Senin, 06 April 2009

Hanya Selewatan...

Kata orang cinta pertama tak akan terlupakan. Mungkin mereka benar. Buktinya sampai sekarang, setelah 18 tahun setelah cinta monyet itu berlalu, aku tetap mengingat pacar pertamaku. Tapi yang bikin aku penasaran bukan dia. Tapi dia yang berikutnya, pacar keduaku. Pacar pertama yang serius. Dengannya aku merasakan naik turunnya perasaan orang berpacaran, tidak seperti pacar cinta monyet itu yang cenderung datar... Di dalamnya aku merasa takut kehilangan, cemburu, posesif dan juga belajar utk menjd lebih dewasa dalam menjalin hubungan.

Entah kenapa, tiba-tiba di tahun keempat pernikahanku kali ini aku teringat dia. Padahal suamiku sudah pasti lebih baik untuk dia. Makanya aku menikahi suamiku bukan dia. Iya, kan? Nah, apa ya yang membuat aku teringat lagi dengannya? Aku bertanya-tanya sendiri. Bukan, bukan rasa spesial yang tumbuh kembali. Bukan, bukan rasa marah karena perlakuannya kepadaku. Juga bukan rasa sedih karena cinta kami yang putus setelah dijalin bertahun-tahun lamanya. Tapi... karena aku merasa ada unfinished bussiness dengannya. Aneh kan... kedengarannya kayak hantu penasaran yang gentayangan di film-film horor saja...

Tapi itulah yang sering muncul di pikiranku belakangan ini. Pernah beberapa kali, ketika aku sedang asik di salah satu situs pertemanan yang lagi booming itu, Buku Wajah, aku coba mencari namanya menggunakan alat pencari teman yang tersedia. Namun nihil. Aku juga coba browse ke berbagai account teman2 nya yang seangkatan dengan kami di kuliah dulu, tapi ga ada juga. Atau bahkan iseng mencari namanya di list alumni pada web bekas kampusku dulu. Di situ aku cuma menemukan nama dan alamat email jadulnya. Intinya dia raib ditelan bumi, nampaknya. Maka aku pun masih saja penasaran kemanakah perginya dia itu? Tanpa tahu apa yang akan dilakukan jika sudah bertemu lagi dengannya. Apakah ingin marah, ya ga mungkin... bisa-bisa mencoreng muka sendiri... Apakah ingin nangis, ya lebih ga mungkin, wong aku ini cukup jaim sama orang lain. Apakah ingin berdiskusi atau minta pendapat ttg persoalan kita yang aku anggap unfinished? Hem... sounds not like me too... ga penting gitu loh... ;)

Tapi, meski aku sadar semua itu ga penting, ga ada alasan yang cukup memadai secara logika untuk bertemu lagi dengannya, aku tetap penasaran ingin mengetahui kabarnya.

Pagi itu, seperti biasa aku duduk di meja kerjaku. Laporan yang harus kubuat sudah menumpuk menanti dibaca dan diterjemahkan ke dalam kata-kata analisa. Tapi otakku masih buntu. Teringat anakku di rumah yang menangis saat kutinggal tadi. Entah kenapa, biasanya anakku tidak rewel seperti tadi pagi. Biasanya dia akan melambaikan tangannya yang mungil ketika aku pamit untuk pergi kerja. Namun tadi pagi, tangisnya meledak ketika aku berkata bahwa Mama akan pergi kerja dulu. Bujukan dan rayuan si Mbak tetap tak manjur meredakan tangisannya. Ia baru agak tenang ketika aku memberikan salah satu boneka kesayangannya sebagai ganti kehadiranku. Aku berkata kepadanya dengan hati yang cukup merasa bersalah, "Nak, Mama kerja dulu untuk beli susu. Kalo kangen sama Mama, peluk saja si Teddy ini. Nanti sore, Mama akan pulang dan main lagi sama kamu. oke...?" Tangisannya mereda begitu menerima si beruang Teddy di pelukannya. Meski senyuman dan lambaian cerianya tak nampak juga, aku harus segera berangkat supaya catatan keterlambatanku di kantor tidak bertambah lagi.

Aku enyahkan sejenak pikiran tentang anakku itu. Aku fokuskan diriku ke semua laporan yang menumpuk. Satu jam, dua jam, aku lalui dengan sukses. Lumayan, sudah selesai tiga laporan dari sepuluh yang harus kukerjakan hari itu. Hem, rasanya sudah saatnya untuk jam makan siang, nih. Kulihat jam, yap! betul, sudah jam 12 siang. Aku pun tersenyum lega. Temanku yang di duduk bersebelahan denganku sampai menatapku heran. Ah, biarlah. Saat ini aku malas mengobrol dengan siapapun. Aku hanya melewatinya dan berkata, "Aku makan dulu, ya. Daahhh...!"

Aku harus menggunakan lift untuk turun ke kantin kantorku di lantai pertama. Gedung tempat kantorku memang ditempati oleh beberapa kantor dengan jenis perusahaan yang berbeda-beda. Jadi, lantai pertama, yang berisi berbagai layanan umum, seperti bank dan kantin makan menjadi tempat yang selalu ramai oleh berbagai pegawai dari profesi yang berbeda-beda. Terutama pada jam istirahat seperti sekarang ini. Lihat saja sekarang. Di depan ATM, sudah sekitar sepuluh orang mengantre. Dari para pegawai bank yang rapi jali sampai pegawai biro periklanan yang meriah warna-warni. Aku langsung menuju ke kantin favoritku. Aku senang makan di kantin ini karena menunya makanan rumah dan harganya tentu ga bikin terlalu dalam merogoh kocek. Rasanya pun, memuaskan perut dan jiwa petualang kulinerku ;)

Aku memilih nasi, pindang bandeng, dan tumis kacang panjang, serta sambal tentunya. Aku pun memilih tempat duduk cepat-cepat, takut tidak kebagian tempat duduk. Aku tak memperhatikan di sebelah siapa aku duduk. Aku cuma melihat sekilas, di sebelah kiriku adalah seorang pria berkemeja lengan panjang putih dan celana panjang hitam. Di sebelah kananku adalah seorang perempuan yang tampak sibuk mengobrol cekikikan dengan seorang temannya.

Aku pun menekuni makananku. Asyik menikmati gurihnya ikan bandengku dan segarnya sambal dan tumis kacang panjang kesukaanku. Sesekali aku melihat ke arah jendela besar di depanku. Menyaksikan beberapa mobil lalu lalang di jalan raya.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah suara dari sebelah kiriku, yang dari tadi tak kuperhatikan sama sekali. "Halo, kamu kelihatan masih sama dengan yang dulu, ya..."

Duh... tak kuasa detak jantungku langsung terpacu bak pelari marathon. Mataku perlahan bergeser melihat ke arah sumber suara itu. Ketika aku bertemu matanya, badanku lemas layaknya tak bertulang. Mulutku tak kunjung menyuarakan apapun.

"Apa kabar, kamu?" tanya suara itu lagi.
"Baik. Kamu?" akhirnya suaraku kembali dari antah berantah.
"Baik." katanya lagi

Hening menyelusup di antara kami lagi.

"Kamu kerja di sini?" katanya memecah keheningan.
"Iya, di lantai tiga..." jawabku menggantung, masih melihat ke arah piringku.
"Aku kerja di lantai lima." ujarnya lagi, seperti mencari-cari bahan pembicaraan.

"Anakmu sudah berapa orang?" tanyanya lagi, kali ini berusaha untuk benar-benar menatap mataku.
"Anakku baru satu, sudah hampir berusia 4 tahun. Kamu, gimana... sudah punya anak?" tanyaku kembali, memberanikan diri menatap matanya.
"Aku belum menikah. Masih sibuk berkarir." katanya agak datar, seperti menyimpan pesan tersembunyi.

Kali ini tampak ia hilang kata, menekuri piringnya yang sudah kosong. Lalu ia mengambil sesuatu di kantongnya. Sebuah kartu nama. Disodorkan kartu nama itu kepadaku. "Ini kartu namaku, simpanlah. Siapa tahu kamu ingin menghubungiku. Aku harus kembali ke kantor. Sampai ketemu lagi, ya. Senang bertemu denganmu."

Ia pun langsung berdiri dari kursinya, berhenti sejenak untuk membayar makanannya, dan keluar kantin tanpa menoleh sekalipun. Punggungnya memberikan kesan sepi.

Aku masih terdiam, layaknya patung memandangi kartu nama yang terletak di samping piringku. Piringku ternyata belum banyak berkurang. Sebab semenjak suaranya berkata, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku cepat-cepat memasukkan makanan sebisanya. Aku melirik jam tanganku, sudah 10 menit lagi menuju jam satu. Sejenak aku lupa akan kartu itu dan kehadirannya yang lalu. Ketika aku beranjak dari kursiku, aku pun mengingat adanya kartu itu. Dengan ragu, aku mengambilnya, memasukkannya ke dalam dompet besarku. Aku membayar makananku dan secepat mungkin kembali ke meja kerjaku di atas. Setumpuk laporan membayang di dalam otakku. Namun semua beban pekerjaan itu dibayangi sosoknya dan percakapan singkat kami di kantin. Sampai sore menjelang waktu pulang tiba, semuanya masih terputar bak kaset rusak, berulang-ulang dan membuatku mati rasa.

Kuberhentikan taksi untuk mengantarku pulang. Rasanya kaki ini sudah tidak kuat jika harus berjuang menaiki busway yang biasa mengantarku ke rumah. Kali ini, aku butuh kenyamanan sebuah taksi. Di taksi, kupejamkan mataku dan bertanya pada Tuhan... mengapa aku harus bertemu dengannya hari ini. Dan mengapa ternyata dia ada di dekatku, berada satu gedung perkantoran dengan kantorku. Berarti setiap hari dia ada di dekatku. Ya ampun... creepy juga...Maklumlah aku tipe orang yang percaya pada nasib dan insting. Dan instingku berkata ada sesuatu yang akan terjadi lebih dari percakapan singkat hari ini. Tak perlu waktu lama, instingku terbukti. Telpon genggamku berdering. Kulihat nomer yang tertera di layar. Nomor yang tak ada di memori telponku.

Kupencet tombol penerimaan telpon, kusapa penelpon tak dikenal itu, "Halo..".
"Halo..." balas yang di sana.
Astaga... suara itu lagi, suara yang mengganggu bak kaset rusak sejak siang tadi...
"Ya... ada apa?" kataku mendadak agak gusar oleh telponnya yang tiba-tiba itu.
"Apa aku boleh mengobrol denganmu?" jawabnya.
"Boleh... tapi aku sebentar lagi sampai rumah. Jadi tidak bisa mengobrol terlalu lama." entah mengapa aku tidak ingin berlama-lama mengobrol dengannya, mungkin karena memori masa lalu yang tidak mengenakkan dengannya.
"Ok, aku tak akan lama. Aku cuma ingin kamu tahu, apapun yang kamu masih pikirkan tentang hubunganku dengan perempuan lain, semasa kita pacaran dulu, adalah tidak benar. Maafkan aku kalo aku membuatmu sakit hati." katanya langsung mengutarakan isi hatinya.
Aku terpekur memegangi hp-ku, kaku.
" Oke..." cuma itu yang bisa kukatakan padanya.
"Oke... kalau begitu sampai jumpa" katanya sedikit hampa, mematikan sambungan telpon itu.
Aku pun perlahan memencet tombol hp utk melakukan hal yg sama.
Sejenak ku menutup mata, entah ingin mengenyahkan apa.

Tak terasa taksi telah meluncur ke depan rumahku. Kubayarkan ongkos pulangku kepada sang supir, sembari menggumankan kata terima kasih. Kubuka pintu taksi, kuhirup udara segar khas sesudah hujan. Memasuki rumahku, semua pengalaman hari ini di kantor, pun pertemuan dan sambungan telpon tak biasa tadi itu, menguap entah kemana. Biarlah awang-awang rumahku yg menyimpan semuanya. Suara si kecilku dan kesibukan rutinitas malam kembali menenggelamkanku dengan asiknya. Ah, biarlah... tak ada lagi yg lebih penting dari si kecil sekarang.

Memori hari itu plus pembicaraan yg kurasa tanpa arti setelah sekian lama ia menghilang, rupanya tidak terhapus begitu saja. Pagi hari datang bahkan dengan mimpi tentang hal itu. Hah! Betapa menggelisahkan pemikiran dan mimpi semacam ini. Sudah kucek terakhir kali, sudah tidak ada dendam, apa lagi rasa kebalikannya, rasa sayang padanya. Tak perlu tokh, ia kembali mengganggu pikiranku?

Maka, karena mendadak aku capek dengan semua ini. Aku putuskan untuk menetralisir perasaanku dan mengusir semau rasa ingin tahuku tentang dia. Seperti menghapus semua file tentangnya di hardisk otakku, bahkan sampai menghapusnya permanently dari recycle bin. Pokoknya, aku hilangkan semua rasa tentangnya. Biarlah matahari datang, menguapkan semuanya itu. Dan sambil menyilangkan jari dan berdoa dengan sungguh, aku menarik napas sedalam yg kubisa.

Seperti mendapatkan energi baru, aku melangkah ke dalam gedung kantorku. Bersiap bertemu sosok yg sedang kunetralisir. Berusaha membuktikan bahwa aku adl orang yg baru bila bertemu dengannya. Membuktikan semua usaha ini dan rasa ini ada hasilnya... bahwa aku bisa mengendalikan diriku.

Memasuki lift, kubiarkan diriku relaks sebentar dr semua usaha itu. Namun ternyata, di sinilah moment itu ditakdirkan hadir, utk membuktikan semuanya. Kupikir lift sudah berangkat ke lt.3 tempatku bekerja, namun ternyata ia masih di lt.1 mengisi sampai full sejumlah karyawan menuju ke berbagai level. Dan, ia pun termasuk di dalamnya. Namun, ia tampaknya tak tau aku ada. Maka, ketika lift berhenti di lt.3, aku pun mendesak keluar. Demi membuktikan kenetralan perasaanku dan memuaskan ego, aku mencoleknya selewatan dan berkata santai "Aku duluan ya..." Dia tampak sedikit kaget, namun dengan setengah tersenyum, ia melambaikan tangannya.

Aku melangkah ringan ke meja kerjaku... sambil bersenandung riang... merasa puas akan diriku sendiri yg sudah berhasil mengenyahkan apapun perasaan yg tengah menggangguku sejak kemarin... Yg jelas, saat ini, entah darimana, aku yakin seyakin2nya... aku sudah relieve... sudah let go... sudah selesai dengan apapun unfinished bussiness yg tadinya aku anggap masih ada padanya... Entah kenapa kejadian singkat di lift sudah cukup menyelesaikan itu... dan aku sangat lega karenanya..

Ternyata yg dibutuhkan utk menjawab semua keingintahuanku adalah hanya sebuah pertemuan yg membuat kaku, sebuah percakapan telpon yg kayaknya ga penting, sebuah sekelebatan colekan di lift dan tentu sebuah hati yg ingin lepas dr bayangan masa lalu. Sebuah diri yg ingin mengambil kembali kendali dari semua pertanyaan. Jadi... biarlah rasa penasaranku akhirnya berlalu, krn memang inilah saatnya utk berlalu... Dan sekarang, perlahan namun pasti, aku pun bisa tersenyum menertawakan betapa lucunya aku dengan rasaku itu beberapa hari yl...

Dan aku kembali menikmati duniaku... tanpa ada lagi perasaan menggangu itu. Tks God.

1 komentar:

ella mengatakan...

Tes tes