Selasa, 11 Oktober 2011

Matrealistic World

Aku bersyukur dibesarkan dengan cara yang tidak bersifat matrealistis. Artinya sejak kecil, orang tuaku tidak pernah menularkan nilai2 yg mengutamakan matrealisme belaka. Hal ini amat mempengaruhi diriku sekarang. Hidup sederhana dan mengutamakan "isi" (hati, otak, kepribadian) di atas hal2 lainnya.

Namun, tak bisa disangkal dan dihindari, ketika memasuki tahap pernikahan, kemandirian finansial is a must! Artinya tidak bisa melepas diri sama sekali dari hal2 materi terutama uang. Apalagi ketika si kecil hadir, rasanya tidak mungkin mengabaikan keperluan pengasuhan yang terkait erat dengan faktor finansial yang tidak sedikit jumlahnya, selain tentu saja mengedepankan nilai-nilai moril serta perkembangan psikologis. Atas pertimbangan inilah maka akhirnya dengan modal nekat aku terjun bebas dalam dunia jual-beli, yang tadinya aku sangat hindari. kenapa sangat hindari? yah mungkin karena alasan di atas bahwa sejak kecil selalu lebih ditekankan hal-hal lain selain mencari keuntungan materi. But, India Arie said that the only constant thing in life is changing. Dan aku sangat percaya hal itu, maka mulailah usaha itu bergulir sampai sekarang... :) demi menjawab perubahan tantangan tahapan kehidupanku.

Nah, kembali kepada faktor finansial dalam pengasuhan anak. Tulisan ini sebenarnya terpicu dari curhatan para orang tua (ibu2 terutama) yang sering aku dengar. Mereka mengeluhkan mengenai biaya yang tinggi untuk pengasuhan anak jaman sekarang ini. Terutama untuk pendidikan. Bahkan menyebabkan banyak anak terpaksa putus sekolah. Ya, kesadaran akan pentingnya pendidikan melahirkan masalah baru bahwa biaya yang tidak sedikit harus disediakan demi memfasilitasi pendidikan anak. Meski banyak pihak mendengungkan pendidikan berkualitas haruslah tidak mahal, namun ternyata fasilitas ideal ini belum menyentuh banyak kalangan. Selain tentu saja terjadi karena adanya sandungan dari berbagai macam pihak. Intinya, orangtua sekarang masih mendapati realita, bahwa jika ingin mendapatkan pendidikan bagi anak maka biaya lah yang menentukan kebutuhan itu terpenuhi. Dan kalo ditarik ke area makro, hal inilah juga yang memperparah lingkaran setan kemiskinan pada kebanyakan masyarakat kita (Indonesia).

Selain masalah pendidikan, dunia ini juga menawarkan berbagai macam hal matrealistis yang sangat menggoda untuk dicoba dan dengan mudah mencandunya. Misalnya masalah fasilitas permainan anak, penampilan (dari ujung rambut sampe ujung kaki), gaya hidup (termasuk memiliki gadget terbaru) dan sebagainya...

Aku sendiri sangat berhati-hati agar tidak kecemplung masuk ke dalam dunia konsumtif dan bersifat matrealistis itu... meski sangat tidak dipungkiri bahwa aku adalah orang yang sangat menikmati kenikmatan2 yang ditawarkan dunia fana ini. Misalnya, senang sekali menikmati berbagai karya seni, senang sekali memakai baju2 bagus (dengan budget yg ssi tentunya hehe...), senang sekali makan enak (hampir semua makanan aku suka), senang sekali menonton acara2 hiburan2 yang berkualitas dan mencerahkan, senang sekali membaca buku dsb dsb....

Yah, akhirnya aku harus mengakui, manusia fana tidak mungkin lepas dari kebutuhan matrealistis seperti itu. Hal yang aku cermati disini adalah nilai yang mencegahku dari kecanduan akan dunia matrealistis itu mungkin krn ajaran kesederhanaan hidup sejak kecil, bahwa materi bukanlah segalanya. Sehingga selalu berusaha agar tidak besar pasak daripada tiang ;) Tapii, aku ga mengatakan hal ini mudah, bahkan seringkali aku 'berantem' sama diri sendiri untuk mengatakan 'sudah cukup!' ketika tiba-tiba sudah terlalu lama memelototi banyaknya barang menarik dan lucu di berbagai online shop ini hehehe....

Tidak ada komentar: