Sabtu, 29 November 2008

Buntu

Buntu
Dead end
Hectic

Apapun itu
semua menerpaku
tak tau sudah berhenti apa belum
apakah akan berhenti
atau terus melanda

Buntu
Dead end
Hectic

Please....
Go away!

Don't stay inside me
I dont like you at all
It makes me like stopped living
It makes me like a living statue
It makes me wanna scream outloud
Arrrggggggghhhhhhhhhhh....!

GO AWAYYYYY!

Rabu, 26 November 2008

Let It be

I heard voices
in my head
outside myself
hahaha...
dont think i'm somekind of psychopath
just always something going on in my head
dont want to stop
sometimes it comes
irritating minds
negative ones
newly ideas
outbox ideas
how to stop it?

its calling my names
that want me to be this or those or that...
can it satisfies with who am i now?

hey, voices!
just shut up for one sec
i need to rest
i need to enjoy my life
i need to feel okay with myself

help me my mind
help me to feel relax
to find that peace
that earthy-heaven

help me
to calm down
to realize
im okay to be me
to be who i am
like im telling everybody
like the way i always do

Selasa, 25 November 2008

Gelembung-gelembung Sabun

Gelembung-gelembung sabun terbang
Seperti impian-impian indah yang dirancang dalam pikiran dan melayang ke angkasa
Tapi ternyata seiring waktu impian itu hilang
Entah ditiup angin
Atau pecah karena terlalu rentan

Gelembung-gelembung sabun tampak sangat memukau
Namun tak semenit kemudian, ia pecah
Hilang tanpa jejak
Seperti semua materiil yang berkilauan nan indah
Seperti semua asesoris hidup yang berlomba manusia kejar
Semua kerja keras manusia tidak berarti karena semua materi akan hilang
Semuanya tak ada artinya
Hanya kilauan sementara yang akan hilang tertiup angin

Gelembung-gelembung sabun amat menyenangkan
Menimbulkan sejuta fantasi tentang keindahan
Tentang keceriaan
Kekanak-kanakan
Yang diharapkan tak pernah berakhir
Namun semua hal yang indah selalu memiliki akhir
Semua impian dan harapan mau tak mau akan selalu berakhir dalam kenyataan meski mungkin terus hidup dalam hati

Meniup gelembung-gelembung sabun
Mengingatkanku bahwa tak semua yang kita ucapkan dan lakukan akan ada selamanya
Akan bisa kita lakukan terus
Akan abadi
Semua yang ada di dunia ini fana adanya
Hanya Ilahi lah yang abadi

Meniup gelembung-gelembung sabun
Laksana orang-orang yang menciptakan kesenangan materiil belaka
Yang tak abadi
Yang hanya menimbulkan kesenangan yang kosong dan rentan
Meski mengagumkan dan indah
Namun sadarlah itu semua hanya sementara
Tidak palsu
Hanya sementara
Mudah hilang
Tak patut disesali

Laksana seorang anak kecil berusaha menangkap setiap gelembung yang berterbangan
Aku teringat akan kepolosanku ketika masih kanak-kanak
Yang dengan bebas mengejar impian indah
Berusaha mencari mana yang asli
Mana yang bukan aku
Mana yang cocok
Dan mana yang adalah duniaku
Diiringi kegembiraan lepas
Tanpa tahu bahwa setiap gelembung akan pecah pada masanya
Tanpa tahu betapa rentannya sebuah pengalaman
Namun setiap gelembung membekas dalam jiwa

Gelembung-gelembung sabun
Hadir sekelebat
Namun melekat
Mudah muncul
Namun mudah juga hilangnya

Semoga impianmu tak serentan gelembung-gelembung sabun
Semoga apa yang kau lakukan tidak hanya mengedepankan materiil belaka
Semoga apa yang kau raih tidak mudah pecah dan mampu kau jaga serta kembangkan

Semoga impianmu selalu ada di hatimu
Semoga indahnya tidak hanya ada di angan
Tapi dapat dinikmati orang banyak

Gelembung-gelembung sabun
Teruslah berputar dan menari
Teruslah ada kapanpun dibutuhkan
Meski sementara
Namun hadirmu memberi arti…

Ella
071008
(Terinspirasi dari permainan gelembung sabun yang disukai Teresa… luv u my angel!)

Aku Tidak Mau Mama yang Lain

Pagi itu seperti biasa Sari terbangun oleh panggilan lembut dari Mama. “Sari, bangun Nak. Sudah jam setengah enam pagi. Ayo mandi dan sarapan ya?” Sari menggeliat dan membuka setengah kelopak matanya. “Uahemmm…” Ia menguap lebar-lebar dan berkata, “Aku masih ngantuk, Ma. Satu menit lagi ya… aku pengen tidur lagi.” Mama yang sabar berkata, “Hayo, kalau kamu bilang satu menit, itu artinya satu jam. Lebih baik sekarang cepat ke kamar mandi supaya rasa kantukmu hilang dan badanmu segar. Ayo, ayo! Bersemangat dong!” Sari pun dengan enggan mengangkat kepalanya, perlahan duduk dan menjulurkan kakinya ke lantai untuk memakai sendalnya. Mama masih tetap di sampingnya. Seperti biasa Mama mengawasi sampai Sari masuk ke kamar mandi dan terdengar suara air, tanda Sari mulai sibuk membersihkan badannya. Kalau tidak begitu, Sari bisa saja bangkit dari tempat tidurnya dan kembali tidur di kursi manapun yang ia temui. Sesudah mandi, Sari memakan sarapan yang sudah dipersiapkan Mama. Papa pun tengah menyantap makan paginya. Sari dan Papa akan berangkat bersama pagi ini.
Sari adalah anak tunggal dalam keluarga ini dan telah duduk di kelas empat SD. Ketika pagi datang, Sari agak kesulitan bangun pagi. Maka Mama harus membangunkannya setiap pagi. Sari sangat tidak menyukai rutinitas bangun pagi ini. Ia pun sering mengeluh karena Mama amat cerewet mengingatkan ini itu kepadanya setiap saat. Bayangkan saja sejak pagi Mama sudah membangunkan Sari dengan segudang nasehat. Lalu sebelum berangkat sekolah, Mama pasti menyelipkan sebuah pesan singkat di dalam tas nya yang berisi nasehat-nasehat atau pesan-pesan agar Sari bersekolah dengan gembira, atau sekedar mengingatkan hal-hal penting untuk Sari. Seperti pagi ini, ketika Sari berpamitan untuk pergi ke sekolah, Mama memberi nasehat yang setiap hari selalu dikatakannya, “Sari, selamat belajar ya, Nak. Turuti nasihat Gurumu dan jangan melakukan hal yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu. Oke ?” Sambil lalu Sari mengangguk seraya mencium pipi Mamanya untuk berpamitan ke sekolah.
Ketika jam pelajaran pertama dimulai, Sari menemukan pesan Mama yang diselipkan di buku Matematikanya. Mama memang hafal jadwal pelajarannya setiap hari. Pesan itu berbunyi, “Lakukan yang terbaik dan ingatlah bahwa Mama dan Papa menyayangimu. Jangan lupa nanti bekalmu di makan, ya. Peluk & Cium, Mama.” Sari membaca pesan itu sekilas dan langsung memasukkan sembarangan ke dalam tasnya.
Hari itu pada pelajaran Bahasa Indonesia, Ibu Guru meminta Sari dan teman-teman sekelasnya membuat karangan bebas mengenai Mama mereka. Sari pun mulai memikirkan apa yang akan ditulisnya mengenai Mama. Sambil berpikir Sari melihat ke arah temannya, Diva. Sari langsung mendapat ide untuk tugas Bahasa Indonesia itu. Meskipun Ibu Guru meminta tugas itu dikumpulkan besok, namun Sari ingin buru-buru menyelesaikan karangannya karena bersemangat untuk menuliskan ide yang menarik itu. Apa sih ide Sari itu ?
Ternyata Sari ingin membuat karangan pendek tentang angan-angannya bila mempunyai Mama seperti Mamanya Diva, bukan seperti Mamanya sendiri. Diva adalah salah satu murid perempuan di kelas Sari. Diva tinggal di sebuah rumah yang besar dan megah di Perumahan Elite Permai. Perumahan itu memang terkenal dengan rumah-rumahnya yang besar dan dimiliki oleh orang-orang ternama dan kaya tentunya. Orangtua Diva memang keturunan keluarga kaya sehingga tak heran mereka memiliki rumah sedemikian megah. Kedua orangtua Diva adalah pekerja keras. Mereka hanya bertemu Diva pada pagi hari, ketika Diva akan pergi sekolah diantar oleh supirnya dan malam hari, ketika Diva sudah berada di tempat tidur. Memang kekayaan tersebut membuat banyak teman-teman sekolah Diva iri. Tapi yang paling diinginkan Sari adalah sikap orangtuanya, terutama Mamanya Diva, yang tidak secerewet Mamanya. Bukan hanya tidak cerewet, Mamanya Diva bahkan menitipkan semua keperluan Diva kepada seorang pembantu dan supir terpercaya. Jadi tidak ada tuh, yang namanya nasehat-nasehat atau pesan-pesan Mama yang selalu bikin Sari bosan setiap harinya. Sari membayangkan, betapa enaknya bisa hidup seperti Diva, tanpa nasehat dan omelan Mama yang cerewet itu. Di rumah yang sebesar itu pasti Diva bisa mendapatkan semua keinginannya, termasuk tidur sampai siang dan bebas dari omelan Mama yang menyebalkan.
Sari pun dengan asyik menuliskan khayalannya di buku tugasnya. Wah! Karena terlalu asyik menulis, tak terasa waktu istirahat tiba. Sari langsung menutup bukunya dan berlari menuju ke kantin. Namun ketika baru sampai di depan pintu kelas, Sari menghentikan langkahnya. Ia melihat Diva sedang duduk sendiri di bangkunya. Sekilas tampak terlihat wajah Diva yang sedih dan menahan amarah. Sari mendekati Diva perlahan. Ia penasaran apa yang membuat Diva seperti itu. Memang Diva jarang terlihat bermain dengan teman-teman di sekolah. Sari pun jarang berbicara dengannya. Hanya sesekali saja, misalnya ketika mereka berdua ditunjuk menjadi satu kelompok dalam beberapa tugas di kelas.
“Diva, kenapa kamu ? Kok di kelas sendirian saja ?” tanya Sari kepada Diva. Diva mengangkat kepalanya yang agak tertunduk dan menatap Sari dengan mata yang tidak bersemangat. “… Ehm, aku sedang malas keluar kelas. Lagi pingin sendiri aja…,” jawabnya menggantung seperti sedang melamun. “Maaf ya kalau aku mengganggu kamu. Habis, wajahmu terlihat sedih dan marah sekaligus, aku jadi penasaran dan ingin membantu kalau bisa,” demikian Sari menjelaskan maksudnya.
Diva pun melempar pandangannya ke arah lain, berusaha tidak menatap Sari, “Terima kasih ya, kamu baik sekali memperhatikan aku. Aku… aku lagi sedih sekaligus marah dengan Mamaku.” Sari terkejut mendengarnya. Ia tidak dapat menyembunyikan kekagetannya sehingga Diva berkata, “Lho, kenapa kamu terlihat terkejut?” Sari tergagap menjawabnya, takut menyinggung Diva, “Ehm… aku pikir kamu….”
Diva langsung memotong perkataan Sari dan berkata, “Oh, aku tahu. Kamu pasti menganggap aku selalu gembira karena semua kebutuhanku tercukupi dengan kekayaan Mama dan Papa, ‘kan? Kamu pasti berpikir aku ga pernah sedih.” “Lho, memangnya kamu ga senang dengan semuanya itu? Semua teman-teman di sekolah ini pasti pingin menjadi kamu…,” Sari dengan cepat mengatakannya karena masih terkejut dengan pernyataan Diva.
Diva tersenyum sayu, “Iya, aku tahu banyak teman yang ingin menjadi aku karena aku anak orang kaya. Tapi kalian tidak tahu bahwa aku sering merasa sedih sekaligus marah sama Mama dan Papaku. Terutama Mama… Mama tidak pernah ada waktu untukku. Ia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Semua kebutuhanku dititipkan kepada pembantu dan supir. Sedangkan Papa juga sama sibuknya, bahkan sering kali pergi ke luar negeri dan tidak pulang berminggu-minggu. Aku sering berharap punya Mama seperti teman-teman, yang tidak bekerja dan ada di rumah. Jadi aku bisa bercerita dan mengobrol, atau melakukan berbagai kegiatan bersama kapanpun aku mau.” Ketika menceritakan angan-angannya ini, mata Diva tampak menerawang dan tersenyum bahagia.
Seketika senyumannya langsung hilang dan mata yang sedih bercampur kemarahan kembali lagi, “Tapi aku ga punya Mama seperti itu, Mamaku hanya memperhatikan pekerjaannya, bukan aku. Mama pikir dengan membelikan aku baju, buku, mainan, makanan dan lainnya akan membuatku puas. Tapi barang-barang itu bukanlah Mama yang kurindukan. Seperti SMS yang tadi Mama kirimkan. Sore ini ia membatalkan lagi janjinya untuk menemani aku ke Toko Buku. Katanya ada rapat penting di kantor. Huh! Padahal Mama sudah berjanji sejak dua hari yang lalu… Kenapa sih, ga bisa nepatin janjinya sekali iniii aja…” Mata Diva berkaca-kaca hampir meneteskan air mata.
Ya ampun! Sari tidak habis terkejutnya sampai semua kata-kata Diva selesai. Ia kehabisan kata-kata dan dengan spontan langsung memeluk Diva. Diva pun dengan lega memeluk Sari juga sambil menitikkan air matanya. Sejenak mereka berpelukan. Lalu terdengar celoteh beberapa teman-teman sekelas yang hendak masuk kelas. Mereka pun melepaskan pelukan dan saling memandang penuh arti. “Kalau kamu mau, kamu bisa main ke rumahku sepulang sekolah nanti. Mamaku pasti sudah masak makanan yang enak. Ditambah puding kesukaanku. Kamu pasti suka,” kata Sari kembali ceria. Diva lansung terlihat gembira dengan ajakan Sari dan langsung mengangguk menyetujui usulan Sari. Maka hari itu, sepulang sekolah, Sari tidak perlu berpanas-panasan naik angkot. Sari pulang dengan menumpang mobil Diva yang ber-AC untuk kemudian menuju ke rumah Sari.
Di rumah, Mama senang melihat Sari mengajak Diva. Begitu pula tentunya dengan Diva yang merasa amat senang berada di rumah Sari, yang meskipun tidak semegah dan sebesar rumahnya, namun penuh kehangatan dan terutama adanya kehadiran sosok seorang Mama yang sudah lama dirindukannya. Sejak saat itu Sari semakin merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki Mama seperti Mamanya, bukan seperti Mamanya Diva. Malam itu, Mama terkejut sekaligus senang karena mendapat selembar pesan di meja riasnya dari Sari. Pesan itu berbunyi, “Ma, aku senang punya Mama seperti Mama. Kalau disuruh memilih, aku ingin Mamaku adalah Mama, bukan Mama yang lain. Peluk & Cium, Sari.

