Minggu, 30 Agustus 2009

Secangkir Coklat Hangat...

(inspired by "Chocolate High" - India Arie feat. Musiq Soulchild)

Pagi itu, aku sudah di depan komputer meja kerjaku. Kulirik sebelah kanan mouse yang kugenggam. Sebuah cangkir, bertuliskan Mine, berisi cairan ternikmat, at least for me.... coklat hangat telah tersedia. Menemani aku, seperti anjing setia. Lemak? Ah, siapa peduli! Tokh aktivitas di gym selalu menemaniku di sore hari. Kusesap perlahan coklat hangat itu.

Hmm... nikmat...

Sesekali aku menggantinya dengan teh atau juice, tapi selalu kembali ke secangkir coklat panas. Seperti sesuatu memuaskan dahagaku ketika menyeruput cairan hangat itu. Mungkin memang benar kata para ahli, coklat memberikan rasa santai dan gembira.

***

"Jadi, kamu maunya apa sih?" kataku gemas menatap wajahnya di seberang meja.

" ... " dia terdiam.

"Aku sudah berikan semuanya. Aku berusaha menjadi yang kamu mau. Tapi masih belum cukup rupanya... Apa maumu... Aku ga ngerti lagi... " kataku tak sengaja terkesan putus asa.

"Maafin aku, Say..." dia berusaha menjawab.

"Maaf... gampang... tapi, apa kita mau seperti ini terus? Sudah dua kali! Aku sudah muak...!" kataku tiba-tiba melontarkan magma dari perut gunung merapi cintaku.

"Aku masih sayang kamu... Please..." katanya tak berani menatap wajahku.

"Bull shit!! Kalau kamu sayang aku, kenapa kamu begitu?!" semprotku.

"..." bisu lagi dia.

"Ah aku tak tahu lah... Sekarang aku ingin sendiri... Pergi. Sekarang juga." aku menegaskan keinginanku.

"Tapi say, ..." dia berusaha membantah.

"Pergi. Sekarang." kataku menatap ke luar jendela, tak lagi memberi kesempatan menerima bantahan.

Dia pergi dengan lunglai. Entah lunglai dari hati atau hanya fisik belaka.

***

Secangkir coklat menemaniku sesorean setelah percakapan melelahkan tadi. Aku hanya termenung. Kadang memejamkan mataku. Ditemani sayup-sayup live music dari panggung cafe ini..

Tiba-tiba, ada suara memanggilku, "Arumi... apa kabar?"

Aku menengok ke arah suara itu. Sesosok laki-laki berpakaian casual tersenyum membawa secangkir coklat.

"Oh, hay... Kabarku baik... Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tanyaku gagap. Mencoba mengaduk memori tentang teman-teman masa laluku.

"Sudah kusangka kamu lupa. Aku Doni. Aku temanmu semasa SD di Yogya. Ingat? Ga heran kamu lupa, karena setelah kelas 1 SD kamu pindah ke Jakarta." katanya berusaha mengingatkanku akan identitasnya.

Maka akhir hari itu tidak seburuk awalnya. Karena kehadiran seorang teman ternyata cukup dapat mengalihkan luka akibat percakapan dan kejadian sebelumnya. Meski untuk sejenak.

***

Sore sudah mulai lewat. Aku pun tiba di kamar apartemen satu kamarku. Kutaruh tas ku di atas bufet dekat pintu. Sofa menjadi tangan setia memeluk badanku setelah penat hari ini. Kupejamkan mata lelahku. Laksana film rusak, adegan siang tadi berputar.

***

"Adi, tolong datang ke kantorku. Kalau bisa sekarang juga. Ada yg perlu aku sampein ke kamu. Mendesak. " kataku melalui SMS, tanpa basa-basi dan nada manja seperti biasanya.

Tak lewat 2 jam-an, Adi datang. Seperti biasa aroma parfun macho kesukaanku semerbak seiring kehadirannya di kamar kerjaku yang tak begitu luas ini. Rambutnya tersisir rapi, lengkap dengan stel kemeja berlengan panjang dan celana bahan yg rapi terjatuh di atas sepatu mengkilapnya.

"Halo, Say... " katanya terkesan agak gugup, menghampiri pipiku untuk mendaratkan kecupan.

Namun aku mengelak kecupannya, yang pernah aku rindukan. Kujauhkan kepalaku. Sehingga ia pun berada di posisi yg tak seimbang. Untung meja ada di situ, untuk menahan bobot badannya.

"Silahkan duduk, 'di. " kataku dingin tanpa memandang mata dan mengabaikan peristiwa pengelakkan tadi.

Dia duduk. Mulai menarik ekspresi muka ramahnya.

"Sejak perselisihan kita hari Sabtu kemarin, aku berpikir banyak. Merefleksikan apa yg terjadi dalam hubungan kita selama 3 tahun-an ini. Dua kali sudah aku memberimu kesempatan karena pengkhianatanmu. Dan ternyata kesabaran dan kelebaran maafku tak bisa lagi kuberikan untuk yang ketiga kali ini. Dari semua kejadian itu dan perasaan-perasaan yang berkembang akhir-akhir ini, telah membuatku mengambil suatu kesimpulan. Kamu tidak pantas untukku. Dan aku tak bisa lagi bersamamu. " kataku lancar seakan tanpa beban, meski menyimpan pilu di hati.

