Selasa, 25 November 2008

Aku Tidak Mau Mama yang Lain

Pagi itu seperti biasa Sari terbangun oleh panggilan lembut dari Mama. “Sari, bangun Nak. Sudah jam setengah enam pagi. Ayo mandi dan sarapan ya?” Sari menggeliat dan membuka setengah kelopak matanya. “Uahemmm…” Ia menguap lebar-lebar dan berkata, “Aku masih ngantuk, Ma. Satu menit lagi ya… aku pengen tidur lagi.” Mama yang sabar berkata, “Hayo, kalau kamu bilang satu menit, itu artinya satu jam. Lebih baik sekarang cepat ke kamar mandi supaya rasa kantukmu hilang dan badanmu segar. Ayo, ayo! Bersemangat dong!” Sari pun dengan enggan mengangkat kepalanya, perlahan duduk dan menjulurkan kakinya ke lantai untuk memakai sendalnya. Mama masih tetap di sampingnya. Seperti biasa Mama mengawasi sampai Sari masuk ke kamar mandi dan terdengar suara air, tanda Sari mulai sibuk membersihkan badannya. Kalau tidak begitu, Sari bisa saja bangkit dari tempat tidurnya dan kembali tidur di kursi manapun yang ia temui. Sesudah mandi, Sari memakan sarapan yang sudah dipersiapkan Mama. Papa pun tengah menyantap makan paginya. Sari dan Papa akan berangkat bersama pagi ini.
Sari adalah anak tunggal dalam keluarga ini dan telah duduk di kelas empat SD. Ketika pagi datang, Sari agak kesulitan bangun pagi. Maka Mama harus membangunkannya setiap pagi. Sari sangat tidak menyukai rutinitas bangun pagi ini. Ia pun sering mengeluh karena Mama amat cerewet mengingatkan ini itu kepadanya setiap saat. Bayangkan saja sejak pagi Mama sudah membangunkan Sari dengan segudang nasehat. Lalu sebelum berangkat sekolah, Mama pasti menyelipkan sebuah pesan singkat di dalam tas nya yang berisi nasehat-nasehat atau pesan-pesan agar Sari bersekolah dengan gembira, atau sekedar mengingatkan hal-hal penting untuk Sari. Seperti pagi ini, ketika Sari berpamitan untuk pergi ke sekolah, Mama memberi nasehat yang setiap hari selalu dikatakannya, “Sari, selamat belajar ya, Nak. Turuti nasihat Gurumu dan jangan melakukan hal yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu. Oke ?” Sambil lalu Sari mengangguk seraya mencium pipi Mamanya untuk berpamitan ke sekolah.
Ketika jam pelajaran pertama dimulai, Sari menemukan pesan Mama yang diselipkan di buku Matematikanya. Mama memang hafal jadwal pelajarannya setiap hari. Pesan itu berbunyi, “Lakukan yang terbaik dan ingatlah bahwa Mama dan Papa menyayangimu. Jangan lupa nanti bekalmu di makan, ya. Peluk & Cium, Mama.” Sari membaca pesan itu sekilas dan langsung memasukkan sembarangan ke dalam tasnya.
Hari itu pada pelajaran Bahasa Indonesia, Ibu Guru meminta Sari dan teman-teman sekelasnya membuat karangan bebas mengenai Mama mereka. Sari pun mulai memikirkan apa yang akan ditulisnya mengenai Mama. Sambil berpikir Sari melihat ke arah temannya, Diva. Sari langsung mendapat ide untuk tugas Bahasa Indonesia itu. Meskipun Ibu Guru meminta tugas itu dikumpulkan besok, namun Sari ingin buru-buru menyelesaikan karangannya karena bersemangat untuk menuliskan ide yang menarik itu. Apa sih ide Sari itu ?
Ternyata Sari ingin membuat karangan pendek tentang angan-angannya bila mempunyai Mama seperti Mamanya Diva, bukan seperti Mamanya sendiri. Diva adalah salah satu murid perempuan di kelas Sari. Diva tinggal di sebuah rumah yang besar dan megah di Perumahan Elite Permai. Perumahan itu memang terkenal dengan rumah-rumahnya yang besar dan dimiliki oleh orang-orang ternama dan kaya tentunya. Orangtua Diva memang keturunan keluarga kaya sehingga tak heran mereka memiliki rumah sedemikian megah. Kedua orangtua Diva adalah pekerja keras. Mereka hanya bertemu Diva pada pagi hari, ketika Diva akan pergi sekolah diantar oleh supirnya dan malam hari, ketika Diva sudah berada di tempat tidur. Memang kekayaan tersebut membuat banyak teman-teman sekolah Diva iri. Tapi yang paling diinginkan Sari adalah sikap orangtuanya, terutama Mamanya Diva, yang tidak secerewet Mamanya. Bukan hanya tidak cerewet, Mamanya Diva bahkan menitipkan semua keperluan Diva kepada seorang pembantu dan supir terpercaya. Jadi tidak ada tuh, yang namanya nasehat-nasehat atau pesan-pesan Mama yang selalu bikin Sari bosan setiap harinya. Sari membayangkan, betapa enaknya bisa hidup seperti Diva, tanpa nasehat dan omelan Mama yang cerewet itu. Di rumah yang sebesar itu pasti Diva bisa mendapatkan semua keinginannya, termasuk tidur sampai siang dan bebas dari omelan Mama yang menyebalkan.
Sari pun dengan asyik menuliskan khayalannya di buku tugasnya. Wah! Karena terlalu asyik menulis, tak terasa waktu istirahat tiba. Sari langsung menutup bukunya dan berlari menuju ke kantin. Namun ketika baru sampai di depan pintu kelas, Sari menghentikan langkahnya. Ia melihat Diva sedang duduk sendiri di bangkunya. Sekilas tampak terlihat wajah Diva yang sedih dan menahan amarah. Sari mendekati Diva perlahan. Ia penasaran apa yang membuat Diva seperti itu. Memang Diva jarang terlihat bermain dengan teman-teman di sekolah. Sari pun jarang berbicara dengannya. Hanya sesekali saja, misalnya ketika mereka berdua ditunjuk menjadi satu kelompok dalam beberapa tugas di kelas.
“Diva, kenapa kamu ? Kok di kelas sendirian saja ?” tanya Sari kepada Diva. Diva mengangkat kepalanya yang agak tertunduk dan menatap Sari dengan mata yang tidak bersemangat. “… Ehm, aku sedang malas keluar kelas. Lagi pingin sendiri aja…,” jawabnya menggantung seperti sedang melamun. “Maaf ya kalau aku mengganggu kamu. Habis, wajahmu terlihat sedih dan marah sekaligus, aku jadi penasaran dan ingin membantu kalau bisa,” demikian Sari menjelaskan maksudnya.
Diva pun melempar pandangannya ke arah lain, berusaha tidak menatap Sari, “Terima kasih ya, kamu baik sekali memperhatikan aku. Aku… aku lagi sedih sekaligus marah dengan Mamaku.” Sari terkejut mendengarnya. Ia tidak dapat menyembunyikan kekagetannya sehingga Diva berkata, “Lho, kenapa kamu terlihat terkejut?” Sari tergagap menjawabnya, takut menyinggung Diva, “Ehm… aku pikir kamu….”
Diva langsung memotong perkataan Sari dan berkata, “Oh, aku tahu. Kamu pasti menganggap aku selalu gembira karena semua kebutuhanku tercukupi dengan kekayaan Mama dan Papa, ‘kan? Kamu pasti berpikir aku ga pernah sedih.” “Lho, memangnya kamu ga senang dengan semuanya itu? Semua teman-teman di sekolah ini pasti pingin menjadi kamu…,” Sari dengan cepat mengatakannya karena masih terkejut dengan pernyataan Diva.
Diva tersenyum sayu, “Iya, aku tahu banyak teman yang ingin menjadi aku karena aku anak orang kaya. Tapi kalian tidak tahu bahwa aku sering merasa sedih sekaligus marah sama Mama dan Papaku. Terutama Mama… Mama tidak pernah ada waktu untukku. Ia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Semua kebutuhanku dititipkan kepada pembantu dan supir. Sedangkan Papa juga sama sibuknya, bahkan sering kali pergi ke luar negeri dan tidak pulang berminggu-minggu. Aku sering berharap punya Mama seperti teman-teman, yang tidak bekerja dan ada di rumah. Jadi aku bisa bercerita dan mengobrol, atau melakukan berbagai kegiatan bersama kapanpun aku mau.” Ketika menceritakan angan-angannya ini, mata Diva tampak menerawang dan tersenyum bahagia.
Seketika senyumannya langsung hilang dan mata yang sedih bercampur kemarahan kembali lagi, “Tapi aku ga punya Mama seperti itu, Mamaku hanya memperhatikan pekerjaannya, bukan aku. Mama pikir dengan membelikan aku baju, buku, mainan, makanan dan lainnya akan membuatku puas. Tapi barang-barang itu bukanlah Mama yang kurindukan. Seperti SMS yang tadi Mama kirimkan. Sore ini ia membatalkan lagi janjinya untuk menemani aku ke Toko Buku. Katanya ada rapat penting di kantor. Huh! Padahal Mama sudah berjanji sejak dua hari yang lalu… Kenapa sih, ga bisa nepatin janjinya sekali iniii aja…” Mata Diva berkaca-kaca hampir meneteskan air mata.
Ya ampun! Sari tidak habis terkejutnya sampai semua kata-kata Diva selesai. Ia kehabisan kata-kata dan dengan spontan langsung memeluk Diva. Diva pun dengan lega memeluk Sari juga sambil menitikkan air matanya. Sejenak mereka berpelukan. Lalu terdengar celoteh beberapa teman-teman sekelas yang hendak masuk kelas. Mereka pun melepaskan pelukan dan saling memandang penuh arti. “Kalau kamu mau, kamu bisa main ke rumahku sepulang sekolah nanti. Mamaku pasti sudah masak makanan yang enak. Ditambah puding kesukaanku. Kamu pasti suka,” kata Sari kembali ceria. Diva lansung terlihat gembira dengan ajakan Sari dan langsung mengangguk menyetujui usulan Sari. Maka hari itu, sepulang sekolah, Sari tidak perlu berpanas-panasan naik angkot. Sari pulang dengan menumpang mobil Diva yang ber-AC untuk kemudian menuju ke rumah Sari.
Di rumah, Mama senang melihat Sari mengajak Diva. Begitu pula tentunya dengan Diva yang merasa amat senang berada di rumah Sari, yang meskipun tidak semegah dan sebesar rumahnya, namun penuh kehangatan dan terutama adanya kehadiran sosok seorang Mama yang sudah lama dirindukannya. Sejak saat itu Sari semakin merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki Mama seperti Mamanya, bukan seperti Mamanya Diva. Malam itu, Mama terkejut sekaligus senang karena mendapat selembar pesan di meja riasnya dari Sari. Pesan itu berbunyi, “Ma, aku senang punya Mama seperti Mama. Kalau disuruh memilih, aku ingin Mamaku adalah Mama, bukan Mama yang lain. Peluk & Cium, Sari.

Tidak ada komentar: