Minggu, 11 Januari 2009

Suamiku Suamimu

Pagi ini seperti biasa, sehabis memandikan anakku, aku membereskan kamar mandi yang penuh dengan berbagai permainan air dan satu bak mandi penuh air sabun. Hari ini adalah hari Senin pertama di tahun 2009. Kalau aku bekerja sebagai seorang karyawan, pasti pagi ini aku mengalami sindrom ‘I hate Monday’, apalagi setelah libur panjang akhir tahun. Tapi aku adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak mengenal libur dan hari kerja. Setiap hari adalah hari kerja bagi para ibu rumah tangga. Aku pun berandai-andai. Jika saja hari ini adalah hari libur maka akan ada suamiku yang membantuku memebereskan kamar mandi atau hanya sekedar menemani anak kami bermain sehingga aku memiliki waktu yang lebih leluasa. Namun hari ini adalah hari Senin, jadi tak ada suamiku yang bisa menjadi asisten sementara. Meski ada Mbok Yem, yang membantu pekerjaan mencuci, memasak serta membersihkan rumah, namun semua keperluan Naya, anakku, aku yang melakukannya sendiri.

Tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan seorang kenalanku di dunia maya. Dia juga adalah seorang ibu rumah tangga seperti aku. Kami berkenalan lewat sebuah mailing list (milis) yang mengampanyekan pentingnya ASI bagi ibu dan bayi. Setelah beberapa kali bertukar pendapat mengenai berbagai macam isyu pengasuhan bayi, kami pun ber-kopi darat pada suatu waktu. Nah, percakapan pada waktu kopi darat inilah yang kuingat sekarang ini. Karena berhubungan dengan suami yang tadi kuharapkan bantuannya itu.

Hari itu hari Minggu siang yang amat panas. Beruntunglah kami bisa duduk dengan nyaman di dalam ruangan ber-AC ditemani berbagai makanan enak serta minuman segar. Mbak Di, begitu aku menyapa temanku itu, sedang sibuk dengan anaknya, Rafa yang baru berusia 8 bulan. Sedangkan anakku, Brigita, sedang asyik bermain bersama suamiku di sebuah arena bermain, tak jauh dari restoran tempat kami duduk sekarang ini.

Mbak Di berkomentar sambil menyuapi Rafa, “Enak ya, kamu punya suami seperti itu..”

“Maksud Mbak seperti itu apa, Mbak?” tanyaku penasaran.

“Itu lho, mau diminta jagain anak… kan ga semua suami seperti itu,” jelas Mbak Di, dengan suara agak mengecil dan sedikit menerawang.

“Memang saya bersyukur punya suami seperti Mas Dika, Mbak. Karena dia ‘care’ sekali sama urusan anak, termasuk untuk menjaganya,” kataku menimpali.

“Coba ya suamiku seperti Mas Dika…” kata Mbak Di menerawang.

“Emang suami Mbak kenapa?” kataku ingin tau.

“Begini Niek, suamiku itu ga peduli sama sekali dengan urusan rumah tangga. Dia itu masih kolot. Dia menganggap semua urusan rumah dan anak adalah urusanku. Untung anakku baru satu, coba kalau nambah lagi, wah makin pusing deh aku!” sahut Mbak Di panjang lebar.

Aku tidak terlalu terkejut mendengar penjelasan Mbak Di, karena aku pernah mendengar suami semacam itu sebelumnya dari beberapa temanku. Aku menimpalinya juga dengan penjelasan panjang lebar tentang suamiku, “ Tapi Mbak, ga selalu enak kok punya suami kayak Mas Dika. Kadang-kadang aku ngerasa Mas Dika terlalu over-involved, sedikit salah dalam mengatur urusan rumah tangga pasti dimarahinya. Bosan aku. Jadi kesannya aku selalu harus sempurna. Padahal manusia kan ga sempurna, ya Mbak. Ah, bukannya aku ga bersyukur. Aku senang punya suami seperti Mas Dika, yang sangat saying dan peduli pada anak dan istri. Hanya kadang aku cape kalo setiap kali melakukan keteledoran, pasti deh dia ngomel… Coba Mas Dika cuek dikittt ajaa…. Jadinya aku ga selalu ngerasa was-was kalo aku ga sengaja berbuat salah…”

“Waduh, Niek. Jangan merasa seperti itu. Aku yakin Mas Dika ga mau kamu merasa demikian. Pasti dia cuma pengen yang terbaik untuk kamu dan anakmu. Ga usahlah terlalu dimasukkan ke hati. Lebih enak punya suami yang terus ngomeli kamu karena peduli, daripada punya suami yang nanya tentang anak aja jaraaannng banget. Ya, kayak suamiku itu…. Yang taunya pulang kantor, nyampe rumah, makan, mandi, nonton tv atau baca koran, dan tidur. Nengok anak pun cuma sebentar. Jarang ngajak maen. Kasian Rafa…. Kan pengeng juga sekali-sekali bercanda dan bermain sama Ayahnya. Tapi ya itu, Niek. Kalo aku ingatkan, Mas Dodi hanya bilang kalau dia sudah lelah seharian bekerja dan ingin cepat-cepat beristirahat serta berpendapat bahwa Rafa sudah cukup bermain dengan aku seharian…” demikian tanggapan Mbak Dini yang sekaligus merupakan curahan hatinya, yang rupanya telah lama dipendamnya.

“Hem…, iya ya Mbak. Ada benernya juga ya. Kalo dipikir-pikir emang sih enakan ada yang peduli, meski pedulinya kadang-kadang ya itu, nyebelin. Mungkin kayak minum obat kali ya… meski pahit tapi membawa ke keadaan yang lebih baik.” Kataku merasa agak bersyukur dengan adanya Mas Dika.

“Iya, Niek. Bener itu… Tokh kan Mas Dika ga selalu marah kan, pasti ada ketawa-ketiwinya juga kan….” kata Mba Di menyetujui.

“Iya, Mbak bener juga… emang ga lama sih dia kalo marah… besoknya palingan jug sudah becandaan lagi… Oya, Mbak udah coba membicarakan uneg-uneg Mbak ini kepada Mas Dodi? Siapa tau suami Mbak mau berusaha berubah dan lebih peduli dengan kegiatan rumah tangga, terutama membangun hubungan ayah-anak yang lebih dekat dengan Rafa…” kataku berusaha menyarankan.

“Ya itulah Niek. Aku memang belum mencoba, karena energiku sehari-hari sudah habis rasanya untuk mengurus Rafa dan rumah. Aku juga takut jadinya berantem dengan Mas DOdi kalau hal ini aku bicarakan. Aku belum ketemu waktu dan cara yang pas untuk bicarain ini, Niek… ya doain aja ya, supaya aku bisa berani dan nemu cara serta waktu yang pas untuk bicarain hal ini ke Mas Dodi.” jelas Mbak Di.

“Ya Mbak, pasti aku doakan. Yah, emang manusia ga ada puasnya ya, Mbak. Kayaknya berlaku tuh pepatah waktu kita SD, rumput tetangga selalu lebih hijau… Suami orang selalu tampak lebih baik daripada suami sendiri… hahahah…” kataku berusaha menyimpulkan percakapan kami.

“Hahaha… iya, Niek. Kamu bisa aja…. Yang penting kita berusaha yang terbaik ya, untuk anak dan suami..” kata Mbak Di mengiyakan kata-kataku.

Itulah sepenggal percakapanku dengan Mbak Di, yang membuatku selalu semakin bersyukur memiliki suami seperti Mas Dika. Meskipun sering merasa kesal karena Mas Dika mengomeli aku hanya karena hal sepele, namun aku sadar omelannya itu adalah bentuk dari kepeduliannya. Jadi aku tidak lagi terlalu menyimpan kekesalanku ini. Dengan kritikan serta masukan dari Mas Dika, aku berusaha menjadi seorang istri dan ibu yang kian hari kian baik dari sebelumnya.

Tidak ada komentar: