan untuknya. Aku ingin mengabdikan cintaku pada orang yang memang benar menyayangiku dengan tulus.

Tiba-tiba, sebuah sapaan terdengar di sisi kiriku. Aku menengok dan menemukan wajah ramah, tersenyum.

"Hay, Don... Kok, bisa sama-sama di sini ya... " kataku sedikit kaget dan bertanya-tanya.

"Hmm... ga tau juga ya. Aku juga kaget. Hmm, sebelum bertemu temanku, boleh aku menemanimu duduk di sini? " tanyanya spontan.

"Tentu. Silahkan.." langsung aku menyambut kehadirannya, dengan sekilas menyadari minuman yang digenggam Doni sama dengan cangkirku di meja. Secangkir coklat hangat.

Maka sore itu menjadi agak cerah, karena kembali hadir seorang teman.

***
Minggu telah berganti bulan dan menumpuk menjadi tahun. Sudah dua tahun semenjak aku memutuskan Adi. Lihatlah hatiku. Tak lagi kuasa berlama-lama menghitung air mata. Dan berhasil menapak dalam hubungan baru. Berusaha meraih harap dan mewujud asa.

Doni telah mengisi hari-hariku. Tanpa mampu aku memberikan arti & harap lebih terhadap sekian tawa dan kerinduan yang selalu hadir di antara kami. Manisnya masa berpacaran, kata banyak orang. Ah, tetap aku menikmatinya.

Dua gelas berisi coklat panas seakan selalu hadir mengingatkan jalinan sederhana yang ada di antara kami. Berisi kehangatan cinta dan rasa manis yang selalu ingin dipeluk raga.

Semoga...

Minggu, 16 Agustus 2009

Merdeka!

17 Agustus
hari sakral tampaknya
tapi apa benar sakral?
tentu... utk para pejuang, dari yang elite sampe yg di barisan bawah
tapi... utk para muda (kita...) di masa skarang? bagaimana kemerdekaan itu dihayati?

rata-rata dari kita sudah merasakan kebebasan sejak lahir
mendapat semua kebutuhan hidup mendasar
minum, makan, sandang, papan
bahkan banyak yg dari kita (yg tergolong beruntung dibanding lapisan masy. lain) yg bisa rutin berrekreasi, menghibur diri, relaks...

tapi... di luar kelompok rata-rata (meski data statistik menunjukkan kenyataan lain pastinya...) banyaaakk yg sejak lahir sudah mengenal apa yg namanya kemiskinan
miskin ekonomi
yg hampir otomatis membawa kemiskinan lain
miskin pendidikan
miskin kesehatan
miskin .... dsb...

ah... jadi bertanya, betulkah negara ini sudah Merdeka dalam arti yg sesungguhnya?

betul! kita bebas berpendapat tanpa takut dibungkam
(apakah betul? krn kemarin masih kudengar proses pengadilan si Ibu yg menulis surat mengkritik salah satu rumah sakit ituh, masih menggantung entah sampai kapan...)
betul! kita bebas untuk memilih apa yg kita inginkan tanpa disetir keinginan 'penjajah'
(apa betul begitu? krn setiap hari kita terdesak oleh sejuta tawaran konsumerisme yg menjajah pola pikir dan gaya hidup kita, sejumlah tawaran media/para pemilik modal yg tak sehat, sadar atau tak sadar...)
betul! kita bebas utk berjalan kemana-mana... tanpa ada ancaman yg berarti...
(namun apakah betul begitu? mengingat polusi dimana-mana, mengingat premanisme masih terus ada, mengingat ancaman moral masih jg mengerogoti..)
betul! keadilan sudah bisa dituntut dalam sebuah sistem yg siap digunakan
(tapi... masih terus kudengar adanya tragedi kemanusiaan yg tak berpangkal meski menelan jiwa yg tak bersalah, masih ada mafia para penegak hukum, dan sejuta pe-er lainnya..)

eits... itu hanya sejumlah pertanyaan... sejumlah refleksi singkat yg bisa ditambahkan oleh siapapun, tentang apapun lagi...
tidak bermaksud pesimis
hanya bersikap waspada
tdk mau terbuai dg keadaan damai sentosa yg berhembus
sebab nyatanya masih banyak sisi-sisi dan detil-detil yg harus dibangun bersama

dengan semua kondisi itu,
Aku cinta Indonesia... sebuah negri unik tak ada duanya...

utk mencintai sesuatu.. bukan berarti menyoroti kekurangan
tapi, berusaha bertumbuh bersama, agar terus menerus menjadi dewasa...
berusaha 'membangun' dari dalam
bukan merongrong dari luar

mari kita bernyanyi dengan bangga (dengan lantang or dlm hati saja, yg penting penghayatannya...)
"Hiduplah tanahku, hiduplah negriku
bangsaku, rakyatku, semuanya
bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya, merdeka merdeka
tanahku, negriku, yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka merdeka
hiduplah Indonesia Raya!"

