Rabu, 12 Agustus 2009

Make ur own miracles

Secangkir kopi sudah menunggu. Membantuku membangunkan syaraf kantukku setiap pagi. Kucium sesaat aromanya yang mewangi. Entah kenapa tetap tidak membuatku bersemangat. Bi Inah dengan setia, sudah menyiapkan roti bakar isi dadar telur kesukaanku. Dengan tomat dan saos sambal di sampingnya. Hmmm... nikmat... Tapiii... tetap tidak membuatku bersemangat seperti biasanya. Ada apa ya denganku? Ah, tak tau lah ada apa. Tak ada waktu sekarang merenung pertanyaan seperti itu. Bisa terlambat nanti. Berabe. Dengan cepat aku menghabiskan semua sarapanku, sebagai bensin aktivitasku sampai siang nanti. Lalu kuraih tas hitamku dan bergegas ke si merah, vw beetle kesayanganku.

Meluncurlah aku menuju pusat kota. Keramaian sudah terasa sejak si merah berada di atas aspal jalan raya depan kompleks rumahku. Seperti biasa, campuran aktivitas anak sekolah yang masuk teramat pagi (6.30!) dan semua variasi profesi tumpah di ruas jalanan yang aku lalui menuju kantor. Untung tak ada kemacetan yang amat parah, sehingga mood ku tidak kian turun.

Akhirnyaa... kantorku tampak di ujung jalan. Megah, menjulang. Salah satu kantor idaman banyak kalangan. Alasannya mereka mengidamkannya tentu berbeda-beda. Ada karena status, bisa bekerja di pusat kota. Ada karena gajinya, yang katanya amat menggiurkan (padahal ya tergantung pengeluaran juga kan....). Ada juga campuran keduanya. Dan mungkin alasan2 lain yg aku tak tau... Aku sendiri, tidak memiliki ambisi khusus bekerja di perkantoran elite ini. Hanya karena kebetulan aku mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusanku ketika kuliah, maka aku tertambat di sini. Aku seorang ilustrator dalam sebuah biro iklan yang cukup mapan. Maka kalau ditanya soal prestise dan penghasilan, tentu sudah lebih dari cukup. Apalagi mengingat aku masih single.

Kujejakkan kaki di loby gedung kantorku. Mantap menuju ke deretan lift yang selalu mengantarku ke lantai 3 tempatku bekerja. Namun, kali ini ada yg berbeda tampaknya di sebelah lift. Ada sebuah stand dengan sejumlah banner dan dua orang ibu setengah baya, berseragam biru tua. Mereka nampak tersenyum ramah. Senyum yang tulus. Membagikan sejumlah flyer kepada orang-orang yang melintas. Karena tempat stand mereka sejalan dengan arahku ke lift, maka aku berhenti untuk mengambil flyer mereka. Ternyata mereka berasal dari sebuah yayasan sosial dari agama tertentu. Mereka sedang mencari donatur tetap agar dapat mendanai berbagai layanan sosial mereka ke berbagai masyarakat lintas agama dan ras. Hmmm... begitu tokh... Aku cemplungkan flyer itu ke dalam tasku. Biarkan berbaur dalam tas yang penuh dengan berkas ini-itu.

Di kantor, aku pun tenggelam dalam berbagai rutinitas seperti biasa. Tenggelam. Mungkin itu kata yang tepat utk menggambarkan keadaanku. Akhir-akhir ini semua rutinitas pekerjaan di kantor sering membuatku penat. Bagian tengkuk dan bahuku sering terasa kaku dan nyeri, terutama pada tengah hari seperti ini. Kenapa ya? Duh, pertanyaan itu lagi... Kulirik jam. Harap-harap cemas. Asyiikk! sudah jam 12. Waktunya istirahat siang. Kujawil temanku, si Itine di sebelah boks meja kerjaku.

"Tin... Bang somay sudah menunggu kita... Yuk! Udah pegel nih.... dan laper tentunyaaa..." kataku mengajak Itine beristirahat di tempat favorit kami.

"Huuu... dasar kamu Son. Aku masih banyak kerjaan nihhh... Kamu duluan gih... Nanti aku nyusul. Paling 15 menit lagi selesai. Oke..... c yaa... " sahut Itine.

"Yaa.... Oke deh... aku tunggu ya di Abang Somay! Dadah.... " kataku agak kecewa.

Aku pun mengambil dompet dan telpon selulerku. Dan meluncurlah ke lantai bawah, tempat si abang somay telah dikerubuti para karyawan yang kelaparan. Aku pun menambah kesibukan si Abang.

"Bang, saya satu porsi seperti biasa yaa.... " kataku dengan suara lantang dan jelas, mengalahkan semua "rival" pembeli yang lain.

"Eh, Neng Sonia... beres Neng... Ni Abang bikinin." kata si Abang agak genit dan sksd (sok kenal sok dekat). Maklum aku dan temanku, si Itine paling sering nongkrong berlama-lama di tempat si Abang Somay sesudah jam kerja usai. Sampai si Abang hafal pada kami dan pesanan kami masing-masing.

Sepiring somay dan teman-temannya sudah siap kusantap. Hemmm... lezaat... lumayan menghalau kepenatanku dan semua pertanyaan "kenapa" yang menyerang akhir-akhir ini. Ketika sedang menikmati si somay dan kawan2nya, tiba-tiba Itine muncul. Ia menjawil pundakku..

"Hey, Son! Asyikkk benerrr.... Akhirnya aku udah bisa kabuurr.... hehehe.... Dan... saatnya menikmati somaaayyy... nyam,nyam... " Itine menyerocos gembira.

"Iya dong.. ni somay kan ga ada matinyee... Ampuh mengobati kejenuhan hahaha.... " kataku berusaha mengimbangi keceriaannya.

"Eh, kamu kenapa sih, Son? Spertinya akhir-akhir ini agak ga ceria gituhh... biasanya cerewet ini itu... Kok sekarang jadi agak diem-diem aja.... Apa lagi ada masalah?" Itine mengungkapkan kecurigaannya akan perubahan mood ku.

"Ehmm... ga tau ni, Tine... Rasanya emang lagi ga semangat aja... " tanggapanku membawa kebingungan yg sama.

"Mungkin kamu lagi dapet? Atau dah kelamaan men-jomblo nih? hahaha..." Itine tampak berusaha menebak ke segala arah.

"Ga... dugaan kamu masih salaaah... wekkk...!" kataku meledeknya.

"Ah, kamu emang susah ditebak siihhh... makanya hidup dibuat seneng aja lah... jagan mikir ribet-ribet!" sarannya, simplisistis.

"Ya, ya, ya.... Bu Guru...." kataku kembali meledeknya.

"Weekkk... Eh, cepetan, musti balik nih. Si Bos nanti ngomel lagi..." katanya mengingatkan akan waktu istirahat yang hampir habis.

Kami pun kembali ke ruang kerja kami. Tenggelam lagi.

***

Pagi datang. Tanpa gairah yang meningkat, aku kembali menyelesaikan rutinitas hari ini. Ketika pulang, aku kembali melewati booth tempat para relawan berseragam biru, yang kemarin pagi aku terima flyernya itu. Oooh... ternyata namanya Hati Putih. Tak sadar, aku pun meneliti satu persatu foto-foto yang ada di papan booth itu. Masing-masing foto menceritakan karya-karya bakti sosial yayasan Hati Putih. Tampak jelas, mereka tak memandang beda ras maupun agama. Tujuan mereka hanya satu, melayani dan mengasihi. Sungguh mulia. Suatu perbuatan yg nampaknya di awang-awang untukku. Pekerjaan bagi orang suci. Bukan untuk orang awam sepertiku. Itu pikirku ketika aku meneliti satu per satu foto-foto tersebut.

"Ini adalah gambaran sebagian karya yayasan kami, Mbak. Apa Mbak tertarik menjadi donatur?" sebuah sapaan lembut terdengar.

"Ooh... iya. Saya baru saja memperhatikannya. Hm, donatur ya... " kataku sedikit gugup, belum tahu apa respon yg tepat utk menanggapi sapaannya.

"Kalau Mbak tertarik, tidak usah merasa harus menyumbang banyak. Ada berbagai donatur kami yang hanya memberikan dalam jumlah kecil setiap bulannya. Yang kami fasilitasi di sini adalah niat untuk melayani dan mengasihi sesama yang kesulitan." jelasnya secara langsung.

" Oooo begitu ya..." kataku masih belum bisa mengambil keputusan.

" Begini saja, mari kita duduk. Saya akan menjelaskan mengenai karya kami. Mbak sepertinya belum bisa memutuskan namun tampak tertarik dengan kegiatan kami. " katanya ramah, mengajakku ke sebuah tempat duduk dan meja sederhana. Tampak sejumlah brosur dan alat tulis di atas meja itu.

Meski bingung akan apa yang mendorongku mengikutinya, aku pun duduk di kursi yang ia siapkan. Ternyata ada beberapa orang lain yang juga seperti aku. Duduk, tertarik mendengarkan penjelasan para relawan berseragam biru. Mereka yang membius dengan senyum tulus dan kata-kata damai.

***

Peluh meleleh di dahiku. Namun tak kuhiraukan sejak tadi. Pegal-pegal karena banyak bergerak juga tak menggangguku. Tanganku sibuk mengangkat semua barang-barang yang ada di sekitar nenek tua itu. Ia tadinya sebatang kara. Namun sejak para aktivis Hati Putih menemuinya, di dalam rumah nan kumuh ini, ia tak lagi seorang diri. Ada orang-orang yang peduli padanya, yang setiap hari menemani dan memperhatikan kebutuhannya. Aku, dengan sangat bersyukur, adalah salah satu dari orang yang dapat melayani nenek tua.

"Nek, aku pindahkan Nenek ke sofa dulu ya. Aku bereskan dulu tempat tidur Nenek." kataku meminta ijin sambil tersenyum.

Nenek tua hanya mengangguk, tanpa kata bersyukur sedalam-dalamnya. Akhirnya ia merasa diperhatikan, merasa berharga sebagai manusia. Tidak ditelantarkan.

"Nah, Nenek di sini dulu. Sambil minum teh hangat ini, Nenek bisa menonton televisi atau memandang ke luar kebun. Aku beres-beres dulu di dalam ya, Nek." kataku ramah.

Tak sadar aku bernyanyi kecil sambil mengerjakan semua tugasku di situ. Tugas yang bukan beban. Tugas yg merupakan penemuan akan kesejatian jiwaku. Melayani dan mengasihi. Aku berterimakasih pada Dia yang di atas, yang mengantar booth Hati Putih ke kantorku pada masa lalu. Aku berterimakasih pada para pengurus, pada Ibu Lin, yang secara khusus membimbingku dan menerka niatan hatiku secara tepat. Aku berterimakasih, atas semua kesempatan pelayanan ini. Sebab, ternyata aku temukan jawaban atas kegelisahan dan kepenatan jiwaku, disini, diantara mereka yang terbuang, yang tidak dipedulikan lagi. Aku merasa bahagia melihat tawa bahagia mereka, ketika aku bercakap dengan mereka. Ketika aku melihat kasih di mata mereka. Aku melihat hidup. Aku menyaksikan harapan, yang tak kunjung padam.

Sekarang, aku tau dan aku alami sendiri. Pekerjaan kasih dan melayani bukannya pekerjaan orang suci. Bukannya ada di awang-awang atau negeri utopia. Mengasihi dan melayani adalah keajaiban duniawi, alat ajaib untuk menyentuh hati semua umat manusia. Kita bisa memilih. Menyaksikan keajaiban lewat dan terjadi tanpa kita berperan di dalamnya. Atau kita turut menciptakan keajaiban itu sendiri. It's ur own choice. U can make ur own miracles...

2 komentar:

Anonim mengatakan...

memang pada akhirnya, tidak ada 'ketersengajaan' di dunia ini....

Marooned Mom mengatakan...

setujuuuu cil :)) hope u like this one...