Minggu, 30 April 2017

Ini tentang Ahok atau Saya ?

Sejak Jokowi dan Ahok maju sebagai pasangan pimpinan DKI Jakarta 5 tahun yang lalu, kegemparan tampak terjadi di Indonesia. Iya, Pilkadanya di DKI tapi yang gempar seluruh Indonesia. Tidak seperti Pilkada DKI sebelumnya. Memang sih, DKI kan ibukota negara tapi ya memang dua sosok ini fenomenal karena sama-sama melawan arus dari sosok pimpinan dan pejabat serta politisi yang lain. Mereka bersih alias anti korupsi, berasal dari masyarakat awam alias non militer, bahkan Ahok adalah minoritas dari segi agama dan ras nya serta asal daerahnya alias Kristen (Non Muslim), keturunan Cina dan berasal dari Belitung (non Jawa). Semua karakter ini lengkap menjadikan mereka Liyan, orang asing, orang yang berbeda dari yang biasa. Ketika ada orang berbeda maka reaksi sekelompok orang biasanya menolak karena merasa terancam. Apalagi dua orang asing ini ingin menjadi pemimpin, tentulah terjadi penolakan yang membuat gempar. Ditambah dunia silat politik Indonesia memang selalu dipenuhi intrik ego dan kepentingan golongan yang tak pernah habis nya. Satu aksi politik yang melawan HAM ditutupi oleh aksi lain yang semakin rentan menodai kemanusiaan dan keadaban Indonesia. Ingat kan penemuan Alan Nairn, yang di sisi lain masih terus dikritik akibat penelitiannya yang cenderung subjektif. Namun fakta adalah fakta yang tidak dapat disangkal.

Dengan segala perjuangan dan kontroversi, Jokowi akhirnya bisa menjadi presiden. Dan Ahok memimpin Jakarta. Dan hal ini yang ingin saya sorot. Mengapa? Karena dampaknya sangat luas dan mengena buat saya pribadi.

Ahok memimpin Jakarta dengan cara baru yang belum pernah dilakukan oleh pemimpin Jakarta sebelumnya. Meski tidak semua rencana pembangunan adalah baru, namun Ahok langsung membawa perubahan-perubahan nyata. Beliau bekerja tanpa basa basi khas orang Jawa kebanyakan. Bahkan gaya marah-marah beliau menjadi viral dan menjadi momok baru bahwa Ahok itu galak bahkan banyak yang berpendapat Ahok itu kasar. Dan sikap ini menunjukkan beliau galak pada orang-orang yang tidak berfungsi dengan benar sesuai tugasnya di pemprov. Jika ada yang kurang benar bekerja, tidak segan-segan akan dipecat oleh Ahok. Begitu tegasnya sehingga banyak yang merasa sakit hati dan tidak cocok dengan gaya beliau memimpin ini. Kalau saya pribadi jika konten marah-marahnya dan kegalakannya ada alasan yang tepat, saya sih bisa menerima. Masak kejadian salah dibiarkan saja. Tidak ada pembelajaran dong.

Dan tentu saja aksi galak ini diikuti dengan kerja langsung mengeksekusi dan membuat beragam sistem serta program yang membawa pembaruan. Buktinya, di tahun keempat beliau memerintah, sungai Jakarta menjadi lebih bersih, titik banjir turun drastis, banyak pembaruan sistem transportasi, sistem budgeting yang transparan sehingga mengurangi kutipan liar pada pelayanan masyarakat, peningkatan kinerja aparat pemerintah, peningkatan kualitas pelayanan, peningkatan kebersihan kota, penambahan SDM penjaga kualitas kota (sebut saja pasukan oren, pasukan ungu dan lainnya) yang juga menyerap tenaga kerja, KJP, BPJS, perbaikan pra sarana kesehatan, dan sebagainya yang banyak sekali. Kekurangannya? Ada juga. Tentu Ahok bukan Superman. Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa Ahok memiliki gaya bicara ceplas ceplos yang ternyata masih sulit diterima banyak orang di Jakarta yang notabene kota yang keras ini, lalu proses normalisasi sungai yang menuntut relokasi sejumlah warga ternyata diindikasikan terjadi proses yang kurang ramah mengkomunikasikan kepada warga setempat sehingga Ahok banyak dituduh melawan HAM ketika menggusur mereka, lalu isu hot lainnya adalah tentang Reklamasi yang membawa tuduhan bahwa Ahok berpihak dengan banyak pengusaha tionghoa yang akan diuntungkan jika Reklamasi dijalankan. Isu relokasi warga yang dianggap penggusuran dan isu reklamasi ini memang kasus yang kompleks dan saya tidak akan membahasnya disini. Disini saya hanya memaparkan bahwa dari sudut pandang saya Ahok banyak kerja tapi juga ada kekurangannya atau sisi yang perlu ditingkatkan.

Salah satu kasus yang semakin atau bahkan membuat Ahok cukup terpuruk adalah tuduhan penistaan agama Islam. Hal ini terjadi akibat adanya pernyataan Ahok yang mengaitkan salah satu ayat Al Maida yang dianggap Ahok menjadi alat pembohongan kepada rakyat untuk tidak memilih pemimpin non muslim, alias Ahok. Pernyataan ini tidak membuat marah rakyat di Pulau Pramuka saat itu, namun justru menjadi kasus penistaan setelah bergulir potongan video oleh Buni Yani. Peradilan pun dilaksanakan dengan diikuti sejumlah aksi demo massal yang memperlihatkan kekuatan massa muslim yang bersifat brutal serta terkesan mau main hakim sendiri. Beberapa pihak memaklumi ini karena mengindikasikan Jokowi melindungi Ahok agar tidak diadili. Dari segi kemanusiaan dan kasus, saya menyetujui bahwa Ahok tidak bersalah. Karena di dalam pernyataan itu beliau tidak berusaha menjelekkan suatu ajaran namun justru menyatakan fakta dialaminya setiap kali mengikuti Pilkada atau semacamnya bahwa ayat tersebut menjadi tools politik untuk menjatuhkannya, karena beliau non muslim. Namun tentu hal ini sangat sensitif dan membawa kemarahan luar biasa bagi umat muslim tertentu. Meski kemarahan ini kemudian bisa ditilik sifatnya. Ada yang sifatnya memang genuine, artinya tidak dibuat-buat namun sayangnya kebanyakan tampaknya adalah kemarahan hasil hasutan tertentu yang lebih buruknya lagi memiliki agenda tertentu. Teori konspirasi mulai berbicara disini. Apalgi ketika ajang Pilkada dimulai dan kompetitor Ahok pada Pilkada adalah Agus dan Anies yang notabene berstatus mayoritas daripada Ahok. Maka jadilah isu agama menjadi isu penggoreng yang pas.

Singkat kata akhirnya Ahok kalah pada putaran pertama dan kedua Pilkada Jakarta. Dan memang menyedihkan melihat Ahok kalah. Namun yang paling menyedihkan sebenarnya bukanlah kekalahan Ahok sebagai pemimpin, namun bahwa warga Jakarta ternyata lebih banyak yang memilih pemimpin berdasarkan alasan kesamaan agama, serta faktor tata krama yang kurang dianggap pas. Artinya warga Jakarta masih termakan isu primordialisme dan faktor permukaan saja, tidak dapat secara kritis menangkap esensi dari sebuah aksi. Ahok Cina dan Non Muslim maka tidak pantas jadi pemimpin karena berbeda. Ahok kasar maka tidak pantas menjadi pemimpin. Meskipun Ahok punya sekian banyak pekerjaan yang baik, maka sebagian besar warga Jakarta tetap memilih yang lain karena alasan-alasan seagama dan ingin cara baru yang lebih santun. Mereka tidak menelaah lebih lanjut apa yang ada di balik tools agama dan cara santun itu, yang diindikasikan justru akan kembali membawa cara-cara koruptif, diskriminatif dan mengutamakan golongan tertentu.

Kesedihan saya ditambah dengan penghayatan saya sebagai kaum minoritas di Indonesia. Saya perempuan, keturunan Cina, non Muslim dan saya bekerja sebagai profesional di bidang kemanusiaan. Maka lengkaplah alasan saya untuk semakin merasa khawatir bahkan paranoid ketika pemimpin macam Anies yang didukung oleh sejumlah organisasi politik dan ormas yang bersifat diskriminatif dan fundamentalis. Buat saya, pemimpin untuk rakyat Indonesia yang beraliansi dengan oraganisasi macam ini sudah menyalahi Bhineka Tunggal Ikha, semboyan dasar negara kita. Dan sejarah kita sudah mencatat bahwa aksi diskriminatif dan fundamentalis akan membawa pada aksi-aksi yang melanggar HAM terutama kepada kaum minoritas, seperti saya.

Ketika beberapa massa mengadakan demo massal aksi damai bela Islam beberapa kali dengan tujuan 
mendorong peradilan Ahok, saya mengalami rasa takut setiap kalinya. Mengapa? Karena saya teringat pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelumnya yang didasarkan pada diskriminasi SARA. Ingat kasus Mei 1998? Kasus ini yang saya asosiasikan paling dekat dengan diri saya. Karena waktu itu banyak terjadi kasus perkosaan dan pembunuhan kepada perempuan etnis tionghoa. Sangat mengerikan. Dan mau ga mau ingatan itu, kembali kepada saya. Membayangkan bahwa aksi massa bisa berkembang ke arah kerusuhan yang bersifat sama, sangat mengerikan. Betul, buat beberapa orang mungkin kondisi saya dikatakan lebay. Meski belum ada sih yang mengatakan itu kepada saya, namun saya sendiri merasa sering kali bahwa saya menjadi lebay dengan ke-minoritasan saya akibat banyak nya aksi-aksi intoleran akhir-akhir ini. Saya menjadi semakin mempertebal keyakinan saya bahwa saya berbeda. Saya minoritas yang cenderung terpinggirkan. Sampai-sampai saya harus mendoktrin diri saya sendiri bahwa tidak semua kaum muslim sebegitu diskriminatifnya. Yang tadinya merupakan keyakinan saya, karena saya memiliki banyak sahabat muslim yang beragama dengan kuat namun sangat egaliter dan bersikap baik kepada saya. Sekarang saya harus menerapi diri saya sendiri agar tidak menggeneralisir seluruh orang yang bercirikhas atau berpakaian muslim adalah orang yang fundamentalis dan diskriminatif.

Jadi ketika Anies menang, meskipun saya sudah mempersiapkan diri sehingga secara rasional saya tidak kaget-kaget amat, namun kekhawatiran saya ini ga bisa disangkal. Bahwa saya khawatir dalam pemerintahannya Anies akan toleran sekali pada aksi-aksi intoleran yang dilakukan oleh ormas macam FPI dan orpol macam PKS. Bukan suudzoon atau prasangka buruk, tapi saya belajar dari pengalaman dan fakta sebelumnya. Selain itu saya khawatir semua kemajuan kerja dari jaman Ahok akan membuat Jakarta mundur kembali. Semua sistem dan pembangunan akan terabaikan dan seperti kembali ke jaman batu.


Ya, saya berusaha menghibur diri bahwa di balik setiap pintu yang tertutup ada pintu-pintu lain yang terbuka. Tapi memang buat saya sekarang tidak mudah untuk menemukan pintu-pintu tersebut. Semoga .... 

Sabtu, 09 Juli 2016

Carrie by Stephen King


Buku Stephen King yang pertama kali saya baca sudah sekitar usia SMP yang lalu dan saya pun sudah lupa akan ceritanya. Namun saya akui Mr. King adalah raja cerita horor. Kisahnya bisa membuat kita penasaran dari awal sampai akhir cerita. Begitu pula dengan kisah Carrie ini sehingga saya membacanya dalam waktu kurang lebih 4 jam saja. 

Carrie, ternyata adalah novel pertama King (menurut mbah Google) dan diakui sebagai kisah terbanyak yang dibaca oleh banyak penggemarnya, bahkan sudah beberapa kali dipertunjukkan lewat film atau panggung. Meski saya akan mempertimbangkan dulu apakah akan menontonnya atau tidak, karena imajinasi saya ketika membaca bukunya saja sudah menakutkan apalagi harus melihat dan mendengarnya dalam film.

Kisah Carrie mengambil latar belakang tahun 70-an dengan latar kota kecil di Amerika dengan aspek fanatisme agama Kristen yang kental, bahkan bermain peranan penting dalam kisah ini. Karena notabene, jelas Carrie menjadi Carrie yang dikenal itu, karena faktor fanatisme. Ibu Carrie, tampil sebagai perempuan "gila" yang sangat fanatik dan menganiaya anaknya karena faktor kepercayaannya. Carrie tumbuh dalam suasana rumah yang diluar bayangan keluarga normal dengan ilustrasi verbal yang membuat saya ngeri membayangkan konteks rumah tempat ia besar. Dan malangnya, Carrie menjadi olok-olok di sekolah sehingga ia menjadi yang terkucilkan. Tragedi hidupnya kembali memuncak oleh kejadian "berdarah" di sekolah, ketika Carrie mendapatkan haid pertamanya. Para pem-bully, teman-temannya di sekolah, menyudutkannya dan terlihat betapa "aneh"nya Carrie di antara teman-teman perempuannya yang sudah "melek" akan seksualitas. Tragedi ini terus bergulir dengan puncak di malam dansa yang menjadi tragedi seluruh kota, bukan lagi hanya milik Carrie seorang. Karena Carrie sudah berlatih akan kemampuan telekinesisnya dan ia membuktikan kekuatannya sehingga mengakibatkan tragedi yang tak habis-habis di bahas baik masyarakat awam maupun ilmuwan.

Ketika membaca kisah ini, rasa penasaran terus menggiring saya untuk membacanya, pun buku ini tidak tebal, hanya 253 halaman. Meski sedikit ada keanehan dalam penerjemahannya, namun tetap mudah untuk dipahami dan  terus dibaca sampai akhir. Kesan horor sangat kental dari awal ke ujung cerita. Cara penulisan yang unik, dengan menyelipkan beragam cuplikan analisa kasus, artikel berita dan pergantian orang pertama yang bercerita dalam kisah ini, membuat kita harus sedikit jeli dalam membaca. Meski, saya tidak merasa kesulitan mengikuti alurnya dan membedakan tokoh siapa yang sedang berkisah pada suatu bagian. Tampaknya Mr. King cukup jeli merangkai alur dan sudut pandang masing-masing tokoh. Konsistensi cerita, karakteristik tokoh juga sangat baik diberikan. Dan tentu bumbu hubungan seksual tidak lupa Mr. King tambahkan. Tampaknya Mr. King cukup merasa hal ini penting meski sedikit berhubungan dengan karakter dan tragedi utamanya.

Buat saya, buku ini dapat direkomendasikan bagi pembaca yang menyukai bacaan yang intens dan tahan akan horor yang secara frontal disajikan, seperti adanya darah, penganiayaan dan semacamnya. Saya pribadi, merasa buku ini hanya selingan saja. Meski tetap bisa menarik benang merah buat saya prbadi, bahwa fanatisme bisa merusak inti kemanusiaan seseorang dan menciptakan kesintingan yang sulit diterima nalar. 


Inteligensi Embun Pagi



Setelah menghabiskan buku kedua, Tanah Lada, proses saya membaca buku tidak selancar sebelumnya. Karena memang pekerjaan sudah mulai menyita fokus dan waktu saya. Eniwey, bersyukur menemukan buku Inteligensi Embun Pagi (IEP) karya Dee ini, yang menjadi edisi pamungkas untuk serial Supernova yang fenomenal. Maka ketika ada diskon buku di salah satu toko buku di Bandung (kebetulan mampir sewaktu ada tugas di sana), langsunglah buku ini menjadi fokus bacaan saya dan resmi menjadi buku ketiga untuk meneruskan misi membaca (minimal)10 buku di tahun 2016 ini.

Terus terang saya sudah lama tidak updating dengan karya2 Dee, terutama deretan Supernova dan saya tipe yang tidak berusaha membaca ulang serial yang sebelumnya untuk catch up cerita *selain karena time cosuming juga krn ada bbrp buku yang entah ada di mana disimpannya dan cukup memakan budget kalo beli dulu. So, saya cus membaca buku pamungkas Supernova ini. Awal membaca, tentu saya roaming sedikit-sedikit mengingat2 yang sudah ada di edisi2 Supernova sebelum IEP ini. Maklum saya agak2 lemot or kata Dory (dalam Finding Dory), short memory lost disorder, eh ga nyampe disorder deng hehhe... hanya saja buat saya ketika membaca buku, kebanyakan saya akan mengambil makna personal dan pelajaran dari buku itu sehingga detil alur cerita dan bahkan nama tokoh nya kadang lost dalam ingatan saya. Jadi ya saya membaca IEP ini ingin tahu ending Supernova dan ingin tahu bagaimana Dee, yg merupakan salah satu penulis hebat menurut saya, meramu novelnya kali ini. 

Novel IEP ini terdiri dari Keping 45 - 99 (keping = bab) dalam 620 halaman, so mengingat ketebalan bukuny dan alur ceritanya yg kaya, saya ga akan terlalu detil juga mengulas disini. Selain keterbatasan waktu saya menulis, saya pikir akan lebih seru jika teman-teman dan pemirsah sekalian membacanya sendiri hehehe... Maka di bawah ini saya akan lebih mengungkapkan kesan-kesan saya terhadap IEP. 

Sepanjang membaca IEP, saya merasa keseruan cerita yang terbangun dengan baik oleh penulis. Biasanya dalam membaca buku novel, saya akan merasa tidak sabaran melalui bagian 'prolog' dimana pada bab2 awal sekitar 3 sampe 5 bab biasanya adalah bagian membangun konflik dan kompleksitas cerita. Namun pada IEP ini konflik sudah terbangun dimana-mana dan jelas karena merupakan buku pamungkas di serial Supernova, maka kompleksitas cerita sudah ada dan tinggal dirawat dan ditambah. Di sana sini muncul kejutan-kejutan serta keseruan cerita yang masing-masing berarti personal bagi masing-masing tokoh. Konflik batin masing-masing tokoh pun terkesan bisa dibangun dengan apik tanpa melupakan sejarah personal masa lalu si tokoh. Lagi-lagi karena ini edisi pamungkas, karakter masing-masing tokoh sudah sangat kaya namun tokoh-tokoh yang 'baru' pun ternyata tidak hilang ke-khas annya. Klimaks cerita pun tidak garing dan tidak mudah ditebak. Mungkin inilah kunci karya ini sehingga mendapat banyak fans, karena tidak mudah ditebak dan belum ada (belum banyak) rasanya penulis Indonesia yang bermain di area ala science fiction ini.

Hal khas dari rangkaian cerita Supernova adalah kedalaman serta kreativitas Dee untuk meramu hal-hal yang saintifik dengan imajinasi serta pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupan yang ia satukan dalam jalinan cerita banyak tokoh yang rumit. Bahkan sedikit memberikan warna sejarah dunia juga di dalamnya, dengan memasukkan mitologi Yunani. Kepiawaian Dee ini mengingatkan saya akan keahlian yang tak kalah dari Ayu Utami (misalnya di novel Bilangan Fu dan judul2 terkait) yang banyak mengandalkan pada referensi literatur dan budaya yang kaya. Jadi suatu catatan pribadi saya, bahwa menulis sebaiknya tidak asal menulis tp harus memperdalam bahan penulisan kita sehingga menjadi karya yang kaya dan tidak kering dari lingkup sekitar *baik ilmu pasti dan sosial.

IEP ini buat saya mengantarkan pesan tertentu yaitu sbb:
- bahwa di dunia ini ga ada yang kebetulan, semua sudah dalam perencanaan takdir meski kemudian manusia lah yang memegang peranan penting untuk memtuskan mau bagaimana dan apa dengan takdir yang ada
- bahwa setiap individu memiliki sejarah pribadi yang rumit, emosional dan mempengaruhi langkah-langkah nya ke depan.
- bahwa meski tidak mengecilkan peranan orang-orang penting dalam hidup kita, namun ada saat2 krusial dimana kita harus rela meninggalkan mereka (sementara atau selamanya), untuk kemajuan diri kita dan karya serta manfaat karya kita utk orang banyak

Secara kognitif saya terpikat pada karya Dee ini. Mengingat kompleksitas cerita yang dibangun dan kekayaan budaya yang internasional. Serta genre cerita yang cenderung science fiction ini,yg cukup unik buat saya. Namun secara emosional, saya sadar ternyata cukup sulit untuk benar-benar merasa tersentuh akan kisah ini karena sifat saya yang lebih menyukai mendalami setiap karakter secara personal. sedangkan IEP ini terbangun dari kerumitan relasi dan misi yang saling berkait dan porsi individual tokohnya saya rasa memang bukan prioritas dari kisah ini. Namun saya tetap menikmati pengalaman membacanya.

Notes, maaf catatan kali ini sangat umum karena terus terang ini ditulis sebulan setelah saya menyelesaikan IEP jadi memori saya mengenai buku ini tidak sedetail biasanya. 

Senin, 23 Mei 2016

Idola

Dia hebat begitu memukau semua
(Siapa dia? Bicara apa dia)
Semua kerumunan membicarakannya

Sayapun tertarik,
Bukan karena kehebatannya tapi krn cara dia menjadi hebat
Bukan karena pulasan senyumnya tp karena penasaran cara pengelolaan emosinya
Bukan karena berapa banyak dirinya muncul di media, namun karena ingin tahu apa keunggulan dan daya jualnya

Semua tampak gemilang
Tanpa cela
Tanpa duka
Tak tahu apa yg dia alami di luar panggung

Di dalam Angkot

Hujan di luar
Dingin seharusnya
Namun panas di dalam sini

Hujan di luar
Kami memegangi payung bertetes
Setidaknya tidak membasahi baju kami

Hujan di luar
Panas tubuh kami menguap di dalam
Tanpa ventilasi karena jendela ditutup
Embun menutupi kaca

Hujan di luar,
Jalanan mulai menggenang
Namun kering dan panas
Di dalam angkot merah ini