Minggu, 10 Mei 2009

Biarkan Lampu itu Menyala

Sejak kecil aku telah ditinggal Ayahku. Beliau pergi atau hilang, entah kemana. Meninggalkan aku dan Ibuku dalam keadaan yang sulit. Beruntung anak orangtuaku hanya aku seorang. Kalau tidak, tak terbayangkan kesulitan ekonomi yang dihadapi. Setelah lulus SMA, aku pun tak tahan untuk terus enak-enakkan duduk di bangku pendidikan. Melihat Ibu, yg dengan rela hati, membanting tulang pada dua pekerjaan. Maka aku pun mulai menjadi penjaga toko kue di sebuah pertokoan yang ramai, sampai sekarang ini. Sedangkan Ibu aku paksa berhenti menjadi tenaga pencuci baju. Sehingga ia hanya menekuni pekerjaannya sebagai penjahit. Dengan dua sumber penghasilan ini kami dapat hidup berkecukupan.


Entah pada usia berapa dan mengapa Ayah pergi meninggalkan kami. Ibu pun tak ingat atau mungkin sengaja melupakannya. Ibu hanya ingat Ayah berpamitan untuk bekerja namun ia tak pernah kembali. Sejak itu setiap sore Ibu tetap menunggu Ayah. Seperti pungguk merindukan bulan. Ibu menyiapkan kopi pahit kesukaan Ayah di meja teras depan. Lalu juga mempersiapkan selop rumah Ayah. Bahkan juga menjerang air untuk Ayah mandi. Baju-baju Ayah pun masih terus terlipat rapi dan bersih di dalam lemari. Aku yg menyimpan kerinduan yang sama kepada Ayah, tidak mampu menegur kebiasaan Ibu yang telah berlangsung menahun itu. Aku bahkan kadang mulai percaya akan kehadiran Ayah. Dan itu membuatku merasa nyaman. Meski kami berdua tidak pernah memasukkan topik itu ke dalam percakapan kami berdua sehari-hari. Seakan duka yg ada telah terucapkan lewat pelukan serta air mata pada doa-doa malam kami.


Rutinitas yg aku lakukan setiap malam adalah menyalakan lampu teras depan. Itu yang setiap malam Ayah lakukan, dahulu. Untuk melakukannya aku harus melewati kamar kerja Ayah, yang penuh tumpukan berbagai buku dan dihiasi sebuah mesin tik manual berdebu.


Setiap kali melewati ruang itu, aku terkenang masa kecilku, ketika aku selalu senang berada di ruang kerja Ayah. Mendengar ketak ketik mesin tik Ayah, seakan lagu masa kanak-kanakku yg selalu terkenang sampai sekarang. Ayah pun menularkan kebiasaan membacanya kepadaku. Sehingga aku mampu melahap buku apapun yang disodorkan kepadaku pada usia yg sangat belia. Meski kadang ada saja kata atau materi bacaan yg masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Aku juga terinspirasi oleh kebiasaan Ayah menulis. Aku ikut menulis di bukuku ketika Ayah mengetik berbagai laporan pandangan mata untuk Koran tempatnya bekerja. Aku menulis tentang apaaa saja yang aku lihat dan alami setiap harinya. Misalnya, ketika aku dimarahi guru di sekolah, karena memakai kaus kaki hitam dengan alasan aku sedang tidak mau memakai kaos kaki putih, sesuai peraturan sekolah. Atau ketika aku menolong seorang pengemis tua di depan sekolah, karena ada anak bandel yang menendang wadah tempat uang pengemis itu. Atau ketika aku dimarahi Ibu karena sering pulang dengan baju kotor akibat bermain bola di lapangan sekolah. Pokoknya semua yang aku alami terekam dengan baik di sejumlah buku. Sekarang buku-buku itu ikut teronggok tak berdaya di dekat mesin tik Ayah. Setelah Ayah tak ada di rumah, aku seakan kehilangan kata ketika memegang pena dan dihadapkan pada buku tulisku. Aku berhenti menulis sejak Ayah hilang. Aku tak sanggup menulis lagi. Seakan hilang sudah makna dan tujuan menulisku.


Suatu malam, seperti biasanya aku berjalan perlahan dalam kegelapan, mencari tombol lampu depan. Kutekan tombol itu, dan menyalalah lampu ber-watt kecil itu. Redup namun tak habis menghangatkan kerinduanku akan Ayah. Aku hendak ke kamarku untuk beristirahat. Namun entah apa, ada yg mendorongku masuk ke kamar kerja Ayah. Biasanya aku amat menghindarinya. Melihatnya pun sering kali membuatku terserang kesedihan. Aku melangkah perlahan, seakan menunggu sesosok Ayah memanggilku dengan hangat untuk menemaninya bekerja. Ajakan itu tak kunjung datang. Langkahku tetap kuteruskan menuju masuk ke dalam ruangan berdebu itu. Kunyalakan lampu, yang ternyata masih menyala setelah sekian lama ditinggalkan mati. Aku menatap ke sekeliling kamar itu. Sekelebatan berbagai memori masa laluku yg bahagia bersama Ayah berseliweran di mataku. Masih dengan energi tersisa, aku merasakan emosi bergejolak. Seakan mendorong sejuta air mata ke pelupuk mataku. Mataku mulai tak bisa ditahan. Air mata menyelinap dan berleleran ke pipiku. Aku menangis, mengenang apa yang pernah aku punya bersama Ayah. Tak terasa aku membuka-buka acak buku-buku tulisku. Rupanya banyak juga coretan Ayah disana-sini, entah dalam bentuk tulisan maupun gambar. Aku tersenyum spontan ketika melihat gambar Ayah tentang cerita si Anjing dan Monyet bandel, yang sering didongengkannya kepadaku. Ya, Ayah memang serba bisa. Bisa mengajakku ke alam imajinasi nan luas. Juga bisa mengenalkanku pada dunia sekitar yg nyata dan tak habis kisahnya. Ah, Ayah… betapa aku merindukanmu…, demikian batinku sambil menutup mata. Tak kuasa lagi menahan kerinduanku, aku terhenyak duduk ke kursi Ayah. Aku tetap menutup mataku, tak sanggup lagi menerima sejuta kenangan yg tersirat dalam kamar ini.


Terdengar kokok Ayam milik Pak Umar, tetangga sebelah rumahku. Aku membuka mataku, kaget. Ya ampun! Ternyata aku tertidur semalaman di kamar kerja Ayah dengan mendekap buku tulis masa kecilku itu. Duh, jam berapa ya… aku bertanya dalam hati. Aku langsung beranjak dari kursi dan melihat jam dinding di depan kamar kerja Ayah. Waduh! Sudah jam 7 pagi! Aku harus bergegas, sebelum omelan bosku mengiang di telinga karena aku terlambat datang untuk membuka gerai kuenya. Tanpa pikir panjang aku mandi dan berpakaian, tanpa sempat makan apapun. Ibu berteriak mengingatkan aku untuk sarapan di perjalanan. Aku mengiyakan selewatan dan langsung berlari menuju jalan untuk menyetop angkot yg lewat. Untung saja tempat kerjaku dekat. Maka aku tidak terlalu terlambat, hanya terlambat sekitar 5 menit dari jam 8 pagi itu.


Setelah semua kesibukan membuka gerai toko berakhir, seperti biasa aku punya sedikit waktu untuk duduk-beristirahat sebelum para pembeli datang. Aku memang sendirian menjaga gerai makanan ini. Mengingat kios toko yang memang kecil dan pembeli yang datang juga masih bisa tertangani sendiri. Si pemilik toko akan datang setiap sore untuk mengambil uang hasil penjualan hari itu.


Sambil duduk mengaso, aku kembali teringat akan peristiwa tadi malam. Betapa kenangan akan Ayah menggugah emosiku. Tak tersadar, aku menggenggam sebuah pena yang biasa aku gunakan untuk menulis bon belanjaan para pembeli. Aku coret-coretkan tanpa makna di sebuah kertas karton bekas bungkusan kue. Tak lama, terciptalah kata-kata dan terjadilah sebuah tulisan, puisi pendek tentang Ayah. Aku pun keasikan menulis. Melupakan sekitarku. Semua kegagapan dan kemandegan ku untuk menulis sejak Ayah hilang, tiba-tiba sirna. Sampai seorang pembeli menggamit lenganku untuk membeli satu dua kue. Aku cepat-cepat menaruh kertasku dan bulpenku. Dengan ringan aku melayani pembeli itu. Setelah selesai, secepat mungkin aku kembali menekuni tulisanku. Demikian berulang kali aku lakukan hari itu. Menulis kata demi kata, yg tadinya hilang dari genggamanku. Sekarang meluncur tanpa hambatan. Seperti ada energi positif mengaliriku sejak tadi malam. Mungkinkah itu… Ayah? Hem, entahlah. Yang aku tahu, semua halangan untuk menulis sudah musnah.


Sejak hari itu, akupun kembali memenuhi halaman demi halaman dengan sejuta kata. Sampai suatu waktu, Ibu membacanya. Ia dengan sumringah mendorong aku mengirim beberapa tulisanku ke berbagai majalah dan Koran. Termasuk ke Koran tempat Ayah dulu bekerja. Aku menuruti dorongannya. Dengan semangat dan tanpa harapan apapun, aku memasukkan beberapa tulisanku yang kebanyakan fiksi itu. Aku poskan ketika aku berangkat ke tempat kerjaku. Sekarang kegiatan menjaga toko kue tidak lagi membosankan. Karena aku selalu ditemani oleh sebuah buku dengan penaku. Merekam semua imajinasi dan pemikiranku yang tampaknya tertunda sejak Ayah hilang.


Suatu sore, aku tiba di rumah. Aku melepas sepatuku dan duduk sebentar melepas kepenatan sesudah bekerja. Ibu menghampiriku dengan wajah cerah seakan mendapat kabar dari surga. Beliau memberikanku sebuah amplop yang tampak penting dan resmi. Aku mengernyitkan dahi, penasaran mengenai isi amplop tadi. Ibu berkata bahwa ada tukang pos yang datang tadi menyampaikan amplop penting itu. Perlahan aku merunduk, memperhatikan amplop tadi. Tertulis namaku dan alamat rumah kami di bagian tujuan surat. Di baliknya ada nama sebuah majalah perempuan, salah satu majalah yang aku kirimi tulisanku tempo hari. Aku kemudian membukanya perlahan, seakan takut merusak surat itu. Aku perlahan juga, mengeluarkan isinya dengan jantung mulai berdetak. Kubaca kata demi kata. Isinya menyatakan bahwa, sebuah karyaku akan dimuat di majalah itu. Honornya akan disampaikan setelah majalah terbit. Sukacita terbit di hatiku. Aku memeluk Ibu dan berterimakasih kepada Beliau. Aku berkata, “Ibu, tulisanku akan dimuat di majalah. Semua berkat dukungan Ibu. Terima kasih, Bu.” Ibu tanpa kata, memelukku erat.


Malam itu, setelah menerima surat dari majalah, entah kenapa Ibu tak lagi menjerang air panas untuk Ayah mandi. Beliau juga tidak lagi mempersiapkan segala kebutuhan Ayah. Aku pun dengan ringan bolak-balik masuk ke kamar kerja Ayah. Aku membereskan sedikit demi sedikit kamar kerja yg telah kembali memberikanku gairah menulis. Seijin Ibu, aku akan mengubahnya menjadi kamar kerjaku. Ya, di sinilah aku akan berkarya lebih lagi. Karena dengan Ayah dan karena Ayah, aku bisa menemukan pencarian jiwaku. Yaitu dengan menulis. Sebuah kegiatan yang membakar semangatku. Dan membuatku merasa berarti sebagai manusia.


Pandangan positif ini dengan cepat menulari Ibuku. Ibu tampak lebih semangat dari sebelumnya. Rumah kami lebih sering diisi dendangan suara Ibu yang merdu. Seperti dulu, ketika Ayah ada. Bahkan beberapa hari kemudian, aku dengar Ibu mulai ikut koor di gereja. Suatu kegiatan yang amat positif untuk Ibu, setelah sekian lama mengurung diri di rumah.


Malam selanjutnya, kami berdua menonton televisi bersama. Kami bercakap-cakap ceria. Membicarakan sebuah majalah yg akan mencantumkan namaku, dan akan terbit esok hari. Aku bahagia. Malam semakin larut. Mata kami mulai menandakan kelelahan. Ibu pun pamit masuk. Sekali lagi beliau memelukku dan berkata, “Ibu bangga denganmu, Nak.” Lalu aku pun membalas pelukannya erat dan memandangnya penuh arti. Televisi aku matikan. Aku bergegas ke ruangan depan untuk melakukan kebiasaanku menyalakan lampu teras.


Namun langkahku terhenti. Tiba-tiba aku mempertanyakan kebiasaanku itu. Tokh, tak ada perlunya aku menyalakan lampu teras, mengingat sudah ada lampu taman yang menerangi bagian depan rumah. Aku pun memutuskan untuk tetap membiarkan lampu teras itu tetap mati untuk malam ini dan malam seterusnya. Karena aku yakin sekarang, ada secercah cahaya yang selalu menyala dalam hatiku, dari kenangan akan Ayah. Cahaya abadi itu akan selalu memberikanku energi dalam berkarya. Cahaya kasih yang tak kunjung padam.


Selamat malam, Ayah. Besok dan besok dan besok dan selamanya, kita pasti akan berjumpa lagi. Dalam tulisanku, dalam ruang kerja kita. Dalam nyanyian Ibu. Dalam berjuta orang yang aku temui setiap harinya. Bahkan dalam bentukan awan yang selalu berubah dan menghibur hati. Terima kasih atas semua semangat ini. Selamat malam, Ayah. Ku tau engkau selalu ada di sini. Dan juga merindukan kami, rumah sejatimu.

5 komentar:

audelia agustine mengatakan...

dula, bagus banget... niat ya bikinnya, sampe selese, padahal panjang. kayaknya bisa didalami nih dula, tulisan buat segmen dewasa. hehe...

mata mengatakan...

saya jadi teringat ayah saya yang meninggal desember tahun kemaren :(

ella mengatakan...

Tudi : iya tudi... tnyata lg lbh lancar yg cerpen utk dewasa... berproses terus nih... hehehe... tks tudi... sukses n semangat jg utk tudii!!

Mata : Salam kenal Mata. Semoga Ayahanda dari Mata telah berbahagia di sisi-Nya... Tks utk mampir ke blog saya.

Ancilla mengatakan...

sediiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih....

Marooned Mom mengatakan...

cup cup Cill.... ;)