Pin is a little white furred puppie. He lives with Anie, a 4 years old little girl. Anie lives with her Mama and Papa in a small red bricks house. Every morning, Anie will greet Pin before she goes to kindergarten. “ Bye, bye, Pin…. I must go now. My school bus is here. Please look after Mama, because Papa is already went to his office” Anie said cheerfully. Pin answered with some loud bark, “Wuff, wufff…”
Now, there’s only Pin and Mama at home. Mama comes out and said to Pin, “Pin, I must cleaning rooms inside. But I’ll be back with your meal. Just play around here with your ball. Allright? Be a nice boy…” Pin once again barks happily.
Then he is playing with his ball. He enjoys it very much. Suddenly the ball rolling to the gate and keep on rolling through the Big Dog’s house, in front of Anie’s house. Pin really want his ball back, it is his favorite toy. So he runs after the ball. He stopped when he arrives in front of the Big Dog’s house. But he cannot find his ball. He is looking slowly, thinking where the ball could hide.
Suddenly the Big Dog’s bark surprises him, “Wafff, wafff, hey little Pin. Here’s your ball…!” Pin, who already know the big sound, smiles and said, “Wuff, wuff, thanks Big Dog! I was looking for it. It is my favorite toy, you know?” “Yeah, I know well it’s your favorite toy, I see you play with it everyday. Hey, how ‘bout we playing together now?” said Big Dog. “Wufff! Okay!” replied Pin. So they are playing. And Pin forgets his meal at home.
Meanwhile at home, Mama is looking around for Pin. “Pin, Pin! Yuhuuu…. Where are you? I already prepared your meal here… Come here, boy!” But, Pin doesn’t seen anywhere in the yard. So, Mama go to the gate and find the gate was opened. She wonders and yells call for Pin. But still no respon from Pin.
Mama decides to go inside and lock the gate. She thinks that Pin is somewhere playing in the yard and will come to eat his meal.
Outside, Pin already feels tired and hungry after playing such a fun ball game with Big Dog. So, he said to Big Dog, “Hey, Biggie! I must come home and eat my meal. I feel hungry. Next time we’ll play again, ok?” “Wufff, ok little Pin. Nice to play with you. See you another time!” Said Big Dog.
Pin, with the ball inside his mouth, runs as fast as he can. But he disappoints because he saw the gate closed. He barks as loud as he can. But Mama doesn’t hear him, because she’s cleaning inside the house. Feels tired, Pin lie his self in front of the gate. His stomach start to ache, he is hungry. So, there’s nothing he could do. He only could lie down and waiting for someone open the gate. So he waits and waits…
Untill… a familiar bus’ sound come… and, there’s Anie come home from school with her buss school. Pin is so relieve and stand up straight away. He barks happily to Anie. Anie confuse, wondering why Pin lie alone outside the house. She open the gate and Pin running in and straight away go to his bowl. He eat so fast because his stomach is so hungry. Mama and Anie stared at him, amazed at how fast he finished his lunch.
Whew! What a tiring day for a little Pin. He’s glad he’s home now.
Tampilkan postingan dengan label child's stories. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label child's stories. Tampilkan semua postingan
Senin, 15 Desember 2008
Selasa, 25 November 2008
Aku Tidak Mau Mama yang Lain
Pagi itu seperti biasa Sari terbangun oleh panggilan lembut dari Mama. “Sari, bangun Nak. Sudah jam setengah enam pagi. Ayo mandi dan sarapan ya?” Sari menggeliat dan membuka setengah kelopak matanya. “Uahemmm…” Ia menguap lebar-lebar dan berkata, “Aku masih ngantuk, Ma. Satu menit lagi ya… aku pengen tidur lagi.” Mama yang sabar berkata, “Hayo, kalau kamu bilang satu menit, itu artinya satu jam. Lebih baik sekarang cepat ke kamar mandi supaya rasa kantukmu hilang dan badanmu segar. Ayo, ayo! Bersemangat dong!” Sari pun dengan enggan mengangkat kepalanya, perlahan duduk dan menjulurkan kakinya ke lantai untuk memakai sendalnya. Mama masih tetap di sampingnya. Seperti biasa Mama mengawasi sampai Sari masuk ke kamar mandi dan terdengar suara air, tanda Sari mulai sibuk membersihkan badannya. Kalau tidak begitu, Sari bisa saja bangkit dari tempat tidurnya dan kembali tidur di kursi manapun yang ia temui. Sesudah mandi, Sari memakan sarapan yang sudah dipersiapkan Mama. Papa pun tengah menyantap makan paginya. Sari dan Papa akan berangkat bersama pagi ini.
Sari adalah anak tunggal dalam keluarga ini dan telah duduk di kelas empat SD. Ketika pagi datang, Sari agak kesulitan bangun pagi. Maka Mama harus membangunkannya setiap pagi. Sari sangat tidak menyukai rutinitas bangun pagi ini. Ia pun sering mengeluh karena Mama amat cerewet mengingatkan ini itu kepadanya setiap saat. Bayangkan saja sejak pagi Mama sudah membangunkan Sari dengan segudang nasehat. Lalu sebelum berangkat sekolah, Mama pasti menyelipkan sebuah pesan singkat di dalam tas nya yang berisi nasehat-nasehat atau pesan-pesan agar Sari bersekolah dengan gembira, atau sekedar mengingatkan hal-hal penting untuk Sari. Seperti pagi ini, ketika Sari berpamitan untuk pergi ke sekolah, Mama memberi nasehat yang setiap hari selalu dikatakannya, “Sari, selamat belajar ya, Nak. Turuti nasihat Gurumu dan jangan melakukan hal yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu. Oke ?” Sambil lalu Sari mengangguk seraya mencium pipi Mamanya untuk berpamitan ke sekolah.
Ketika jam pelajaran pertama dimulai, Sari menemukan pesan Mama yang diselipkan di buku Matematikanya. Mama memang hafal jadwal pelajarannya setiap hari. Pesan itu berbunyi, “Lakukan yang terbaik dan ingatlah bahwa Mama dan Papa menyayangimu. Jangan lupa nanti bekalmu di makan, ya. Peluk & Cium, Mama.” Sari membaca pesan itu sekilas dan langsung memasukkan sembarangan ke dalam tasnya.
Hari itu pada pelajaran Bahasa Indonesia, Ibu Guru meminta Sari dan teman-teman sekelasnya membuat karangan bebas mengenai Mama mereka. Sari pun mulai memikirkan apa yang akan ditulisnya mengenai Mama. Sambil berpikir Sari melihat ke arah temannya, Diva. Sari langsung mendapat ide untuk tugas Bahasa Indonesia itu. Meskipun Ibu Guru meminta tugas itu dikumpulkan besok, namun Sari ingin buru-buru menyelesaikan karangannya karena bersemangat untuk menuliskan ide yang menarik itu. Apa sih ide Sari itu ?
Ternyata Sari ingin membuat karangan pendek tentang angan-angannya bila mempunyai Mama seperti Mamanya Diva, bukan seperti Mamanya sendiri. Diva adalah salah satu murid perempuan di kelas Sari. Diva tinggal di sebuah rumah yang besar dan megah di Perumahan Elite Permai. Perumahan itu memang terkenal dengan rumah-rumahnya yang besar dan dimiliki oleh orang-orang ternama dan kaya tentunya. Orangtua Diva memang keturunan keluarga kaya sehingga tak heran mereka memiliki rumah sedemikian megah. Kedua orangtua Diva adalah pekerja keras. Mereka hanya bertemu Diva pada pagi hari, ketika Diva akan pergi sekolah diantar oleh supirnya dan malam hari, ketika Diva sudah berada di tempat tidur. Memang kekayaan tersebut membuat banyak teman-teman sekolah Diva iri. Tapi yang paling diinginkan Sari adalah sikap orangtuanya, terutama Mamanya Diva, yang tidak secerewet Mamanya. Bukan hanya tidak cerewet, Mamanya Diva bahkan menitipkan semua keperluan Diva kepada seorang pembantu dan supir terpercaya. Jadi tidak ada tuh, yang namanya nasehat-nasehat atau pesan-pesan Mama yang selalu bikin Sari bosan setiap harinya. Sari membayangkan, betapa enaknya bisa hidup seperti Diva, tanpa nasehat dan omelan Mama yang cerewet itu. Di rumah yang sebesar itu pasti Diva bisa mendapatkan semua keinginannya, termasuk tidur sampai siang dan bebas dari omelan Mama yang menyebalkan.
Sari pun dengan asyik menuliskan khayalannya di buku tugasnya. Wah! Karena terlalu asyik menulis, tak terasa waktu istirahat tiba. Sari langsung menutup bukunya dan berlari menuju ke kantin. Namun ketika baru sampai di depan pintu kelas, Sari menghentikan langkahnya. Ia melihat Diva sedang duduk sendiri di bangkunya. Sekilas tampak terlihat wajah Diva yang sedih dan menahan amarah. Sari mendekati Diva perlahan. Ia penasaran apa yang membuat Diva seperti itu. Memang Diva jarang terlihat bermain dengan teman-teman di sekolah. Sari pun jarang berbicara dengannya. Hanya sesekali saja, misalnya ketika mereka berdua ditunjuk menjadi satu kelompok dalam beberapa tugas di kelas.
“Diva, kenapa kamu ? Kok di kelas sendirian saja ?” tanya Sari kepada Diva. Diva mengangkat kepalanya yang agak tertunduk dan menatap Sari dengan mata yang tidak bersemangat. “… Ehm, aku sedang malas keluar kelas. Lagi pingin sendiri aja…,” jawabnya menggantung seperti sedang melamun. “Maaf ya kalau aku mengganggu kamu. Habis, wajahmu terlihat sedih dan marah sekaligus, aku jadi penasaran dan ingin membantu kalau bisa,” demikian Sari menjelaskan maksudnya.
Diva pun melempar pandangannya ke arah lain, berusaha tidak menatap Sari, “Terima kasih ya, kamu baik sekali memperhatikan aku. Aku… aku lagi sedih sekaligus marah dengan Mamaku.” Sari terkejut mendengarnya. Ia tidak dapat menyembunyikan kekagetannya sehingga Diva berkata, “Lho, kenapa kamu terlihat terkejut?” Sari tergagap menjawabnya, takut menyinggung Diva, “Ehm… aku pikir kamu….”
Diva langsung memotong perkataan Sari dan berkata, “Oh, aku tahu. Kamu pasti menganggap aku selalu gembira karena semua kebutuhanku tercukupi dengan kekayaan Mama dan Papa, ‘kan? Kamu pasti berpikir aku ga pernah sedih.” “Lho, memangnya kamu ga senang dengan semuanya itu? Semua teman-teman di sekolah ini pasti pingin menjadi kamu…,” Sari dengan cepat mengatakannya karena masih terkejut dengan pernyataan Diva.
Diva tersenyum sayu, “Iya, aku tahu banyak teman yang ingin menjadi aku karena aku anak orang kaya. Tapi kalian tidak tahu bahwa aku sering merasa sedih sekaligus marah sama Mama dan Papaku. Terutama Mama… Mama tidak pernah ada waktu untukku. Ia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Semua kebutuhanku dititipkan kepada pembantu dan supir. Sedangkan Papa juga sama sibuknya, bahkan sering kali pergi ke luar negeri dan tidak pulang berminggu-minggu. Aku sering berharap punya Mama seperti teman-teman, yang tidak bekerja dan ada di rumah. Jadi aku bisa bercerita dan mengobrol, atau melakukan berbagai kegiatan bersama kapanpun aku mau.” Ketika menceritakan angan-angannya ini, mata Diva tampak menerawang dan tersenyum bahagia.
Seketika senyumannya langsung hilang dan mata yang sedih bercampur kemarahan kembali lagi, “Tapi aku ga punya Mama seperti itu, Mamaku hanya memperhatikan pekerjaannya, bukan aku. Mama pikir dengan membelikan aku baju, buku, mainan, makanan dan lainnya akan membuatku puas. Tapi barang-barang itu bukanlah Mama yang kurindukan. Seperti SMS yang tadi Mama kirimkan. Sore ini ia membatalkan lagi janjinya untuk menemani aku ke Toko Buku. Katanya ada rapat penting di kantor. Huh! Padahal Mama sudah berjanji sejak dua hari yang lalu… Kenapa sih, ga bisa nepatin janjinya sekali iniii aja…” Mata Diva berkaca-kaca hampir meneteskan air mata.
Ya ampun! Sari tidak habis terkejutnya sampai semua kata-kata Diva selesai. Ia kehabisan kata-kata dan dengan spontan langsung memeluk Diva. Diva pun dengan lega memeluk Sari juga sambil menitikkan air matanya. Sejenak mereka berpelukan. Lalu terdengar celoteh beberapa teman-teman sekelas yang hendak masuk kelas. Mereka pun melepaskan pelukan dan saling memandang penuh arti. “Kalau kamu mau, kamu bisa main ke rumahku sepulang sekolah nanti. Mamaku pasti sudah masak makanan yang enak. Ditambah puding kesukaanku. Kamu pasti suka,” kata Sari kembali ceria. Diva lansung terlihat gembira dengan ajakan Sari dan langsung mengangguk menyetujui usulan Sari. Maka hari itu, sepulang sekolah, Sari tidak perlu berpanas-panasan naik angkot. Sari pulang dengan menumpang mobil Diva yang ber-AC untuk kemudian menuju ke rumah Sari.
Di rumah, Mama senang melihat Sari mengajak Diva. Begitu pula tentunya dengan Diva yang merasa amat senang berada di rumah Sari, yang meskipun tidak semegah dan sebesar rumahnya, namun penuh kehangatan dan terutama adanya kehadiran sosok seorang Mama yang sudah lama dirindukannya. Sejak saat itu Sari semakin merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki Mama seperti Mamanya, bukan seperti Mamanya Diva. Malam itu, Mama terkejut sekaligus senang karena mendapat selembar pesan di meja riasnya dari Sari. Pesan itu berbunyi, “Ma, aku senang punya Mama seperti Mama. Kalau disuruh memilih, aku ingin Mamaku adalah Mama, bukan Mama yang lain. Peluk & Cium, Sari.
Sari adalah anak tunggal dalam keluarga ini dan telah duduk di kelas empat SD. Ketika pagi datang, Sari agak kesulitan bangun pagi. Maka Mama harus membangunkannya setiap pagi. Sari sangat tidak menyukai rutinitas bangun pagi ini. Ia pun sering mengeluh karena Mama amat cerewet mengingatkan ini itu kepadanya setiap saat. Bayangkan saja sejak pagi Mama sudah membangunkan Sari dengan segudang nasehat. Lalu sebelum berangkat sekolah, Mama pasti menyelipkan sebuah pesan singkat di dalam tas nya yang berisi nasehat-nasehat atau pesan-pesan agar Sari bersekolah dengan gembira, atau sekedar mengingatkan hal-hal penting untuk Sari. Seperti pagi ini, ketika Sari berpamitan untuk pergi ke sekolah, Mama memberi nasehat yang setiap hari selalu dikatakannya, “Sari, selamat belajar ya, Nak. Turuti nasihat Gurumu dan jangan melakukan hal yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu. Oke ?” Sambil lalu Sari mengangguk seraya mencium pipi Mamanya untuk berpamitan ke sekolah.
Ketika jam pelajaran pertama dimulai, Sari menemukan pesan Mama yang diselipkan di buku Matematikanya. Mama memang hafal jadwal pelajarannya setiap hari. Pesan itu berbunyi, “Lakukan yang terbaik dan ingatlah bahwa Mama dan Papa menyayangimu. Jangan lupa nanti bekalmu di makan, ya. Peluk & Cium, Mama.” Sari membaca pesan itu sekilas dan langsung memasukkan sembarangan ke dalam tasnya.
Hari itu pada pelajaran Bahasa Indonesia, Ibu Guru meminta Sari dan teman-teman sekelasnya membuat karangan bebas mengenai Mama mereka. Sari pun mulai memikirkan apa yang akan ditulisnya mengenai Mama. Sambil berpikir Sari melihat ke arah temannya, Diva. Sari langsung mendapat ide untuk tugas Bahasa Indonesia itu. Meskipun Ibu Guru meminta tugas itu dikumpulkan besok, namun Sari ingin buru-buru menyelesaikan karangannya karena bersemangat untuk menuliskan ide yang menarik itu. Apa sih ide Sari itu ?
Ternyata Sari ingin membuat karangan pendek tentang angan-angannya bila mempunyai Mama seperti Mamanya Diva, bukan seperti Mamanya sendiri. Diva adalah salah satu murid perempuan di kelas Sari. Diva tinggal di sebuah rumah yang besar dan megah di Perumahan Elite Permai. Perumahan itu memang terkenal dengan rumah-rumahnya yang besar dan dimiliki oleh orang-orang ternama dan kaya tentunya. Orangtua Diva memang keturunan keluarga kaya sehingga tak heran mereka memiliki rumah sedemikian megah. Kedua orangtua Diva adalah pekerja keras. Mereka hanya bertemu Diva pada pagi hari, ketika Diva akan pergi sekolah diantar oleh supirnya dan malam hari, ketika Diva sudah berada di tempat tidur. Memang kekayaan tersebut membuat banyak teman-teman sekolah Diva iri. Tapi yang paling diinginkan Sari adalah sikap orangtuanya, terutama Mamanya Diva, yang tidak secerewet Mamanya. Bukan hanya tidak cerewet, Mamanya Diva bahkan menitipkan semua keperluan Diva kepada seorang pembantu dan supir terpercaya. Jadi tidak ada tuh, yang namanya nasehat-nasehat atau pesan-pesan Mama yang selalu bikin Sari bosan setiap harinya. Sari membayangkan, betapa enaknya bisa hidup seperti Diva, tanpa nasehat dan omelan Mama yang cerewet itu. Di rumah yang sebesar itu pasti Diva bisa mendapatkan semua keinginannya, termasuk tidur sampai siang dan bebas dari omelan Mama yang menyebalkan.
Sari pun dengan asyik menuliskan khayalannya di buku tugasnya. Wah! Karena terlalu asyik menulis, tak terasa waktu istirahat tiba. Sari langsung menutup bukunya dan berlari menuju ke kantin. Namun ketika baru sampai di depan pintu kelas, Sari menghentikan langkahnya. Ia melihat Diva sedang duduk sendiri di bangkunya. Sekilas tampak terlihat wajah Diva yang sedih dan menahan amarah. Sari mendekati Diva perlahan. Ia penasaran apa yang membuat Diva seperti itu. Memang Diva jarang terlihat bermain dengan teman-teman di sekolah. Sari pun jarang berbicara dengannya. Hanya sesekali saja, misalnya ketika mereka berdua ditunjuk menjadi satu kelompok dalam beberapa tugas di kelas.
“Diva, kenapa kamu ? Kok di kelas sendirian saja ?” tanya Sari kepada Diva. Diva mengangkat kepalanya yang agak tertunduk dan menatap Sari dengan mata yang tidak bersemangat. “… Ehm, aku sedang malas keluar kelas. Lagi pingin sendiri aja…,” jawabnya menggantung seperti sedang melamun. “Maaf ya kalau aku mengganggu kamu. Habis, wajahmu terlihat sedih dan marah sekaligus, aku jadi penasaran dan ingin membantu kalau bisa,” demikian Sari menjelaskan maksudnya.
Diva pun melempar pandangannya ke arah lain, berusaha tidak menatap Sari, “Terima kasih ya, kamu baik sekali memperhatikan aku. Aku… aku lagi sedih sekaligus marah dengan Mamaku.” Sari terkejut mendengarnya. Ia tidak dapat menyembunyikan kekagetannya sehingga Diva berkata, “Lho, kenapa kamu terlihat terkejut?” Sari tergagap menjawabnya, takut menyinggung Diva, “Ehm… aku pikir kamu….”
Diva langsung memotong perkataan Sari dan berkata, “Oh, aku tahu. Kamu pasti menganggap aku selalu gembira karena semua kebutuhanku tercukupi dengan kekayaan Mama dan Papa, ‘kan? Kamu pasti berpikir aku ga pernah sedih.” “Lho, memangnya kamu ga senang dengan semuanya itu? Semua teman-teman di sekolah ini pasti pingin menjadi kamu…,” Sari dengan cepat mengatakannya karena masih terkejut dengan pernyataan Diva.
Diva tersenyum sayu, “Iya, aku tahu banyak teman yang ingin menjadi aku karena aku anak orang kaya. Tapi kalian tidak tahu bahwa aku sering merasa sedih sekaligus marah sama Mama dan Papaku. Terutama Mama… Mama tidak pernah ada waktu untukku. Ia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Semua kebutuhanku dititipkan kepada pembantu dan supir. Sedangkan Papa juga sama sibuknya, bahkan sering kali pergi ke luar negeri dan tidak pulang berminggu-minggu. Aku sering berharap punya Mama seperti teman-teman, yang tidak bekerja dan ada di rumah. Jadi aku bisa bercerita dan mengobrol, atau melakukan berbagai kegiatan bersama kapanpun aku mau.” Ketika menceritakan angan-angannya ini, mata Diva tampak menerawang dan tersenyum bahagia.
Seketika senyumannya langsung hilang dan mata yang sedih bercampur kemarahan kembali lagi, “Tapi aku ga punya Mama seperti itu, Mamaku hanya memperhatikan pekerjaannya, bukan aku. Mama pikir dengan membelikan aku baju, buku, mainan, makanan dan lainnya akan membuatku puas. Tapi barang-barang itu bukanlah Mama yang kurindukan. Seperti SMS yang tadi Mama kirimkan. Sore ini ia membatalkan lagi janjinya untuk menemani aku ke Toko Buku. Katanya ada rapat penting di kantor. Huh! Padahal Mama sudah berjanji sejak dua hari yang lalu… Kenapa sih, ga bisa nepatin janjinya sekali iniii aja…” Mata Diva berkaca-kaca hampir meneteskan air mata.
Ya ampun! Sari tidak habis terkejutnya sampai semua kata-kata Diva selesai. Ia kehabisan kata-kata dan dengan spontan langsung memeluk Diva. Diva pun dengan lega memeluk Sari juga sambil menitikkan air matanya. Sejenak mereka berpelukan. Lalu terdengar celoteh beberapa teman-teman sekelas yang hendak masuk kelas. Mereka pun melepaskan pelukan dan saling memandang penuh arti. “Kalau kamu mau, kamu bisa main ke rumahku sepulang sekolah nanti. Mamaku pasti sudah masak makanan yang enak. Ditambah puding kesukaanku. Kamu pasti suka,” kata Sari kembali ceria. Diva lansung terlihat gembira dengan ajakan Sari dan langsung mengangguk menyetujui usulan Sari. Maka hari itu, sepulang sekolah, Sari tidak perlu berpanas-panasan naik angkot. Sari pulang dengan menumpang mobil Diva yang ber-AC untuk kemudian menuju ke rumah Sari.
Di rumah, Mama senang melihat Sari mengajak Diva. Begitu pula tentunya dengan Diva yang merasa amat senang berada di rumah Sari, yang meskipun tidak semegah dan sebesar rumahnya, namun penuh kehangatan dan terutama adanya kehadiran sosok seorang Mama yang sudah lama dirindukannya. Sejak saat itu Sari semakin merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki Mama seperti Mamanya, bukan seperti Mamanya Diva. Malam itu, Mama terkejut sekaligus senang karena mendapat selembar pesan di meja riasnya dari Sari. Pesan itu berbunyi, “Ma, aku senang punya Mama seperti Mama. Kalau disuruh memilih, aku ingin Mamaku adalah Mama, bukan Mama yang lain. Peluk & Cium, Sari.
Bola Merah dan Si Pus
Kayla berlari kecil mengejar bola merahnya. Bola itu berloncatan lincah, membuat Kayla tergelak senang. Ya! Kayla amat menyayangi bola merah hadiah dari Papanya itu. Bola itu berwarna merah terang dengan motif kupu-kupu dan bunga. Papa baru saja membelikan bola itu seminggu yang lalu. Sejak dibelikan sampai hari ini Kayla selalu membawa bola itu kemanapun. Kadang-kadang Kayla bermain bersama Mama, Mbak Sum atau sendirian saja seperti sekarang ini. Kayla akan mengejar bolanya kemanapun bola itu menggelinding. Bila sudah bermain seperti ini, Kayla akan lupa segalanya. Bahkan sering kali Mama harus mengambil bola itu untuk membuat Kayla berhenti bermain dan mandi atau makan sesuai jadwal.
