Kamis, 26 November 2009

Addicted Feeling

Bila anda seorg full time mom, sepertiku, maka rasanya akan ketagihan bila :

hari libur, anak ditemani papa, sehingga kita sebagai ibu2 tidak bertugas se-full biasanya.

hari biasa, anak ditemani si asisten, sehingga kita bs bebas me time atao mengejar kejar tayang kerjaan proyekan atau kegiatan lainnya yg tentu temanya 'memanjakan diri'

menunggui anak sekolah, menyaksikan si kecil mengacungkan jari setiap bu guru menanyakan sesuatu, atau mendengarkan keberanian si kecil bernyanyi di depan kelas, atau mengintip betapa sigap, mandiri serta tertibnya si kecil mengikuti instruksi bu guru mewarnai atau melipat kertas menjadi berbagai bentuk, atau betapa lincahnya si kecil berlarian serta memanjat berbagai permainan di taman bermain.

mendengarkan berbagai celotehannya kepada teman-teman berbulu dan empuk itu, atau mendengarkan keceriaan tawanya ketika dikitiki dan main 'gemes-gemesan', atau ikut asik jadi pasien si kecil sebagai dokter

ah.... semua itu bikin ketagihan, membuat pingin lagi, lagi, dan lagi... (spt iklan kan... hehe..)

seperti seorang terkasih berkata, nikmati setiap moment dg si kecil selagi bisa. karena tak akan terulang lagi di kemudian hari. sekarang ia masih lengkett dengan kita, sebagai satu2nya tmpt berlindung dan bersenang-senang. tapi di hari esoknya, akan ada banyak pihak yang semakin memperluas lingkungan sosialnya, sehingga tentu menempatkan kita, sebagai ortu di posisi yang sedikit berbeda. semoga ketika saat itu datang, kita tak merasa kehilangan karena pada masa sekarang kita sudah menikmati waktu "lengketnya" si kecil dan memahami setiap saat perkembangannya memiliki ciri khasnya masing-masing yg sangat indah utk dinikmati.

jadi selamat menikmati, selamat memuaskan rasa ketagihan kita, sebagai orangtua, sebagai orang yg beruntung karena diberikan kesempatan merasakan pengalaman yg demikian berharga.

selamat... dan mari... menikmati :D

Senin, 23 November 2009

Sekarang Aku Tau

Sekarang aku tau
kenapa :

kebanyakan ibu2 memilih memotong rambutnya pendek atau kalo yang rambutnya panjang ya dijepit ke atas
karena butuh kepraktisan dan ga ada banyak waktu utk menata rambutnya, mengingat ada si kecil dan si suami yang membutuhkan tenaga dan waktunya

kebanyakan ibu2 memilih menggunakan tas berukuran besar
karena perlu selalu menyediakan berbagai keperluan si kecil dimanapun kapanpun

kebanyakan ibu2 cerewet
karena butuh katarsis dan tuntutan peran sepertinya hihihi...

kebanyakan ibu2 memilik badan yg berisi
karena pasti jadi tempat pemberhentian terakhir bagi makanan anaknya yang ga abis, daripada mubazir... dan juga ga ada banyak waktu utk olahraga atau atur diet. malah kadang2 makanan bisa jadi penghibur...

kebanyakan ibu2 memilih sepatu berhak pendek/teplek sama sekali
karena memiliki mobilitas yang tinggi dan menghindari resiko penyakit syaraf serta tulang akibat high heels...

kebanyakan ibu2 males beraktivitas serius di luar area rumah tangga
karena urusan rumah tangga udah cukup bikin pusiingggg....

kebanyakan ibu2 suka membandingkan anak2 mereka
karena keberhasilan seorang anak menggambarkan image ibunya, keberhasilan anak adl titik ukur keberhasilan seorang ibu

kebanyakan ibu2 suka berdandan yang kadang kurang sip gitu
karena kurang waktu belanja belenji utk dirinya sendiri, begitu sampe pasar/supermarket yang kepikiran, masak apa ya besok or mana ya baju sekolahan si dede, etc etc...

