Senin, 01 Juni 2009

Kerinduanku

Kucoba pendam rasa itu, tapi ternyata masih terus mengganggu sampai sekarang. Aku ingat ketika aku berusia 12 tahun. Yaitu persis ketika aku baru saja dinyatakan lulus dari pendidikan dasar 6 tahun pertama. Pendidikan menengah pertama sudah menunggu di depan mata. Namun hatiku memperhatikan hal lain dari pada peristiwa kelulusan itu. Aku terpesona melihat setelan putih-putih yang melambai anggun. Aku tetap terbius oleh kata-kata bijak nan menghibur yang diucapkan bibir sang idola. Aku tetap merasa selalu rindu untuk bertekuk lutut bersamanya di dalam rumahNya. Aku… Ah, apa yang ingin aku sampaikan terus menggema dalam hati saja… tampaknya belum mampu aku nyatakan dengan lantang.


Sampai tahapan pendidikan lanjutan atas pun aku selesaikan. Namun, tahapan selanjutnya menjadi tanda tanya. Mengingat aku seakan belum memiliki pilihan minat seperti kebanyakan teman-temanku. Orang tuaku tampak sedikit khawatir. Mereka berulang kali menasehatiku agar cepat memutuskan jurusan apa yang aku ingin pilih untuk kuliah nanti. Mengingat ijazah kelulusan telah terpegang. Dan khawatir bermacam universitas, yang telah mulai menjajakan berbagai jurusannya, akan terlanjur tutup dan aku menganggur. Hatiku gundah. Seakan mencari penerangan yang aku tak tahu ada dimana. Mengapa kepastian tidak juga datang kepadaku? Mengapa aku merasa tidak cukup puas jika aku nantinya berprofesi di bidang ekonomi, seperti yang banyak temanku pilih? Mengapa aku merasa kurang afdol kalau akhirnya aku hanya menyandang gelar kesarjanaan? Sebenarnya apa yang aku inginkan? Aku selalu bertanya… namun tak ada jawaban yang kudapatkan. Memang, aku seorang yang sulit mengungkapkan perasaan-perasaan mendalam ini. Yang aku tahu, aku merasa damai ketika bercakap dengan seseorang yang tinggal di sebuah biara. Ya, dia adalah seorang biarawati, yang biasa kusapa dengan sebutan Suster Flo.


Aku mengenal Suster Flo sejak aku kecil. Kepadanya lah aku menceritakan semua cerita keseharianku. Dengannya aku merasa aman dan tentram. Suatu ketika, ia bertanya, apakah aku memiliki kerinduan untuk terus berada dekat denganNya? Waktu itu, dengan kepolosanku, aku hanya menjawab, bahwa kerinduan itu selalu ada, namun aku sudah cukup senang bila bisa aktif di rumahNya dan bersahabat dengan Suster Flo. Maka Suster Flo tak lagi membicarakan tentang hal itu kepadaku.


Pada suatu sore, aku tengah sangat bingung. Esok aku harus memberi keputusan mengenai jurusan yang akan kujalani di waktu kuliah nanti. Langkah kakiku tak urung memutuskan kemanakah akan melangkah… seakan mencari tempat yang tepat untuk mendapat jawaban ini. Tiba-tiba, secara otomatis kakiku berjalan ke arah rumahNya, yang selalu kuanggap rumah kedua. Di sana, aku langsung menemui sosok akrab itu sedang berlutut takzim di dalam rumahNya. Suster Flo sedang menjalankan ritual doa sorenya. Aku turut berlutut di sampingnya. Menutup mataku, merasakan kedamaian merasukiku perlahan. Setelah selesai mengucapkan doa yang tak terkatakan, aku membuka mataku. Melihat tatapan kasih yang tak berkesudahan dari Suster Flo.


“Ada apa, Rin?” tanyanya lembut.


“Sus, aku ingin menjadi seperti Suster..” kataku dengan datar…


Aku terkejut sendiri mendengar pernyaataanku tadi. Seperti bukan aku yang mengucapkannya.


“Wah, betulkah apa yang kamu katakan tadi, Rin…?” tanya Suster Flo setengah tidak percaya akan pendengarannya.


“Suster, aku tidak tahu… dari mana aku mendapatkan kata-kata tadi… tapi ya, aku rasa aku sungguh-sungguh.


Aku selalu merasa damai di sini. Di rumahNya. Aku selalu merasakan bisa terbang tinggi menyebarkan kasihNya jika aku seperti Suster…” kataku dengan napas memburu seakan takut semua kata-kata itu hilang dan tak sempat tercurahkan.


“Nak, mari kita berdoa bersama. Agar Ia menguatkanmu. Mari … “ katanya bijak, sambil mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menyambut tangannya, seakan menyambut tanganNya untuk secara penuh memantapkan pernyataanku tadi. Aku menutup mata, membiarkan keimanan sang Suster membimbingku dalam kata-kata indah kepadaNya. Berisi sejuta harapan yang mengokohkan keinginanku yang selama ini terpendam.


Kami telah selesai bercakap denganNya. Kulepaskan tanganku perlahan dari tangan Suster Flo. Aku duduk dalam diam. Aku menarik napas sambil menengadah menatap salibNya. Moment seperti ini selalu membuatku terharu.


Suster Flo mengelus punggungku.

Ia berkata, “Pulanglah Rin. Ayah dan Ibumu harus kamu beritahu tentang keputusanmu ini. Suster yakin, mereka pasti bahagia. Meski ini adalah hal yang baru bagi mereka. Besok kita bicarakan lagi mengenai rencana selanjutnya. Bagaimana, Rin?”


Aku mengangguk, dan perlahan senyuman melebar di wajahku. Ya, aku bahagia sekarang. Semua pertanyaan dan kegundahan hatiku terjawab sudah. Aku akan menuju ke jalanNya. Ya, itulah pilihanku… Suara hatiku… Kerinduan jiwaku…


Kakiku terasa ringan sekarang. Aku berjalan pulang sambil melambai riang kepada Suster Flo. Aku akan menyampaikan berita ini kepada orang tuaku. Semoga mereka sama bahagianya denganku…

Tidak ada komentar: