Rabu, 31 Desember 2008

Heading the Nu Year

It's time
to change another year
to recognize that we have more time to come
to walk on
to celebrate

It's time
to have another chance
to do some goodness
to do plans that we failed yesterday
to create n do some magic to our new plans

Feel anxious
feel worry
Feel happy
feel exciting
For everything we'll face in the future

Time
is only human made

Like clothes
that only made from fabrics
but feel shame without it

Like cars
that only made from metals, rubbers...
but feel lost without it

Like mobile phones
that only made from some metals, rubbers, ...
but feel empty without it

It's time
to celebrate life
to thank Him above
to give us such a wonderfull chance
to live our Life Lovingly

Happy Nu Year everyone...

Rabu, 24 Desember 2008

Malam Natal 2008

Malam ini malam Natal. Natal kedua setelah Teresa lahir...
Teresa masih batuk... kasian, natal kok batuk... tp ya begitulah adanya...
Seperti yg pernah saya ceritakan, Teresa sulit sekali meminum obat antibiotik yg diresepkan Dokter untuk radang tenggorokannya. padahal tidak pahit loh, sepertinya generalisasi dari puyer yg diresepkan utk panasnya. Sehingga ketika panasnya sdh sembuh dan puyer tidak lagi saya berikan, maka tetap saja dia tidak mau meminum antibiotik yg manis rasanya. Alasan kedua, mungkin karena dia punya feeling bhw antibiotik itu tidak cocok utk badannya... ya, tadi siang pipinya ada bentol merah... serupa dg bentol karena digigit nyamuk... kata suami saya, mungkin karena tidak kuat dg antibiotiknya (karena suami saya jg suka mengalaminya). Maka kami pun menyetop antibiotik itu (yg merupakan kelegaan bagi saya, mengurangi beban utk 'mengejar2' meminum obat) dan hanya memberikan obat batuk serta alergi yg pernah diresepkan Dokter (yg laen) sebelum masa sakit ini. Dan Teresa ternyata lbh lancar meminumnya... Hem, emang feelingnya bagus, ga salah kalo kami, sbg orangtua selalu berusaha mendengarkan pendapatnya... drpada memaksakan pendapat kami... Dan terbukti beberapa kali hal ini berhasil... Dengan mendengarkan pendapat Teresa, maka semuanya biasanya akan berjalan lebih lancar & baik. Ga berlebihan kalo saya menyebutnya, my Angel, cos she's an Angel indeed..
Malam ini Teresa jg tidur lebih cepat dr biasanya, yaitu jam 9 tepat. Sepertinya tuntutan badannya krn sdg sakit, membuatnya lelap lbh cepat dari biasanya, yaitu jam 10 an malam. Hal lain yg aku refleksikan, mungkin ini jg adl anugrah Natal utkku dan Teresa. Spy aku bisa beristirahat lebih awal dan bisa berkesempatan melakukan berbagai hal (berinternet ria, menonton indosiar yg menyiarkan misa dari Gereja Al-Gonz, yg notabene adl paroki saya dan ada kandang Natal yg dibuat Papa! :)). Hemm, emang ga basa2 kalo orang bilang, Tuhan akan berikan yg terindah pada saatnya... meski utk hal sekecil itu, saya merasakan kehadiran Tuhan.
Natal ini... mungkin biasa... namun menjadi luar biasa karena Teresa sakit menjelang tanggal 25 Des... kenapa? ga ada yg bisa jawab dg pasti. Sampai sekarang saya jg bertanya2 mengapa kejadian Teresa sakit ini diberikan takdir dekat dg hari Natal... masih meraba2... hal yg sejauh ini saya rasakan, adl peningkatan kesabaran dan ketidakegoisan serta kadar kreativitas dalam merawat Teresa sejak ia sakit minggu yl. Hem... tapi saya merasa ada hal spesial laen yg akan ditunjukkan berikutnya selain pelajaran2 berharga tadi... Just wait and see... n tentu saja do my best... ;)
Akhir tahun ini (bulan Des) saya mulai banyak mencari info ttg kerja part time n cara2 online yg menghasilkan tambahan income... kenapa? Jawabannya simpel, karena saya ingin menambah penghasilan bagi keluarga plus mengaktualisasikan diri yg selama menjadi ibu rt memiliki sst yg lebih ingin dikembangkan lagi... selain itu waktu yg dipilih sekarang karena melihat Teresa yg sudah bisa ditinggal dalam waktu2 ttt. Seperti yg sudah saya putuskan sejak Teresa lahir, bila pun akhirnya saya bekerja, saya akan mencari pekerjaan part time saja. Sebab saya tidak mau kehilangan banyak moment berharga dalam pengasuhan anak. selain juga karena idealisme saya dalam pengasuhan anak yg sulit bagi saya untuk mendelegasikannya kepada orang lain.
Begitulah yg saya alami di malam Natal ini...
Tak begitu banyak puitis namun tak habis juga refleksi
Tak begitu banyak variasi namun bukan juga membosankan
Tak begitu banyak tawa namun bukan juga berkubang dalam kesedihan
Terasa banyak hal sudah berubah
tak hanya dalam hati namun dalam sekitarku
Tak terasa hati selalu penuh
Meski kaki tak jalan jauh
Tak terasa pikiran selalu bekerja
Meski tempat tak selalu berbeda
Tak terasa tangan selalu aktif
Meski waktu terus berganti
Natal...
mengingatkan akan banyak hal
mengingatkan akan banyak nilai
yang mungkin akan terlupakan
yang mungkin terus bergema
terngantung pilihan manusia
Bila terus melihat kebosanan yg berulang
bila terus menganggap smua itu biasa
ya... hanya biasa dan berulanglah semua
namun pandanglah dg konteks
dg baru
dg semangat
maka api akan menghangatkan jiwamu
jangan biarkan berkubang dalam putus asa
karena dalam hati n jiwamu
disanalah energimu sll bergema
Selamat Natal semua...
Smg Natal kali ini membawa damai yg sll hadir selanjutnya di hidup kita...

May God's bless be with you always...

Love,
Ella

Minggu, 21 Desember 2008

Teresa Sakit

Hari Kamis (18 Des 08) siang Teresa mulai terasa panas badannya, saya ukur suhu tubuhnya 38,64 derajat. Saya blm merasa tll khawatir krn sblmnya dia pernah seperti ini dan bangun tidur sudah normal kembali. Apa lagi akan ada pesta Natal yang diadakan kantor suami saya sore ini. Di sana akan ada badut sapi dan Santa Claus. Tentu saja saya sama excitednya dg Teresa utk dating. Tapi kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Sewaktu bangun dari tidur siangnya yg tidak bgt nyenyak, badannya tetap panas bahkan semakin sore dia tampak kurang ceria dari biasanya. Waktu makan sore pun dia tampak sering tidur2an dan lemas… bahkan mengeluh sakit (nyeri mungkin?). Maka saya dan suami merasa khawatir. Saya menelpon suster di rumah sakit langganan kami untuk menanyakan apa yang sebaiknya kami lakukan. Suster tersebut, yang ternyata baru kehilangan keponakannya krn DB, mengatakan gejala demam dan nyeri badan mungkin saja gejalan DB, maka sebaiknya diperiksakan ke dokter utk diperiksa darahnya. Wah, tentu saja perkataan suster tsb membuat saya agak panik. Hihihi, orang emang mudah panik kok mendengarkan perkataan semacam itu, jd semakin panik donggg… Jadi… kami membawa Teresa ke rumah sakit utk diperiksakan ke dokter. Selama perjalanan dan di rumah sakit, Teresa tak lepas dr gendongan saya dan terus terasa panas badannya yang semakin membuatku tak henti berdoa agar Tuhan melindunginya…Dokter pun memeriksa… beserta suster yang tak henti2nya bersin (kok ga pake masker?!)… dengan memberikan komentar yg membuat saya enggan dating lagi memeriksakan Teresa kepadanya. Ketika saya ceritakan kronologis sakitnya Teresa, dan tiba pada bagian rasa sakit yang dirasakan Teresa di beberapa tempat di tubuhnya, Dokter itu berkata “Aduh kayak Nenek-nenek aja…” Saya langsung merasa diremehkan oleh Dokter itu, langsung membela Teresa dan berkata bahwa sudah dua kali Teresa mengeluhkan dadanya terasa sakit. Karena saya selalu berprinsip utk mendengarkan komentar atau keluhan anak meski kita blm tau kebenarannya. Justru kita sbg orang dewasa bertugas utk mengetahui dan memeriksa keluhannya itu sehingga tau bagaimana menyikapinya dengan tepat, bknnya meremehkan… Tampaknya Dokter itu merasa ‘protes’ saya sehingga ia juga memeriksa bagian lutut kaki Teresa, yg dikeluhkan sakit oleh Teresa. Selama pemeriksaan berlangsung Teresa diam dan menuruti semua instruksi Dokter. Ini membuat saya bangga karena sbelumnya ia sering menangis dan tidak mau diperiksa oleh Dokter. Tampak sekali perkembangan pribadinya yg lebih baik dalam menerima kehadiran orang asing. Dokter berkata bahwa ada semacam radang di tenggorokannya dan meminta kami memberikan beberapa obat serta memantau suhu tubuhnya. Bila suhu tubuhnya berkisar 38 derajat ke atas sampai hari Minggu siang, sebaiknya Teresa diperiksa darahnya utk diagnosa lebih lanjut. Maka setelah menebus obat kami pulang. Dalam perjalanan pulang Teresa tidur dengan tenang dan terus tidur sampai pagi, pun setelah kami memindahkannya ke tempat tidurnya.
Hari Jumat (19 Des 08), badan Teresa masih panas. Makan pagi dan minum obat pagi bisa terlaksana dengan cukup baik. Dia mau meminum obatnya (3 macam) dengan memakai pipet, bahkan puyer dan antibiotiknya pake pipet… hehehe ga pa-pa lah asal masuk. Mendekati makan siang, saya tidak bisa membendung keinginannya utk keluar kamar dan bermain dengan Mbak Kimah. Maka saya pakaikan celana panjang dan baju piama tangan panjang yg tak tll tebal sehingga cukup melindunginya dr angin nakal, yg memang byk bertiup di luar, mengingat rumah kami sangat ‘open’… so makan siang dan minum obat cukup baik jg, dengan banyak bantuan dari si Mbak… lumayan lah utk saya mencharge energi baru dg makan siang yang cukup tenang, meski masih dalam ruangan yg sama dg Teresa dan Mbak-nya. Meski Teresa pada akhirnya mau meminum obatnya siang itu, namun pada suapan obat yg terakhir, Teresa sempat menangis krn kaget akan gerakan Mbak yang tiba2 menyodorkan gelas. Tangisan ini juga memperlihatkan kelelahannya. Maka buru2 saya membuatkan susu dan mengajaknya beristirahat siang. Sore harinya, suhu tubuhnya 38,33 derajat. Cukup membuat saya menaruh harapan utk kesembuhannya. Makan sore dan minum obat sore itu berjalan so-so, artinya ya lumayan lah… bisa masuk… Malam harinya dia juga tidur cepat, yaitu pukul 20.30. Hem, tumben nih.. biasanya kan jam 10 – 11 an! Hehehe, yah blessing in disguise lah…. ;)
Hari Sabtu (20 Des 08) adl ‘nightmare’ utk saya. Teresa tidak mau meminum obatnya sama sekali. Meski dicampur di buah, Teresa hanya mau memakan sedikit dan berkeras tidak mau meneruskan. Demikian pula siang harinya. Makannya memang tidak tll terpengaruh, apalagi siang harinya disuapi Mbak Kimah sambil bermain. Makannya jadi banyak. Memang saya sengaja membiarkannya bermain di kamar mainnya dengan Mbak-nya, spy ga tertekan berada dalam kamar terus. Kalau pagi dan siang ada sedikit obat yang masuk, maka sorenya tidak ada sedikitpun obat yg berhasil masuk. Dia tidak mau memakan pisang yg saya campurkan dengan obatnya (padahal obat ini rasanya cenderung manis lho..). Ia menyicipinya dan melepehkannya lagi. Namun entah dari mana, mungkin karena saya sempatkan tidur siang ketika ia tidur, saya sedikit merasa tenang dan mendapatkan energi lebih utk bersabar serta bercerita kepadanya panjang lebar ttg pentingnya minum obat bagi kesehatannya. Juga mengulang kesenangan yg akan didapatkannya bila cepat smbuh krn mau minum obat. Akhirnya saya pasrah, dan mengatakan kepadanya utk menentukan sendiri kapan mau minum obat (kalau Teresa mau minum obat, bilang sama Mama ya…). Yah, spt yg bisa ditebak, ia tidak mau minum obat sampai tertidur jam 21.00 malam itu. Malamnya, saya ukur suhu badannya. Hasilnya, membuat saya dan suami merasa kaget, yaitu 39,36 derajat! Langsung saya menelpon suster dan seorang dokter utk meminta advice. Sang dokter tidak mengangkat telponnya. Sang suster menyarankan membangunkan Teresa utk memberikan obat. Spy tidak terasa pahit, bisa diberikan dengan madu. Kebetulan kami masih menyimpan persediaan madu, meski tinggal sedikit. Maka ketika Teresa tampak sedikit terbangun, saya tawarkan madu utk menurunkan panasnya (saya tidak bilang obat krn takut dia langsung menolak). Hem, rupanya ia mau krn mendengar kata madu. Namun setelah disiapkan, ia menolak keras. Selama kurang lebih setengah jam, kami membujuknya meminum ‘madu’ itu, namun tetap tidak berhasil. Akhirnya suami saya memutuskan utk membiarkannya tidur malam itu tanpa meminum obat, dengan harapan besok pagi keadaannya akan lebih baik. Maka sesuai permintaan Teresa, aku membacakan 1 cerita dan membuatkannya susu botol kesukaannya. Dan tertidurlah dia dengan damai sampai esok paginya.
Minggu (21 Des 08), kami bertiga bangun agak siang, jam 09.00. Mungkin karena merasa lelah akibat ‘perjuangan’ tadi malam. Teresa bangun dengan ceria (seperti biasanya) dan terasa badannya tidak sepanas tadi malam. Ia cukup semangat menyantap donat yang sengaja dibelikan Papa agar Teresa semangat makan. Setelah makan, sesuai tips dari teman suamiku, obat puyer Teresa saya campur ke dalam susunya. Wah, cara ini berhasil! Dia tampak lahap meminum susunya. Dan jam 11.00 suhu tubuhnya sudah normal, 36,9… derajat… Wah! Betapa senang saya dan suami saya. Nyatanya, Tuhan menjawab doa saya tadi malam utk memberikan mujizat. Wah…. Saya sangat bersemangat dan bercerita dengan ceria utk Teresa. Siang harinya, saya memberinya makan di kamar sambil menonton tv. Acara makan berlangsung dg cukup lancar. Namun Teresa hanya mau meminum sedikit jus jeruk dan papaya yg saya campurkan antibiotik di dalamnya. Saya membujuknya dengan berbagai macam bentuk cara minum, dari gelas bebek, sedotan, sendok, sampai dot. Semuanya ditolak mentah2. Kondisi badannya memang telah berkeringat tanda telah sehat kembali, namun antibiotiknya harus tetap dihabiskan ssi instruksi Dokter. Akhirnya Teresa tertidur ketika saya tinggal membuat susu di luar kamar. Karena susu telah saya campur dg antibiotik (iya dong, saya tidak menyerah) maka saya berusaha membujuknya meminum susu tsb. Hal ini tidak sulit krn dia biasa meminum susu smbl tidur. Maka saya menemaninya sampai dia meminum sbagian besar susu itu. Sekarang Teresa sedang tidur siang dg cukup nyenyak. Meski terdengar reak dari tenggorokannya dan terbatuk2. dan baru saja saya mendengar penjelasan suami bahwa sebenarnya antibiotik tidak boleh dicampur dg susu krn akan mengurangi khasiatnya. Yang boleh dicampur dg susu adalah puyer. Antibiotic boleh dicampur dg madu atau buah. Hem… berarti ‘perjuangan’ masih panjang, nih! So, wish us luck, friends! Smg akhirnya Teresa bisa total sembuh ya…. Caiyo! *O*

Selasa, 16 Desember 2008

Pengalaman terindah

Menjadi Ibu adalah peristiwa yang tak ternilai oleh apapun
tak pernah kubayangkan bahwa ada pekerjaan yang sulit diprediksi seperti ini
rencana boleh aja, harus malah
tapi jangan marah kalo ga berjalan

Menjadi Ibu adalah anugrah yang terindah
semakin kagum dan yakin akan keagungan Nya...
bagaimana seorang janin berkembang dalam rahimku
dilahirkan
dibesarkan
tersenyum
menangis
semuanya membuatku AMAZED....
sering juga terharu karenanya

Apa yang orang tua lain katakan tentang parenting itu semua bener
meski klise itu bener
tentang bagaimana repotnya jadi ibu
tentang bagaimana senangnya ketika anak kita tertawa
tentang bagaimana bingungnya ketika anak kita menangis tak henti
dan tentang hal lainnya....

tak pernah kubayangkan semuanya akan menjadi seperti ini
banyak hal yang bisa kupersiapkan sebelumnya
namun tidak seperti menjadi IBU karena berkaitan dengan manusia kecil, si bayi yang belum kita tau seperti apakah dia
makanya meski aku tau ada stress post natal u ibu, tetep aja aku mengalami rasa stress....untungnya ga nyampe baby blues syndrome berkat dukungan dari suami n keluarga lain....

Menjadi IBU adalah pengalaman yang membuatku amat kaya
Menjadi IBU adalah pengalaman yang tak mungkin akan kutukar dengan apapun
Terima kasih Tuhan, untuk bisa mengalami pengalaman terindah ini.

18 10 06

At the end

At the end of the day,
I only count my blessings
Wish 2morrow will b better
And promise myself to try better

At the end of the day,
I see more clearly of
His Purpose in my life
that every laughter has its values
that every tears has its meanings

At the end of the day,
I have pride to has survive today
I have blessed to still have hopes for tomorrow
I have humbleness to realize i'm nothing unless a little part of this giant life

At the end of the day,
I realize, still I have many things to learn
I realize I haven't done my best for some important things
I realize I haven't give all my love to everyone that I love
I realize many dreams still a dream only

At the end of the day,
I realize I'm juz human with all my weaknesses and talents
I realize many things I still want to do tomorrow
I realize tomorrow could be the answers of today's questions
I realize today is a blessing from God

At the end of the day,
I feel grateful to be alive!

17 Feb 06

Do I Need to Running?

I see people run
They always look like after something
Hurried like something chasing their back

So I asked them why they were acting like that

A man said that he wants a better status in his office,
so he does everything to reach it even with cheating

A beautiful young lady said she wants 2b famous and be rich,
so she doesn’t care about her surrounding and only live in her fantasy world

A mother of two said she wants her children be a smart and modern people,
so she doesn’t let her children have their own free time

Many answered that they want 2have a lot of money to buy anything they want,
but make them loose many things in their life

Ah, so many answers that I’ve got
But none make me understand why they should chasing those things

For me
I have a good status wherever or whatever I do if I’m an honest, reliable, and responsible person
I feel famous and rich when people around me thanked me because I helped them
I will feel that I have smart and modern children if they are already make out the best of them, whatever they do
And off course I need money, but I realize many things can not buy by money, like a beautiful smile from your children when you are playing with them
A warm hug from a long lost friend, a good handshake when you say thank you to your staffs
And many million things you could add yourself

Well….
For me
There’s nothing to be worried
If I’m not there among them who are chasing material world

Because I believe
In this heart
In this mind
In this soul
I have everything I need
I full myself by me

If God has given me many beautiful things in my life
I feel blessed of those treasures
And I’ll keep it always in my soul
And I love them forever

Ella,
28 February 2008

Kemarin

Kemarin aku menonton sebuah acara talkshow di tv
It makes me real sad
Narasumber itu bercerita tentang anak-anak yang menjadi korban
Korban segala macam
Dari kepentingan politik dan lainnya
Yang mengagetkan aku adalah yang menjadi korban incest
Ada kengerian kemualan yang muncul
We must do something, kata seorang penelpon,
Dia menyaksikan seorang anak perempuan 12 thn memiliki 2 anak dalam 2 th karena ditiduri kaum lelaki di tempat tinggalnya
Ibu Narasumber bercerita ttg anak ABG yang melacurkan diri untuk mendapat uang 100 ribu untuk ganti hp
Ada juga seorang bapak yang incest dengan anaknya karena merasa lebih baik daripada jajan di luar
Ah, Tuhan…
Betapa aku hidup di dunia yang lain dengan mereka
Dulu (ah ga kerasa aku sudah tua ternyata wakakak)
Aku dan tmn2 kuliahku berhasil mewujudkan idealisme menolong anak2 jalanan
Meski usaha kami tidak sebesar para aktivis yang hebat2 itu
Namun setidaknya kami mewujudkan apa yang mjd passion kami
Menjadi teman mereka
Teman
Adalah kata yang kami pilih krn kami ingin membantu dengan kasih bukan dengan materiil semata
Kini ketika waktu bergulir
Kami disibukkan oleh dunia kami masing2
Banyak yang bergelut dan mengembangkan passionnya
Kalau boleh berkata, Aku bangga dengan mereka
Ada juga yang bekerja untuk memenuhi realita ekonomi keluarga
Ada yang seperti aku memilih berkeluarga merawat anak n suami
Akankah passion itu kembali terwujud?
Ataukah hanya menjadi masa lalu yang indah?

Nov 08

Mereka – Aku

Dari dulu aku ingin menjadi seperti mereka
Tak kenal takut akan ancaman
Tak kenal takut akan tindakan mengerikan dari lawan
Tak kenal gentar untuk mempertahankan prinsip

Dari dulu aku kagum akan mereka
Yang membela kaum marginal
Yang mengangkat kaum papa
Yang mencintai kaum terbuang

Dari dulu aku ingin berada disamping mereka
Berjuang
Bertahan
Melindungi
Melawan
Mempertahankan
Memberikan

Namun ternyata aku tak sepemberani mereka
Aku tak sekokoh mereka
Aku tak bisa menjadi mereka
Aku merasa tak sebesar jiwa mereka
Yang tak gentar akan semua tantangan
Yang terus berpegang pada nilai sebuah perjuangan kemanusiaan

Aku cenderung pemalas
Takut memulai perubahan
Aku cenderung kolot
Tradisionalis
Monoton
Senang pada kemapanan
Menemukan kedalamaian dalam kemapanan dan dunia yang ada
Meski selalu menyimpan tangis hati terhadap segala kebobrokan kemanusiaan

Mereka sebaliknya
Berani berbuat perubahan
Berani berjuang meski kematian menghadang

Aku pengecut
Karena jika kematian dan ancaman lain menghadang
Aku tidak berani maju
Aku tidak berani meninggalkan keluargaku
Aku tidak berani membayangkan anakku berkembang tanpa aku
Aku tidak mau kehilangan semua hal yang ada padaku sekarang
Sebab aku merasa bahagia
Aku merasa terberkati dengan apa yang aku miliki

Benar kata mereka
Seseorang sulit maju berjuang demi kemanusiaan
Jika belum memiliki pengalaman pribadi yang memaksanya berjuang

Aku mungkin bukan mereka
Tapi aku bersyukur
Atas semua impian dan perjuangan yang pernah mampir dalam hidupku
Atas semua perjuangan mereka yang tak kenal lelah
Yang aku selalu berdoa tak akan berhenti
Aku bersyukur bisa mencicipi kehidupan jiwa mereka
Yang membuat semua manusia merasa kemanusiaan mereka hidup
Tak sia-sia
Mereka selalu menjadi contoh kemuliaan sifat manusia, yang mungkin egois namun humanis

Dulu aku bercita-cita menjadi seperti mereka
Lambat laun aku berproses
Sekarang aku sadar
Aku sekedar pengamat (at least for now)
Aku adalah aku yang sekarang
Tak perlu memaksa menjadi seperti mereka
Biarlah mereka menjadi mereka
Aku pada saatnya akan menemukan jalanku
Sesuai keprihatinanku (yang pada dasarnya sama dengan mereka)
Namun jalannya akan berbeda dengan mereka…

Mereka
Aku
Bukankah sama2 manusia?
Yang sama-sama mencari arti hidup
Berjuang demi kebaikkan hidup
Dan ingin selalu hidup dalam jiwa dan raganya

Mereka
Aku
Biarlah tetap begitu….

071008

UNTUKMU

Hari ini ulang tahun pertamamu
Betapa bangga aku melihatmu

Setahun tlah lewat
Bukan waktu singkat
Namun cukup untukmu berkembang dari bayi menjadi seorang manusia kecil

Tak pernah kubayangkan
Inilah kau
Yang kukandung
Yang kususui
Yang kudekap setiap malam
Sekarang tlah beranjak menjadi seorang bocah

Terbanglah kupu-kupu kecilku
Bentangkanlah sayap-sayap indahmu
Terbarkanlah pesonamu kepada dunia
Agar mereka terhibur karenanya

Jangan ragu untuk melesat jauh ke angkasa
Disanalah kau dapat memperkuat sayap-sayapmu
Dan melihat warna-warni indah dunia

Jangan berputus asa
Pupuklah harapanmu akan masa depan yang cerah
Sehingga dunia pun memiliki harapan yang sama

Dunia memang bukan surga
Namun dunia adalah tempat yang indah
Yakinlah akan ini

Berikanlah kasihmu kepada sesama
Seperti teladan Bunda Teresa
Yang menjadi pelindungmu

Nak,
Tak mau kuperpanjang lagi kata-kata ini
Kurasa air mata dan tawa bahagiaku tlah mencerminkan semua yang ingin kusampaikan

Terbanglah kemanapun kau mau
Ku akan di sini bila kau butuh

Selamat ulang tahun yang pertama, Teresa.

Cium sayang dan peluk erat,
Mama
20 Mei 2007
(it always make me cry everytime i read this poem)

More bubbles

Kalau kau menangkapnya
Menahannya
Dalam posisi
Serta media yang tepat
Maka ternyata ia dapat bertahan

Artinya
Serentan apapun impianmu
Seringkih apapun harapanmu
Semuanya tergantung bagaimana cara kita memeliharanya sehingga bertahan
Tak lekang waktu dan tak pecah oleh tantangan

Peliharalah keindahan sebuah impian
Namun jangan tenggelam di dalamnya
Kau bisa mabuk kepayang olehnya

Kalau memang impian itu terwujud
Maka biarkanlah ia terbang dan menjadi kebahagiaan orang lain juga
Dengan pemikiran ini impian akan terus berwujud nyata
Tak lagi hanya impian belaka

Bubbles
Bubbles
Bubbles
Fly away so high
Without fear of falling
Without fear of tearing apart
Cos we can always create our own bubbles….

071008

Seperti

Layaknya sekuntum bunga yang indah
Seperti itulah aku ingin hadirku membekas
dalam hati setiap orang yang kutemui

Layaknya seekor burung hantu yang bijaksana nan pintar
Seperti itulah kesan yang ingin kusampaikan kepada lingkunganku

Layaknya sebatang pohon beringin tua yang kokoh berdiri
tak peduli angin badai menerpa
Seperti itulah keteguhan yang ingin aku hadirkan

Layaknya sebuah payung yang selalu siap menaungi kala panas dan hujan
Seperti itulah kuharap hadirku ada bagi orang-orang di sekitarku

Layaknya kupu-kupu yang lembut nan bebas berkelana
Seperti itulah kuharap jiwaku tumbuh tanpa beban

Layaknya….

Ah, tapi…
Aku bukan bunga
Aku bukan seekor burung hantu
Aku bukan sebuah paying
Aku bukanlah seekor kupu-kupu

Aku adalah aku
Manusia
Yang terus belajar
Yang terus berusaha menjadi yang terbaik
Yang adalah seorang ibu dan istri
Yang adalah seorang professional
Yang berusaha terus jujur pada semua tentang apapun

Aku adalah aku
Entah persepsi apa yang aku tampilkan
Namun aku adalah aku
Kuharap aku tak takut untuk selalu menjadi aku

Dan semoga aku bisa menjadi indah, teguh, melindungi, serta bertumbuh sebagai aku
Bukan sebagai yang lain…

071008

Senin, 15 Desember 2008

Yes, yes, yes! I’m Back!

Kata-kata membanjiri pikiranku
Menunggu tertuang dalam sebidang kertas kosong
Menunggu diketikkan dalam sebuah halaman baru

Biarkan berkembang
Kemanapun ia pergi
Jangan dihambat
Jangan takut

Yes!
Aku bisa
Aku bisa
Aku muncul lagi
Aku eksis lagi

Aku merasa ada lagi bagiku
Karena pada saat aku menulis
Aku merasa ‘memiliki’ hidup(ku)

Aku merasa alive!

Yes!


071008

Pin, Where are You?

Pin is a little white furred puppie. He lives with Anie, a 4 years old little girl. Anie lives with her Mama and Papa in a small red bricks house. Every morning, Anie will greet Pin before she goes to kindergarten. “ Bye, bye, Pin…. I must go now. My school bus is here. Please look after Mama, because Papa is already went to his office” Anie said cheerfully. Pin answered with some loud bark, “Wuff, wufff…”

Now, there’s only Pin and Mama at home. Mama comes out and said to Pin, “Pin, I must cleaning rooms inside. But I’ll be back with your meal. Just play around here with your ball. Allright? Be a nice boy…” Pin once again barks happily.

Then he is playing with his ball. He enjoys it very much. Suddenly the ball rolling to the gate and keep on rolling through the Big Dog’s house, in front of Anie’s house. Pin really want his ball back, it is his favorite toy. So he runs after the ball. He stopped when he arrives in front of the Big Dog’s house. But he cannot find his ball. He is looking slowly, thinking where the ball could hide.

Suddenly the Big Dog’s bark surprises him, “Wafff, wafff, hey little Pin. Here’s your ball…!” Pin, who already know the big sound, smiles and said, “Wuff, wuff, thanks Big Dog! I was looking for it. It is my favorite toy, you know?” “Yeah, I know well it’s your favorite toy, I see you play with it everyday. Hey, how ‘bout we playing together now?” said Big Dog. “Wufff! Okay!” replied Pin. So they are playing. And Pin forgets his meal at home.

Meanwhile at home, Mama is looking around for Pin. “Pin, Pin! Yuhuuu…. Where are you? I already prepared your meal here… Come here, boy!” But, Pin doesn’t seen anywhere in the yard. So, Mama go to the gate and find the gate was opened. She wonders and yells call for Pin. But still no respon from Pin.

Mama decides to go inside and lock the gate. She thinks that Pin is somewhere playing in the yard and will come to eat his meal.

Outside, Pin already feels tired and hungry after playing such a fun ball game with Big Dog. So, he said to Big Dog, “Hey, Biggie! I must come home and eat my meal. I feel hungry. Next time we’ll play again, ok?” “Wufff, ok little Pin. Nice to play with you. See you another time!” Said Big Dog.

Pin, with the ball inside his mouth, runs as fast as he can. But he disappoints because he saw the gate closed. He barks as loud as he can. But Mama doesn’t hear him, because she’s cleaning inside the house. Feels tired, Pin lie his self in front of the gate. His stomach start to ache, he is hungry. So, there’s nothing he could do. He only could lie down and waiting for someone open the gate. So he waits and waits…

Untill… a familiar bus’ sound come… and, there’s Anie come home from school with her buss school. Pin is so relieve and stand up straight away. He barks happily to Anie. Anie confuse, wondering why Pin lie alone outside the house. She open the gate and Pin running in and straight away go to his bowl. He eat so fast because his stomach is so hungry. Mama and Anie stared at him, amazed at how fast he finished his lunch.

Whew! What a tiring day for a little Pin. He’s glad he’s home now.

Senin, 01 Desember 2008

One Fine Day

Today was such a fine day
Nothing but smiles and laughter
Today, Sunday
This is really a God's day
He show mercy for me n my lil family

Two days ago
I felt so helpless
I prayed to have a miracle
So I can be a better person

And today
On Sunday
On God's day
When we all go to curch
God gave me that miracle
that Love still here

I dont need to worry
Because He always give His tender love

Its such a find day
Its not about the material we bought
Its not about the food we ate
but Its about the Love I feel
its about the togetherness
that I know wont go anywhere
but stays in our hearts

Thanks God
For this fine day

Sabtu, 29 November 2008

Buntu

Buntu
Dead end
Hectic

Apapun itu
semua menerpaku
tak tau sudah berhenti apa belum
apakah akan berhenti
atau terus melanda

Buntu
Dead end
Hectic

Please....
Go away!

Don't stay inside me
I dont like you at all
It makes me like stopped living
It makes me like a living statue
It makes me wanna scream outloud
Arrrggggggghhhhhhhhhhh....!

GO AWAYYYYY!

