Minggu, 14 November 2010

Ujian yang Sebenarnya

Waktu itu saya sedang menikmati detik terakhir waktu istirahat dalam sebuah workshop. Waktu itu saya sedang berada di sebuah ruang penuh buku sehingga tak ada kebocoran suara yang mungkin menceritakan kekagetan saya terhadap surat tersebut. Meski akhirnya teman saya mengetahuinya karena saya bercerita demi mendapatkan penguatan moril. Memangnya isi surat itu apa? Surat itu mencantumkan nama saya dan teman saya, yang bertindak sebagai supervisor pada sebuah kasus KDRT dan mengundang kami datang ke sebuah kantor kepolisian untuk membuat BAP sebagai saksi ahli.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa undangan ini membuat saya terkejut? Karena, terus terang yg sejelas-jelasnya, saya 'parno' kalau harus berurusan sama pihak berseragam atau birokrasi atau sejenisnya. Maka dipanggil ke kantor polisi untuk urusan apapun membawa kecemasan tersendiri buat saya. Ketika teman saya, supervisor saya, melambaikan surat itu dan menyungging senyuman menggoda (karena saya rasa dia tahu ke-parno-an saya ini), jantung saya rasanya seperti baru saja naik roller coaster (meski udah lama juga ya ga naik roller coaster). Deg-deg-an rasanya. Seperti tidak menginjak bumi. Lebay? Mungkin juga. Ga nyangka respon saya bisa sangat lebay seperti itu. Ketika melihat respon saya, teman saya itu mulai menenangkan bahwa saya ke sana tidak sendirian tapi bersamanya. Jadi setidaknya saya merasa terhibur.

Sebelum hari H tiba, saya pun bersiap sesiap-siapnya untuk menghadapi yang berwajib. Mulai dari surat tanda praktek dan keanggotaan himpunan profesi (yang sempat membuat kalang kabut karena kedua kartu tersebut terselip diantara tumpukan buku berdebu), sampai print out surat keterangan ahli yang kami buat atas kasus terkait. Layaknya menghadapi ujian, saya membaca surat tersebut sambil menggarisbawahi hal-hal penting dalam kasus ini dengan menggunakan spidol merah. Jangan sampai saya salah ucap, batin saya.

Pada hari H, beruntunglah saya, Teresa yang sepertinya mau mulai rewel karena akan saya tinggal setengah harian bersama Mbak-nya, ternyata tidak jadi merajuk. Untuk meninggalkan Teresa hari itu memang membutuhkan pengaturan ekstra, karena saya tidak terbiasa meninggalkan Teresa di waktu pagi sampai siang hari. Biasanya saya meninggalkannya dari siang hari sampai menjelang sore. Untuk beberapa orang tua, mungkin memahami apa perbedaan yang saya maksudkan dalam hal ini.

Nah, kembali lagi ke topik. Pada hari H, saya berjanji ketemu dengan teman saya di sebuah minimarket untuk kemudian naik bis bersama ke kantor polisi yang dimaksud. Sampai di minimarket itu, saya berkeliling, bermaksud menghilangkan ketegangan dan menghabiskan waktu sampai teman saya datang, namun kok malah jadi semakin ga enak. Entah ya, karena saya yang memang sedang tidak fit pada waktu itu atau karena akibat kecemasan saya kepada para petugas berseragam itu... Singkatnya, sampailah saya dan teman saya ke kantor polisi. Disana, kompleks yang sebenarnya bersebrangan dengan mantan kampus saya itu, kami harus berjalan jauh masuk ke dalam. Untuk orang yang sedang HHC (harap harap cemas) seperti saya, perjalanan yang jauh ini cukup membawa kesan tersendiri, karena semakin memberikan kesempatan untuk saya menghayati kecemasan saya. Ketika sampai, kami diminta menunggu... dan menunggu dan menunggu... sampai kurang lebih satu jam. Sampai saya harus mengganti saluran televisi yang ada di ruang tunggu karena tidak tahan mendengar lagu-lagu yang 'aneh' untuk kuping saya. Akhirnya kami pun dipersilahkan masuk ke ruang pembuatan BAP. Ternyata, ruangan itu tidak membuktikan ke-parno-an saya dan bayangan saya akan kantor serta petugas berseragam selama ini.

Ruangan itu ruangan ber-AC dengan nuansa terang, perabotan kantor sederhana namun rapi dan bersih. Ruangan tersebut berisi empat meja lengkap dengan komputer serta petugas polwan yang masing-masing tampak sibuk mengetik. Oooo... seperti ini ya kerjanya mereka, batin saya. Dan satu hal penting adalah, mereka tidak memakai seragam polisi. Mereka menggunakan seragam formil ala pegawai kantoran dalam nuansa putih dan hitam. Petugas yang menangani kami tampak ramah dan mengatakan bahwa karena hanya memerlukan keterangan hanya dari satu pemeriksa utama, maka saya hanya berkedudukan sebagai pemeriksa pembantu alias informasi pelengkap saja. Maka sayapun mendengarkan dan mengikuti proses BAP sambil sesekali menambahkan informasi yang diperlukan.

Sementara kami melakukan BAP, masuklah seorang perempuan yang modis dan dipersilahkan duduk di kursi paling ujung, bersebrangan dengan posisi kami. Ternyata ia bermaksud membuat BAP sebagai pelapor atas kondisi rumah tangganya. Karena tak ada sekat antar meja petugas, maka dengan jelas kami bisa mendengar curhatan si perempuan itu. Jadi terbayang juga betapa sulitnya jika seorang korban pelecehan seksual mesti menceritakan detil kejadian peristiwa yang dialaminya dalam kondisi 'terbuka' seperti itu. Pantas saja .... (silahkan lengkapi sendiri)

Pendekatan petugas tampak sangat informal dan berjauhan dari image saya terhadap seorang petugas polisi. Teman saya menjelaskan, bahwa sekarang ini memang kepolisian telah mengubah pelayanannya, terutama di unit perempuan dan anak, yang kami datangi ini. Sebenarnya penjelasan ini telah saya dengar jauh-jauh hari sebelum mendapatkan surat panggilan BAP ini. Namun tampaknya kecemasan saya mengalahkan informasi yang valid ini. Terbukti betapa seseorang yang cemas bisa sangat tidak rasional *huhuhuhu...* Mereka memang tampak lebih ramah klien atau pelapor. Cukup salut untuk hal ini. Meski katanya juga, ada beberapa kantor kepolisian yang lebih kecil sektornya, masih kurang mempraktekkan niatan baik ini. Dalam arti, kadang pelayanan yang dilakukan masih jauh dari keramahan yang kami alami di sini.

So, saya rasa untuk ujian hari ini saya mendapat nilai yang cukup. Bahkan mungkin baik (boleh lah sedikit subjektif). Ternyata ujian yang nyata bukan sekedar menghadapi klien dan memfasilitasi klien agar berfungsi lebih baik secara psikologis. Tapi juga ujian ketika diminta menjelaskan keadaan psikologis klien kepada profesi lainnya. Ternyata ujian nyata semacam ini memang semakin membuat saya matang dalam menjalankan profesi saya. Ujian berikutnya? Katanya sih kalo dipanggil ke pengadilan sebagai saksi ahli, yang pasti akan lebih mendebarkan lagi mengingat tuntutan psikologis yang akan dihadapi... Bener ga ya? Ah.... rasanya saya tidak mau memikirkan dulu sampai situ deh... :)

Ternyata memang baik berwaspada-ria sebelum menghadapi sesuatu. Dan memang baik jika kita berani menghadapi ke-parno-an kita, karena ternyata tidak semua hal yang dicemaskan memiliki kenyataan yang menakutkan.

Apalagi sesudah itu ditambah bonus lunch dan jalan-jalan ke sebuah mal di seberang kantor kepolisian itu... :D