Siang ini udara cukup panas sehingga Mama mempunyai ide untuk bermain di dalam rumah saja. “Ayo Kayla, kamu mau menggambar apa? Ini Mama siapkan kertas sebanyak yang kamu mau dan krayon kesukaanmu,” dengan semangat Mama mengajak Kayla menggambar. Biasanya Kayla memang suka menggambar. Namun sejak ada bola merah itu, Kayla seperti kehilangan minat pada aktivitas kesukaannya itu. Kayla pun menghampiri Mama dengan langkah terseret malas, “…Engg… Aku mau main bola aja di luar. Boleh ya, Ma?” Mama memandang Kayla dan berkata, “Di luar panas sayang, nanti kamu kelelahan.” “Ayolah, Ma. Aku ga pingin menggambar, aku pingin main bola…” Kayla memohon lagi dengan wajah memelas. Mama menghela napas, tidak tega memaksa putrinya melakukan hal yang tidak disukainya. “Baiklah. Kamu boleh main di luar. Tapi, pakai dulu topi mu dan jangan terlalu lama. Kalau Mama memanggil 1 jam lagi, kamu harus berhenti bermain dan mandi ya. Oke?” Wah! Senyum lebar mengembang di wajah Kayla. “Asyik!!! Mama baik dehhh! Iya aku akan pakai topi dan masuk kalau Mama memanggilku.” Dengan cepat Kayla memeluk Mama. Mama membalasnya dengan mengelus kepala Kayla.
Kayla pun bermain bola dengan asyik di halaman depan rumahnya. Memang keluarga Kayla cukup beruntung memiliki rumah dengan halaman yang cukup luas untuk bermain. Kayla melempar bolanya ke sana ke mari. Mulai disepak seperti pemain bola, dipukul seperti pemain voli sampai dipantulkan dan dimasukkan ke jaring seperti pemain basket. Kayla senang sekali.
Ketika sedang mencoba memasukkan bolanya ke jaring basket, Kayla dikejutkan oleh suara kucing tetangga yang sedang berkelahi. Suara kucing itu memecah perhatian Kayla sehingga ia tidak memperhatikan kemana bolanya menggelinding. Ketika menyadari bolanya hilang, Kayla segera mencari ke segala penjuru di halamannya. Halaman rumah Kayla memang memiliki banyak pohon dan semak sehingga udara di rumah Kayla sejuk dan segar. Papapun hobi membawa tanaman-tanaman baru, yang karena kesibukannya, jadi terlihat kurang tertata dan tumbuh tak beraturan. Kayla tidak menemukan bolanya. Ia pun mulai mencari ke semak-semak dan sudut-sudut halaman yang tampaknya jarang dihampiri orang itu. Kayla tidak memperdulikan sarang laba-laba yang menempel di rambut dan bajunya. Tak diperhatikannya lagi kakinya yang kotor karena melangkah tanpa memperhatikan tanah yang lembab dan becek. Pokoknya Kayla bertekad menemukan bola merah kesayangannya.
Rasanya sudah lama sekali Kayla mencari bolanya, tapi kok belum ketemu. Kayla merasa lelah dan terduduk di rumput. Kayla seperti termenung mendekap lututnya. Tak didengarnya suara Mama memanggilnya untuk segera mandi. Tiba-tiba saja Kayla melihat sesosok benda berwarna merah mengintip dari semak-semak di ujung sana. “Pasti itu bolaku!” Pikir Kayla senang. Kayla pun berlari menyeberangi halaman dan mengintip ke balik semak-semak yang ternyata cukup rimbun itu. Wah! Betapa terkejutnya Kayla ketika melihat apa yang ada di balik semak-semak itu. Selain bolanya, ternyata Kayla menemukan seekor kucing kecil yang terluka kakinya. Kucing itu mengeong lemah. Ternyata suara kucing yang berisik tadi ada suara anak kucing itu yang berkelahi dengan saudaranya. Akibatnya anak kucing itu terjatuh dari tembok dan berada di semak-semak halaman rumah Kayla. Kayla memandang iba pada anak kucing itu. Ternyata kakinya terluka, jadi anak kucing itu tidak bisa melompati tembok kembali ke rumahnya.
Kayla menjulurkan tangannya dan menggendong anak kucing itu. Sejenak Kayla melupakan bola merahnya. Dielusnya kepala anak kucing yang berbulu lembut itu. Kayla tersenyum kepada anak kucing dalam pelukannya sambil berbisik, “Jangan khawatir, Pus. Aku akan mengobati lukamu.” Seakan mengerti apa yang dikatakan Kayla, anak kucing itu mengeong lembut dan menggesekkan kepalanya ke dada Kayla. Ketika hendak melangkah kembali ke rumah, Kayla berhenti sejenak dan mengingat apa yang ia lupakan. Ah iya! Bola merahnya! Kayla bergegas mengambilnya karena terdengar langkah Mama sambil berseru memanggil namanya, “Kayla, dimana kamu, Nak? Ayo mandi dulu, sudah sore.” Kayla buru-buru menjawab, “Iya, Ma…”
Ketika bertemu Mama, Kayla langsung menunjukkan anak kucing itu dengan bersemangat. “Mah, lihat! Aku menemukan anak kucing ini. Sepertinya ia jatuh dari tembok. Kasihan ya… kakinya luka… Aku ingin merawatnya, Ma. Boleh kan? Boleh ya? Ya, ya, ya?!” Mama tersenyum melihat Kayla, “Ehm… boleh saja kamu merawatnya. Tapi setelah ia sembuh kamu harus berjanji mengembalikannya kepada Kak Susi, tetangga sebelah. Bagaimanapun juga anak kucing itu bukan milik kita, Kayla. Oke?” Kayla agak kecewa mendengar syarat Mama itu, tapi agar diperbolehkan merawat kucing kecil itu, Kayla pun mengangguk. “Ya sudah, sekarang kita bersihkan luka si kucing kecil dan kita carikan tempat nyaman untuknya. Sehabis itu kamu mandi ya, sudah dekil begitu tampangmu…” Ajakan Mama disambut Kayla dengan bergegas ke dalam rumah mencari obat untuk kucing itu.
Dua minggu berlalu, kucing kecil yang dipanggil Pus oleh Kayla telah kembali lincah. Berkat kesabaran perawatan Kayla yang penuh kasih sayang luka kakinya telah sembuh. Pus juga kelihatan tambah gemuk karena Kayla selalu makan dengan lahap. Dan Kayla pun tak kalah senangnya. Sejak kehadiran Pus, Kayla selalu punya teman untuk bermain bola. Bahkan sampai Kayla lelah pun, Pus tampak masih bersemangat. Selain itu Kayla pun belajar bertanggung jawab untuk memberikan makan dan mengobati luka kaki si Pus, tentu saja dengan bantuan Mama dan Mbak Sum.
Melihat Pus yang telah sembuh, Mama mengingatkan Kayla akan janjinya, “Kayla, seperti janjimu dua minggu lalu, kalau Pus sembuh, kamu akan mengembalikannya kepada Kak Susi. Nah, sekarang Pus sudah sembuh. Maka sebaiknya segera kita antar dia ke rumahnya.” Kayla menyahut dengan sedih, “Tapi Ma, aku sayang sama si Pus, aku ga pingin mengembalikan dia kepada Kak Susi. Nanti aku ga punya teman main bola lagi.” “Kayla, kamu sudah berjanji. Maka kamu harus menepatinya. Kamu tidak mau berbohong kan? Lagi pula si Pus bukan milik kita. Coba kamu bayangkan kalau kamu adalah Kak Susi yang kehilangan si Pus. Pasti kamu akan senang jika Pus dikembalikan bukan?” Kayla tertunduk sedih, mau tak mau ia mengakui kebenaran yang dikatakan Mama, “Iya sih Ma, pasti aku senang kalau si Pus dikembalikan kalau aku jadi Kak Susi. Tapi…” Mama tersenyum bijak, “Begini saja, nanti sore Mama antar kamu ke rumah Kak Susi, untuk mengembalikan si Pus. Sekalian juga kamu sampaikan bahwa kamu sayang dengan si Pus. Pasti Kak Susi akan memperbolehkan kamu bermain sesukamu dengan si Pus.” Kepala Kayla perlahan menengadah sambil tersenyum kecil, “Betul, Ma? Kak Susi akan memperbolehkan aku bermain lagi dengan si Pus?” Mama menjawab, “Mama yakin Kak Susi akan memperbolehkan. Pasti Kak Susi senang si Pus punya teman baru yang baik hati seperti kamu. Jadi, nanti sore kita ke rumah Kak Susi ya…” Kayla mengangguk.
Sore itu, Kayla, si Pus dan Mama pergi ke rumah Kak Susi, tetangga sebelah rumah keluarga Kayla. Kak Susi sendiri yang membukakan pintu dan langsung mengenali si Pus yang dipeluk erat oleh Kayla. “Selamat sore Tante, Kayla. Hey! Itu kan si Manis, anak si Putih, kucingku… Oh, iya, maaf. Silahkan masuk dan duduk di dalam.” “Terima kasih, Susi,” sahut Mama. Sesudah mereka duduk, Mama langsung menjelaskan maksud kedatangan mereka, “Susi, Tante dan Kayla ke sini memang berhubungan dengan kucing kecil ini. Kayla, maukah kamu menjelaskan kepada Kak Susi?” Kayla berusaha menjelaskan kepada Kak Susi meski malu karena berbicara dengan orang yang lebih tua darinya. “Kak, engg…, aku ketemu si Pus, eh si Manis, di belakang rumahku dua minggu yang lalu. Aku lagi main bola, eh ada si Pus yang luka kakinya. Lalu aku obati supaya sembuh. Kata Mama kalau sudah sembuh aku harus kembaliin si Pus ke Kak Susi. Tapi… sebenarnya aku ga mau, karena aku sayang sekali sama si Pus…” Kak Susi tersenyum kepada Kayla, “Kayla, Kak Susi juga sayang sama si Pus. Terima kasih ya kamu mau mengobati si Pus. Tambah gemuk lagi dia, pasti kamu rajin memberinya makan. Sebenarnya si Pus ingin Kakak berikan kepada teman Kakak karena di rumah ini sudah terlalu banyak kucing. Tapi… setelah melihat betapa kamu sayang sama si Pus, Kakak ingin memberikan si Pus untukmu.”
Mata Kayla terbelalak kaget campur gembira, “Hah?!! Mah! Mama dengar Kak Susi bilang apa? Kak, betul si Pus boleh buat aku?!” Kak Susi mengangguk pasti. Mama pun tertawa senang, “Susi, terima kasih mau memberikan si Pus kepada Kayla. Kalau Susi kangen dengan si Pus, Susi bisa main ke rumah kapanpun. Iya kan, Kayla?” Kayla mengangguk-angguk semangat sambil memperat pelukannya kepada si Pus, “Iya, iya! Kak Susi boleh main kapan aja sama si Pus. Aku senang sekali Kak, si Pus bisa tinggal di rumahku. Jadi aku selalu punya teman main bola. Tadinya aku yang mau meminta main ke sini terus kalau si Pus dikembalikan ke Kakak, eh ga taunya…. Kakak yang akan main ke rumahku…” Kayla tertawa senang sambil tak berhenti mengelus si Pus yang mengeong manja. Mama dan Kak Susi memandang Kayla dengan senyum lebar.
Mama pamit kepada Kak Susi, “Kayla, ayo kita pamit, nanti kemalaman. Susi, terima kasih sekali lagi ya. Kami pamit dulu. Jangan lupa main-main ke rumah kami, ya.” Kayla menimpali, “Iya Kak Susi, Kayla pulang dulu ya. Besok kalau Kakak ke rumahku, kita main bola bertiga si Pus.” Susi tersenyum sambil mengelus kepala Kayla, “Iya, Kakak pasti akan main ke rumahmu. Terima kasih juga untuk Tante dan Kayla yang mau memelihara si Pus.” Mama dan Kayla berjalan ke rumah sambil melambaikan tangan kepada Kak Susi.
Kayla memandang Mama gembira karena bisa membawa pulang si Pus. Mama pun senang dengan kejadian ini Kayla belajar bahwa dengan bersikap jujur, menepati janji, dan bertanggung jawab maka kita akan mendapatkan kebaikan pula.
Siang ini udara cukup panas sehingga Mama mempunyai ide untuk bermain di dalam rumah saja. “Ayo Kayla, kamu mau menggambar apa? Ini Mama siapkan kertas sebanyak yang kamu mau dan krayon kesukaanmu,” dengan semangat Mama mengajak Kayla menggambar. Biasanya Kayla memang suka menggambar. Namun sejak ada bola merah itu, Kayla seperti kehilangan minat pada aktivitas kesukaannya itu. Kayla pun menghampiri Mama dengan langkah terseret malas, “…Engg… Aku mau main bola aja di luar. Boleh ya, Ma?” Mama memandang Kayla dan berkata, “Di luar panas sayang, nanti kamu kelelahan.” “Ayolah, Ma. Aku ga pingin menggambar, aku pingin main bola…” Kayla memohon lagi dengan wajah memelas. Mama menghela napas, tidak tega memaksa putrinya melakukan hal yang tidak disukainya. “Baiklah. Kamu boleh main di luar. Tapi, pakai dulu topi mu dan jangan terlalu lama. Kalau Mama memanggil 1 jam lagi, kamu harus berhenti bermain dan mandi ya. Oke?” Wah! Senyum lebar mengembang di wajah Kayla. “Asyik!!! Mama baik dehhh! Iya aku akan pakai topi dan masuk kalau Mama memanggilku.” Dengan cepat Kayla memeluk Mama. Mama membalasnya dengan mengelus kepala Kayla.
Kayla pun bermain bola dengan asyik di halaman depan rumahnya. Memang keluarga Kayla cukup beruntung memiliki rumah dengan halaman yang cukup luas untuk bermain. Kayla melempar bolanya ke sana ke mari. Mulai disepak seperti pemain bola, dipukul seperti pemain voli sampai dipantulkan dan dimasukkan ke jaring seperti pemain basket. Kayla senang sekali.
Ketika sedang mencoba memasukkan bolanya ke jaring basket, Kayla dikejutkan oleh suara kucing tetangga yang sedang berkelahi. Suara kucing itu memecah perhatian Kayla sehingga ia tidak memperhatikan kemana bolanya menggelinding. Ketika menyadari bolanya hilang, Kayla segera mencari ke segala penjuru di halamannya. Halaman rumah Kayla memang memiliki banyak pohon dan semak sehingga udara di rumah Kayla sejuk dan segar. Papapun hobi membawa tanaman-tanaman baru, yang karena kesibukannya, jadi terlihat kurang tertata dan tumbuh tak beraturan. Kayla tidak menemukan bolanya. Ia pun mulai mencari ke semak-semak dan sudut-sudut halaman yang tampaknya jarang dihampiri orang itu. Kayla tidak memperdulikan sarang laba-laba yang menempel di rambut dan bajunya. Tak diperhatikannya lagi kakinya yang kotor karena melangkah tanpa memperhatikan tanah yang lembab dan becek. Pokoknya Kayla bertekad menemukan bola merah kesayangannya.
Rasanya sudah lama sekali Kayla mencari bolanya, tapi kok belum ketemu. Kayla merasa lelah dan terduduk di rumput. Kayla seperti termenung mendekap lututnya. Tak didengarnya suara Mama memanggilnya untuk segera mandi. Tiba-tiba saja Kayla melihat sesosok benda berwarna merah mengintip dari semak-semak di ujung sana. “Pasti itu bolaku!” Pikir Kayla senang. Kayla pun berlari menyeberangi halaman dan mengintip ke balik semak-semak yang ternyata cukup rimbun itu. Wah! Betapa terkejutnya Kayla ketika melihat apa yang ada di balik semak-semak itu. Selain bolanya, ternyata Kayla menemukan seekor kucing kecil yang terluka kakinya. Kucing itu mengeong lemah. Ternyata suara kucing yang berisik tadi ada suara anak kucing itu yang berkelahi dengan saudaranya. Akibatnya anak kucing itu terjatuh dari tembok dan berada di semak-semak halaman rumah Kayla. Kayla memandang iba pada anak kucing itu. Ternyata kakinya terluka, jadi anak kucing itu tidak bisa melompati tembok kembali ke rumahnya.
Kayla menjulurkan tangannya dan menggendong anak kucing itu. Sejenak Kayla melupakan bola merahnya. Dielusnya kepala anak kucing yang berbulu lembut itu. Kayla tersenyum kepada anak kucing dalam pelukannya sambil berbisik, “Jangan khawatir, Pus. Aku akan mengobati lukamu.” Seakan mengerti apa yang dikatakan Kayla, anak kucing itu mengeong lembut dan menggesekkan kepalanya ke dada Kayla. Ketika hendak melangkah kembali ke rumah, Kayla berhenti sejenak dan mengingat apa yang ia lupakan. Ah iya! Bola merahnya! Kayla bergegas mengambilnya karena terdengar langkah Mama sambil berseru memanggil namanya, “Kayla, dimana kamu, Nak? Ayo mandi dulu, sudah sore.” Kayla buru-buru menjawab, “Iya, Ma…”
Ketika bertemu Mama, Kayla langsung menunjukkan anak kucing itu dengan bersemangat. “Mah, lihat! Aku menemukan anak kucing ini. Sepertinya ia jatuh dari tembok. Kasihan ya… kakinya luka… Aku ingin merawatnya, Ma. Boleh kan? Boleh ya? Ya, ya, ya?!” Mama tersenyum melihat Kayla, “Ehm… boleh saja kamu merawatnya. Tapi setelah ia sembuh kamu harus berjanji mengembalikannya kepada Kak Susi, tetangga sebelah. Bagaimanapun juga anak kucing itu bukan milik kita, Kayla. Oke?” Kayla agak kecewa mendengar syarat Mama itu, tapi agar diperbolehkan merawat kucing kecil itu, Kayla pun mengangguk. “Ya sudah, sekarang kita bersihkan luka si kucing kecil dan kita carikan tempat nyaman untuknya. Sehabis itu kamu mandi ya, sudah dekil begitu tampangmu…” Ajakan Mama disambut Kayla dengan bergegas ke dalam rumah mencari obat untuk kucing itu.
Dua minggu berlalu, kucing kecil yang dipanggil Pus oleh Kayla telah kembali lincah. Berkat kesabaran perawatan Kayla yang penuh kasih sayang luka kakinya telah sembuh. Pus juga kelihatan tambah gemuk karena Kayla selalu makan dengan lahap. Dan Kayla pun tak kalah senangnya. Sejak kehadiran Pus, Kayla selalu punya teman untuk bermain bola. Bahkan sampai Kayla lelah pun, Pus tampak masih bersemangat. Selain itu Kayla pun belajar bertanggung jawab untuk memberikan makan dan mengobati luka kaki si Pus, tentu saja dengan bantuan Mama dan Mbak Sum.
Melihat Pus yang telah sembuh, Mama mengingatkan Kayla akan janjinya, “Kayla, seperti janjimu dua minggu lalu, kalau Pus sembuh, kamu akan mengembalikannya kepada Kak Susi. Nah, sekarang Pus sudah sembuh. Maka sebaiknya segera kita antar dia ke rumahnya.” Kayla menyahut dengan sedih, “Tapi Ma, aku sayang sama si Pus, aku ga pingin mengembalikan dia kepada Kak Susi. Nanti aku ga punya teman main bola lagi.” “Kayla, kamu sudah berjanji. Maka kamu harus menepatinya. Kamu tidak mau berbohong kan? Lagi pula si Pus bukan milik kita. Coba kamu bayangkan kalau kamu adalah Kak Susi yang kehilangan si Pus. Pasti kamu akan senang jika Pus dikembalikan bukan?” Kayla tertunduk sedih, mau tak mau ia mengakui kebenaran yang dikatakan Mama, “Iya sih Ma, pasti aku senang kalau si Pus dikembalikan kalau aku jadi Kak Susi. Tapi…” Mama tersenyum bijak, “Begini saja, nanti sore Mama antar kamu ke rumah Kak Susi, untuk mengembalikan si Pus. Sekalian juga kamu sampaikan bahwa kamu sayang dengan si Pus. Pasti Kak Susi akan memperbolehkan kamu bermain sesukamu dengan si Pus.” Kepala Kayla perlahan menengadah sambil tersenyum kecil, “Betul, Ma? Kak Susi akan memperbolehkan aku bermain lagi dengan si Pus?” Mama menjawab, “Mama yakin Kak Susi akan memperbolehkan. Pasti Kak Susi senang si Pus punya teman baru yang baik hati seperti kamu. Jadi, nanti sore kita ke rumah Kak Susi ya…” Kayla mengangguk.
Sore itu, Kayla, si Pus dan Mama pergi ke rumah Kak Susi, tetangga sebelah rumah keluarga Kayla. Kak Susi sendiri yang membukakan pintu dan langsung mengenali si Pus yang dipeluk erat oleh Kayla. “Selamat sore Tante, Kayla. Hey! Itu kan si Manis, anak si Putih, kucingku… Oh, iya, maaf. Silahkan masuk dan duduk di dalam.” “Terima kasih, Susi,” sahut Mama. Sesudah mereka duduk, Mama langsung menjelaskan maksud kedatangan mereka, “Susi, Tante dan Kayla ke sini memang berhubungan dengan kucing kecil ini. Kayla, maukah kamu menjelaskan kepada Kak Susi?” Kayla berusaha menjelaskan kepada Kak Susi meski malu karena berbicara dengan orang yang lebih tua darinya. “Kak, engg…, aku ketemu si Pus, eh si Manis, di belakang rumahku dua minggu yang lalu. Aku lagi main bola, eh ada si Pus yang luka kakinya. Lalu aku obati supaya sembuh. Kata Mama kalau sudah sembuh aku harus kembaliin si Pus ke Kak Susi. Tapi… sebenarnya aku ga mau, karena aku sayang sekali sama si Pus…” Kak Susi tersenyum kepada Kayla, “Kayla, Kak Susi juga sayang sama si Pus. Terima kasih ya kamu mau mengobati si Pus. Tambah gemuk lagi dia, pasti kamu rajin memberinya makan. Sebenarnya si Pus ingin Kakak berikan kepada teman Kakak karena di rumah ini sudah terlalu banyak kucing. Tapi… setelah melihat betapa kamu sayang sama si Pus, Kakak ingin memberikan si Pus untukmu.”
Mata Kayla terbelalak kaget campur gembira, “Hah?!! Mah! Mama dengar Kak Susi bilang apa? Kak, betul si Pus boleh buat aku?!” Kak Susi mengangguk pasti. Mama pun tertawa senang, “Susi, terima kasih mau memberikan si Pus kepada Kayla. Kalau Susi kangen dengan si Pus, Susi bisa main ke rumah kapanpun. Iya kan, Kayla?” Kayla mengangguk-angguk semangat sambil memperat pelukannya kepada si Pus, “Iya, iya! Kak Susi boleh main kapan aja sama si Pus. Aku senang sekali Kak, si Pus bisa tinggal di rumahku. Jadi aku selalu punya teman main bola. Tadinya aku yang mau meminta main ke sini terus kalau si Pus dikembalikan ke Kakak, eh ga taunya…. Kakak yang akan main ke rumahku…” Kayla tertawa senang sambil tak berhenti mengelus si Pus yang mengeong manja. Mama dan Kak Susi memandang Kayla dengan senyum lebar.
Mama pamit kepada Kak Susi, “Kayla, ayo kita pamit, nanti kemalaman. Susi, terima kasih sekali lagi ya. Kami pamit dulu. Jangan lupa main-main ke rumah kami, ya.” Kayla menimpali, “Iya Kak Susi, Kayla pulang dulu ya. Besok kalau Kakak ke rumahku, kita main bola bertiga si Pus.” Susi tersenyum sambil mengelus kepala Kayla, “Iya, Kakak pasti akan main ke rumahmu. Terima kasih juga untuk Tante dan Kayla yang mau memelihara si Pus.” Mama dan Kayla berjalan ke rumah sambil melambaikan tangan kepada Kak Susi.
Kayla memandang Mama gembira karena bisa membawa pulang si Pus. Mama pun senang dengan kejadian ini Kayla belajar bahwa dengan bersikap jujur, menepati janji, dan bertanggung jawab maka kita akan mendapatkan kebaikan pula.
Langganan:
Postingan (Atom)