well, ga nyalahin siapa2 utk semua keadaan ibu2 itu
hanya, semakin tau aja, bagaimana perputaran dan perjuangan dunia ibu2 :D

Kamis, 19 November 2009

Mencari

Mencari apa? dimana?

klik sana
klik sini
ketik ini
ketik itu
masih belum puas?
browsing anu
seaching inu

ahh.... kenapa masih belum terisi
masih ada yg kosong
melompong

ahh.... dimana sihhhh
yg kucari...
apa ya yg kurang
apa ya yg hilang
hilang dimana

entah
apa dimana siapa kapan

entah...

Selasa, 17 November 2009

Realitakah?

Masa ini penuh kebingungan
mana yg benar
mana yg salah
mana yg tepat
mana yg melenceng semuanya dibuat kabur
semua tercampur
yg rasanya membingungkan
apalg utk yg awam

Masa ini penuh ketidakpastian
akan harga-harga sembako
akan biaya kesehatan
akan biaya pendidikan
akan faktor resiko berekonomi

pun
akan nilai-nilai kebajikan
akan nilai-nilai kemanusiaan

Masa ini penuh kecurigaan
akan adanya konspirasi ini itu
si ini menyuruh itu pada si anu
si anu membunuh mister X
si mister X ternyata pejabat
yg istrinya nyeleweng dengan si koruptor itu

Ah, ini kok seperti dagelan
berputar-putar
layaknya alur sinetron yg dibikin berbelit
tak tau ujung pangkal dan akhir

Efek dagelannya ga lucu lagi
sering membuat rakyat terpuruk
sering menjerumuskan yg tak bersalah
sering menginjak2 kaum tertindas
mengecilkan kaum papa

Mungkin kaum tertindas sudah biasa tertindas
mungkin kaum ilmuwan sudah biasa mengkritisi tanpa didengar
mungkin kaum awam sudah biasa mendengarkan tanpa bs bersuara
mungkin kaum pejabat sudah biasa menggelapkan hati nuraninya
mungkin kita terbiasa mencari selamat sendiri

Masa yang bikin suntuk
dan kaum-kaum yg merupakan korban situasinya masing-masing
sambil merutuki nasib
saling menuding mencari kambing hitam

Apa memang realita ini yg tergambarkan pada masyarakat negri ini?

Kamis, 05 November 2009

Semoga Cinta...

Aku berangkat menaiki burung besi nan gagah itu menuju sebuah pulau untuk berlibur. Sebuah perjalanan yang lama kuimpikan. Setelah sekian lama bersibuk ria dengan kemacetan Jakarta serta polusi dan rutinitas pekerjaan yang mengasyikkan bin membosankan di satu sisi. So, here I am. Menghirup kesegaran aroma bebas (sementara) dari semua kelelahan. Ingin mendapat sesuatu yang fresh. Semua sudah aku persiapkan, dari baju renang, lengkap dengan lotion sunblock, agar bebas bermain di pantai sepanjang hari. Tidak lupa sepasang sendal jepit andalan, beberapa pasang baju yang santai dan loose, kaca mata hitam, buku novel yang telah lama ingin kuselesaikan, dan perlengkapan lain yang sudah tersimpan rapi dalam koper hijauku.

Penerbangan berlangsung aman terkendali... halah, kayak aku tau aja apa yang terjadi di kabin pilot... hehehe... Intinya, aku menikmati setiap detik liburanku ini. Semua terasa indah. Meski aku sendirian, aku tak merasa sepi. Aku memang memilih pergi berlibur sendiri, agar bebas menentukan ini-itunya. Tak mau direpotkan oleh kompromi apapun. Enuaakkknyaaa... pikirku sambil tersenyum kecil.

Aku pun menginjakkan kakiku di sebuah hotel yang tak begitu mewah namun terasa homy. Di belakang hotel itu terlihat pemandangan favoritku. Sebuah kolam renang, dengan pantai di belakangnya. Hamparan langit nan cerah telah menyambutku. Aku pun cepat-cepat menaruh semua barangku di kamar yang telah aku pesan sebelumnya. Aku langsung turun membawa semua perlengkapan untuk berada di luaran. Aku menikmati angin pantai yang seakan memelukku. Aku berjalan mengitari kolam renang yang tampak menyegarkan itu... Namun, tujuanku adalah pantai. Pantai membawa sejuta arti pribadi bagiku. Entah kenapa, sejak kecil aku senang berada di pantai.

Kurasakan perlahan pasir memijat kakiku lembut. Deburan ombak kecil mulai menghiasi pendengaranku. Terdengar sayup bunyi burung khas pantai. Aroma air asin pun tercium. Ah, aku merasa aku dibersihkan dari semua beban. Aku merasa ringan. Aku duduk di atas pasir. Sambil merenggangkan kaki ku, aku mengangkat tanganku tinggi, dan menarik napas sedalam yang kubisa. Kubiarkan udara segar memasuki paru-paruku yang setelah sekian lama terkontaminasi polusi kota besar. Kubiarkan udara segar mengusir semua racun dari pikiran dan jiwaku. Aku bangkit dan maju sedikit untuk merasakan sedikit demi sedikit sensasi air laut yang menghangat di kakiku. Hem, aku pun semakin merasa ringan. Tanpa beban. Seakan siap terbawa ombak kemanapun saja.

Aku memilih duduk di pasir dan membiarkan setengah kakiku berada di dalam air pantai. Hem, nyaman sekali... Entah apa yang aku lakukan persisnya, namun aku ternyata menghabiskan waktu satu jam lamanya di pantai. Aku tersadar ketika perutku mulai keroncongan minta diisi. Maka aku bangkit menuju sebuah meja berpayung besar di sisi kolam renang. Seorang pelayan datang menghampiri dan menyodorkan selembar menu. Aku memilih udang mayonaise dan sebuah menu lokal. Minumannya juice mix. Sambil menunggu pesananku datang, aku menuju sebuah pancuran untuk membilas pasir-pasir yang membalut tubuhku. Sambil mengamati air turun... aku teringat sesuatu. Aku lupa mengabari Mamaku. Mamaku minta dikabari bila aku sudah sampai di sini. Setelah bersih dari pasir, aku mengambil handuk besar yang disediakan hotel itu dan mengeringkan diri seadanya. Langsung kuraih telpon selulerku yang sedari tadi tetap kubiarkan dalam status diam. Telpon bersambung dan terdengar suara Mamaku di ujung kabel. Kami berbicara sebentar dan aku memutuskan pembicaraan ketika makananku tiba. Aku pun segera mengisi perutku yang sudah tak sabar menyantap semua makanan nan nikmat itu. Hem, enaknya...

Setelah makan, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di kamar. Aku pun naik ke kamar dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Setelah bersih, aku merasa amat mengantuk. Tempat tidur adalah jawabannya untuk sekarang ini. Aku pun merebahkan tubuhku, yang ternyata cukup lelah, ke tempat tidur yang amat nyaman. Aku terlelap sampai matahari sore mulai ingin terbenam. Deringan telepon membangunkanku dari mimpi indahku.

Terdengar sebuah suara dari speaker telponku, "Halo, Ning..."

Aku terkesiap... tak mengharap suara itu terdengar... apalagi di tengah suasana liburanku ini..

Aku berusaha kembali ke alam nyata, "Ya.. aku di sini..." jawabku kaku.

"Ning, kamu dimana? Aku perlu bicara denganmu..."

"Untuk apa kamu perlu bicara denganku?" kataku mulai ketus.

"Banyak, Ning. Aku bisa ketemu kamu... sekarang?" katanya agak mendesak.

"Tidak bisa, Di. Tidak bisa." kataku tanpa penjelasan lebih lanjut.

Hening

"Ning, kenapa tidak bisa?" katanya menyesal.

"Pokoknya tidak bisa. Aku harus pergi. Bye." kataku singkat. Aku memutuskan sambungan telpon yang tak mengenakkan itu.

Aku meletakkan telponku di atas meja rias. Dan menatap wajahku di pantulan cermin. Aku pun perlahan duduk. Bertanya akan apa yang terjadi esok lusa, ketika aku kembali ke Jakarta. Bertanya apa yang sebenarnya aku inginkan. Bertanya, dan bertanya... Aku meletakkan kepalaku ke meja dengan bantalan tangan yang terlipat. Suara yang minggu kemarin membawaku ke sini, kembali bergaung di kepalaku.

"Ning, aku ingin menikahimu... Maukah kamu menjadi istriku?" demikian gaungnya. Tanpa bisa kujawab sampai sekarang.

Meski kujawab dengan diam, dia tetap mengejarku. Tanpa memperdulikan lukanya, dia terus memburuku. Penasaran akan jawabanku. Aku malah menjawabnya dengan jarak. Jauh. Dan berangkatlah aku ke pulau ini. Memang benar, ada alasan untuk menyegarkan diri dari kepenatan rutinitas. Namun pernyataannya itu yang benar-benar memicuku untuk memesan pesawat dan hotel ini.

Malam terasa sangat hening. Pikiranku tak tahu harus diisi dengan apa. Hanya gaung suaranya yang masih terus terdengar. Aku memilih makan malam di sebuah restoran seafood di sebelah hotel. Aku memilih tempat duduk yang berada di luar dan memiliki pemandangan ke arah pantai. Pemandangan favoritku. Dan ternyata bulan bulat nan cantik sedang ingin menemaniku dari singgasananya di angkasa. Hem, pemandangan yang sempurna. Pesananku untuk makan malam datang. Untung saja semua kejadian tadi tidak menghilangkan selera makanku. Bukan Nining namanya, kalau melewatkan hidangan lezat semacam ini ;).

Aku makan dengan lambat, menikmati suapan demi suapan yang masuk ke mulutku. Ditemani deburan ombak, rasanya makanan semakin nikmat. Pikiranku sibuk memperhatikan makananku, berusaha menyibukkan diri tepatnya. Agar suaranya yang mengganguku itu dapat hilang ditelan malam.

Makanan pun habis. Aku bersandar dan menyeruput minumanku dalam-dalam. Menarik nafas... mencoba menghirup kesegaran. Kupandang langit, tampak bersih dan berpusat pada si bulan... Tak sadar, hatiku bertanya pada bulan. Sebenarnya mengapa aku tidak mampu menjawab ajakannya untuk menikah? Apa yang aku tunggu? Apa yang aku inginkan? Mengapa aku tidak mampu memutuskan?

Aku bukanlah orang yang sulit dalam memutuskan sesuatu. Aku selalu ingin semuanya bisa aku putuskan sendiri. Aku selalu tahu apa keinginanku. Sampai saat itu. Ketika ia melontarkan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang telah sekian lama aku pikirkan. Namun ternyata ia yang menyuarakannya.

Hubunganku dengannya telah cukup lama terjalin. Kurang lebih 4 tahun lamanya. Cukup lama, bukan? Tapi selama itu kami berdua cukup sibuk dengan karir kami masing-masing. Aku di bidang training sedangkan dia di bidang advertising. Kami sangat menikmati waktu-waktu yang kami habiskan bersama setiap akhir minggu. Bahkan sering kali dihiasi kejutan pertemuan di tengah minggu. Tak ada konflik utama di antara kami. Namun, kami berdua tidak pernah memunculkan topik untuk melanjutkan hubungan kami ke tahap berikutnya, yaitu menikah. Memang secara pribadi, aku pernah memikirkan tentang pernikahan. Pada saat itu ide tentang pernikahan nampak seperti alien bagi duniaku. Sesuatu yang ada di awang-awang, tanpa tau kapan atau apakah benar keberadaannya di dalam duniaku.

Sedangkan dia... aku tak tahu menahu pendapatnya tentang hal ini. Sampai tiba-tiba ia melontarkan pertanyaan alien tadi... apakah aku mau menikah dengannya...

Ya ampun... apa yang ia pikirkan... Kami tidak pernah sekalipun membahasnya. Apa yang kami bicarakan seputar kehidupan karir kami, teman-teman kami, hobi musik kami yang sama, dan banyak topik menarik lainnya. Tapi, tentang pernikahan? Tak pernah sedikitpun kami menyentuhnya... seakan pernikahan adalah menu yang belum pernah kami kenal dalam restoran cinta kami.

Bulan membisu seperti biasa, mengambil peran sebagai pendengar yang baik. Ah, apa yang harus kukatakan padanya... Hatiku, tiba-tiba bersuara...

"Ning, apa kamu tidak mencintainya lagi?"

Aku terkejut, mengapa pertanyaan itu muncul?

"Tentu aku mencintainya. Aku mencintainya..." kataku menjawab buru2... tentu tanpa suara... agar tidak disangkan orang gila yang suka bicara sendiri.

"Lalu mengapa kamu tidak mengiyakan ajakannya? Apa yang kamu harapkan dari hubungan dengannya?" tiba-tiba suara hatiku terdengar lagi. Belum puas rupanya.

"Duh.... aku harus jawab apa... aku ga tau kenapa aku ga menyambut ajakannya... Aku berharap ... dia ada di sisiku terus.... selamanya... Aku ga mau kehilangan dia..." jawabku tambah lirih sambil menutup mata. Seakan kalimat terakhirku menghabiskan sebagain besar energiku. Tiba-tiba aku merasa lelah...

Aku memang tak ingin kehilangannya. Aku tak pernah merasa nyaman dengan laki-laki lain seperti bersamanya. Namun, nyatanya... aku terlalu takut melangkah ke tahap pernikahan. Meski hatiku berontak lagi, karena aku juga ingin terus bersamanya. Sedang ia tampak tidak ingin selamanya dengan status berpacaran...

Wajar, sungguh wajar... tapi, sulit bagiku untuk mengikuti kewajaran itu. Aku masih ingin seperti sekarang bersamanya. Menikmati waktu berdua, menikmati moment kebersamaan nan indah. Tanpa ada komitmen lebih dari itu. Tanpa ada beban lebih. Tanpa harus... menghadapi kenyataan buruk yang mungkin terjadi...

Setelah membayar, aku memutuskan untuk pulang ke kamar hotel. Rasanya mandi air hangat dengan sabun aroma therapy yang khusus kubawa dari rumah, akan membersihkan pikiranku lagi...

Badanpun segar kembali... Setelah sibuk bertanya ini itu dalam pikiranku... aku pun merebahkan diri di atas tempat tidur. Namun berbagai tanya tetap bergema. Kubiarkan jendela kamar terbuka, tanpa ada tirai yang menghalangi aku dan bulan. Bulan masih setia menemani percakapan bisuku dengan hatiku sendiri.

Rasa kantuk melanda... tak kuasa ku tahan...

Aku tertidur...

Namun tak nyenyak..

Sejumlah memori buruk menghampiriku. Memori masa lalu yang tak kunjung sembuh. Tak kunjung hilang meski dipendam ke dunia antah berantah. Ternyata muncul lagi...

Pukulan yang menimpa tubuh Mama, datang bertubi-tubi dari sosok yang kubenci. Tatapan matanya menyorot tajam padaku. Tatapan yang tak pernah aku bisa maafkan. Teriakan kemarahan tak henti ia katakan. Mama hanya bisa diam. Meminta ampun, akan perbuatan yang sebenarnya tak ada celanya. Aku seperti biasa, berdiri kaku, memeluk boneka kainku. Memandang sosok itu tanpa berkedip. Tangan lain aku kepalkan. Seakan siap memukul sosok itu ketika ia lengah.

Sosok yang kubenci berbalik ke arahku. Menghampiriku, berkata dengan nafasnya yang berbau alkohol bercampur rokok, "Kalau sudah besar nanti, janganlah seperti Mamamu. Menurutlah kepada suamimu. Dan ingat! Jangan katakan kepada siapapun tentang kejadian hari ini. Karena perbuatan ini sudah sewajarnya didapatkan Mamamu." Aku tetap menatap ke depan. Tak bergeser seinci pun. Aku tak takut kepadanya. Aku tak sepenuhnya sadar akan apa yang ia ucapkan. Aku hanya ingin ia cepat pergi dari sini. Supaya aku bisa merangkul Mama. Aku hanya ingin ia lenyap dari bumi.

Aku berlari secepatnya merangkul Mama yang tersungkur di lantai. Kami berpelukan... Air mata penyesalan mulai mengalir di pipi Mama, "Nak, maafkan Mama... Maafkan Mama..." Aku hanya bisa memeluknya... tanpa sadar air mata juga ikut mengalir dari mataku...

Tiba-tiba aku terduduk... dengan nafas tak teratur dan mata terasa basah... Rupanya, aku bermimpi. Mimpi buruk tentang masa lalu, yang kuusahakan kupendam dan kulupakan. Namun ternyata terus menghantui.

Bulan masih setia di atas sana... Aku menyeka mataku dan beranjak ke meja pantry mini yang berada di sudut kamar. Aku menuangkan sejumlah air putih ke dalam gelas. Kureguk semua air itu. Seakan membasuh semua air mataku dan air mata Mama... supaya membilas bersih semua memori buruk itu...

Langit tampak memerah... tanda pagi mulai datang... Aku memutuskan untuk sarapan pagi di kamarku. Jam 7 pagi bel kamarku berbyunyi. Tanpa mengintip lewat lubang pintu, aku membukakan pintu.

"Ya... " kataku mengambang di udara... karena ternyata yang datang bukanlah waiter yang membawakan sarapan pagiku.

Dia berdiri disana, dengan senyuman khasnya. Kaos dan jins belelnya tampak segar dikenakannya.

"Selamat pagi, Ning." katanya lembut.

"Di... kamu..." aku tak sempat menyelesaikan perkataanku lagi.

Ia langsung memelukku. Hangat, seperti yang selalu kurindukan.

"Jadilah istriku, Ning. Aku mohon." katanya, mengulangi permintaannya dulu.

Aku hanya mampu memeluknya... dan tak sadar aku berkata lirih hampir menangis, "Aku takut, Di... Aku takut..."

"Tak ada yang perlu ditakutkan... Berilah maaf pada masa lalu, Ning. Aku bukan Papamu. Aku tidak akan memperlakukanmu seperti itu... Aku mengerti ketakutanmu, Ning." katanya pasti.

Kami melepaskan rangkulan kami. Aku berbalik dan menjatuhkan badanku di kursi depan kaca rias. Dia masuk. Pantulan kami berdua tampak di cermin. Tak kelihatan apa yang membuatku takut melangkah dengannya... Perkataannya, senyumnya, sikapnya selama ini... Ah... tak tau lah...

Aku tetap tak ingin terburu-buru mengiyakan... meski terus terang semua kejadian tadi membuat hatiku sedikit berubah... mulai mengintip asa dan ingin menikmati masa depan berkeluarga dengannya. Namun, alih-alih membahas hal itu, aku menatapnya dan berkata,
"Yuk kita jalan-jalan. Refreshing... Biarkan cinta kita yang menjawabnya seiring waktu... "

"Oke... Tapi, kamu harus ingat... aku tetap menunggu jawabanmu..." katanya serius.

Aku hanya mengangguk kecil, menggamit tangannya, untuk menuju ke arah pintu kamar. Keluar, menghirup udara segar pagi hari di pulau eksotik ini...