" ... Say, tolong kasih kesempatan lagi ... aku akan berusaha... " katanya mencoba memelas, masih mencoba mendapatkan hatiku.

Keputusanku sudah bulat dan kokoh. "Tidak bisa, aku ga bisa kasih kesempatan lagi. Tuhan pasti bisa memberikanmu kesempatan lain, dengan orang lain. Tidak denganku. By the way, tolong panggil aku sekarang dengan namaku, Arumi, bukan lagi 'say. Karena aku bukan lagi sayangmu."

"Tapi... aku.. masih sayang kamu.... " katanya menggantung, seakan mengucapkannya untuk kesadaran dirinya sendiri.

"Adi, aku sudah menyampaikan apa yang ingin kusampaikan. Sekarang tolong tinggalkan kantorku. Aku ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku doakan yang terbaik untukmu. Selamat tinggal. " kataku, berpura-pura menyibukkan diri dengan berbagai kertas laporan di mejaku.

Semoga dia cepat pergi, batinku. Sebab air mata mulai mendesak keluar dari sudut-sudut mataku. Aku tak ingin ia melihat aliran air mata ini. Biar aku menelan dukaku. Dan akhirnya bangkit sendiri, karena diriku. Bukan karena orang lain.

Dia beranjak dari kursinya, agak lambat laksana adegan slow motion pada film-film drama.

"Baiklah, Arumi. Aku pergi. Selamat tinggal. Ingat, aku masih sayang sama kamu. " katanya lirih namun jelas, kali ini ia mengucapkannya dari dalam hatinya. Bukan lagi mencari kesempatan seperti sebelumnya.

Aku tak sanggup menahan air mataku lebih lama lagi. Kuputar kursi ke arah tembok. Tertunduk pasrah membiarkan kesedihan mengalir deras. Terdengar pintu tertutup. Blam. Tertutup juga cintaku kepadanya.

***

Kubuka mataku. Merasa beruntung tak lagi di kantor, dimana bayangnya meninggalkan pintu itu terus berulang. Aku bangkit dengan malas. Memutuskan untuk ke kamar mandi. Mengguyur badan, agar dinginnya air membekukan luka yang menganga. Dan dilanjutkan dengan tidur sampai pagi. Rasa lapar tidak kugubris. Sampai pagi hari datang, terpaksa kubangun. Menyelesaikan rutinitas hari itu serasa robot.

***

Sore datang. Jam kerja usai. Maka kumelaju ke arah cafe favoritku. Tak ingin rasanya sendiri di kamarku lagi. Mengingat aku tinggal sendiri di kamar apartemenku.

Kuraih cangkir berisi coklat yg mulai menghangat. Sambil terus menerawang ke luar jendela cafe sederhana ini. Alunan lagu "I'll Survive"nya Cake terus menemaniku semingguan ini. Ah.... sure! Aku akan survive... Tapi untuk saat ini, sulit rasanya keluar dari kubangan kesedihanku.

Tentu saja, secara rasional, aku menyadari bahwa putus dengannya adalah keputusan terbaikku selama 3 tahun ini. Memutuskan sesuatu yan membebaskanku dari kekhawatiran akan pengkhianatan yg terus berulang. Memberikanku kebebasan dari tanya, apakah dia mencintaiku atau tidak. Karena akhirnya aku tahu, yang paling penting adalah rasa sayang pada diri dari aku sendiri. Akhirnya aku tak lagi merasa takut akan kehilangan cintanya. Karena aku tahu sekarang, cintanya bukan untukku. Dan rasa sayangku tak pantas diberikan untuknya. Aku ingin mengabdikan cintaku pada orang yang memang benar menyayangiku dengan tulus.

Tiba-tiba, sebuah sapaan terdengar di sisi kiriku. Aku menengok dan menemukan wajah ramah, tersenyum.

"Hay, Don... Kok, bisa sama-sama di sini ya... " kataku sedikit kaget dan bertanya-tanya.

"Hmm... ga tau juga ya. Aku juga kaget. Hmm, sebelum bertemu temanku, boleh aku menemanimu duduk di sini? " tanyanya spontan.

"Tentu. Silahkan.." langsung aku menyambut kehadirannya, dengan sekilas menyadari minuman yang digenggam Doni sama dengan cangkirku di meja. Secangkir coklat hangat.

Maka sore itu menjadi agak cerah, karena kembali hadir seorang teman.

***
Minggu telah berganti bulan dan menumpuk menjadi tahun. Sudah dua tahun semenjak aku memutuskan Adi. Lihatlah hatiku. Tak lagi kuasa berlama-lama menghitung air mata. Dan berhasil menapak dalam hubungan baru. Berusaha meraih harap dan mewujud asa.

Doni telah mengisi hari-hariku. Tanpa mampu aku memberikan arti & harap lebih terhadap sekian tawa dan kerinduan yang selalu hadir di antara kami. Manisnya masa berpacaran, kata banyak orang. Ah, tetap aku menikmatinya.

Dua gelas berisi coklat panas seakan selalu hadir mengingatkan jalinan sederhana yang ada di antara kami. Berisi kehangatan cinta dan rasa manis yang selalu ingin dipeluk raga.

Semoga...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hmph.. ini masi berlanjut kan ya?