Jumat, 22 Januari 2010

Gerakan Tidak Empatik (Mengkritisi Razia Dubur terhadap Anak Jalanan)

Anak jalanan adalah sebutan bagi semua anak yg beraktivitas di jalan. Mulai dari yang menjadi pengamen sampai yang mengemis. Mereka pada dasarnya adalah korban. Korban kekerasan dalam berbagai bentuk. Mulai dari kekerasan sistematik seperti kemiskinan (atau pemiskinan?), kekerasan fisik, emosional, seksual dan lainnya. Mereka seharusnya termasuk dalam pihak yg dilindungi negara dalam UUD. Namun prakteknya, seringkali ditemukan berbeda. Bukannya sy katakan selalu, tapi sering kali dan yg biasanya ditemukan seperti itu. Artinya, memang ada beberapa pihak yg sudah berusaha memanusiakan mereka. Salut utk mereka ini.

Oleh pihak non empatik kepada anak jalanan, mereka dianggap sebagai sampah. Dianggap mengotori. Namun seperti yg pernah sy tuliskan secara pribadi bertahun-tahun yg lalu, mereka itu cermin kebobrokan masyarakat. Cermin perilaku kita sendiri. Betapa kita kurang peduli dan kurang memperhatikan mereka yg termarginalkan sehingga melahirkan anak-anak yg terdorong keluar dan berkarya di jalan. Kita membiarkan ego kita berkembang tanpa membantu mereka yg mengulurkan tangan dan mengais nasi sisa. Anak jalanan menjadi bukti betapa belum mampunya sistem dan masyarakat menangani persamaan kesempatan untuk mendapatkan fasilitas yg memadai. Akibatnya, jelas. Anak-anak jalanan mengalami kekurangan dari semua aspek perkembangan. Mereka bahkan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk, seperti yg diungkapkan di atas, sehingga makin memperparah kehidupan mereka.

Salah satu contoh tindakan non-empatik yg diberlakukan kepada anak jalanan kembali 'kumat' dilakukan. Selain razia 'rutin' yg dialami, yg pernah sy lihat sendiri bukan merupakan kegiatan yg efektif dan bertujuan jelas. Kali ini ada yg namanya razia dubur. Sebagian besar dari kita tentu sudah bisa membayangkan apa yg terjadi ketika seorang anak diminta memperlihatkan bagian tubuhnya yg pribadi di depan seorang (atau bahkan beberapa orang) yg belum dikenalnya, ditambah dengan aspek tempat yg tidak pantas. Bisa dibayangkan pula apa perasaan yg timbul ketika akan, pada saat, dan setelah kejadian itu terjadi. Malu, marah, sedih, dsb. Perasaan ini yg mungkin akan menjadi catatan luka batin yg tak seorg pun tau tingkat kedalamannya. Apalagi menyembuhkannya. Ya, kalau pemeriksaan berlaku secara etis dan dilakukan oleh tenaga profesional seperti dokter. Bila tidak, tentu ada banyak hal yg bisa terjadi. Seperti pelecehan seksual, yg notabene katanya menjadi alasan razia ini dijalankan. Menyedihkan dan tragis bila hal itu terjadi.

Menurut peraturan Hak Asasi Anak sebuah peraturan atau kegiatan terhadap seorang anak seharusnya mengedepankan nilai "best interest for children", atau "mengutamakan kepentingan dan kebaikan anak". Artinya, apapun kegiatan yg berkaitan dengan anak, diharuskan mengutamakan kepentingan dan kebaikan anak. Nilai lain yg lebih universal dan lebih umum untuk dipahami, yg patutnya dipertimbangkan sebelum razia semacam ini digelar adl nilai Empati. Empati, bagaimana kita bisa menempatkan diri kepada posisi seseorang-termasuk seorang anak, sehingga bisa memahami sudut pandang pikiran dan perasaannya. Dari situ kita seharusnya bisa menilai apakah suatu perilaku tepat atau tidak dilaksanakan kepada seseorang (anak). Dan dengan menerapkan nilai empati serta best interest for children, tidak mungkin muncul kegiatan semacam razia dubur ini. Mengapa seringkali kebijakan muncul tanpa kesensitifan akan nilai empati ini? Apakah demikian rendahnya perkembangan kemanusiaan kita jaman sekarang? Pertanyaan yg selalu dipertanyakan dari periode ke periode.

Kalau memang ingin mencari tahu mengenai anak-anak jalanan yang menjadi korban kekerasan seksual, lebih baik gunakanlah cara-cara yg lebih manusiawi. Misalnya yg paling mudah, melalui lembaga-lembaga yg bergerak di bidang bimbingan anak jalanan. Mereka yg bergerak di lembaga tersebut telah memiliki hubungan baik dengan anak-anak itu, sehingga memiliki akses yg lebih terbuka dan valid mengenai data anak-anak yg mendapat kekerasan dalam berbagai bentuk. Selain itu, dapat juga bekerjasama dengan para petugas sosial atau psikolog dalam mencari data dengan metode persuasif yang tentu mengedepankan kepentingan anak.

Janganlah semakin menyudutkan anak-anak jalanan, yang sudah menjadi korban begitu banyak kondisi. Kapankah sistem kenegaraan kita bisa mendukung mereka seutuhnya? Pertanyaan yg saya tahu, mungkin tak ada yg bs menjawabnya dengan pasti.

Tidak ada komentar: