Selasa, 21 April 2009

Sepotong Renungan

Hari ini kulihat berita
Lagi-lagi berita duka
Tentang sebuah bencana
Yang katanya mungkin bukan sekedar murka alam

Ah, lagi2 sebuah tragedi kemanusiaan
yg katanya tidak terantisipasi
Di negara yg katanya kaya
kaya orang pintar

Orang pintar di negara ini memang punya posisi yg tdk mengenakkan menurutku
sepertinya stagnan
ada semacam sandungan abadi
utk memberi manfaat bagi kemanusiaan

Ini hanya satu bencana terbaru
yang katanya bukan sekedar murka alam

Bencana kemanusiaan di negara ini sudah berentet
hingga sering kali membuat bosan n muak
Bosan karena ada lingkaran yg sama
Muak karena bencana terjadi selalu mengorbankan orang kecil

Tak ada yang tahu
alasan di masa lalu
ataupun apa yg akan tjd di masa depan

Namun, akankah nasib selalu menjadi kambing hitam
Di jaman teknologi bin pencerahan intelektual manusia?
Nasib adl pilihan
Tapi seringnya dalam dunia yg fana ini
Yang memilih belum tentu yang merasakan
Yang menabur belum tentu yang menuai

Sepotong renungan ini
ku tulis krn prihatin dan turut berduka
atas bencana Situ Gintung
yang mengingatkan betapa banyak bencana serupa
betapa banyak korban kemanusiaan yg sudah jatuh
yang katanya bukan semata murka alam

Curhat Dikittt...

Hari-hari di minggu ini penuh dg dinamika perasaan... banyak kejadian terjadi (yg blm bs aku share di sini)... Membuatku cape hati... Fiuhhh...
Dan ternyata... bukan cuma aku yg mengalaminya. Setidaknya ada 3 orang teman yg aku dengar jg not in the good mood... hem, wats up wit dis wik seh?...
Unanswered question i guess...maybe its only life... "the only constant thing in life is changing" (india arie)... dlm hal ini perubahan pengalaman hidup. dari yg menyenangkan dan menyebalkan/menyedihkan...
kalo ga up side down ya bkn hidup katanya... :o

But... spt yg sll dikatakan orang2 bijak... selain hal negatif... ada juga hal positif yg menyertai. Hal ini berlaku padaku... selain ketidakenakan2 yg tjd, sy jg mendapat sejumlah berita baik... terutama tentang pekerjaan dan pertemanan... Tks God 4 it.. :D

Tks God jg utk semua ketidakenakan... krn aku akan belajar sst dari kejadian2 tsb... meski sekarang HUaaahhhh rasanya begahh... bingung gmana sih... wat to do...

But... spt yg disimpulkan dr percakapan dg beberapa teman baikku, cobalah berpasrah, mencari solusi, tetap berbagi dan saling support... dan tentu katarsis... hehehe... Smg... dengan cara2 ini kita akan selalu bisa menghadapi semua tantangan, masalah, atau apapun itu... Cos at the end, kita yg menentukan... dan hidup ga akan berhenti krn kita bete... sll masih ada harapan...

Jadi... bsk ada satu hari lagi utk mengakhiri minggu yg penuh makna ini... I try my best tommorrow... spy minggu ini ditutup dengan satu hari Sabtu dan Minggu yg penuh kesukaan... Semogaaa....

Temans, smg hari2mu juga penuh harapan yg cerah ya... and be blessed by Him. ;)

Kenapa Harus Pakai Baju Adat Utk Memperingati Hari Kartini?

Hari ini hari Kartini. Meski aku baru saja menyadarinya ketika on d way ke Depok, tp ijinkan aku memberi selamat Hari Kartini kepada semua kaum perempuan dan semua kaum lelaki yg turut memperjuangkan hak perempuan di Indonesia. Semoga semua perjuangan sejak jaman Kartini sampai sekarang, bisa semakin luas dinikmati oleh lebih banyak perempuan Indonesia.

Di sini aku tidak akan membahas mengenai perjuangan Kartini atau para pejuang hak Indonesia... Namun aku akan menulis ttg sesuatu pengalaman yang menarik ketika di perjalanan tadi, yg tentu saja berkaitan dengan Hari Kartini.

Tadi aku berangkat dari rumah menaiki angkot. Saya memilih duduk di depan berdempetan bersama seorang ibu, yg keliatannya asik mengobrol dengan Pak Supir. Sambil menyetir, Pak Supir bercerita ini-itu kepada si ibu. Seiring perjalanan angkot, kami melihat serombongan anak-anak TK lewat dengan memakai baju adat (saat inilah aku sadar bahwa hari ini adalah hari Kartini). Pak Supir berceloteh bahwa anaknya sampai menangis karena merengek meminta disewakan baju adat, demi memenuhi tuntutan sekolahnya utk berpakaian adat atas nama peringatan Hari Kartini. Maka (terpaksa) Pak Supir merelakan 50rb rp untuk menyewakan pakaian adat demi si anak. Aku jg tidak tahu lebih lanjut kegiatan lainnya yg akan dilakukan anak2 ketika sudah berpakaian adat. Hanya bayanganku, biasanya mereka akan mengadakan acara yg menekankan pada penampilan luar saja (penampilan berbaju adat), seperti karnaval/parade, atau acara lomba busana adat. Bukannya aku tdk mendukung pemakaian baju adat. Namun nilai2 perjuangan yg diperingati di Hari Kartini ini seakan hilang dan digantikan oleh penekanan nilai materi/penampilan semata.

Dari kejadian selewatan itu, aku jadi bertanya2... sebenarnya apa korelasi peringatan Hari Kartini dengan memakai pakaian adat? Bukankah hari Kartini dimaksudkan untuk memperingati nilai-nilai yang terkandung dalam perjuangan Kartini? Tak bisakah pihak sekolah (guru2) mencari cara yg lebih berarti ketimbang hanya menuntut anak memakai baju adat?

Aku pikir ada beberapa alternatif cara yg sederhana dan tentu menularkan nilai2 yg lebih berharga bagi anak2 ketimbang hanya formalitas dengan memakai baju adat, yg pada akhirnya malah menambah beban ekonomi orangtua. Misalnya :
- anak2 bisa diajak bermain peran (sandiwara) tentang cerita perjuangan Kartini. Kalau perlu bisa diselingi lagu-lagu yg menarik sesuai tema dan nilai yg ingin disampaikan. Kostum dan peralatan diusahakan sekreatif mungkin dan sebisa mgkn menekan biaya tentunya.
- anak2 bisa diajak mewarnai cerita ttg perjuangan Kartini. Setelah diwarnai, para guru bisa menceritakan isi gambar tersebut, tentu dg metode interaktif sehingga anak benar2 memahami nilai2 yg ingin disampaikan.
- mengadakan acara menyanyi lagu Kartini dengan berkelompok or individual. Atau kegiatan kreatif lain, seperti membuat puisi singkat, atau membuat prakarya yg berhubungan dengan Hari Kartini.
- mengadakan diskusi tentang perjuangan Kartini utk para ortu, nilai2 perjuangan Kartini dikonkritkan ke dalam kehidupan sehari2 (hemmm ribet ga ya.... hihihih ;))
- mengadakan berbagai games utk menghidupi nilai perjuangan Kartini (ini lebih ribet lagi yak? heheheh)

Pada intinya, banyak macam kegiatan yg bisa diadakan bagi anak2 tingkat TK agar mereka lebih memahami tentang perjuangan Kartini. Bukannya melarang berpakaian adat, lho... Boleh saja berpakaian adat mjd bagian dari peringatan Hari Kartini asal diikuti oleh masukan atau kegiatan lain yg merefleksikan nilai-nilai perjuangan Kartini. Sehingga anak2 tidak hanya merasakan ribetnya memakai pakaian adat, namun juga memahami tentang nilai dan hasil perjuangan Kartini yg terus berkembang sampai sekarang. Dengan begitu, diharapkan Hari Kartini tidak lewat begitu saja di memori anak2. Tapi mengena dan kalau bisa, melekat dalam keseharian hidup anak2 Indonesia...

Sekali lagi, Selamat Hari Kartini!

Selasa, 14 April 2009

Arggggghhhhhh....

Kalau aku terbang menjauh
akankah engkau mencariku?

Kalau aku tetap di sini
sepertinya kamu tetap menjauh...

Layaknya burung kecil
aku tak pernah putus asa utk coba terbang
spy bs membawa hatimu terbang
bersama2

Namun seekor burung kecil
perlu bimbingan
perlu kasih sayang
perlu sejuta senyuman
perlu dorongan
agar sayapnya mampu melebar
memiliki keseimbangan penuh
dan akhirnya mandiri utk terbang

Jika aku tak ada di sini...
akankah engkau bahagia?

Jika aku pergi
akankah engkau kehilangan aku?

Aku tak tahu
apakah tangis ini berguna
atau hanya katarsis semata

Aku tak tahu
harus bicara
atau bersikap apa
jika kau ada di dekatku
karena semua pertahananku runtuh hari ini
tersedot oleh entah apa namanya

Hari ini...
biarkan aku berteriak...
biarkan aku menangis...
biarkan aku menyesali semua kekhawatiranku yg tanpa tindakan
sehingga kita ada di situasi ini

Entah...
apa kau mengerti kata2 ini
aku tak peduli jika kau tak mengerti

yg penting kebahagiaanmu kembali

Dear God...
tolong aku
tunjukkan jalannya
spy ada tawa lagi di matanya...

Rabu, 08 April 2009

Mencontreng

Mencontreng atau Golput?

Kira-kira sejak bulan lalu, saya mencoba bertanya kepada beberapa teman, apakah mereka akan mencontreng atau Golput? Ada yg mencontreng, ada yg golput. Saya juga memperkaya diri dengan membaca sana sini ttg Golput dan pentingnya mencontreng. Maka, saya simpulkan saya akan mencontreng, meski masih bingung dan buta mengenai caleg mana yg akan dicontreng.Mengapa saya memilih mencontreng? Berikut alasan saya pribadi :
- Sy tidak mau menyia2kan hak sy utk memilih
- Bila Golput, kemungkinan suara sy utk dipermainkan/digunakan utk hal2 negatif akn lebih besar (meski kalo sy mencontreng pun ada kemungkinan itu)
- Sy tidak mau krn ke-golput-an saya, maka akn ada partai atau golongan ttt yg tidak sy sukai akan 'berkuasa', sedangkan saya tidak berusaha utk mencegah itu. Setidaknya mencoba lebih baik daripada apatis.

Nah, sesudah itu, pertanyaan berikutnya adl caleg mana yg kompeten utk sy contreng? Pertanyaan yg amat sulit utk dijawab. Berikut proses yg sy alami.


Mencontreng dan Kamis Putih

Sejak awal, saya bertanya2 mengapa Pemilu bertepatan dengan hari Kamis Putih.... waktu ketika umat Katolik merayakan perjamuan terakhir antara Tuhan Yesus dengan para muridNya, waktu ketika umat disadarkan kembali untuk saling melayani satu sama lain, saling mengasihi tanpa pamrih dan tanpa takut merendahkan diri. Sebab melayani adalah tugas mulia bukan sesuatu yang harus ditakuti.

Namun kenyataan melayani bukan lagi hal yang lumrah kita temukan pada pemimpin masyarakat pada jaman sekarang ini. Saya sering bertanya pula, apakah mereka yang berada di Senayan dan tersandung kasus KKN, memiliki visi melayani ketika ia berniat menjadi wakil rakyat? Hal ini juga yang mendasari saya untuk memilih caleg pada Pemilu besok. Harapan saya, jika sso memiliki visi melayani, maka ia akan melaksanakan tugasnya secara sebaik2nya kepada siapapun dan dimanapun posisinya. Mungkin terdengar simplisistis. Namun terus terang, inilah yang tercetus di kepala saya di tengah kebingungan memilih caleg pada hari pencontrengan besok.

Dasar pemikiran ini tentu amat tidak mudah, karena melayani bukanlah sst yg nyata terlihat pada wajah seorang caleg. Bahkan prilaku dan kata2 manis pun tidak menjamin hati yang mau melayani secara tulus. Selalu ada agenda pribadi yg seringkali egois. Kita semua seperti itu.

Jadi... untuk menjembatani keinginan hati untuk mencontreng dengan kesulitan mengenali caleg yg pas, hari ini (meski agak terlambat) saya mencoba browse, googling, search di jejaring internet mengenai caleg2 dr berbagai partai. Dari proses browsing ini, saya mengharapkan bisa mendeteksi siapa2 saja yg kira2 sreg dg nilai pribadi saya dan kalau bisa mencerminkan nilai melayani yg saya harapkan itu. Sampai saat ini terus terang sy blm memastikan akan mencontreng apa... Doakan saya utk bisa memilih yg terbaik dr yg ada ya...

Demikian share sy ttg contreng mencontreng... Bagaimana dengan temans semua... apakah sudah siap mencontreng?

Senin, 06 April 2009

Hanya Selewatan...

Kata orang cinta pertama tak akan terlupakan. Mungkin mereka benar. Buktinya sampai sekarang, setelah 18 tahun setelah cinta monyet itu berlalu, aku tetap mengingat pacar pertamaku. Tapi yang bikin aku penasaran bukan dia. Tapi dia yang berikutnya, pacar keduaku. Pacar pertama yang serius. Dengannya aku merasakan naik turunnya perasaan orang berpacaran, tidak seperti pacar cinta monyet itu yang cenderung datar... Di dalamnya aku merasa takut kehilangan, cemburu, posesif dan juga belajar utk menjd lebih dewasa dalam menjalin hubungan.

Entah kenapa, tiba-tiba di tahun keempat pernikahanku kali ini aku teringat dia. Padahal suamiku sudah pasti lebih baik untuk dia. Makanya aku menikahi suamiku bukan dia. Iya, kan? Nah, apa ya yang membuat aku teringat lagi dengannya? Aku bertanya-tanya sendiri. Bukan, bukan rasa spesial yang tumbuh kembali. Bukan, bukan rasa marah karena perlakuannya kepadaku. Juga bukan rasa sedih karena cinta kami yang putus setelah dijalin bertahun-tahun lamanya. Tapi... karena aku merasa ada unfinished bussiness dengannya. Aneh kan... kedengarannya kayak hantu penasaran yang gentayangan di film-film horor saja...

Tapi itulah yang sering muncul di pikiranku belakangan ini. Pernah beberapa kali, ketika aku sedang asik di salah satu situs pertemanan yang lagi booming itu, Buku Wajah, aku coba mencari namanya menggunakan alat pencari teman yang tersedia. Namun nihil. Aku juga coba browse ke berbagai account teman2 nya yang seangkatan dengan kami di kuliah dulu, tapi ga ada juga. Atau bahkan iseng mencari namanya di list alumni pada web bekas kampusku dulu. Di situ aku cuma menemukan nama dan alamat email jadulnya. Intinya dia raib ditelan bumi, nampaknya. Maka aku pun masih saja penasaran kemanakah perginya dia itu? Tanpa tahu apa yang akan dilakukan jika sudah bertemu lagi dengannya. Apakah ingin marah, ya ga mungkin... bisa-bisa mencoreng muka sendiri... Apakah ingin nangis, ya lebih ga mungkin, wong aku ini cukup jaim sama orang lain. Apakah ingin berdiskusi atau minta pendapat ttg persoalan kita yang aku anggap unfinished? Hem... sounds not like me too... ga penting gitu loh... ;)

Tapi, meski aku sadar semua itu ga penting, ga ada alasan yang cukup memadai secara logika untuk bertemu lagi dengannya, aku tetap penasaran ingin mengetahui kabarnya.

Pagi itu, seperti biasa aku duduk di meja kerjaku. Laporan yang harus kubuat sudah menumpuk menanti dibaca dan diterjemahkan ke dalam kata-kata analisa. Tapi otakku masih buntu. Teringat anakku di rumah yang menangis saat kutinggal tadi. Entah kenapa, biasanya anakku tidak rewel seperti tadi pagi. Biasanya dia akan melambaikan tangannya yang mungil ketika aku pamit untuk pergi kerja. Namun tadi pagi, tangisnya meledak ketika aku berkata bahwa Mama akan pergi kerja dulu. Bujukan dan rayuan si Mbak tetap tak manjur meredakan tangisannya. Ia baru agak tenang ketika aku memberikan salah satu boneka kesayangannya sebagai ganti kehadiranku. Aku berkata kepadanya dengan hati yang cukup merasa bersalah, "Nak, Mama kerja dulu untuk beli susu. Kalo kangen sama Mama, peluk saja si Teddy ini. Nanti sore, Mama akan pulang dan main lagi sama kamu. oke...?" Tangisannya mereda begitu menerima si beruang Teddy di pelukannya. Meski senyuman dan lambaian cerianya tak nampak juga, aku harus segera berangkat supaya catatan keterlambatanku di kantor tidak bertambah lagi.

Aku enyahkan sejenak pikiran tentang anakku itu. Aku fokuskan diriku ke semua laporan yang menumpuk. Satu jam, dua jam, aku lalui dengan sukses. Lumayan, sudah selesai tiga laporan dari sepuluh yang harus kukerjakan hari itu. Hem, rasanya sudah saatnya untuk jam makan siang, nih. Kulihat jam, yap! betul, sudah jam 12 siang. Aku pun tersenyum lega. Temanku yang di duduk bersebelahan denganku sampai menatapku heran. Ah, biarlah. Saat ini aku malas mengobrol dengan siapapun. Aku hanya melewatinya dan berkata, "Aku makan dulu, ya. Daahhh...!"

Aku harus menggunakan lift untuk turun ke kantin kantorku di lantai pertama. Gedung tempat kantorku memang ditempati oleh beberapa kantor dengan jenis perusahaan yang berbeda-beda. Jadi, lantai pertama, yang berisi berbagai layanan umum, seperti bank dan kantin makan menjadi tempat yang selalu ramai oleh berbagai pegawai dari profesi yang berbeda-beda. Terutama pada jam istirahat seperti sekarang ini. Lihat saja sekarang. Di depan ATM, sudah sekitar sepuluh orang mengantre. Dari para pegawai bank yang rapi jali sampai pegawai biro periklanan yang meriah warna-warni. Aku langsung menuju ke kantin favoritku. Aku senang makan di kantin ini karena menunya makanan rumah dan harganya tentu ga bikin terlalu dalam merogoh kocek. Rasanya pun, memuaskan perut dan jiwa petualang kulinerku ;)

Aku memilih nasi, pindang bandeng, dan tumis kacang panjang, serta sambal tentunya. Aku pun memilih tempat duduk cepat-cepat, takut tidak kebagian tempat duduk. Aku tak memperhatikan di sebelah siapa aku duduk. Aku cuma melihat sekilas, di sebelah kiriku adalah seorang pria berkemeja lengan panjang putih dan celana panjang hitam. Di sebelah kananku adalah seorang perempuan yang tampak sibuk mengobrol cekikikan dengan seorang temannya.

Aku pun menekuni makananku. Asyik menikmati gurihnya ikan bandengku dan segarnya sambal dan tumis kacang panjang kesukaanku. Sesekali aku melihat ke arah jendela besar di depanku. Menyaksikan beberapa mobil lalu lalang di jalan raya.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah suara dari sebelah kiriku, yang dari tadi tak kuperhatikan sama sekali. "Halo, kamu kelihatan masih sama dengan yang dulu, ya..."

Duh... tak kuasa detak jantungku langsung terpacu bak pelari marathon. Mataku perlahan bergeser melihat ke arah sumber suara itu. Ketika aku bertemu matanya, badanku lemas layaknya tak bertulang. Mulutku tak kunjung menyuarakan apapun.

"Apa kabar, kamu?" tanya suara itu lagi.
"Baik. Kamu?" akhirnya suaraku kembali dari antah berantah.
"Baik." katanya lagi

Hening menyelusup di antara kami lagi.

"Kamu kerja di sini?" katanya memecah keheningan.
"Iya, di lantai tiga..." jawabku menggantung, masih melihat ke arah piringku.
"Aku kerja di lantai lima." ujarnya lagi, seperti mencari-cari bahan pembicaraan.

"Anakmu sudah berapa orang?" tanyanya lagi, kali ini berusaha untuk benar-benar menatap mataku.
"Anakku baru satu, sudah hampir berusia 4 tahun. Kamu, gimana... sudah punya anak?" tanyaku kembali, memberanikan diri menatap matanya.
"Aku belum menikah. Masih sibuk berkarir." katanya agak datar, seperti menyimpan pesan tersembunyi.

Kali ini tampak ia hilang kata, menekuri piringnya yang sudah kosong. Lalu ia mengambil sesuatu di kantongnya. Sebuah kartu nama. Disodorkan kartu nama itu kepadaku. "Ini kartu namaku, simpanlah. Siapa tahu kamu ingin menghubungiku. Aku harus kembali ke kantor. Sampai ketemu lagi, ya. Senang bertemu denganmu."

Ia pun langsung berdiri dari kursinya, berhenti sejenak untuk membayar makanannya, dan keluar kantin tanpa menoleh sekalipun. Punggungnya memberikan kesan sepi.

Aku masih terdiam, layaknya patung memandangi kartu nama yang terletak di samping piringku. Piringku ternyata belum banyak berkurang. Sebab semenjak suaranya berkata, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku cepat-cepat memasukkan makanan sebisanya. Aku melirik jam tanganku, sudah 10 menit lagi menuju jam satu. Sejenak aku lupa akan kartu itu dan kehadirannya yang lalu. Ketika aku beranjak dari kursiku, aku pun mengingat adanya kartu itu. Dengan ragu, aku mengambilnya, memasukkannya ke dalam dompet besarku. Aku membayar makananku dan secepat mungkin kembali ke meja kerjaku di atas. Setumpuk laporan membayang di dalam otakku. Namun semua beban pekerjaan itu dibayangi sosoknya dan percakapan singkat kami di kantin. Sampai sore menjelang waktu pulang tiba, semuanya masih terputar bak kaset rusak, berulang-ulang dan membuatku mati rasa.

Kuberhentikan taksi untuk mengantarku pulang. Rasanya kaki ini sudah tidak kuat jika harus berjuang menaiki busway yang biasa mengantarku ke rumah. Kali ini, aku butuh kenyamanan sebuah taksi. Di taksi, kupejamkan mataku dan bertanya pada Tuhan... mengapa aku harus bertemu dengannya hari ini. Dan mengapa ternyata dia ada di dekatku, berada satu gedung perkantoran dengan kantorku. Berarti setiap hari dia ada di dekatku. Ya ampun... creepy juga...Maklumlah aku tipe orang yang percaya pada nasib dan insting. Dan instingku berkata ada sesuatu yang akan terjadi lebih dari percakapan singkat hari ini. Tak perlu waktu lama, instingku terbukti. Telpon genggamku berdering. Kulihat nomer yang tertera di layar. Nomor yang tak ada di memori telponku.

Kupencet tombol penerimaan telpon, kusapa penelpon tak dikenal itu, "Halo..".
"Halo..." balas yang di sana.
Astaga... suara itu lagi, suara yang mengganggu bak kaset rusak sejak siang tadi...
"Ya... ada apa?" kataku mendadak agak gusar oleh telponnya yang tiba-tiba itu.
"Apa aku boleh mengobrol denganmu?" jawabnya.
"Boleh... tapi aku sebentar lagi sampai rumah. Jadi tidak bisa mengobrol terlalu lama." entah mengapa aku tidak ingin berlama-lama mengobrol dengannya, mungkin karena memori masa lalu yang tidak mengenakkan dengannya.
"Ok, aku tak akan lama. Aku cuma ingin kamu tahu, apapun yang kamu masih pikirkan tentang hubunganku dengan perempuan lain, semasa kita pacaran dulu, adalah tidak benar. Maafkan aku kalo aku membuatmu sakit hati." katanya langsung mengutarakan isi hatinya.
Aku terpekur memegangi hp-ku, kaku.
" Oke..." cuma itu yang bisa kukatakan padanya.
"Oke... kalau begitu sampai jumpa" katanya sedikit hampa, mematikan sambungan telpon itu.
Aku pun perlahan memencet tombol hp utk melakukan hal yg sama.
Sejenak ku menutup mata, entah ingin mengenyahkan apa.

Tak terasa taksi telah meluncur ke depan rumahku. Kubayarkan ongkos pulangku kepada sang supir, sembari menggumankan kata terima kasih. Kubuka pintu taksi, kuhirup udara segar khas sesudah hujan. Memasuki rumahku, semua pengalaman hari ini di kantor, pun pertemuan dan sambungan telpon tak biasa tadi itu, menguap entah kemana. Biarlah awang-awang rumahku yg menyimpan semuanya. Suara si kecilku dan kesibukan rutinitas malam kembali menenggelamkanku dengan asiknya. Ah, biarlah... tak ada lagi yg lebih penting dari si kecil sekarang.

Memori hari itu plus pembicaraan yg kurasa tanpa arti setelah sekian lama ia menghilang, rupanya tidak terhapus begitu saja. Pagi hari datang bahkan dengan mimpi tentang hal itu. Hah! Betapa menggelisahkan pemikiran dan mimpi semacam ini. Sudah kucek terakhir kali, sudah tidak ada dendam, apa lagi rasa kebalikannya, rasa sayang padanya. Tak perlu tokh, ia kembali mengganggu pikiranku?

Maka, karena mendadak aku capek dengan semua ini. Aku putuskan untuk menetralisir perasaanku dan mengusir semau rasa ingin tahuku tentang dia. Seperti menghapus semua file tentangnya di hardisk otakku, bahkan sampai menghapusnya permanently dari recycle bin. Pokoknya, aku hilangkan semua rasa tentangnya. Biarlah matahari datang, menguapkan semuanya itu. Dan sambil menyilangkan jari dan berdoa dengan sungguh, aku menarik napas sedalam yg kubisa.

Seperti mendapatkan energi baru, aku melangkah ke dalam gedung kantorku. Bersiap bertemu sosok yg sedang kunetralisir. Berusaha membuktikan bahwa aku adl orang yg baru bila bertemu dengannya. Membuktikan semua usaha ini dan rasa ini ada hasilnya... bahwa aku bisa mengendalikan diriku.

Memasuki lift, kubiarkan diriku relaks sebentar dr semua usaha itu. Namun ternyata, di sinilah moment itu ditakdirkan hadir, utk membuktikan semuanya. Kupikir lift sudah berangkat ke lt.3 tempatku bekerja, namun ternyata ia masih di lt.1 mengisi sampai full sejumlah karyawan menuju ke berbagai level. Dan, ia pun termasuk di dalamnya. Namun, ia tampaknya tak tau aku ada. Maka, ketika lift berhenti di lt.3, aku pun mendesak keluar. Demi membuktikan kenetralan perasaanku dan memuaskan ego, aku mencoleknya selewatan dan berkata santai "Aku duluan ya..." Dia tampak sedikit kaget, namun dengan setengah tersenyum, ia melambaikan tangannya.

Aku melangkah ringan ke meja kerjaku... sambil bersenandung riang... merasa puas akan diriku sendiri yg sudah berhasil mengenyahkan apapun perasaan yg tengah menggangguku sejak kemarin... Yg jelas, saat ini, entah darimana, aku yakin seyakin2nya... aku sudah relieve... sudah let go... sudah selesai dengan apapun unfinished bussiness yg tadinya aku anggap masih ada padanya... Entah kenapa kejadian singkat di lift sudah cukup menyelesaikan itu... dan aku sangat lega karenanya..

Ternyata yg dibutuhkan utk menjawab semua keingintahuanku adalah hanya sebuah pertemuan yg membuat kaku, sebuah percakapan telpon yg kayaknya ga penting, sebuah sekelebatan colekan di lift dan tentu sebuah hati yg ingin lepas dr bayangan masa lalu. Sebuah diri yg ingin mengambil kembali kendali dari semua pertanyaan. Jadi... biarlah rasa penasaranku akhirnya berlalu, krn memang inilah saatnya utk berlalu... Dan sekarang, perlahan namun pasti, aku pun bisa tersenyum menertawakan betapa lucunya aku dengan rasaku itu beberapa hari yl...

Dan aku kembali menikmati duniaku... tanpa ada lagi perasaan menggangu itu. Tks God.

Minggu, 05 April 2009

Namaku Perempuan

namaku Perempuan
tak peduli orang mau bilang apa

aku tak kenal kata diskriminasi
aku tak kenal apa itu pelecehan...
aku tak kenal perilaku perkosaan

aku hanya memikirkan
bagaimana cara aku menghidupi anakku
sebab si suami hilang ditelan malam

aku hanya punya energi
untuk mencari sesuap nasi
selembar baju
setitik harapan utk sekolah anakku

aku tak tahu
apa aku ada di sisi yang adil
apa aku baik
apa aku memiliki surga spt yg semua orang bilang

aku tinggal beratapkan suara bising akibat mobil melintas
aku tinggal di rumah kardus
atau hanya berdinding tripleks bekas
beralaskan tikar lusuh
aku tinggal di rumah petak yg sempit bin apak

aku hidup dalam malam yg berselimutkan sejuta rabaan nafsu kaum laki-laki yg bahkan tak kukenal namanya
aku akrab dengan sejuta sampan buangan yang seakan emas untukku
aku terbiasa melakukan perkerjaan apapun
asal mendapat nafkah utk anakku

Ibuku bilang
Perempuan kunci keutuhan keluarga
Ibuku benar
meski katanya Laki-laki adalah tulang punggung keluarga
namun Perempuan adalah nyawanya
Perempuan adalah cahayanya

namaku Perempuan
rasanya tak perlu aku memperkenalkan diri...
kaumku dibicarakan di semua bibir diskusi
namun rasanya tak ada yg bisa tahu sampai mereka benar2 menjadi perempuan di posisiku

namaku Perempuan
selalu dicaci
namun selalu dirindu
selalu disangkal
namun selalu dicari
selalu menjadi kambing hitam
namun selalu dibutuhkan

namaku Perempuan
yg notabene adalah pemelihara kehidupan
namun disingkirkan layaknya pembunuh

Ah... berapa lama lagi mereka berdiskusi tentang aku?
sementara aku...
Sedang terbaring kelaparan karena nasiku yg terakhir aku suapkan kepada anak2ku yg kelaparan
Sedang terbaring sekarat akibat si bejat memasukkan nafsunya berulang kali ke liangku
Sedang mengais tanpa akhir di setumpukan sampah yg menjadi gantungan hidupku
Sedang menggigil kedinginan karena atap yg hanya seadanya sudah diobrak-abrik mereka yg mengaku pengayom warga

namaku Perempuan...
tak peduli org mau bilang apa
krn mrk tak peduli hdupku