Dirgahayu negriku... negri sejuta masyarakat...
meski bernoda bajumu, namun hatimu akan terus dijaga sejuta tangan berbakti
meski lusuh tampangmu, namun jiwamu tetap akan terbakar berjuta semangat perjuangan hidup tak henti

(also written at notes FB)

Salut Kepada Para Pengasuh

Mengantar Teresa ke sekolah merupakan pengalaman yang menarik. Salah satunya melihat para pengantar teman-teman Teresa yang bervariasi. Dari orangtua kandung (ada ayah atau ibu), oma, tante, dan tentu para Mbak-mbak dan Babysitter. Nah, yang terakhir ini yang sering menarik bagiku. Kenapa? karena para pengasuh, yg notabene non keluarga itu, mengemban tugas yang tak mudah. Mulai membangunkan anak sejak pagi, which is ga selalu mudah kan.. lalu menyelesaikan rutinitas pagi. Dan terus menemani di sekolah sampai pulang, makan siang, dan segala macam aktivitas sampai akhir hari. Belum lagi jika si anak ngambek, rewel, ga mau disuruh ini-itu, nangis tak berkesudahan. Ga mau makan, mandi, sikat gigi dsb dsb... Tau sendiri kan bagaimana seorang anak bisa beraksi...

Belum lagi menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dari si orang tua akan pengasuhan anak yang tentu ingin si pengasuh berlaku sebaik2nya (kalo ga mau dibilang sempurna... :P) kepada si anak. Tuntutan ini bisa berupa kebiasaan2 ttt, menjaga kebersihan, kesehatan, nilai-nilai moral, dan segala tetek bengek yang kalo dilist ga akan ada habisnya. Tentu pelaksanaannya tergantung juga dengan pribadi masing-masing pengasuh. Apakah memang berjiwa keibuan? Yah, beruntunglah si anak dan orangtua. krn ga tll banyak pr utk 'membentuk' si pengasuh mjd pengasuh yg 'baik'. Tapi.... ga sedikit dari mereka yg masih senang "bermain", mengingat banyak dari mereka yang masih berusia belia dan sedang senang2nya bergaul sana-sinii.... wajar aja kalo ketika mereka chit chat di hp ktk sedang mengasuh anak or nungguin anak maen di playground. tapi, balik lagi, tentu akan ada saatnya kebiasaan main ini bisa mengganggu tugasnya, yg menuntut kewaspadaan.

Oke lah, mereka memang dibayar... karena mereka berstatus sebagai 'pekerja'. Namun bisakah kita membayangkan... tugas yang tidak hanya menguras tenaga fisik, pikiran tapi juga hati. Selain itu, tentu dituntut (secr langsung maupun tdk lgs) utk bertanggung jawab atas "hidup" seorang anak. Mungkin istilahku berlebihan. Tp itu yg aku rasakan dan amati. Dari sekian puluh jam hdp anak dlm 1 hari, pengasuhlah yang bertanggung jawab atas ini-itu keperluan si anak. Memang keperluan si anak tampak hanya secara fisik. Menemani bermain, memberi makan-minum, memandikan, memakaikan baju, de el el. Tapi, mau ga mau tentu akan ada hubungan emosional di antara pengasuh dan si anak. Eniwey, bisa dibayangkan betapa pentingnya peranan si pengasuh...Karena tanggung jawab yang ia pikul tidaklah sederhana. Bahkan pada akhirnya mempengaruhi perkembangan si anak. Maka sudah selayaknya kita memberikan apresiasi kepada si Mbak-mbak pengasuh... Misalnya selain gaji serta fasilitas yang memadai, ada baiknya jika mereka diberikan hari libur, agar bisa menyegarkan diri dari segala rutinitas mengasuh anak. Sehingga anak pun terhindar dari pengasuh yang bad mood lantaran sdg jenuh dg semua aktivitas pengasuhan.

(written 15 Agt 09, at notes FB)

Fun n Tired

Just wanna share...

Sudah 9 hari, asisten rumah tangga (art) di rumahku pulang kampung. Jadi seperti yang bisa dibayangkan... aku harus menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah tangga plus merawat Teresa, full time... Yah, sudah pasti dong, dibantu suami. Tapi tetep rasanya... hmmmm cuapeeee n menguras energi... bener-bener ga ada waktu untuk yang laen... ini aja disempet2in ngetik notes... hihihi.... Bolehlah mereward diri sendiri setelah beberes tadihhhh...

Hmmm... selain kelelahan yg kudapat, aku juga pastinya menikmati setiap pekerjaan yang dilakukan. Mulai dari memasak (yang gampang2 lah pastinyaa...), menjemur cucian, mencuci piring... dsb... Hihihi, emang ga sempet ngepel neh... palingan nyapu doang, tapi ga tiap hari. Untung kamar kami tertutup, jadi hemat debu hehehe...

Lalu,sudah dua kali ini aku pergi ngangkot (naek angkot maksudnyee...) sama Teresa ke sebuah supermarket mini dekat rumah. Sekedar belanja yang ringan (spy ga berat bawanya hehehe..) dan makan. It was fun. Kami enjoy d activity. Dari belanjanya, beli es krim, makan ayam, kentang, sop, jalan kaki, naek angkot, menghirup debu & asap, berpanas2 ria... terselip kegembiraan dan kenikmatan saat berdua. Berusaha memberikan nuansa lain untuk Teresa. Mengenalkan akan kebisingan dan polusi kota. Yes, its bad for our health. tp menurutku, setiap makhluk perlu beradaptasi untuk survive. Tidak baik jika steril, karena akan menjadikan kita rentan. Maka aku senang Teresa bisa mulai mengenal dan mgkn someday menikmati kegiatan semacam ini, di kota tempat tinggalnya ini.

Sekarang, Teresa sedang tidur. Sembari menikmati me time, aku juga sudah menghabiskan tempe goreng terigu seadanya dengan nasi dan sambal... Meski pegal rasa tulang belakangku setelah jalan2 tadi... dan juga pastinya krn beberes rumah... Tak ada sesal atas kelelahan ini, krn yakin akan meninggalkan jejak memori kebersamaan yg menyenangkan dengan Teresa.

(written 7 Agt 09 on notes FB)

Rabu, 12 Agustus 2009

Make ur own miracles

Secangkir kopi sudah menunggu. Membantuku membangunkan syaraf kantukku setiap pagi. Kucium sesaat aromanya yang mewangi. Entah kenapa tetap tidak membuatku bersemangat. Bi Inah dengan setia, sudah menyiapkan roti bakar isi dadar telur kesukaanku. Dengan tomat dan saos sambal di sampingnya. Hmmm... nikmat... Tapiii... tetap tidak membuatku bersemangat seperti biasanya. Ada apa ya denganku? Ah, tak tau lah ada apa. Tak ada waktu sekarang merenung pertanyaan seperti itu. Bisa terlambat nanti. Berabe. Dengan cepat aku menghabiskan semua sarapanku, sebagai bensin aktivitasku sampai siang nanti. Lalu kuraih tas hitamku dan bergegas ke si merah, vw beetle kesayanganku.

Meluncurlah aku menuju pusat kota. Keramaian sudah terasa sejak si merah berada di atas aspal jalan raya depan kompleks rumahku. Seperti biasa, campuran aktivitas anak sekolah yang masuk teramat pagi (6.30!) dan semua variasi profesi tumpah di ruas jalanan yang aku lalui menuju kantor. Untung tak ada kemacetan yang amat parah, sehingga mood ku tidak kian turun.

Akhirnyaa... kantorku tampak di ujung jalan. Megah, menjulang. Salah satu kantor idaman banyak kalangan. Alasannya mereka mengidamkannya tentu berbeda-beda. Ada karena status, bisa bekerja di pusat kota. Ada karena gajinya, yang katanya amat menggiurkan (padahal ya tergantung pengeluaran juga kan....). Ada juga campuran keduanya. Dan mungkin alasan2 lain yg aku tak tau... Aku sendiri, tidak memiliki ambisi khusus bekerja di perkantoran elite ini. Hanya karena kebetulan aku mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusanku ketika kuliah, maka aku tertambat di sini. Aku seorang ilustrator dalam sebuah biro iklan yang cukup mapan. Maka kalau ditanya soal prestise dan penghasilan, tentu sudah lebih dari cukup. Apalagi mengingat aku masih single.

Kujejakkan kaki di loby gedung kantorku. Mantap menuju ke deretan lift yang selalu mengantarku ke lantai 3 tempatku bekerja. Namun, kali ini ada yg berbeda tampaknya di sebelah lift. Ada sebuah stand dengan sejumlah banner dan dua orang ibu setengah baya, berseragam biru tua. Mereka nampak tersenyum ramah. Senyum yang tulus. Membagikan sejumlah flyer kepada orang-orang yang melintas. Karena tempat stand mereka sejalan dengan arahku ke lift, maka aku berhenti untuk mengambil flyer mereka. Ternyata mereka berasal dari sebuah yayasan sosial dari agama tertentu. Mereka sedang mencari donatur tetap agar dapat mendanai berbagai layanan sosial mereka ke berbagai masyarakat lintas agama dan ras. Hmmm... begitu tokh... Aku cemplungkan flyer itu ke dalam tasku. Biarkan berbaur dalam tas yang penuh dengan berkas ini-itu.

Di kantor, aku pun tenggelam dalam berbagai rutinitas seperti biasa. Tenggelam. Mungkin itu kata yang tepat utk menggambarkan keadaanku. Akhir-akhir ini semua rutinitas pekerjaan di kantor sering membuatku penat. Bagian tengkuk dan bahuku sering terasa kaku dan nyeri, terutama pada tengah hari seperti ini. Kenapa ya? Duh, pertanyaan itu lagi... Kulirik jam. Harap-harap cemas. Asyiikk! sudah jam 12. Waktunya istirahat siang. Kujawil temanku, si Itine di sebelah boks meja kerjaku.

"Tin... Bang somay sudah menunggu kita... Yuk! Udah pegel nih.... dan laper tentunyaaa..." kataku mengajak Itine beristirahat di tempat favorit kami.

"Huuu... dasar kamu Son. Aku masih banyak kerjaan nihhh... Kamu duluan gih... Nanti aku nyusul. Paling 15 menit lagi selesai. Oke..... c yaa... " sahut Itine.

"Yaa.... Oke deh... aku tunggu ya di Abang Somay! Dadah.... " kataku agak kecewa.

Aku pun mengambil dompet dan telpon selulerku. Dan meluncurlah ke lantai bawah, tempat si abang somay telah dikerubuti para karyawan yang kelaparan. Aku pun menambah kesibukan si Abang.

"Bang, saya satu porsi seperti biasa yaa.... " kataku dengan suara lantang dan jelas, mengalahkan semua "rival" pembeli yang lain.

"Eh, Neng Sonia... beres Neng... Ni Abang bikinin." kata si Abang agak genit dan sksd (sok kenal sok dekat). Maklum aku dan temanku, si Itine paling sering nongkrong berlama-lama di tempat si Abang Somay sesudah jam kerja usai. Sampai si Abang hafal pada kami dan pesanan kami masing-masing.

Sepiring somay dan teman-temannya sudah siap kusantap. Hemmm... lezaat... lumayan menghalau kepenatanku dan semua pertanyaan "kenapa" yang menyerang akhir-akhir ini. Ketika sedang menikmati si somay dan kawan2nya, tiba-tiba Itine muncul. Ia menjawil pundakku..

"Hey, Son! Asyikkk benerrr.... Akhirnya aku udah bisa kabuurr.... hehehe.... Dan... saatnya menikmati somaaayyy... nyam,nyam... " Itine menyerocos gembira.

"Iya dong.. ni somay kan ga ada matinyee... Ampuh mengobati kejenuhan hahaha.... " kataku berusaha mengimbangi keceriaannya.

"Eh, kamu kenapa sih, Son? Spertinya akhir-akhir ini agak ga ceria gituhh... biasanya cerewet ini itu... Kok sekarang jadi agak diem-diem aja.... Apa lagi ada masalah?" Itine mengungkapkan kecurigaannya akan perubahan mood ku.

"Ehmm... ga tau ni, Tine... Rasanya emang lagi ga semangat aja... " tanggapanku membawa kebingungan yg sama.

"Mungkin kamu lagi dapet? Atau dah kelamaan men-jomblo nih? hahaha..." Itine tampak berusaha menebak ke segala arah.

"Ga... dugaan kamu masih salaaah... wekkk...!" kataku meledeknya.

"Ah, kamu emang susah ditebak siihhh... makanya hidup dibuat seneng aja lah... jagan mikir ribet-ribet!" sarannya, simplisistis.

"Ya, ya, ya.... Bu Guru...." kataku kembali meledeknya.

"Weekkk... Eh, cepetan, musti balik nih. Si Bos nanti ngomel lagi..." katanya mengingatkan akan waktu istirahat yang hampir habis.

Kami pun kembali ke ruang kerja kami. Tenggelam lagi.

***

Pagi datang. Tanpa gairah yang meningkat, aku kembali menyelesaikan rutinitas hari ini. Ketika pulang, aku kembali melewati booth tempat para relawan berseragam biru, yang kemarin pagi aku terima flyernya itu. Oooh... ternyata namanya Hati Putih. Tak sadar, aku pun meneliti satu persatu foto-foto yang ada di papan booth itu. Masing-masing foto menceritakan karya-karya bakti sosial yayasan Hati Putih. Tampak jelas, mereka tak memandang beda ras maupun agama. Tujuan mereka hanya satu, melayani dan mengasihi. Sungguh mulia. Suatu perbuatan yg nampaknya di awang-awang untukku. Pekerjaan bagi orang suci. Bukan untuk orang awam sepertiku. Itu pikirku ketika aku meneliti satu per satu foto-foto tersebut.

"Ini adalah gambaran sebagian karya yayasan kami, Mbak. Apa Mbak tertarik menjadi donatur?" sebuah sapaan lembut terdengar.

"Ooh... iya. Saya baru saja memperhatikannya. Hm, donatur ya... " kataku sedikit gugup, belum tahu apa respon yg tepat utk menanggapi sapaannya.

"Kalau Mbak tertarik, tidak usah merasa harus menyumbang banyak. Ada berbagai donatur kami yang hanya memberikan dalam jumlah kecil setiap bulannya. Yang kami fasilitasi di sini adalah niat untuk melayani dan mengasihi sesama yang kesulitan." jelasnya secara langsung.

" Oooo begitu ya..." kataku masih belum bisa mengambil keputusan.

" Begini saja, mari kita duduk. Saya akan menjelaskan mengenai karya kami. Mbak sepertinya belum bisa memutuskan namun tampak tertarik dengan kegiatan kami. " katanya ramah, mengajakku ke sebuah tempat duduk dan meja sederhana. Tampak sejumlah brosur dan alat tulis di atas meja itu.

Meski bingung akan apa yang mendorongku mengikutinya, aku pun duduk di kursi yang ia siapkan. Ternyata ada beberapa orang lain yang juga seperti aku. Duduk, tertarik mendengarkan penjelasan para relawan berseragam biru. Mereka yang membius dengan senyum tulus dan kata-kata damai.

***

Peluh meleleh di dahiku. Namun tak kuhiraukan sejak tadi. Pegal-pegal karena banyak bergerak juga tak menggangguku. Tanganku sibuk mengangkat semua barang-barang yang ada di sekitar nenek tua itu. Ia tadinya sebatang kara. Namun sejak para aktivis Hati Putih menemuinya, di dalam rumah nan kumuh ini, ia tak lagi seorang diri. Ada orang-orang yang peduli padanya, yang setiap hari menemani dan memperhatikan kebutuhannya. Aku, dengan sangat bersyukur, adalah salah satu dari orang yang dapat melayani nenek tua.

"Nek, aku pindahkan Nenek ke sofa dulu ya. Aku bereskan dulu tempat tidur Nenek." kataku meminta ijin sambil tersenyum.

Nenek tua hanya mengangguk, tanpa kata bersyukur sedalam-dalamnya. Akhirnya ia merasa diperhatikan, merasa berharga sebagai manusia. Tidak ditelantarkan.

"Nah, Nenek di sini dulu. Sambil minum teh hangat ini, Nenek bisa menonton televisi atau memandang ke luar kebun. Aku beres-beres dulu di dalam ya, Nek." kataku ramah.

Tak sadar aku bernyanyi kecil sambil mengerjakan semua tugasku di situ. Tugas yang bukan beban. Tugas yg merupakan penemuan akan kesejatian jiwaku. Melayani dan mengasihi. Aku berterimakasih pada Dia yang di atas, yang mengantar booth Hati Putih ke kantorku pada masa lalu. Aku berterimakasih pada para pengurus, pada Ibu Lin, yang secara khusus membimbingku dan menerka niatan hatiku secara tepat. Aku berterimakasih, atas semua kesempatan pelayanan ini. Sebab, ternyata aku temukan jawaban atas kegelisahan dan kepenatan jiwaku, disini, diantara mereka yang terbuang, yang tidak dipedulikan lagi. Aku merasa bahagia melihat tawa bahagia mereka, ketika aku bercakap dengan mereka. Ketika aku melihat kasih di mata mereka. Aku melihat hidup. Aku menyaksikan harapan, yang tak kunjung padam.

Sekarang, aku tau dan aku alami sendiri. Pekerjaan kasih dan melayani bukannya pekerjaan orang suci. Bukannya ada di awang-awang atau negeri utopia. Mengasihi dan melayani adalah keajaiban duniawi, alat ajaib untuk menyentuh hati semua umat manusia. Kita bisa memilih. Menyaksikan keajaiban lewat dan terjadi tanpa kita berperan di dalamnya. Atau kita turut menciptakan keajaiban itu sendiri. It's ur own choice. U can make ur own miracles...