Rabu, 26 November 2008

Let It be

I heard voices
in my head
outside myself
hahaha...
dont think i'm somekind of psychopath
just always something going on in my head
dont want to stop
sometimes it comes
irritating minds
negative ones
newly ideas
outbox ideas
how to stop it?

its calling my names
that want me to be this or those or that...
can it satisfies with who am i now?

hey, voices!
just shut up for one sec
i need to rest
i need to enjoy my life
i need to feel okay with myself

help me my mind
help me to feel relax
to find that peace
that earthy-heaven

help me
to calm down
to realize
im okay to be me
to be who i am
like im telling everybody
like the way i always do

Selasa, 25 November 2008

Gelembung-gelembung Sabun

Gelembung-gelembung sabun terbang
Seperti impian-impian indah yang dirancang dalam pikiran dan melayang ke angkasa
Tapi ternyata seiring waktu impian itu hilang
Entah ditiup angin
Atau pecah karena terlalu rentan

Gelembung-gelembung sabun tampak sangat memukau
Namun tak semenit kemudian, ia pecah
Hilang tanpa jejak
Seperti semua materiil yang berkilauan nan indah
Seperti semua asesoris hidup yang berlomba manusia kejar
Semua kerja keras manusia tidak berarti karena semua materi akan hilang
Semuanya tak ada artinya
Hanya kilauan sementara yang akan hilang tertiup angin

Gelembung-gelembung sabun amat menyenangkan
Menimbulkan sejuta fantasi tentang keindahan
Tentang keceriaan
Kekanak-kanakan
Yang diharapkan tak pernah berakhir
Namun semua hal yang indah selalu memiliki akhir
Semua impian dan harapan mau tak mau akan selalu berakhir dalam kenyataan meski mungkin terus hidup dalam hati

Meniup gelembung-gelembung sabun
Mengingatkanku bahwa tak semua yang kita ucapkan dan lakukan akan ada selamanya
Akan bisa kita lakukan terus
Akan abadi
Semua yang ada di dunia ini fana adanya
Hanya Ilahi lah yang abadi

Meniup gelembung-gelembung sabun
Laksana orang-orang yang menciptakan kesenangan materiil belaka
Yang tak abadi
Yang hanya menimbulkan kesenangan yang kosong dan rentan
Meski mengagumkan dan indah
Namun sadarlah itu semua hanya sementara
Tidak palsu
Hanya sementara
Mudah hilang
Tak patut disesali

Laksana seorang anak kecil berusaha menangkap setiap gelembung yang berterbangan
Aku teringat akan kepolosanku ketika masih kanak-kanak
Yang dengan bebas mengejar impian indah
Berusaha mencari mana yang asli
Mana yang bukan aku
Mana yang cocok
Dan mana yang adalah duniaku
Diiringi kegembiraan lepas
Tanpa tahu bahwa setiap gelembung akan pecah pada masanya
Tanpa tahu betapa rentannya sebuah pengalaman
Namun setiap gelembung membekas dalam jiwa

Gelembung-gelembung sabun
Hadir sekelebat
Namun melekat
Mudah muncul
Namun mudah juga hilangnya

Semoga impianmu tak serentan gelembung-gelembung sabun
Semoga apa yang kau lakukan tidak hanya mengedepankan materiil belaka
Semoga apa yang kau raih tidak mudah pecah dan mampu kau jaga serta kembangkan

Semoga impianmu selalu ada di hatimu
Semoga indahnya tidak hanya ada di angan
Tapi dapat dinikmati orang banyak

Gelembung-gelembung sabun
Teruslah berputar dan menari
Teruslah ada kapanpun dibutuhkan
Meski sementara
Namun hadirmu memberi arti…

Ella
071008
(Terinspirasi dari permainan gelembung sabun yang disukai Teresa… luv u my angel!)

Aku Tidak Mau Mama yang Lain

Pagi itu seperti biasa Sari terbangun oleh panggilan lembut dari Mama. “Sari, bangun Nak. Sudah jam setengah enam pagi. Ayo mandi dan sarapan ya?” Sari menggeliat dan membuka setengah kelopak matanya. “Uahemmm…” Ia menguap lebar-lebar dan berkata, “Aku masih ngantuk, Ma. Satu menit lagi ya… aku pengen tidur lagi.” Mama yang sabar berkata, “Hayo, kalau kamu bilang satu menit, itu artinya satu jam. Lebih baik sekarang cepat ke kamar mandi supaya rasa kantukmu hilang dan badanmu segar. Ayo, ayo! Bersemangat dong!” Sari pun dengan enggan mengangkat kepalanya, perlahan duduk dan menjulurkan kakinya ke lantai untuk memakai sendalnya. Mama masih tetap di sampingnya. Seperti biasa Mama mengawasi sampai Sari masuk ke kamar mandi dan terdengar suara air, tanda Sari mulai sibuk membersihkan badannya. Kalau tidak begitu, Sari bisa saja bangkit dari tempat tidurnya dan kembali tidur di kursi manapun yang ia temui. Sesudah mandi, Sari memakan sarapan yang sudah dipersiapkan Mama. Papa pun tengah menyantap makan paginya. Sari dan Papa akan berangkat bersama pagi ini.
Sari adalah anak tunggal dalam keluarga ini dan telah duduk di kelas empat SD. Ketika pagi datang, Sari agak kesulitan bangun pagi. Maka Mama harus membangunkannya setiap pagi. Sari sangat tidak menyukai rutinitas bangun pagi ini. Ia pun sering mengeluh karena Mama amat cerewet mengingatkan ini itu kepadanya setiap saat. Bayangkan saja sejak pagi Mama sudah membangunkan Sari dengan segudang nasehat. Lalu sebelum berangkat sekolah, Mama pasti menyelipkan sebuah pesan singkat di dalam tas nya yang berisi nasehat-nasehat atau pesan-pesan agar Sari bersekolah dengan gembira, atau sekedar mengingatkan hal-hal penting untuk Sari. Seperti pagi ini, ketika Sari berpamitan untuk pergi ke sekolah, Mama memberi nasehat yang setiap hari selalu dikatakannya, “Sari, selamat belajar ya, Nak. Turuti nasihat Gurumu dan jangan melakukan hal yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu. Oke ?” Sambil lalu Sari mengangguk seraya mencium pipi Mamanya untuk berpamitan ke sekolah.
Ketika jam pelajaran pertama dimulai, Sari menemukan pesan Mama yang diselipkan di buku Matematikanya. Mama memang hafal jadwal pelajarannya setiap hari. Pesan itu berbunyi, “Lakukan yang terbaik dan ingatlah bahwa Mama dan Papa menyayangimu. Jangan lupa nanti bekalmu di makan, ya. Peluk & Cium, Mama.” Sari membaca pesan itu sekilas dan langsung memasukkan sembarangan ke dalam tasnya.
Hari itu pada pelajaran Bahasa Indonesia, Ibu Guru meminta Sari dan teman-teman sekelasnya membuat karangan bebas mengenai Mama mereka. Sari pun mulai memikirkan apa yang akan ditulisnya mengenai Mama. Sambil berpikir Sari melihat ke arah temannya, Diva. Sari langsung mendapat ide untuk tugas Bahasa Indonesia itu. Meskipun Ibu Guru meminta tugas itu dikumpulkan besok, namun Sari ingin buru-buru menyelesaikan karangannya karena bersemangat untuk menuliskan ide yang menarik itu. Apa sih ide Sari itu ?
Ternyata Sari ingin membuat karangan pendek tentang angan-angannya bila mempunyai Mama seperti Mamanya Diva, bukan seperti Mamanya sendiri. Diva adalah salah satu murid perempuan di kelas Sari. Diva tinggal di sebuah rumah yang besar dan megah di Perumahan Elite Permai. Perumahan itu memang terkenal dengan rumah-rumahnya yang besar dan dimiliki oleh orang-orang ternama dan kaya tentunya. Orangtua Diva memang keturunan keluarga kaya sehingga tak heran mereka memiliki rumah sedemikian megah. Kedua orangtua Diva adalah pekerja keras. Mereka hanya bertemu Diva pada pagi hari, ketika Diva akan pergi sekolah diantar oleh supirnya dan malam hari, ketika Diva sudah berada di tempat tidur. Memang kekayaan tersebut membuat banyak teman-teman sekolah Diva iri. Tapi yang paling diinginkan Sari adalah sikap orangtuanya, terutama Mamanya Diva, yang tidak secerewet Mamanya. Bukan hanya tidak cerewet, Mamanya Diva bahkan menitipkan semua keperluan Diva kepada seorang pembantu dan supir terpercaya. Jadi tidak ada tuh, yang namanya nasehat-nasehat atau pesan-pesan Mama yang selalu bikin Sari bosan setiap harinya. Sari membayangkan, betapa enaknya bisa hidup seperti Diva, tanpa nasehat dan omelan Mama yang cerewet itu. Di rumah yang sebesar itu pasti Diva bisa mendapatkan semua keinginannya, termasuk tidur sampai siang dan bebas dari omelan Mama yang menyebalkan.
Sari pun dengan asyik menuliskan khayalannya di buku tugasnya. Wah! Karena terlalu asyik menulis, tak terasa waktu istirahat tiba. Sari langsung menutup bukunya dan berlari menuju ke kantin. Namun ketika baru sampai di depan pintu kelas, Sari menghentikan langkahnya. Ia melihat Diva sedang duduk sendiri di bangkunya. Sekilas tampak terlihat wajah Diva yang sedih dan menahan amarah. Sari mendekati Diva perlahan. Ia penasaran apa yang membuat Diva seperti itu. Memang Diva jarang terlihat bermain dengan teman-teman di sekolah. Sari pun jarang berbicara dengannya. Hanya sesekali saja, misalnya ketika mereka berdua ditunjuk menjadi satu kelompok dalam beberapa tugas di kelas.
“Diva, kenapa kamu ? Kok di kelas sendirian saja ?” tanya Sari kepada Diva. Diva mengangkat kepalanya yang agak tertunduk dan menatap Sari dengan mata yang tidak bersemangat. “… Ehm, aku sedang malas keluar kelas. Lagi pingin sendiri aja…,” jawabnya menggantung seperti sedang melamun. “Maaf ya kalau aku mengganggu kamu. Habis, wajahmu terlihat sedih dan marah sekaligus, aku jadi penasaran dan ingin membantu kalau bisa,” demikian Sari menjelaskan maksudnya.
Diva pun melempar pandangannya ke arah lain, berusaha tidak menatap Sari, “Terima kasih ya, kamu baik sekali memperhatikan aku. Aku… aku lagi sedih sekaligus marah dengan Mamaku.” Sari terkejut mendengarnya. Ia tidak dapat menyembunyikan kekagetannya sehingga Diva berkata, “Lho, kenapa kamu terlihat terkejut?” Sari tergagap menjawabnya, takut menyinggung Diva, “Ehm… aku pikir kamu….”
Diva langsung memotong perkataan Sari dan berkata, “Oh, aku tahu. Kamu pasti menganggap aku selalu gembira karena semua kebutuhanku tercukupi dengan kekayaan Mama dan Papa, ‘kan? Kamu pasti berpikir aku ga pernah sedih.” “Lho, memangnya kamu ga senang dengan semuanya itu? Semua teman-teman di sekolah ini pasti pingin menjadi kamu…,” Sari dengan cepat mengatakannya karena masih terkejut dengan pernyataan Diva.
Diva tersenyum sayu, “Iya, aku tahu banyak teman yang ingin menjadi aku karena aku anak orang kaya. Tapi kalian tidak tahu bahwa aku sering merasa sedih sekaligus marah sama Mama dan Papaku. Terutama Mama… Mama tidak pernah ada waktu untukku. Ia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Semua kebutuhanku dititipkan kepada pembantu dan supir. Sedangkan Papa juga sama sibuknya, bahkan sering kali pergi ke luar negeri dan tidak pulang berminggu-minggu. Aku sering berharap punya Mama seperti teman-teman, yang tidak bekerja dan ada di rumah. Jadi aku bisa bercerita dan mengobrol, atau melakukan berbagai kegiatan bersama kapanpun aku mau.” Ketika menceritakan angan-angannya ini, mata Diva tampak menerawang dan tersenyum bahagia.
Seketika senyumannya langsung hilang dan mata yang sedih bercampur kemarahan kembali lagi, “Tapi aku ga punya Mama seperti itu, Mamaku hanya memperhatikan pekerjaannya, bukan aku. Mama pikir dengan membelikan aku baju, buku, mainan, makanan dan lainnya akan membuatku puas. Tapi barang-barang itu bukanlah Mama yang kurindukan. Seperti SMS yang tadi Mama kirimkan. Sore ini ia membatalkan lagi janjinya untuk menemani aku ke Toko Buku. Katanya ada rapat penting di kantor. Huh! Padahal Mama sudah berjanji sejak dua hari yang lalu… Kenapa sih, ga bisa nepatin janjinya sekali iniii aja…” Mata Diva berkaca-kaca hampir meneteskan air mata.
Ya ampun! Sari tidak habis terkejutnya sampai semua kata-kata Diva selesai. Ia kehabisan kata-kata dan dengan spontan langsung memeluk Diva. Diva pun dengan lega memeluk Sari juga sambil menitikkan air matanya. Sejenak mereka berpelukan. Lalu terdengar celoteh beberapa teman-teman sekelas yang hendak masuk kelas. Mereka pun melepaskan pelukan dan saling memandang penuh arti. “Kalau kamu mau, kamu bisa main ke rumahku sepulang sekolah nanti. Mamaku pasti sudah masak makanan yang enak. Ditambah puding kesukaanku. Kamu pasti suka,” kata Sari kembali ceria. Diva lansung terlihat gembira dengan ajakan Sari dan langsung mengangguk menyetujui usulan Sari. Maka hari itu, sepulang sekolah, Sari tidak perlu berpanas-panasan naik angkot. Sari pulang dengan menumpang mobil Diva yang ber-AC untuk kemudian menuju ke rumah Sari.
Di rumah, Mama senang melihat Sari mengajak Diva. Begitu pula tentunya dengan Diva yang merasa amat senang berada di rumah Sari, yang meskipun tidak semegah dan sebesar rumahnya, namun penuh kehangatan dan terutama adanya kehadiran sosok seorang Mama yang sudah lama dirindukannya. Sejak saat itu Sari semakin merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki Mama seperti Mamanya, bukan seperti Mamanya Diva. Malam itu, Mama terkejut sekaligus senang karena mendapat selembar pesan di meja riasnya dari Sari. Pesan itu berbunyi, “Ma, aku senang punya Mama seperti Mama. Kalau disuruh memilih, aku ingin Mamaku adalah Mama, bukan Mama yang lain. Peluk & Cium, Sari.

Bola Merah dan Si Pus

Kayla berlari kecil mengejar bola merahnya. Bola itu berloncatan lincah, membuat Kayla tergelak senang. Ya! Kayla amat menyayangi bola merah hadiah dari Papanya itu. Bola itu berwarna merah terang dengan motif kupu-kupu dan bunga. Papa baru saja membelikan bola itu seminggu yang lalu. Sejak dibelikan sampai hari ini Kayla selalu membawa bola itu kemanapun. Kadang-kadang Kayla bermain bersama Mama, Mbak Sum atau sendirian saja seperti sekarang ini. Kayla akan mengejar bolanya kemanapun bola itu menggelinding. Bila sudah bermain seperti ini, Kayla akan lupa segalanya. Bahkan sering kali Mama harus mengambil bola itu untuk membuat Kayla berhenti bermain dan mandi atau makan sesuai jadwal.
Siang ini udara cukup panas sehingga Mama mempunyai ide untuk bermain di dalam rumah saja. “Ayo Kayla, kamu mau menggambar apa? Ini Mama siapkan kertas sebanyak yang kamu mau dan krayon kesukaanmu,” dengan semangat Mama mengajak Kayla menggambar. Biasanya Kayla memang suka menggambar. Namun sejak ada bola merah itu, Kayla seperti kehilangan minat pada aktivitas kesukaannya itu. Kayla pun menghampiri Mama dengan langkah terseret malas, “…Engg… Aku mau main bola aja di luar. Boleh ya, Ma?” Mama memandang Kayla dan berkata, “Di luar panas sayang, nanti kamu kelelahan.” “Ayolah, Ma. Aku ga pingin menggambar, aku pingin main bola…” Kayla memohon lagi dengan wajah memelas. Mama menghela napas, tidak tega memaksa putrinya melakukan hal yang tidak disukainya. “Baiklah. Kamu boleh main di luar. Tapi, pakai dulu topi mu dan jangan terlalu lama. Kalau Mama memanggil 1 jam lagi, kamu harus berhenti bermain dan mandi ya. Oke?” Wah! Senyum lebar mengembang di wajah Kayla. “Asyik!!! Mama baik dehhh! Iya aku akan pakai topi dan masuk kalau Mama memanggilku.” Dengan cepat Kayla memeluk Mama. Mama membalasnya dengan mengelus kepala Kayla.
Kayla pun bermain bola dengan asyik di halaman depan rumahnya. Memang keluarga Kayla cukup beruntung memiliki rumah dengan halaman yang cukup luas untuk bermain. Kayla melempar bolanya ke sana ke mari. Mulai disepak seperti pemain bola, dipukul seperti pemain voli sampai dipantulkan dan dimasukkan ke jaring seperti pemain basket. Kayla senang sekali.
Ketika sedang mencoba memasukkan bolanya ke jaring basket, Kayla dikejutkan oleh suara kucing tetangga yang sedang berkelahi. Suara kucing itu memecah perhatian Kayla sehingga ia tidak memperhatikan kemana bolanya menggelinding. Ketika menyadari bolanya hilang, Kayla segera mencari ke segala penjuru di halamannya. Halaman rumah Kayla memang memiliki banyak pohon dan semak sehingga udara di rumah Kayla sejuk dan segar. Papapun hobi membawa tanaman-tanaman baru, yang karena kesibukannya, jadi terlihat kurang tertata dan tumbuh tak beraturan. Kayla tidak menemukan bolanya. Ia pun mulai mencari ke semak-semak dan sudut-sudut halaman yang tampaknya jarang dihampiri orang itu. Kayla tidak memperdulikan sarang laba-laba yang menempel di rambut dan bajunya. Tak diperhatikannya lagi kakinya yang kotor karena melangkah tanpa memperhatikan tanah yang lembab dan becek. Pokoknya Kayla bertekad menemukan bola merah kesayangannya.
Rasanya sudah lama sekali Kayla mencari bolanya, tapi kok belum ketemu. Kayla merasa lelah dan terduduk di rumput. Kayla seperti termenung mendekap lututnya. Tak didengarnya suara Mama memanggilnya untuk segera mandi. Tiba-tiba saja Kayla melihat sesosok benda berwarna merah mengintip dari semak-semak di ujung sana. “Pasti itu bolaku!” Pikir Kayla senang. Kayla pun berlari menyeberangi halaman dan mengintip ke balik semak-semak yang ternyata cukup rimbun itu. Wah! Betapa terkejutnya Kayla ketika melihat apa yang ada di balik semak-semak itu. Selain bolanya, ternyata Kayla menemukan seekor kucing kecil yang terluka kakinya. Kucing itu mengeong lemah. Ternyata suara kucing yang berisik tadi ada suara anak kucing itu yang berkelahi dengan saudaranya. Akibatnya anak kucing itu terjatuh dari tembok dan berada di semak-semak halaman rumah Kayla. Kayla memandang iba pada anak kucing itu. Ternyata kakinya terluka, jadi anak kucing itu tidak bisa melompati tembok kembali ke rumahnya.
Kayla menjulurkan tangannya dan menggendong anak kucing itu. Sejenak Kayla melupakan bola merahnya. Dielusnya kepala anak kucing yang berbulu lembut itu. Kayla tersenyum kepada anak kucing dalam pelukannya sambil berbisik, “Jangan khawatir, Pus. Aku akan mengobati lukamu.” Seakan mengerti apa yang dikatakan Kayla, anak kucing itu mengeong lembut dan menggesekkan kepalanya ke dada Kayla. Ketika hendak melangkah kembali ke rumah, Kayla berhenti sejenak dan mengingat apa yang ia lupakan. Ah iya! Bola merahnya! Kayla bergegas mengambilnya karena terdengar langkah Mama sambil berseru memanggil namanya, “Kayla, dimana kamu, Nak? Ayo mandi dulu, sudah sore.” Kayla buru-buru menjawab, “Iya, Ma…”
Ketika bertemu Mama, Kayla langsung menunjukkan anak kucing itu dengan bersemangat. “Mah, lihat! Aku menemukan anak kucing ini. Sepertinya ia jatuh dari tembok. Kasihan ya… kakinya luka… Aku ingin merawatnya, Ma. Boleh kan? Boleh ya? Ya, ya, ya?!” Mama tersenyum melihat Kayla, “Ehm… boleh saja kamu merawatnya. Tapi setelah ia sembuh kamu harus berjanji mengembalikannya kepada Kak Susi, tetangga sebelah. Bagaimanapun juga anak kucing itu bukan milik kita, Kayla. Oke?” Kayla agak kecewa mendengar syarat Mama itu, tapi agar diperbolehkan merawat kucing kecil itu, Kayla pun mengangguk. “Ya sudah, sekarang kita bersihkan luka si kucing kecil dan kita carikan tempat nyaman untuknya. Sehabis itu kamu mandi ya, sudah dekil begitu tampangmu…” Ajakan Mama disambut Kayla dengan bergegas ke dalam rumah mencari obat untuk kucing itu.
Dua minggu berlalu, kucing kecil yang dipanggil Pus oleh Kayla telah kembali lincah. Berkat kesabaran perawatan Kayla yang penuh kasih sayang luka kakinya telah sembuh. Pus juga kelihatan tambah gemuk karena Kayla selalu makan dengan lahap. Dan Kayla pun tak kalah senangnya. Sejak kehadiran Pus, Kayla selalu punya teman untuk bermain bola. Bahkan sampai Kayla lelah pun, Pus tampak masih bersemangat. Selain itu Kayla pun belajar bertanggung jawab untuk memberikan makan dan mengobati luka kaki si Pus, tentu saja dengan bantuan Mama dan Mbak Sum.
Melihat Pus yang telah sembuh, Mama mengingatkan Kayla akan janjinya, “Kayla, seperti janjimu dua minggu lalu, kalau Pus sembuh, kamu akan mengembalikannya kepada Kak Susi. Nah, sekarang Pus sudah sembuh. Maka sebaiknya segera kita antar dia ke rumahnya.” Kayla menyahut dengan sedih, “Tapi Ma, aku sayang sama si Pus, aku ga pingin mengembalikan dia kepada Kak Susi. Nanti aku ga punya teman main bola lagi.” “Kayla, kamu sudah berjanji. Maka kamu harus menepatinya. Kamu tidak mau berbohong kan? Lagi pula si Pus bukan milik kita. Coba kamu bayangkan kalau kamu adalah Kak Susi yang kehilangan si Pus. Pasti kamu akan senang jika Pus dikembalikan bukan?” Kayla tertunduk sedih, mau tak mau ia mengakui kebenaran yang dikatakan Mama, “Iya sih Ma, pasti aku senang kalau si Pus dikembalikan kalau aku jadi Kak Susi. Tapi…” Mama tersenyum bijak, “Begini saja, nanti sore Mama antar kamu ke rumah Kak Susi, untuk mengembalikan si Pus. Sekalian juga kamu sampaikan bahwa kamu sayang dengan si Pus. Pasti Kak Susi akan memperbolehkan kamu bermain sesukamu dengan si Pus.” Kepala Kayla perlahan menengadah sambil tersenyum kecil, “Betul, Ma? Kak Susi akan memperbolehkan aku bermain lagi dengan si Pus?” Mama menjawab, “Mama yakin Kak Susi akan memperbolehkan. Pasti Kak Susi senang si Pus punya teman baru yang baik hati seperti kamu. Jadi, nanti sore kita ke rumah Kak Susi ya…” Kayla mengangguk.
Sore itu, Kayla, si Pus dan Mama pergi ke rumah Kak Susi, tetangga sebelah rumah keluarga Kayla. Kak Susi sendiri yang membukakan pintu dan langsung mengenali si Pus yang dipeluk erat oleh Kayla. “Selamat sore Tante, Kayla. Hey! Itu kan si Manis, anak si Putih, kucingku… Oh, iya, maaf. Silahkan masuk dan duduk di dalam.” “Terima kasih, Susi,” sahut Mama. Sesudah mereka duduk, Mama langsung menjelaskan maksud kedatangan mereka, “Susi, Tante dan Kayla ke sini memang berhubungan dengan kucing kecil ini. Kayla, maukah kamu menjelaskan kepada Kak Susi?” Kayla berusaha menjelaskan kepada Kak Susi meski malu karena berbicara dengan orang yang lebih tua darinya. “Kak, engg…, aku ketemu si Pus, eh si Manis, di belakang rumahku dua minggu yang lalu. Aku lagi main bola, eh ada si Pus yang luka kakinya. Lalu aku obati supaya sembuh. Kata Mama kalau sudah sembuh aku harus kembaliin si Pus ke Kak Susi. Tapi… sebenarnya aku ga mau, karena aku sayang sekali sama si Pus…” Kak Susi tersenyum kepada Kayla, “Kayla, Kak Susi juga sayang sama si Pus. Terima kasih ya kamu mau mengobati si Pus. Tambah gemuk lagi dia, pasti kamu rajin memberinya makan. Sebenarnya si Pus ingin Kakak berikan kepada teman Kakak karena di rumah ini sudah terlalu banyak kucing. Tapi… setelah melihat betapa kamu sayang sama si Pus, Kakak ingin memberikan si Pus untukmu.”
Mata Kayla terbelalak kaget campur gembira, “Hah?!! Mah! Mama dengar Kak Susi bilang apa? Kak, betul si Pus boleh buat aku?!” Kak Susi mengangguk pasti. Mama pun tertawa senang, “Susi, terima kasih mau memberikan si Pus kepada Kayla. Kalau Susi kangen dengan si Pus, Susi bisa main ke rumah kapanpun. Iya kan, Kayla?” Kayla mengangguk-angguk semangat sambil memperat pelukannya kepada si Pus, “Iya, iya! Kak Susi boleh main kapan aja sama si Pus. Aku senang sekali Kak, si Pus bisa tinggal di rumahku. Jadi aku selalu punya teman main bola. Tadinya aku yang mau meminta main ke sini terus kalau si Pus dikembalikan ke Kakak, eh ga taunya…. Kakak yang akan main ke rumahku…” Kayla tertawa senang sambil tak berhenti mengelus si Pus yang mengeong manja. Mama dan Kak Susi memandang Kayla dengan senyum lebar.
Mama pamit kepada Kak Susi, “Kayla, ayo kita pamit, nanti kemalaman. Susi, terima kasih sekali lagi ya. Kami pamit dulu. Jangan lupa main-main ke rumah kami, ya.” Kayla menimpali, “Iya Kak Susi, Kayla pulang dulu ya. Besok kalau Kakak ke rumahku, kita main bola bertiga si Pus.” Susi tersenyum sambil mengelus kepala Kayla, “Iya, Kakak pasti akan main ke rumahmu. Terima kasih juga untuk Tante dan Kayla yang mau memelihara si Pus.” Mama dan Kayla berjalan ke rumah sambil melambaikan tangan kepada Kak Susi.
Kayla memandang Mama gembira karena bisa membawa pulang si Pus. Mama pun senang dengan kejadian ini Kayla belajar bahwa dengan bersikap jujur, menepati janji, dan bertanggung jawab maka kita akan mendapatkan kebaikan pula.

Apakah Siti Harus Memakai Rok?

(catatan : tulisan ini dibuat pada tanggal 7 Maret 2008)
Pernah lihat acara “Idola Cilik” di sebuah televisi swasta? Bagi mereka yang sempat menyaksikan televisi jam 13.0 WIB setiap hari Senin sampai Jumat, pasti hafal pada wajah-wajah cilik yang ingin menjadi kontestan di acara tersebut. Bukan, saya tidak akan membicarakan mengenai acara tersebut. Di sini saya akan menyorot seorang kontestan yang bernama Siti. Siti tampak cukup menyita perhatian dari para komentator, pembawa acara dan semua yang menyaksikan penampilannya. Saya menjadi penasaran akan penampilannya, terutama komentar-komentar apa lagi yang akan dikatakan para komentator dan yang lainnya.

Menurut cerita sang pembawa acara, Siti adalah seorang anak perempuan (saya lupa usianya, kurang lebih 12 tahun) yang tinggal di Surabaya serta datang dari keluarga tidak mampu. Penampilan Siti memang tidak seperti anak perempuan pada umumnya. Rambutnya dipotong pendek, kulitnya berwarna gelap tanda banyak berada di bawah sinar matahari, serta tidak pernah sekalipun memakai pakaian ala perempuan pada umumnya. Maklum sering kali Siti harus mengamen dan secara berkala menjadi petinju (!) jalanan untuk sedikit meringankan beban ekonomi orangtuanya. Ibunya menjadi pemulung sampah, sedangkan Ayahnya sedang sakit parah sehingga tidak dapat memenuhi perannya sebagai pencari nafkah. Maka keikutsertaan Siti di ajang Idola Cilik ini tentu membawa harapan besar bagi keluarga Siti.

Hal menarik yang saya ingin bahas di sini adalah reaksi para pelaku acara tersebut (komentator, pembawa acara, maupun Ibu dari Siti sendiri) yang sibuk mencoba ‘merubah’ penampilan Siti yang tomboy itu menjadi seorang perempuan sejati. Misalnya, salah seorang komentator memintanya memakai rok, yang pada akhirnya membawa bahasan lain dari komentator lainnya. Atau juga komentar Ibu dari Siti yang mengatakan bahagia Siti memakai rok meskipun belum menjadi perempuan 100%. Mungkin komentar-komentar demikian yang membuat Siti berkata, “Saya tidak nyaman pakai rok ini tapi karena saya perempuan maka harus bisa memakai rok.” Buat saya, reaksi-reaksi tersebut tampak berlebihan dan menampakkan kentalnya tuntutan gender kepada anak-anak, anak perempuan khususnya. Mengapa seorang anak perempuan yang begitu hebat dengan banyak talenta dan kebisaan harus merubah dirinya? Mengapa Siti yang jago bertinju dan bermain drum harus merubah bahasa tubuh dan pakaiannya untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri? Mengapa seorang anak seperti Siti harus merubah dirinya sehingga membuatnya tidak nyaman menjadi dirinya yang hebat itu?

Sebagai orangtua atau orang dewasa, memang tidak mudah bagi kita untuk membiarkan seorang anak, yang notabene masih polos, untuk menjadi dirinya sendiri. Sering kali kita sibuk membentuk anak-anak kita atau kaum muda di sekitar kita sesuai dengan harapan dan kemauan kita. Seorang anak, baik itu perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai sifat-sifat bawaan untuk menjadi feminin(baca: sifat-sifat/karakteristik yang diharapkan dimiliki pada seorang perempuan, misalnya : memakai rok, teliti, kalem, dll) maupun maskulin (baca : sifat-sifat/karakteristik yang diharapkan dimiliki pada seorang laki-laki). Memang betul manusia terlahir dengan kondisi fisik yang berbeda, sehingga seseorang dapat disebut seorang laki-laki atau perempuan. Perkembangan fisik antara bayi perempuan maupun laki-laki pun berbeda. Namun, secara psikologis, perbedaan karakteristik yang dimiliki bayi perempuan dan laki-laki bukanlah sesuatu yang terberi (nature) namun sesuatu yang terjadi karena pengaruh lingkungan atau faktor eksternal (nurture).

Jadi apakah seorang anak perempuan atau laki-laki menyukai jenis pakaian tertentu atau kegiatan tertentu adalah hasil pembelajaran dari lingkungannya. Seperti Siti, yang jelas lebih memilih memakai celana panjang dan kaos t-shirt daripada tank top dan rok karena memang menjalani keseharian yang memang lebih nyaman dan aman jika memakai baju pilihannya tersebut. Juga tidak mengherankan jika gerak-gerik Siti jauh dari gemulai anak perempuan pada umumnya, karena dituntut tegar menghadapi aktivitas yang ‘lebih keras’ daripada anak perempuan lainnya. Nah, kalau melihat apa yang dihadapi Siti dalam kesehariannya, tentu kurang bijak jika para orang dewasa di sekitarnya memaksakan atau menyarankan Siti untuk bertindak-tanduk lemah gemulai ataupun luwes ketika berjalan di panggung dengan memakai rok dan cardigan. Menurut saya, seperti yang dikatakan juga oleh salah satu komentator acara Idola Cilik, sebaiknya Siti tetap menjadi dirinya sendiri. Siti dapat memilih pakaian serta gaya panggung ataupun sikap yang sesuai dengan dirinya. Tak ada salahnya menjadi anak perempuan yang tomboy. Tak ada salahnya sebagai anak perempuan untuk selalu menggunakan celana panjang dari pada rok. Tak ada salahnya bertangan kasar dan bersikap maskulin meskipun tetap menjadi perempuan. Apa lagi Siti masih berusia belia. Ia akan masih terus menjalani proses kehidupan yang membantu pembentukan kepribadiannya. Tokh banyak perempuan dewasa yang tetap menjalani kehidupannya sebagai seorang perempuan dengan begitu banyak peran yang dekat dengan dunia maskulin, namun tidak meninggalkan tuntutan perannya sebagai ibu dan istri.

Saya harap kasus-kasus seperti Siti ini dapat kita hadapi dengan bijak, terutama bagi para orangtua. Sehingga anak-anak Indonesia semakin jauh berkembang dan maju karena tidak lagi dibebani tuntutan-tuntutan yang tidak perlu.

Ulfa

Tentu nama Ulfa dan Syekh Puji tak asing bagi kita yang rajin mengikuti berita-berita di berbagai media. Ya, mereka ada dua sosok yang tengah menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Hal yang paling mendapat banyak sorotan adalah usia Ulfa, sang istri dari Syekh Puji, yang baru berusia 12 tahun. Sedangkan Syekh sendiri berusia 56 tahun (!). Alangkah prihatinnya saya ketika pertama kali mendengar berita tersebut. Beberapa kali saya menyimak wawancara beberapa stasiun televisi dengan kedua sosok itu. Usia Ulfa yang demikian belia membuat saya berpikir dalam konteks psikologi perkembangan.

Anak berusia 12 tahun termasuk dalam usia perkembangan anak-anak akhir. Pada masa ini anak-anak sedang mengembangkan konsep dirinya dengan seluas-luasnya mengeksplorasi kemampuannya. Maka bisa dibayangkan, Ulfa dalam masa perkembangannya telah diberikan pilihan yang amat sempit untuk menjadi istri (dan kemudian menjadi ibu) pada usia yang amat belia. Potensi dirinya yang amat mungkin dikembangkan (mengingat prestasi akademiknya yang baik menurut kesaksian para gurunya-yang saya dengar dari sebuah televisi swasta) menjadi terhambat. Dari sudut ini, jelaslah Ulfa mengalami kerugian dalam mengembangkan dirinya. Belum lagi kerugian yang mungkin sekali dialami anak-anak yang akan dihasilkan dari pekawinan ini akibat kurangnya kesiapan mental dari Ulfa untuk menjadi seorang ibu.

Setelah melihat dampak pernikahan tersebut pada diri Ulfa, maka berikutnya saya ingin menyorot mengenai perkembangan moral Ulfa, untuk lebih memahami bagaimana anak seusia Ulfa menimbang nilai-nilai atau norma-norma masyarakat sehingga memutuskan untuk menikah.

Anak usia 10-13 tahun memasuki tahapan perkembangan moral yang disebut Conventional Morality (Kohlberg, 1964 dalam Pappalia & Olds, 1995). Dalam tahapan ini, anak telah menginternalisasi standard yang diberikan figur otoritas dalam lingkungannya. Mereka menaati peraturan untuk menyenangkan hati orang lain atau menjaga keteraturan. Jadi dapat dikatakan Ulfa, yang berusia 12 tahun, memiliki pertimbangan moral yang amat tergantung pada nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarganya, sebagai lingkungan sosial yang terdekat baginya. Keputusannya untuk menikah bisa diasumsikan merupakan keputusan yang diambil hanya untuk ‘menyenangkan’ orangtua dan lingkungannya. Artinya, pihak keluarga (orangtua Ulfa) merupakan pihak yang memiliki ‘wewenang’ paling besar untuk mencegah atau membatalkan perkawinan ini. Maka patutlah kita memandang peristiwa ini bukan hanya dengan menyorot Ulfa dan Syekh sebagai tokoh utama, namun juga bagaimana pengaruh/peranan keluarga, terutama peranan orangtua Ulfa. Latar belakang inilah yang bisa membuat kita, terutama sebagai keluarga, dapat mengambil pelajaran agar dapat lebih baik lagi melindungi anak-anak kita. Namun, rasanya pembahasan peristiwa ini kebanyakan masih berkembang sekitar ranah hukum serta pemahaman agama. Semoga dengan peristiwa ini kita semakin disadarkan betapa pengaruh keluarga amat menentukan ‘nasib’ seorang anak.

Dari dua aspek tersebut, tentu dapat disimpulkan bahwa keputusan pernikahan Ulfa dan Syekh Puji merupakan kejadian yang memprihatinkan dan patut mendapat perhatian dari kalangan luas sehingga dapat mencegah kejadian yang sama terulang kembali.

Khayalanku

“Kriiiingg…..!” Suara telpon berdering-dering mengejutkanku. Lho, ternyata yang berbunyi adalah telpon di atas meja kantorku. “Kantor?!” pikirku heran. “Sejak kapan aku bekerja di kantor ini?” aku berkata dalam hatiku tak habis pikir. Aku lihat sekelilingku. Ada beberapa meja yang tertata rapi dengan nuansa ceria seperti sekolah Taman Kanak-kanak. Dering telpon masih terus berbunyi seakan-akan menyuruhku mengangkat telepon itu. Maka aku mengangkat telpon itu meski tidak tahu mengapa aku berada di sini. “Halo …, ” kataku menggantung. Suara di seberang menjawab, “ Bisa saya bicara dengan Mbak Irena?” Aku menjawab, “Ya, saya sendiri Bu. Ini dengan siapa ya?” Suara itu menjelaskan, “Ini Ibunya Michael. Saya ingin memberi tahu, hari ini Michael tidak bisa datang ke Klinik, karena sakit kepalanya kambuh lagi. Maaf ya, Mbak, sudah beberapa kali Michael tidak bisa ikut terapi dengan Mbak di Klinik.” Aku menjawab seadanya, “Iya, Bu tidak apa-apa.” Ibunya Michael mengucapkan salam terburu-buru, “Terima kasih, Mbak. Selamat siang.” “Selamat siang, Bu,” aku menjawab salamnya dengan pikiran masih bertanya-tanya.
Belum habis rasa bingungku, tiba-tiba terdengar suara anak-anak. Suara yang menurutku menyenangkan untuk didengar, sehingga menimbulkan senyuman sekilas di wajahku. “Tante, aku pingin duduk di kursi merah ya.” “Kalau aku pingin di kursi sebelah Tante! Boleh, ‘kan?” demikian celoteh beberapa anak. Kemudian aku mendengar suara perempuan dewasa menimpali dengan suara lembut namun tegas, “Iya, kalian bebas memilih dimana kalian mau duduk. Sekarang jangan keluar ruangan ini dulu ya, Tante mau memanggil Mbak Irena dulu untuk membantu Tante hari ini, oke?” “Okeee…!” terdengar suara anak-anak itu menjawab bersamaan. Lalu muncullah perempuan itu, yang tadi hanya kudengar suaranya.
Ya ampun! Itu ‘kan Anna, teman kuliahku dulu. Kenapa kami ada di ruangan yang sama? Kami sudah lama tidak bertemu sejak kami lulus bersama-sama dari bangku kuliah. Memang menangani anak-anak adalah spesialisasi yang kami ambil sebagai psikolog, ilmu yang kami pelajari ketika kuliah dulu. Anna dan aku adalah sahabat karib. Ketika Anna memanggilku dengan seruan bersemangat, aku pun langsung menyambutnya dengan senyuman ceria. Rasa bingung yang tadi memenuhi pikiranku hilang seketika itu juga. Semangat lain juga muncul karena aku akan bertemu anak-anak, yang selalu membawa energi positif tersendiri bagiku. Kegiatan selanjutnya aku jalani tanpa tanda tanya lagi, seakan-akan aku sudah lama menjalani profesi impianku sebagai seorang psikolog anak profesional. Ah, betapa aku merasa puas akan diriku hari ini.
Belum habis rasa puas itu, tiba-tiba aku mendengar suara musik dari sebuah Band. Di panggung telah terlihat teman-teman lamaku yang pernah sama-sama tergabung dalam satu Band ketika kami SMA dulu. Mereka adalah Elmo sebagai drummer memegang stick pemukul drum dengan mantap, Deni sebagai gitaris bersiap memetik gitarnya, dan Melani yang sudah siap menekan tuts-tuts organnya dengan indah. Tapi …, tunggu dulu, kok posisi penyanyi dalam band itu masih kosong ya? Sayup-sayup aku mendengar para penonton mengelu-elukan nama penyanyi yang kelihatannya belum muncul di tengah panggung.
Wah! Ternyata mereka semua menyerukan namaku! Belum habis terpana mendengar betapa banyak orang yang menginginkan kehadiranku di panggung, aku bertambah kaget melihat betapa indah dandananku malam ini. Tak pernah aku merasa sehebat ini. Tak terasa aku sudah berada di tengah-tengah panggung memegang microphone dengan erat. Band pengiring pun mulai memainkan intro lagu yang terasa akrab bagiku. Aneh, aku tidak tahu lagu ini sebelumnya, tapi aku bisa menyanyikannya seakan merupakan bagian dari jiwaku. Seiring lagu mengalun, aku bernyanyi tanpa kesulitan, seakan menyuarakan apa yang selama ini terpendam. Seolah inilah sesuatu yang selama ini aku inginkan tanpa sadar. Entah kapan aku pernah merasa melayang seperti ini. Mungkin begini rasanya ekstase yang dialami para penyandu narkotik ketika memasukkan barang-barang maut ke dalam darah nadi mereka.
Lagu pun selesai kulantunkan dengan sukses. Para penggemarku bersorak tak henti sambil berteriak memanggil namaku. Belum sampai aku di ujung panggung yang megah itu, aku merasa terjatuh ke dalam lorong sepi. Ketika aku sadar, ternyata aku dikelilingi rak-rak buku yang tak terhitung banyaknya. Aku sedang berdiri di depan sebuah rak yang berisi buku-buku mengenai spiritualitas, pencerahan jiwa yang dicari semua manusia secara sadar atau bawah sadar. Aku memegang sebuah buku karangan Karen Armstrong yang terbaru. Dia salah satu penulis yang kukagumi karya-karyanya. Belum habis aku merasa heran dengan kontrasnya suasana hiruk pikuk panggung dengan senyapnya ruangan penuh rak buku ini, aku dikejutkan oleh sebuah suara yang berbisik di belakangku, “Hey, jangan melamun ‘Na. Itu buku Armstrong yang terbaru ya? Wah, kamu beruntung bisa membacanya untuk pertama kali. Ya sudah, jangan kelamaan melamun, cepat taruh buku itu di tempatnya. Kita masih harus mengatur kembali buku-buku di bagian Fiksi.” Aku langsung menoleh ke arah suara itu, dan aku melihat Dilla, salah satu teman akrabku sejak kecil. Sedari dulu kami memang penggila buku. Kami bahkan bercita-cita membuka perpustakaan umum bersama. Cita-cita yang belum terwujud sampai sekarang. Namun impian itu tetap menjadi pengikat spesial bagi persahabatan kami.
Tanpa menunggu jawabanku, Dilla langsung membalikkan badannya dan melangkah pasti ke bagian Fiksi. Aku pun menaruh buku tadi di tempatnya dan mengikuti Dilla dari belakang. Aku memandang berkeliling dengan bersemangat ke semua buku yang seakan mengawal langkah kami. Semua buku itu menghapus rasa ekstase yang menggebu-gebu, yang tadi aku rasakan ketika menyanyi di atas panggung. Rasa puas hati ketika menghadapi anak-anak sebagai seorang psikolog pun terbang entah kemana. Buku memang selalu menumbuhkan rasa damai khusus dalam hatiku. Seakan mengobati segala kegundahan yang pernah kualami. Aku merasa bukulah ensiklopedi yang dikirimkan Tuhan melalui para penulisnya, sehingga membantu para pembacanya tercerahkan.
Aku pun memperhatikan dengan asyik judul-judul buku yang aku lalui. ‘Selasa bersama Morrie’, buku yang sangat menginspirasikanku tentang kematian dan tentunya juga tentang kehidupan, demikian pikirku. Lalu aku sampai di bagian fiksi, yang tak kalah menariknya. Ada berbagai judul teenlit, chicklit sampai beberapa novel karya Marga T. dan Sidney Sheldon. Wah! Aku bangga bisa mempunyai perpustakaan selengkap ini. Akhirnya aku tahu, perpustakaan ini adalah perpustakaan yang aku dan Dilla miliki. Aku mengetahuinya dari selembar pengumuman yang tertempel di salah satu dinding yang aku lalui tadi. Di situ pun dicantumkan bahwa tidak ada biaya yang ditarik bagi para pelajar dan mahasiswa. Memang itulah salah satu misi kami untuk mendirikan perpustakaan, memberikan akses tanpa batasan biaya bagi para generasi muda sehingga mereka memiliki wawasan yang luas. Ah, betapa membahagiakan jika setiap impian bisa terwujud seperti ini. Pasti surga akan kehilangan pamornya, jika dunia seakan mampu menjadi taman firdaus bagi para manusia pemimpi untuk merealisasikan impiannya.
Ketika aku sedang tersenyum-senyum sendiri… tiba-tiba, aku mendengar suara anak kecil yang menggemaskan memanggil-manggil, “Mama, Mama …” Perlahan, kubuka mataku yang hanya bisa melihat sebersit cahaya dengan warna-warni yang tak jelas sosoknya. Setelah mampu menyatukan kesadaranku, aku berhasil menemukan sumber suara menggemaskan itu. Ya ampun! Ternyata itu suara Kiyan, anak laki-lakiku. Ternyata semua pengalaman tadi cuma mimpi. Pasti tidurku nyenyak tadi, sampai merasa mimpi tadi begitu nyata.
Ketika aku menoleh, Kiyan sedang berdiri memegang pinggiran tempat tidurnya yang berpagar. Ia menatapku lugu dengan mata sayu karena masih menyimpan kantuk. Rupanya ia terbangun karena celananya basah. Ia pun seperti biasa menunjuk-nunjuk celananya, sambil berceloteh lucu dengan nada merengek, “Ma, pis… Ma, pis… ,” yang artinya, “Mama, aku pipis.”
Setengah sadar dari mimpiku, aku bangkit dari tempat tidurku yang bersebelahan dengan tempat tidur Kiyan. Aku tersenyum kepada Kiyan sambil berkata lembut, “Ya, sayang. Pipis, ya? Sini, Mama bersihkan.” Aku langsung melepaskan celana basahnya dan mengangkatnya untuk dibersihkan, kemudian memakaikannya celana yang baru. Setelah tenang kembali, aku angkat dia ke dalam dekapanku. Benar saja dugaanku, tak berapa lama kutimang-timang, ia kembali terlelap dengan mudahnya. Terlihat wajahnya yang damai kembali beristirahat. Perlahan kuletakkan dia di dalam tempat tidur berpagarnya.
Aku pun kembali merebahkan badanku di atas tempat tidurku. Saat itu aku teringat lagi akan apa yang aku alami di mimpi tadi. Aku pun tersenyum-senyum sendiri. Mengingat betapa bahagianya aku tadi, bisa mencicipi semua profesi impianku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan menoleh memperhatikan Kiyan yang tertidur dengan nyaman.
Semua profesi dalam mimpi tadi memang amat indah. Namun kenyataan yang aku miliki tidak kalah menariknya. Aku adalah seorang ibu rumah tangga. Aku telah memiliki seorang putra, Kiyan, yang sekarang telah berusia 18 bulan. Putra yang amat kukasihi dan selalu membuatku bangga karena berkembang dengan sehat dan cerdas. Aku pun istri yang berbahagia karena memiliki suami, Mas Argya, yang selalu menyayangi aku dan Kiyan dengan setulus hati. Kami hidup sederhana dan berpandangan positif terhadap hidup. Mas Argya amat mendukung keinginanku untuk tetap mengasuh Kiyan sendiri, tanpa bantuan orang lain. Ia juga membantuku untuk tetap dapat mengaktualisasikan diriku dengan memberikan ruangan kecil di sebelah kamar kami. Ruangan itulah tempatku membaca buku, mengetik puisi-puisi sederhana, melukis Kiyan yang sedang bermain di ruang tengah, atau sekedar duduk santai memandang jalanan yang ramai. Dengan semua kegiatan itu, aku tak pernah merasa bosan di rumah.
Inilah surgaku di dunia fana ini. Aku telah meraih harta yang tak tergantikan, yaitu mewujudkan impian terbesarku untuk memiliki keluarga. Impian-impian lain untuk menjadi seorang psikolog anak profesional, seorang penyanyi, dan seorang pustakawati, pupus dengan sendirinya seiring langkahku mengasuh Kiyan. Tak kurang bahagia diriku dalam menjalaninya. Ada kepuasan yang tak ternilai dan tak akan tergantikan ketika mengasuh Kiyan. Aku percaya, jika kita bisa menikmati mimpi ketika tidur dan mewujudkan impian utama kita dalam kehidupan nyata, maka kita akan menjadi manusia sempurna. Bagaimana menurut Anda?

Minggu, 23 November 2008

Teriakan Ibu

Kemaren aku mengantar Aji periksa ke dokter. Teresa juga kami ajak spy sekalian jalan2 berhubung di rumah sakit itu ada 2 toko mainan yg peuh dg mainan lucu2... namun sebelum tur keliling toko mainan, aku dan teresa makan dulu di cafetaria rumah sakit yang katanya terkenal karena makanannya enak... Ketika sedang asyik menyuapi Teresa, perhatianku tercuri pada sebuah keluarga yang sedang makan di meja sebelah meja kami. keluarga itu terdiri dari seorang ibu dan ayah, serta 2 orang anak, yang kecil mungkin seumuran dg Teresa (krg lbh 2 th-an), yg besar sudah berusia kira2 8/9 th-an... sang ibu dengan suara yang cukup keras dan dengan nada membentak berkata kepada si kecil supaya makan dengan benar. dia mengatakan karena si kecil tidak mau disuapi, maka dia membiarkan si kecil makan sendiri. dia juga berusaha menakut-nakuti si kecil dengan memanggil pelayan,"mas, liat ni si kecil (menyebut nama anak) berantakin meja.." memang pada saat itu meja makan mereka sudah dikotori oleh ceceran nasi goreng yang ditumpahkan oleh si kecil. namun tentu saja semua omelan dan ancaman ibu tidak membuat si kecil berhenti melakukan aksinya. karena takut terpergok terus mengamati keluarga itu, aku pun mengalihkan perhatian pada teresa yang masih asyik aku suapi. ketika aku memperhatikan kembali ternyata si kecil telah digendong oleh ayahnya dan kembali setelah tidur dalam pelukan sang ayah. ternyata kekesalan ibu ditambah lagi dengan aksi si kakak yang makan dalam jumlah yang sedikit serta mengaduk2 puding, saos kacang, dan sambal menjadi satu.
hem, melihat pemandangan ini terbersit sebuah pemikiran yang selalu saya yakini bahwa segalam macam bentuk kekerasan tidak pernah akan menyelesaikan permasalahan, terutama dalam mengasuh anak. memang tidak mudah menjadi ibu yang penyabar. saya juga sering kali berteriak memarahi Teresa ketika dia "kumat beraksi"... namun untung juga seringkali saya cepat sadar, menahan emosi sebentar, menarik napas utk menghela semua kemarahan, dan dengan nada yang lebih lembut berusaha menyelesaikan keadaan. karena saya sadar tidak ada untungnya sama sekali mengumbar kemarahan...apalg kepada anak sendiri. kembali lagi ke keluarga yang tadi saya ceritakan. selain mengungkit pemikiran ttg tabunya kekerasan dalam pengasuhan anak, saya juga kembali menyimpulkan bahwa apa yang diperlihatkan atau diperbuat anak adalah cermin dari orangtuanya. jadi, jika anak kita mengalami masalah dalam berperilaku, ada baiknya, kita, sebagai orangtua, menilik dan memeriksa kembali dengan jujur, mengenai cara pengasuhan yang diberikan kepada anak kita....

Kamis, 20 November 2008

Menulis

Menulis..
Menulis adalah salah satu ketertarikanku sejak lama. meskipun tertarik... ternyata ga mudah lo untuk menulis... memang banyak hal yang bisa ditulis... pengalaman sehari2 juga bisa kalo mau. Tapi ketika ide sudah ada biasanya tantangan yang muncul setelahnya adalah berani atau tidak kita menuangkan ide itu ke dalam tulisan. berani adalah suatu isu yang muncul ketika aku ingin mempublikasikan hasil tulisan-tulisanku. berani juga menjadi satu hal yang aku perhatikan ketika memilih bentuk tulisanku. apakah formal atau non formal atau gabungan? apakah puisi atau cerpen atau artikel atau autobiografi atau essay atau .....? yah pokoknya banyak lah yang terlintas ketika tangan ini sudah ingin menuliskan kata2 dalam pikiranku. Akhirnya daripada pusing tanpa hasil, saya memutuskan untuk 'let it flow'.... maksudnya tulis aja apa yang ada dalam pikiran tanpa memusingkan hasil or bentuknya atau kata2nya atau apapun juga.... Tulisssss tulisss dannnn (karena juga pada dasarnya aku ini cerewet) jadilah sejumlah tulisan....
Hehehehe akhirnyaaaa saya bisa menulis juga.... yah, mengenai kualitas itu kan perkara penilaian orang dan jam terbang dalam menulis.... tentu juga tergantung seberapa jauh kita mau mengembangkan diri dengan menulis itu.... tapi untuk sekarang tulisan2 semacam ini cukuplah.
Untuk mengekspresikan apa yang ada dalam diriku.
Semoga apa yang aku tuliskan di dalam blog ini bisa menambah masukan positif bagi teman2 yang membacanya.
Sebagai pengantar, saya ingin memberi keterangan bahwa beberapa tulisan di dalam blog ini merupakan tulisan yang beragam bentuk dan isinya, serta telah ditulis beberapa waktu yang lalu. so, mohon maklum...
Okay, best regards to all yang mau membaca tulisanku.
Ella.
Sekali menulis tetap menulis! YEahhhh!:))

Rabu, 19 November 2008

Pengabaian

Siang tadi ada berita di tv tentang razia perokok di tempat umum. Meskipun, spt biasa, baru sosialisasi, jadi belum ada sanksi bagi pelanggar. Sewaktu menyaksikan berita tersebut, seseorang di rumahku, yang notabene perokok, berkomentar, "Oh sudah diberlakukan ya... abis ga jelas sih..." Aku yang memang benci dengan rokok dan perokok, menanggapi dengan sedikit sewot,"lho kan, sudah lama diterapkan peraturan itu!"
Komentar tadi menunjukkan pengabaian yang sering kali kita lakukan terhadap banyak hal di sekitar kita. Pengabaian untuk terus membuang sampah sembarangan, padahal kita tahu perilaku ini akan meningkatkan resiko banjir serta meningkatkan resiko global warming. pengabaian untuk terus menyalakan komputer kita meski tidak digunakan, padahal kita tau hal ini bisa memboroskan energi. dan banyak pengabaian lainnya.Kalau saja kita tidak terbiasa mengabaikan, maka saya yakin kita akan memiliki masyarakat yang lebih sehat, baik secara jasmani maupun rohani. Karena dengan peduli, baik dengan diri sendiri maupun orang lain, akan membawa banyak dampak positif di sekitar kita. Ingatlah sebagai makhluk hidup, kita semua saling berhubungan secara alami, dengan sluruh makhluk di dunia ini.Maka mulai sekarang pedulilah! Jangan mengabaikan hal-hal kecil yang bisa kita lakukan dengan lebih baik. Hal-hal besar dimulai dari hal-hal kecil.