Bola Merah dan Si Pus

Kayla berlari kecil mengejar bola merahnya. Bola itu berloncatan lincah, membuat Kayla tergelak senang. Ya! Kayla amat menyayangi bola merah hadiah dari Papanya itu. Bola itu berwarna merah terang dengan motif kupu-kupu dan bunga. Papa baru saja membelikan bola itu seminggu yang lalu. Sejak dibelikan sampai hari ini Kayla selalu membawa bola itu kemanapun. Kadang-kadang Kayla bermain bersama Mama, Mbak Sum atau sendirian saja seperti sekarang ini. Kayla akan mengejar bolanya kemanapun bola itu menggelinding. Bila sudah bermain seperti ini, Kayla akan lupa segalanya. Bahkan sering kali Mama harus mengambil bola itu untuk membuat Kayla berhenti bermain dan mandi atau makan sesuai jadwal.
Siang ini udara cukup panas sehingga Mama mempunyai ide untuk bermain di dalam rumah saja. “Ayo Kayla, kamu mau menggambar apa? Ini Mama siapkan kertas sebanyak yang kamu mau dan krayon kesukaanmu,” dengan semangat Mama mengajak Kayla menggambar. Biasanya Kayla memang suka menggambar. Namun sejak ada bola merah itu, Kayla seperti kehilangan minat pada aktivitas kesukaannya itu. Kayla pun menghampiri Mama dengan langkah terseret malas, “…Engg… Aku mau main bola aja di luar. Boleh ya, Ma?” Mama memandang Kayla dan berkata, “Di luar panas sayang, nanti kamu kelelahan.” “Ayolah, Ma. Aku ga pingin menggambar, aku pingin main bola…” Kayla memohon lagi dengan wajah memelas. Mama menghela napas, tidak tega memaksa putrinya melakukan hal yang tidak disukainya. “Baiklah. Kamu boleh main di luar. Tapi, pakai dulu topi mu dan jangan terlalu lama. Kalau Mama memanggil 1 jam lagi, kamu harus berhenti bermain dan mandi ya. Oke?” Wah! Senyum lebar mengembang di wajah Kayla. “Asyik!!! Mama baik dehhh! Iya aku akan pakai topi dan masuk kalau Mama memanggilku.” Dengan cepat Kayla memeluk Mama. Mama membalasnya dengan mengelus kepala Kayla.
Kayla pun bermain bola dengan asyik di halaman depan rumahnya. Memang keluarga Kayla cukup beruntung memiliki rumah dengan halaman yang cukup luas untuk bermain. Kayla melempar bolanya ke sana ke mari. Mulai disepak seperti pemain bola, dipukul seperti pemain voli sampai dipantulkan dan dimasukkan ke jaring seperti pemain basket. Kayla senang sekali.
Ketika sedang mencoba memasukkan bolanya ke jaring basket, Kayla dikejutkan oleh suara kucing tetangga yang sedang berkelahi. Suara kucing itu memecah perhatian Kayla sehingga ia tidak memperhatikan kemana bolanya menggelinding. Ketika menyadari bolanya hilang, Kayla segera mencari ke segala penjuru di halamannya. Halaman rumah Kayla memang memiliki banyak pohon dan semak sehingga udara di rumah Kayla sejuk dan segar. Papapun hobi membawa tanaman-tanaman baru, yang karena kesibukannya, jadi terlihat kurang tertata dan tumbuh tak beraturan. Kayla tidak menemukan bolanya. Ia pun mulai mencari ke semak-semak dan sudut-sudut halaman yang tampaknya jarang dihampiri orang itu. Kayla tidak memperdulikan sarang laba-laba yang menempel di rambut dan bajunya. Tak diperhatikannya lagi kakinya yang kotor karena melangkah tanpa memperhatikan tanah yang lembab dan becek. Pokoknya Kayla bertekad menemukan bola merah kesayangannya.
Rasanya sudah lama sekali Kayla mencari bolanya, tapi kok belum ketemu. Kayla merasa lelah dan terduduk di rumput. Kayla seperti termenung mendekap lututnya. Tak didengarnya suara Mama memanggilnya untuk segera mandi. Tiba-tiba saja Kayla melihat sesosok benda berwarna merah mengintip dari semak-semak di ujung sana. “Pasti itu bolaku!” Pikir Kayla senang. Kayla pun berlari menyeberangi halaman dan mengintip ke balik semak-semak yang ternyata cukup rimbun itu. Wah! Betapa terkejutnya Kayla ketika melihat apa yang ada di balik semak-semak itu. Selain bolanya, ternyata Kayla menemukan seekor kucing kecil yang terluka kakinya. Kucing itu mengeong lemah. Ternyata suara kucing yang berisik tadi ada suara anak kucing itu yang berkelahi dengan saudaranya. Akibatnya anak kucing itu terjatuh dari tembok dan berada di semak-semak halaman rumah Kayla. Kayla memandang iba pada anak kucing itu. Ternyata kakinya terluka, jadi anak kucing itu tidak bisa melompati tembok kembali ke rumahnya.
Kayla menjulurkan tangannya dan menggendong anak kucing itu. Sejenak Kayla melupakan bola merahnya. Dielusnya kepala anak kucing yang berbulu lembut itu. Kayla tersenyum kepada anak kucing dalam pelukannya sambil berbisik, “Jangan khawatir, Pus. Aku akan mengobati lukamu.” Seakan mengerti apa yang dikatakan Kayla, anak kucing itu mengeong lembut dan menggesekkan kepalanya ke dada Kayla. Ketika hendak melangkah kembali ke rumah, Kayla berhenti sejenak dan mengingat apa yang ia lupakan. Ah iya! Bola merahnya! Kayla bergegas mengambilnya karena terdengar langkah Mama sambil berseru memanggil namanya, “Kayla, dimana kamu, Nak? Ayo mandi dulu, sudah sore.” Kayla buru-buru menjawab, “Iya, Ma…”
Ketika bertemu Mama, Kayla langsung menunjukkan anak kucing itu dengan bersemangat. “Mah, lihat! Aku menemukan anak kucing ini. Sepertinya ia jatuh dari tembok. Kasihan ya… kakinya luka… Aku ingin merawatnya, Ma. Boleh kan? Boleh ya? Ya, ya, ya?!” Mama tersenyum melihat Kayla, “Ehm… boleh saja kamu merawatnya. Tapi setelah ia sembuh kamu harus berjanji mengembalikannya kepada Kak Susi, tetangga sebelah. Bagaimanapun juga anak kucing itu bukan milik kita, Kayla. Oke?” Kayla agak kecewa mendengar syarat Mama itu, tapi agar diperbolehkan merawat kucing kecil itu, Kayla pun mengangguk. “Ya sudah, sekarang kita bersihkan luka si kucing kecil dan kita carikan tempat nyaman untuknya. Sehabis itu kamu mandi ya, sudah dekil begitu tampangmu…” Ajakan Mama disambut Kayla dengan bergegas ke dalam rumah mencari obat untuk kucing itu.
Dua minggu berlalu, kucing kecil yang dipanggil Pus oleh Kayla telah kembali lincah. Berkat kesabaran perawatan Kayla yang penuh kasih sayang luka kakinya telah sembuh. Pus juga kelihatan tambah gemuk karena Kayla selalu makan dengan lahap. Dan Kayla pun tak kalah senangnya. Sejak kehadiran Pus, Kayla selalu punya teman untuk bermain bola. Bahkan sampai Kayla lelah pun, Pus tampak masih bersemangat. Selain itu Kayla pun belajar bertanggung jawab untuk memberikan makan dan mengobati luka kaki si Pus, tentu saja dengan bantuan Mama dan Mbak Sum.
Melihat Pus yang telah sembuh, Mama mengingatkan Kayla akan janjinya, “Kayla, seperti janjimu dua minggu lalu, kalau Pus sembuh, kamu akan mengembalikannya kepada Kak Susi. Nah, sekarang Pus sudah sembuh. Maka sebaiknya segera kita antar dia ke rumahnya.” Kayla menyahut dengan sedih, “Tapi Ma, aku sayang sama si Pus, aku ga pingin mengembalikan dia kepada Kak Susi. Nanti aku ga punya teman main bola lagi.” “Kayla, kamu sudah berjanji. Maka kamu harus menepatinya. Kamu tidak mau berbohong kan? Lagi pula si Pus bukan milik kita. Coba kamu bayangkan kalau kamu adalah Kak Susi yang kehilangan si Pus. Pasti kamu akan senang jika Pus dikembalikan bukan?” Kayla tertunduk sedih, mau tak mau ia mengakui kebenaran yang dikatakan Mama, “Iya sih Ma, pasti aku senang kalau si Pus dikembalikan kalau aku jadi Kak Susi. Tapi…” Mama tersenyum bijak, “Begini saja, nanti sore Mama antar kamu ke rumah Kak Susi, untuk mengembalikan si Pus. Sekalian juga kamu sampaikan bahwa kamu sayang dengan si Pus. Pasti Kak Susi akan memperbolehkan kamu bermain sesukamu dengan si Pus.” Kepala Kayla perlahan menengadah sambil tersenyum kecil, “Betul, Ma? Kak Susi akan memperbolehkan aku bermain lagi dengan si Pus?” Mama menjawab, “Mama yakin Kak Susi akan memperbolehkan. Pasti Kak Susi senang si Pus punya teman baru yang baik hati seperti kamu. Jadi, nanti sore kita ke rumah Kak Susi ya…” Kayla mengangguk.
Sore itu, Kayla, si Pus dan Mama pergi ke rumah Kak Susi, tetangga sebelah rumah keluarga Kayla. Kak Susi sendiri yang membukakan pintu dan langsung mengenali si Pus yang dipeluk erat oleh Kayla. “Selamat sore Tante, Kayla. Hey! Itu kan si Manis, anak si Putih, kucingku… Oh, iya, maaf. Silahkan masuk dan duduk di dalam.” “Terima kasih, Susi,” sahut Mama. Sesudah mereka duduk, Mama langsung menjelaskan maksud kedatangan mereka, “Susi, Tante dan Kayla ke sini memang berhubungan dengan kucing kecil ini. Kayla, maukah kamu menjelaskan kepada Kak Susi?” Kayla berusaha menjelaskan kepada Kak Susi meski malu karena berbicara dengan orang yang lebih tua darinya. “Kak, engg…, aku ketemu si Pus, eh si Manis, di belakang rumahku dua minggu yang lalu. Aku lagi main bola, eh ada si Pus yang luka kakinya. Lalu aku obati supaya sembuh. Kata Mama kalau sudah sembuh aku harus kembaliin si Pus ke Kak Susi. Tapi… sebenarnya aku ga mau, karena aku sayang sekali sama si Pus…” Kak Susi tersenyum kepada Kayla, “Kayla, Kak Susi juga sayang sama si Pus. Terima kasih ya kamu mau mengobati si Pus. Tambah gemuk lagi dia, pasti kamu rajin memberinya makan. Sebenarnya si Pus ingin Kakak berikan kepada teman Kakak karena di rumah ini sudah terlalu banyak kucing. Tapi… setelah melihat betapa kamu sayang sama si Pus, Kakak ingin memberikan si Pus untukmu.”
Mata Kayla terbelalak kaget campur gembira, “Hah?!! Mah! Mama dengar Kak Susi bilang apa? Kak, betul si Pus boleh buat aku?!” Kak Susi mengangguk pasti. Mama pun tertawa senang, “Susi, terima kasih mau memberikan si Pus kepada Kayla. Kalau Susi kangen dengan si Pus, Susi bisa main ke rumah kapanpun. Iya kan, Kayla?” Kayla mengangguk-angguk semangat sambil memperat pelukannya kepada si Pus, “Iya, iya! Kak Susi boleh main kapan aja sama si Pus. Aku senang sekali Kak, si Pus bisa tinggal di rumahku. Jadi aku selalu punya teman main bola. Tadinya aku yang mau meminta main ke sini terus kalau si Pus dikembalikan ke Kakak, eh ga taunya…. Kakak yang akan main ke rumahku…” Kayla tertawa senang sambil tak berhenti mengelus si Pus yang mengeong manja. Mama dan Kak Susi memandang Kayla dengan senyum lebar.
Mama pamit kepada Kak Susi, “Kayla, ayo kita pamit, nanti kemalaman. Susi, terima kasih sekali lagi ya. Kami pamit dulu. Jangan lupa main-main ke rumah kami, ya.” Kayla menimpali, “Iya Kak Susi, Kayla pulang dulu ya. Besok kalau Kakak ke rumahku, kita main bola bertiga si Pus.” Susi tersenyum sambil mengelus kepala Kayla, “Iya, Kakak pasti akan main ke rumahmu. Terima kasih juga untuk Tante dan Kayla yang mau memelihara si Pus.” Mama dan Kayla berjalan ke rumah sambil melambaikan tangan kepada Kak Susi.
Kayla memandang Mama gembira karena bisa membawa pulang si Pus. Mama pun senang dengan kejadian ini Kayla belajar bahwa dengan bersikap jujur, menepati janji, dan bertanggung jawab maka kita akan mendapatkan kebaikan pula.

Apakah Siti Harus Memakai Rok?

(catatan : tulisan ini dibuat pada tanggal 7 Maret 2008)
Pernah lihat acara “Idola Cilik” di sebuah televisi swasta? Bagi mereka yang sempat menyaksikan televisi jam 13.0 WIB setiap hari Senin sampai Jumat, pasti hafal pada wajah-wajah cilik yang ingin menjadi kontestan di acara tersebut. Bukan, saya tidak akan membicarakan mengenai acara tersebut. Di sini saya akan menyorot seorang kontestan yang bernama Siti. Siti tampak cukup menyita perhatian dari para komentator, pembawa acara dan semua yang menyaksikan penampilannya. Saya menjadi penasaran akan penampilannya, terutama komentar-komentar apa lagi yang akan dikatakan para komentator dan yang lainnya.

Menurut cerita sang pembawa acara, Siti adalah seorang anak perempuan (saya lupa usianya, kurang lebih 12 tahun) yang tinggal di Surabaya serta datang dari keluarga tidak mampu. Penampilan Siti memang tidak seperti anak perempuan pada umumnya. Rambutnya dipotong pendek, kulitnya berwarna gelap tanda banyak berada di bawah sinar matahari, serta tidak pernah sekalipun memakai pakaian ala perempuan pada umumnya. Maklum sering kali Siti harus mengamen dan secara berkala menjadi petinju (!) jalanan untuk sedikit meringankan beban ekonomi orangtuanya. Ibunya menjadi pemulung sampah, sedangkan Ayahnya sedang sakit parah sehingga tidak dapat memenuhi perannya sebagai pencari nafkah. Maka keikutsertaan Siti di ajang Idola Cilik ini tentu membawa harapan besar bagi keluarga Siti.

Hal menarik yang saya ingin bahas di sini adalah reaksi para pelaku acara tersebut (komentator, pembawa acara, maupun Ibu dari Siti sendiri) yang sibuk mencoba ‘merubah’ penampilan Siti yang tomboy itu menjadi seorang perempuan sejati. Misalnya, salah seorang komentator memintanya memakai rok, yang pada akhirnya membawa bahasan lain dari komentator lainnya. Atau juga komentar Ibu dari Siti yang mengatakan bahagia Siti memakai rok meskipun belum menjadi perempuan 100%. Mungkin komentar-komentar demikian yang membuat Siti berkata, “Saya tidak nyaman pakai rok ini tapi karena saya perempuan maka harus bisa memakai rok.” Buat saya, reaksi-reaksi tersebut tampak berlebihan dan menampakkan kentalnya tuntutan gender kepada anak-anak, anak perempuan khususnya. Mengapa seorang anak perempuan yang begitu hebat dengan banyak talenta dan kebisaan harus merubah dirinya? Mengapa Siti yang jago bertinju dan bermain drum harus merubah bahasa tubuh dan pakaiannya untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri? Mengapa seorang anak seperti Siti harus merubah dirinya sehingga membuatnya tidak nyaman menjadi dirinya yang hebat itu?

Sebagai orangtua atau orang dewasa, memang tidak mudah bagi kita untuk membiarkan seorang anak, yang notabene masih polos, untuk menjadi dirinya sendiri. Sering kali kita sibuk membentuk anak-anak kita atau kaum muda di sekitar kita sesuai dengan harapan dan kemauan kita. Seorang anak, baik itu perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai sifat-sifat bawaan untuk menjadi feminin(baca: sifat-sifat/karakteristik yang diharapkan dimiliki pada seorang perempuan, misalnya : memakai rok, teliti, kalem, dll) maupun maskulin (baca : sifat-sifat/karakteristik yang diharapkan dimiliki pada seorang laki-laki). Memang betul manusia terlahir dengan kondisi fisik yang berbeda, sehingga seseorang dapat disebut seorang laki-laki atau perempuan. Perkembangan fisik antara bayi perempuan maupun laki-laki pun berbeda. Namun, secara psikologis, perbedaan karakteristik yang dimiliki bayi perempuan dan laki-laki bukanlah sesuatu yang terberi (nature) namun sesuatu yang terjadi karena pengaruh lingkungan atau faktor eksternal (nurture).

Jadi apakah seorang anak perempuan atau laki-laki menyukai jenis pakaian tertentu atau kegiatan tertentu adalah hasil pembelajaran dari lingkungannya. Seperti Siti, yang jelas lebih memilih memakai celana panjang dan kaos t-shirt daripada tank top dan rok karena memang menjalani keseharian yang memang lebih nyaman dan aman jika memakai baju pilihannya tersebut. Juga tidak mengherankan jika gerak-gerik Siti jauh dari gemulai anak perempuan pada umumnya, karena dituntut tegar menghadapi aktivitas yang ‘lebih keras’ daripada anak perempuan lainnya. Nah, kalau melihat apa yang dihadapi Siti dalam kesehariannya, tentu kurang bijak jika para orang dewasa di sekitarnya memaksakan atau menyarankan Siti untuk bertindak-tanduk lemah gemulai ataupun luwes ketika berjalan di panggung dengan memakai rok dan cardigan. Menurut saya, seperti yang dikatakan juga oleh salah satu komentator acara Idola Cilik, sebaiknya Siti tetap menjadi dirinya sendiri. Siti dapat memilih pakaian serta gaya panggung ataupun sikap yang sesuai dengan dirinya. Tak ada salahnya menjadi anak perempuan yang tomboy. Tak ada salahnya sebagai anak perempuan untuk selalu menggunakan celana panjang dari pada rok. Tak ada salahnya bertangan kasar dan bersikap maskulin meskipun tetap menjadi perempuan. Apa lagi Siti masih berusia belia. Ia akan masih terus menjalani proses kehidupan yang membantu pembentukan kepribadiannya. Tokh banyak perempuan dewasa yang tetap menjalani kehidupannya sebagai seorang perempuan dengan begitu banyak peran yang dekat dengan dunia maskulin, namun tidak meninggalkan tuntutan perannya sebagai ibu dan istri.

Saya harap kasus-kasus seperti Siti ini dapat kita hadapi dengan bijak, terutama bagi para orangtua. Sehingga anak-anak Indonesia semakin jauh berkembang dan maju karena tidak lagi dibebani tuntutan-tuntutan yang tidak perlu.

Ulfa

Tentu nama Ulfa dan Syekh Puji tak asing bagi kita yang rajin mengikuti berita-berita di berbagai media. Ya, mereka ada dua sosok yang tengah menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Hal yang paling mendapat banyak sorotan adalah usia Ulfa, sang istri dari Syekh Puji, yang baru berusia 12 tahun. Sedangkan Syekh sendiri berusia 56 tahun (!). Alangkah prihatinnya saya ketika pertama kali mendengar berita tersebut. Beberapa kali saya menyimak wawancara beberapa stasiun televisi dengan kedua sosok itu. Usia Ulfa yang demikian belia membuat saya berpikir dalam konteks psikologi perkembangan.

Anak berusia 12 tahun termasuk dalam usia perkembangan anak-anak akhir. Pada masa ini anak-anak sedang mengembangkan konsep dirinya dengan seluas-luasnya mengeksplorasi kemampuannya. Maka bisa dibayangkan, Ulfa dalam masa perkembangannya telah diberikan pilihan yang amat sempit untuk menjadi istri (dan kemudian menjadi ibu) pada usia yang amat belia. Potensi dirinya yang amat mungkin dikembangkan (mengingat prestasi akademiknya yang baik menurut kesaksian para gurunya-yang saya dengar dari sebuah televisi swasta) menjadi terhambat. Dari sudut ini, jelaslah Ulfa mengalami kerugian dalam mengembangkan dirinya. Belum lagi kerugian yang mungkin sekali dialami anak-anak yang akan dihasilkan dari pekawinan ini akibat kurangnya kesiapan mental dari Ulfa untuk menjadi seorang ibu.

Setelah melihat dampak pernikahan tersebut pada diri Ulfa, maka berikutnya saya ingin menyorot mengenai perkembangan moral Ulfa, untuk lebih memahami bagaimana anak seusia Ulfa menimbang nilai-nilai atau norma-norma masyarakat sehingga memutuskan untuk menikah.

Anak usia 10-13 tahun memasuki tahapan perkembangan moral yang disebut Conventional Morality (Kohlberg, 1964 dalam Pappalia & Olds, 1995). Dalam tahapan ini, anak telah menginternalisasi standard yang diberikan figur otoritas dalam lingkungannya. Mereka menaati peraturan untuk menyenangkan hati orang lain atau menjaga keteraturan. Jadi dapat dikatakan Ulfa, yang berusia 12 tahun, memiliki pertimbangan moral yang amat tergantung pada nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarganya, sebagai lingkungan sosial yang terdekat baginya. Keputusannya untuk menikah bisa diasumsikan merupakan keputusan yang diambil hanya untuk ‘menyenangkan’ orangtua dan lingkungannya. Artinya, pihak keluarga (orangtua Ulfa) merupakan pihak yang memiliki ‘wewenang’ paling besar untuk mencegah atau membatalkan perkawinan ini. Maka patutlah kita memandang peristiwa ini bukan hanya dengan menyorot Ulfa dan Syekh sebagai tokoh utama, namun juga bagaimana pengaruh/peranan keluarga, terutama peranan orangtua Ulfa. Latar belakang inilah yang bisa membuat kita, terutama sebagai keluarga, dapat mengambil pelajaran agar dapat lebih baik lagi melindungi anak-anak kita. Namun, rasanya pembahasan peristiwa ini kebanyakan masih berkembang sekitar ranah hukum serta pemahaman agama. Semoga dengan peristiwa ini kita semakin disadarkan betapa pengaruh keluarga amat menentukan ‘nasib’ seorang anak.

Dari dua aspek tersebut, tentu dapat disimpulkan bahwa keputusan pernikahan Ulfa dan Syekh Puji merupakan kejadian yang memprihatinkan dan patut mendapat perhatian dari kalangan luas sehingga dapat mencegah kejadian yang sama terulang kembali.

