Minggu, 06 Maret 2016

Ava dan Pepper

Ternyata buku kedua di tahun ini cukup cepat juga saya selesaikan. Judulnya adalah Di Tanah Lada oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, yang saya akan singkat jadi Z.Z. Cerita ini adalah Pemenang II Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Saya tertarik membeli buku ini bukan karena titel pemenangnya tapi karena ketika membaca sinopsisnya di bagian belakang buku terlihat topik yang cukup unik serta sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang seorang anak.

Ketika saya membaca halaman-halaman awal, saya tahu penulis ini sungguh one of a kind, karena berani menulis secara sederhana dan mengambil hal kecil yang mungkin tidak banyak orang sadari dan tertarik. Yaitu sudut pandang seorang anak perempuan. Cara penulisanpun sangat konsisten menjaga alur dan ciri khasnya dari awal sampai akhir, dari cara memilih nama-nama panggilan setiap tokoh di dalamnya, cara memasukkan konsep-konsep khas untuk memberikan kesan kuat akan tokoh utama yang menceritakan kisahnya, dalam hal ini hobi dan cara pikir Ava yang selalu mengartikan segala sesuatu melalui pemahaman verbal. Yang mungkin semakin menarik buat saya untuk membaca, karena sayapun sering terpesona dengan arti kata-kata.

Semakin membaca, saya semakin merasa bukan suatu kebetulan saya memilih buku ini, meski waktu itu saya sedang rajin membisiki ke diri saya untuk berhemat dan tidak membeli tambahan buku lagi, karena di rumah sudah bertumpuk banyak buku yang belum dibaca. Saya merasa buku ini datang secara indah tapi getir di saat yang sama, karena ternyata topik buku ini adalah penghayatan seorang anak yang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), topik yang menjadi ranah kerja saya selama ini. Disini seorang ZZ mampu menggambarkan secara membumi mengenai penghayatan anak-anak yang selama hidupnya tidak mengalami kasih sayang dan hanya dicaci sert dikucilkan. Sehingga ketika cinta itu datang, mereka merasa sangat posesif dan tidak mau melepaskan.

Kegetiran-kegetiran kekerasan yang dialami Ava, si anak perempuan sebagai tokoh utama, dari Papanya digambarkan secara jelas dari sudut pandang khas anak-anak yang sederhana dalam mengambil kesimpulan sebab akibat.
" Papa juga kesal kalau melihatku. Padahal, kadang-kadang aku tidak melakukan apa-apa. Kurasa, berarti semua Papa memang seperti itu. "
Dan ternyata tidak hanya Ava yang memiliki kondisi yang kurang lebih sama, seperti fakta pahit dalam hidup ini bahwa sungguh banyak anak-anak yang terpaksa hidup dalam kubangan kekerasan, Ia bertemu dengan P, seorang anak di Rusun Nero, tempat tinggal Ava yang baru. Pertemuan dengan P membuat Ava dan P saling menguatkan persepsi mengenai kondisi kehidupan mereka. Tampak bahwa logika bertumbuh di diri anak-anak, bahwa anak adalah subjek, bukan objek.
"Iya. Papaku jahat sih, Aku sudah biasa."
"Oh ya? Papaku juga jahat, kok. Mungkin semua Pap memang jahat."
"Iya juga. Tapi kamu juga kan nanti jadi Papa. Nanti kamu juga jahat, dong?"
"Kalau begitu aku nggak mau jadi Papa, ah. Aku nggak mau jadi jahat."
"Kamu jadi kakek saja. Kakek Kia baik, soalnya."
"Boleh, aku jadi Kakek saja. Kamu jadi nenek ya?"
"Nggak, ah. Aku mau jadi mama. Mama aku baik, soalnya."
" Oh, ya? Mama aku jahat."
"Masa?"
"Nggak tahu. Tapi kata Papa, sih, dia jahat. Kalau orang jahat bilang orang lain jahat, berarti orang lain itu lebih jahat dari orang jahat itu, kan?"
"Aku nggak mengerti."
"Ya sudah."
Sampai bagaimana sulitnya bagi kedua anak ini memahami kejadian-kejadian di sekitarnya. Misalnya pendapat Ava mengenai Mamanya.
"Kuharap Mama tidak terlalu penurut, jadi dia tidak menuruti Papa terus. Papa tidak boleh dituruti. Kata Kakek Kia, tidak boleh menuruti setan. Papa kan setan."
Lalu pendapat Ava dan nalar P mengenai keputusan yang dibuat Mama yang pada akhirnya bercerai dengan Papa, yang ternyata sangat rumit untuk mereka.
"Mama sama Papa kamu mau cerai, tahu?" kata P lagi.
Lalu, dia memandangku. ... "Kenapa?"
Dia mengangkat bahu, "Aku dikasih tahu Mas Alri. Tapi nggak tahu kenapa. Mungkin karena Papa kamu jahat."
Aku berpikir, itu memang benar,"Tapi kan Papa jahatnya dari dulu. Kenapa pisahnya baru sekarang?"
"Nggak tahu. Mungkin karena kalau dulu, Papa kamu punya rumah bagus dan kerjaan yang bagus. Sekarang, dia mau judi saja."
"Terus kenapa?"
"Jadi, kalau dulu Mama kamu cerai, dia bisa kehilangan rumah dan uang dari Papa kamu. kalau sekarang, nggak kehilangan apa-apa. Soalnya, rumahnya sudah nggak ada. Uangnya juga semakin habis."
Dia blang, "Kan, dulu kamu pernah bilang alasan Mama kamu kabur ke hotel. Sama saja seperti ini, kan alasannya?"
Aku mengangguk, "Jadi mereka cerai karena Papa ga punya uang lagi?"
"Kayaknya sih begitu, Biasanya sih, begitu." "Jadi, cerainya bukan karena Papa jahat, dong?"
"Hmm, bukan."
Begitulah mereka berdua saling menguatkan satu sama lain, meski baru berkenalan secara singkat. Bahkan ketika Ava harus "kabur" dari Rusun Nero bersama Mamanya, akibat Papanya Ava mengamuk sedemikian rupa, Ava terdorong untuk kembali ke Rusun Nero "hanya" untuk bertemu P kembali. Beberapa orang menyatakan ini seperti cinta monyet, cinta masa kanak-kanak. Mungkin ada benarnya. Namun saya lebih melihat bahwa tampak bahwa anak (kita) akan sangat lengket pada orang yang memahami dan melihat dunia 'sama' dengan kita. Apalagi kondisi si anak (kita) kekurangan sumber kasih sayang tulus yang ajeg. Disitulah akar dari magnet yang tercipta di antara P dan Ava, saya pikir.

Jalinan cerita cukup ketat dan menarik untuk terus diikuti. Dan ada titik-titik gemas dimana saya ingin cerita ini normal saja dan happy ending. Terutama ketika Ava dan P melarikan diri dan pergi ke tempat-tempat yang jauh dari orang-orang dewasa yang menyayangi mereka. Entah karena memang saya mengidentifikasikan sebagai orang dewasa yang peduli dengan mereka, entah karena saya memilikirkan harapan saya ketika anak saya diposisi mereka. Begitulah manusia selalu mengidentifikasikan kejadian dengan dirinya. Namun seperti semua kejadian dalam hidup, dalam pelariannya, Ava dan P bertemu dengan banyak orang yang mengajarkan mereka bahwa banyak karakter baik yang bisa menyayangi anak-anak secara tulus. Seperti ketika mereka bertemu Pak Tukang Sate dan Ibu Tukang Sate. Setidaknya mereka menemukan sosok-sosok yang berbeda dengan yang biasa mereka alami. Begitulah, anak sangat membutuhkan role model, sosok contoh yang hidup dan walk the talk, mempraktekkan apa yang ingin diajarkan dan disampaikan kepada anak. Kasih sayang dalam bentuk nyata.

Nafas lega akan muncul di beberapa titik cerita karena tampak P dan Ava akan memiliki hidup yang baik dan sehat sebagaimana mestinya. Namun tidak di cerita ini.

Cerita ini mengajarkan juga bahwa sering kali orang dewasa lengah tanpa maksud khusus, kepada anak-anak. Orang dewasa memberikan penalaran, yang memang sudah semestinya sebagaimana tugas orang dewasa. Namun di selah-selah keputusan itu, sering kali orang dewasa terlalu lelah untuk memeriksa dan mengklarifikasi apakah si  anak-anak tersebut telah memiliki rencana dan persepsi khas mereka sendiri. Itulah yang terjadi di cerita ini bahwa orang dewasa "kalah" dan gagal memahami penghayatan anak-anak. Dimana orang dewasa gagal memberikan dunia anak yang sehat.

Cerita ini sangat direkomendasikan bagi siapapun yang prihatin dan bekerja di isu anak untuk memahami penghayatan anak dalam sikon KDRT serta kemiskinan yang membelitnya, dimana anak mendapatkan pengalaman traumatis dalam segala bentuk-bentuk kekerasan dan penelantaran. Meski seperti yang diungkapkan di halaman 225 buku ini mengenai alasan :
"Alasan itu ada. Kadang-kadang tidak masuk akal. Kadang-kadang, mengada-ada. Kadang-kadang, tidak pernah kita ketahui. Tapi, pasti ada."
Namun semakin saya mempelajari kasus-kasus kekerasan anak, tampaknya tidak ada alasan yang membenarkan untuk membiarkan kekerasan anak.

Terus terang, akhir cerita ini sangat mengenaskan dan saya jadi memikirkan si penulis, apakah dia berada dalam keadaan yang baik-baik saja... karena sering kali cerita kita adalah refleksi hidup kita. Saya harap tidak untuk cerita ini.

Sabtu, 05 Maret 2016

Alasan-alasan

Manusia berpikir, menemukan penjelasan-penjelasan.
Menentukan alasan utk semua yang terjadi.
Mencari hubungan di antara ketidakjelasan
Agar terang dan aman
Namun proses pencarian alasan malah sering membuat tersesat krn kadang bercampur baur dg niat yg kurang murni dan sering menyalahi kemanusiaan

Alasan-alasan bertebaran di.kepalaku
Bertanya, menganalisa, menautkan satu sama lain, melahirkan tindakan yg kuharap berguna
Kadangpun aku tau alasan2 hanya alasan yg tak berguna, membuat stagnan saja

Manusia berpikir maka dia ada, begitu sang filsuf menyatakan
Manusia mencari penjelasan n berpikir dan dunia pun berputar.....

Persahabatan

Bertemu mereka sore tadi. Selalu menghangatkan jiwa. Saling berbagi dan belajar ttg cinta dan cita, ttg hidup.

Dunia mungkin luas, mungkin berjuta orang yg kau temui, tapi hatimu jiwamu tau siapa yang kita sebut sahabat.

Peluks satu2.