Khayalanku

“Kriiiingg…..!” Suara telpon berdering-dering mengejutkanku. Lho, ternyata yang berbunyi adalah telpon di atas meja kantorku. “Kantor?!” pikirku heran. “Sejak kapan aku bekerja di kantor ini?” aku berkata dalam hatiku tak habis pikir. Aku lihat sekelilingku. Ada beberapa meja yang tertata rapi dengan nuansa ceria seperti sekolah Taman Kanak-kanak. Dering telpon masih terus berbunyi seakan-akan menyuruhku mengangkat telepon itu. Maka aku mengangkat telpon itu meski tidak tahu mengapa aku berada di sini. “Halo …, ” kataku menggantung. Suara di seberang menjawab, “ Bisa saya bicara dengan Mbak Irena?” Aku menjawab, “Ya, saya sendiri Bu. Ini dengan siapa ya?” Suara itu menjelaskan, “Ini Ibunya Michael. Saya ingin memberi tahu, hari ini Michael tidak bisa datang ke Klinik, karena sakit kepalanya kambuh lagi. Maaf ya, Mbak, sudah beberapa kali Michael tidak bisa ikut terapi dengan Mbak di Klinik.” Aku menjawab seadanya, “Iya, Bu tidak apa-apa.” Ibunya Michael mengucapkan salam terburu-buru, “Terima kasih, Mbak. Selamat siang.” “Selamat siang, Bu,” aku menjawab salamnya dengan pikiran masih bertanya-tanya.
Belum habis rasa bingungku, tiba-tiba terdengar suara anak-anak. Suara yang menurutku menyenangkan untuk didengar, sehingga menimbulkan senyuman sekilas di wajahku. “Tante, aku pingin duduk di kursi merah ya.” “Kalau aku pingin di kursi sebelah Tante! Boleh, ‘kan?” demikian celoteh beberapa anak. Kemudian aku mendengar suara perempuan dewasa menimpali dengan suara lembut namun tegas, “Iya, kalian bebas memilih dimana kalian mau duduk. Sekarang jangan keluar ruangan ini dulu ya, Tante mau memanggil Mbak Irena dulu untuk membantu Tante hari ini, oke?” “Okeee…!” terdengar suara anak-anak itu menjawab bersamaan. Lalu muncullah perempuan itu, yang tadi hanya kudengar suaranya.
Ya ampun! Itu ‘kan Anna, teman kuliahku dulu. Kenapa kami ada di ruangan yang sama? Kami sudah lama tidak bertemu sejak kami lulus bersama-sama dari bangku kuliah. Memang menangani anak-anak adalah spesialisasi yang kami ambil sebagai psikolog, ilmu yang kami pelajari ketika kuliah dulu. Anna dan aku adalah sahabat karib. Ketika Anna memanggilku dengan seruan bersemangat, aku pun langsung menyambutnya dengan senyuman ceria. Rasa bingung yang tadi memenuhi pikiranku hilang seketika itu juga. Semangat lain juga muncul karena aku akan bertemu anak-anak, yang selalu membawa energi positif tersendiri bagiku. Kegiatan selanjutnya aku jalani tanpa tanda tanya lagi, seakan-akan aku sudah lama menjalani profesi impianku sebagai seorang psikolog anak profesional. Ah, betapa aku merasa puas akan diriku hari ini.
Belum habis rasa puas itu, tiba-tiba aku mendengar suara musik dari sebuah Band. Di panggung telah terlihat teman-teman lamaku yang pernah sama-sama tergabung dalam satu Band ketika kami SMA dulu. Mereka adalah Elmo sebagai drummer memegang stick pemukul drum dengan mantap, Deni sebagai gitaris bersiap memetik gitarnya, dan Melani yang sudah siap menekan tuts-tuts organnya dengan indah. Tapi …, tunggu dulu, kok posisi penyanyi dalam band itu masih kosong ya? Sayup-sayup aku mendengar para penonton mengelu-elukan nama penyanyi yang kelihatannya belum muncul di tengah panggung.
Wah! Ternyata mereka semua menyerukan namaku! Belum habis terpana mendengar betapa banyak orang yang menginginkan kehadiranku di panggung, aku bertambah kaget melihat betapa indah dandananku malam ini. Tak pernah aku merasa sehebat ini. Tak terasa aku sudah berada di tengah-tengah panggung memegang microphone dengan erat. Band pengiring pun mulai memainkan intro lagu yang terasa akrab bagiku. Aneh, aku tidak tahu lagu ini sebelumnya, tapi aku bisa menyanyikannya seakan merupakan bagian dari jiwaku. Seiring lagu mengalun, aku bernyanyi tanpa kesulitan, seakan menyuarakan apa yang selama ini terpendam. Seolah inilah sesuatu yang selama ini aku inginkan tanpa sadar. Entah kapan aku pernah merasa melayang seperti ini. Mungkin begini rasanya ekstase yang dialami para penyandu narkotik ketika memasukkan barang-barang maut ke dalam darah nadi mereka.
Lagu pun selesai kulantunkan dengan sukses. Para penggemarku bersorak tak henti sambil berteriak memanggil namaku. Belum sampai aku di ujung panggung yang megah itu, aku merasa terjatuh ke dalam lorong sepi. Ketika aku sadar, ternyata aku dikelilingi rak-rak buku yang tak terhitung banyaknya. Aku sedang berdiri di depan sebuah rak yang berisi buku-buku mengenai spiritualitas, pencerahan jiwa yang dicari semua manusia secara sadar atau bawah sadar. Aku memegang sebuah buku karangan Karen Armstrong yang terbaru. Dia salah satu penulis yang kukagumi karya-karyanya. Belum habis aku merasa heran dengan kontrasnya suasana hiruk pikuk panggung dengan senyapnya ruangan penuh rak buku ini, aku dikejutkan oleh sebuah suara yang berbisik di belakangku, “Hey, jangan melamun ‘Na. Itu buku Armstrong yang terbaru ya? Wah, kamu beruntung bisa membacanya untuk pertama kali. Ya sudah, jangan kelamaan melamun, cepat taruh buku itu di tempatnya. Kita masih harus mengatur kembali buku-buku di bagian Fiksi.” Aku langsung menoleh ke arah suara itu, dan aku melihat Dilla, salah satu teman akrabku sejak kecil. Sedari dulu kami memang penggila buku. Kami bahkan bercita-cita membuka perpustakaan umum bersama. Cita-cita yang belum terwujud sampai sekarang. Namun impian itu tetap menjadi pengikat spesial bagi persahabatan kami.
Tanpa menunggu jawabanku, Dilla langsung membalikkan badannya dan melangkah pasti ke bagian Fiksi. Aku pun menaruh buku tadi di tempatnya dan mengikuti Dilla dari belakang. Aku memandang berkeliling dengan bersemangat ke semua buku yang seakan mengawal langkah kami. Semua buku itu menghapus rasa ekstase yang menggebu-gebu, yang tadi aku rasakan ketika menyanyi di atas panggung. Rasa puas hati ketika menghadapi anak-anak sebagai seorang psikolog pun terbang entah kemana. Buku memang selalu menumbuhkan rasa damai khusus dalam hatiku. Seakan mengobati segala kegundahan yang pernah kualami. Aku merasa bukulah ensiklopedi yang dikirimkan Tuhan melalui para penulisnya, sehingga membantu para pembacanya tercerahkan.
Aku pun memperhatikan dengan asyik judul-judul buku yang aku lalui. ‘Selasa bersama Morrie’, buku yang sangat menginspirasikanku tentang kematian dan tentunya juga tentang kehidupan, demikian pikirku. Lalu aku sampai di bagian fiksi, yang tak kalah menariknya. Ada berbagai judul teenlit, chicklit sampai beberapa novel karya Marga T. dan Sidney Sheldon. Wah! Aku bangga bisa mempunyai perpustakaan selengkap ini. Akhirnya aku tahu, perpustakaan ini adalah perpustakaan yang aku dan Dilla miliki. Aku mengetahuinya dari selembar pengumuman yang tertempel di salah satu dinding yang aku lalui tadi. Di situ pun dicantumkan bahwa tidak ada biaya yang ditarik bagi para pelajar dan mahasiswa. Memang itulah salah satu misi kami untuk mendirikan perpustakaan, memberikan akses tanpa batasan biaya bagi para generasi muda sehingga mereka memiliki wawasan yang luas. Ah, betapa membahagiakan jika setiap impian bisa terwujud seperti ini. Pasti surga akan kehilangan pamornya, jika dunia seakan mampu menjadi taman firdaus bagi para manusia pemimpi untuk merealisasikan impiannya.
Ketika aku sedang tersenyum-senyum sendiri… tiba-tiba, aku mendengar suara anak kecil yang menggemaskan memanggil-manggil, “Mama, Mama …” Perlahan, kubuka mataku yang hanya bisa melihat sebersit cahaya dengan warna-warni yang tak jelas sosoknya. Setelah mampu menyatukan kesadaranku, aku berhasil menemukan sumber suara menggemaskan itu. Ya ampun! Ternyata itu suara Kiyan, anak laki-lakiku. Ternyata semua pengalaman tadi cuma mimpi. Pasti tidurku nyenyak tadi, sampai merasa mimpi tadi begitu nyata.
Ketika aku menoleh, Kiyan sedang berdiri memegang pinggiran tempat tidurnya yang berpagar. Ia menatapku lugu dengan mata sayu karena masih menyimpan kantuk. Rupanya ia terbangun karena celananya basah. Ia pun seperti biasa menunjuk-nunjuk celananya, sambil berceloteh lucu dengan nada merengek, “Ma, pis… Ma, pis… ,” yang artinya, “Mama, aku pipis.”
Setengah sadar dari mimpiku, aku bangkit dari tempat tidurku yang bersebelahan dengan tempat tidur Kiyan. Aku tersenyum kepada Kiyan sambil berkata lembut, “Ya, sayang. Pipis, ya? Sini, Mama bersihkan.” Aku langsung melepaskan celana basahnya dan mengangkatnya untuk dibersihkan, kemudian memakaikannya celana yang baru. Setelah tenang kembali, aku angkat dia ke dalam dekapanku. Benar saja dugaanku, tak berapa lama kutimang-timang, ia kembali terlelap dengan mudahnya. Terlihat wajahnya yang damai kembali beristirahat. Perlahan kuletakkan dia di dalam tempat tidur berpagarnya.
Aku pun kembali merebahkan badanku di atas tempat tidurku. Saat itu aku teringat lagi akan apa yang aku alami di mimpi tadi. Aku pun tersenyum-senyum sendiri. Mengingat betapa bahagianya aku tadi, bisa mencicipi semua profesi impianku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan menoleh memperhatikan Kiyan yang tertidur dengan nyaman.
Semua profesi dalam mimpi tadi memang amat indah. Namun kenyataan yang aku miliki tidak kalah menariknya. Aku adalah seorang ibu rumah tangga. Aku telah memiliki seorang putra, Kiyan, yang sekarang telah berusia 18 bulan. Putra yang amat kukasihi dan selalu membuatku bangga karena berkembang dengan sehat dan cerdas. Aku pun istri yang berbahagia karena memiliki suami, Mas Argya, yang selalu menyayangi aku dan Kiyan dengan setulus hati. Kami hidup sederhana dan berpandangan positif terhadap hidup. Mas Argya amat mendukung keinginanku untuk tetap mengasuh Kiyan sendiri, tanpa bantuan orang lain. Ia juga membantuku untuk tetap dapat mengaktualisasikan diriku dengan memberikan ruangan kecil di sebelah kamar kami. Ruangan itulah tempatku membaca buku, mengetik puisi-puisi sederhana, melukis Kiyan yang sedang bermain di ruang tengah, atau sekedar duduk santai memandang jalanan yang ramai. Dengan semua kegiatan itu, aku tak pernah merasa bosan di rumah.
Inilah surgaku di dunia fana ini. Aku telah meraih harta yang tak tergantikan, yaitu mewujudkan impian terbesarku untuk memiliki keluarga. Impian-impian lain untuk menjadi seorang psikolog anak profesional, seorang penyanyi, dan seorang pustakawati, pupus dengan sendirinya seiring langkahku mengasuh Kiyan. Tak kurang bahagia diriku dalam menjalaninya. Ada kepuasan yang tak ternilai dan tak akan tergantikan ketika mengasuh Kiyan. Aku percaya, jika kita bisa menikmati mimpi ketika tidur dan mewujudkan impian utama kita dalam kehidupan nyata, maka kita akan menjadi manusia sempurna. Bagaimana menurut Anda?

Minggu, 23 November 2008

Teriakan Ibu

Kemaren aku mengantar Aji periksa ke dokter. Teresa juga kami ajak spy sekalian jalan2 berhubung di rumah sakit itu ada 2 toko mainan yg peuh dg mainan lucu2... namun sebelum tur keliling toko mainan, aku dan teresa makan dulu di cafetaria rumah sakit yang katanya terkenal karena makanannya enak... Ketika sedang asyik menyuapi Teresa, perhatianku tercuri pada sebuah keluarga yang sedang makan di meja sebelah meja kami. keluarga itu terdiri dari seorang ibu dan ayah, serta 2 orang anak, yang kecil mungkin seumuran dg Teresa (krg lbh 2 th-an), yg besar sudah berusia kira2 8/9 th-an... sang ibu dengan suara yang cukup keras dan dengan nada membentak berkata kepada si kecil supaya makan dengan benar. dia mengatakan karena si kecil tidak mau disuapi, maka dia membiarkan si kecil makan sendiri. dia juga berusaha menakut-nakuti si kecil dengan memanggil pelayan,"mas, liat ni si kecil (menyebut nama anak) berantakin meja.." memang pada saat itu meja makan mereka sudah dikotori oleh ceceran nasi goreng yang ditumpahkan oleh si kecil. namun tentu saja semua omelan dan ancaman ibu tidak membuat si kecil berhenti melakukan aksinya. karena takut terpergok terus mengamati keluarga itu, aku pun mengalihkan perhatian pada teresa yang masih asyik aku suapi. ketika aku memperhatikan kembali ternyata si kecil telah digendong oleh ayahnya dan kembali setelah tidur dalam pelukan sang ayah. ternyata kekesalan ibu ditambah lagi dengan aksi si kakak yang makan dalam jumlah yang sedikit serta mengaduk2 puding, saos kacang, dan sambal menjadi satu.
hem, melihat pemandangan ini terbersit sebuah pemikiran yang selalu saya yakini bahwa segalam macam bentuk kekerasan tidak pernah akan menyelesaikan permasalahan, terutama dalam mengasuh anak. memang tidak mudah menjadi ibu yang penyabar. saya juga sering kali berteriak memarahi Teresa ketika dia "kumat beraksi"... namun untung juga seringkali saya cepat sadar, menahan emosi sebentar, menarik napas utk menghela semua kemarahan, dan dengan nada yang lebih lembut berusaha menyelesaikan keadaan. karena saya sadar tidak ada untungnya sama sekali mengumbar kemarahan...apalg kepada anak sendiri. kembali lagi ke keluarga yang tadi saya ceritakan. selain mengungkit pemikiran ttg tabunya kekerasan dalam pengasuhan anak, saya juga kembali menyimpulkan bahwa apa yang diperlihatkan atau diperbuat anak adalah cermin dari orangtuanya. jadi, jika anak kita mengalami masalah dalam berperilaku, ada baiknya, kita, sebagai orangtua, menilik dan memeriksa kembali dengan jujur, mengenai cara pengasuhan yang diberikan kepada anak kita....

Kamis, 20 November 2008

Menulis

Menulis..
Menulis adalah salah satu ketertarikanku sejak lama. meskipun tertarik... ternyata ga mudah lo untuk menulis... memang banyak hal yang bisa ditulis... pengalaman sehari2 juga bisa kalo mau. Tapi ketika ide sudah ada biasanya tantangan yang muncul setelahnya adalah berani atau tidak kita menuangkan ide itu ke dalam tulisan. berani adalah suatu isu yang muncul ketika aku ingin mempublikasikan hasil tulisan-tulisanku. berani juga menjadi satu hal yang aku perhatikan ketika memilih bentuk tulisanku. apakah formal atau non formal atau gabungan? apakah puisi atau cerpen atau artikel atau autobiografi atau essay atau .....? yah pokoknya banyak lah yang terlintas ketika tangan ini sudah ingin menuliskan kata2 dalam pikiranku. Akhirnya daripada pusing tanpa hasil, saya memutuskan untuk 'let it flow'.... maksudnya tulis aja apa yang ada dalam pikiran tanpa memusingkan hasil or bentuknya atau kata2nya atau apapun juga.... Tulisssss tulisss dannnn (karena juga pada dasarnya aku ini cerewet) jadilah sejumlah tulisan....
Hehehehe akhirnyaaaa saya bisa menulis juga.... yah, mengenai kualitas itu kan perkara penilaian orang dan jam terbang dalam menulis.... tentu juga tergantung seberapa jauh kita mau mengembangkan diri dengan menulis itu.... tapi untuk sekarang tulisan2 semacam ini cukuplah.
Untuk mengekspresikan apa yang ada dalam diriku.
Semoga apa yang aku tuliskan di dalam blog ini bisa menambah masukan positif bagi teman2 yang membacanya.
Sebagai pengantar, saya ingin memberi keterangan bahwa beberapa tulisan di dalam blog ini merupakan tulisan yang beragam bentuk dan isinya, serta telah ditulis beberapa waktu yang lalu. so, mohon maklum...
Okay, best regards to all yang mau membaca tulisanku.
Ella.
Sekali menulis tetap menulis! YEahhhh!:))

Rabu, 19 November 2008

Pengabaian

Siang tadi ada berita di tv tentang razia perokok di tempat umum. Meskipun, spt biasa, baru sosialisasi, jadi belum ada sanksi bagi pelanggar. Sewaktu menyaksikan berita tersebut, seseorang di rumahku, yang notabene perokok, berkomentar, "Oh sudah diberlakukan ya... abis ga jelas sih..." Aku yang memang benci dengan rokok dan perokok, menanggapi dengan sedikit sewot,"lho kan, sudah lama diterapkan peraturan itu!"
Komentar tadi menunjukkan pengabaian yang sering kali kita lakukan terhadap banyak hal di sekitar kita. Pengabaian untuk terus membuang sampah sembarangan, padahal kita tahu perilaku ini akan meningkatkan resiko banjir serta meningkatkan resiko global warming. pengabaian untuk terus menyalakan komputer kita meski tidak digunakan, padahal kita tau hal ini bisa memboroskan energi. dan banyak pengabaian lainnya.Kalau saja kita tidak terbiasa mengabaikan, maka saya yakin kita akan memiliki masyarakat yang lebih sehat, baik secara jasmani maupun rohani. Karena dengan peduli, baik dengan diri sendiri maupun orang lain, akan membawa banyak dampak positif di sekitar kita. Ingatlah sebagai makhluk hidup, kita semua saling berhubungan secara alami, dengan sluruh makhluk di dunia ini.Maka mulai sekarang pedulilah! Jangan mengabaikan hal-hal kecil yang bisa kita lakukan dengan lebih baik. Hal-hal besar dimulai dari hal-hal kecil.