Selasa, 11 Agustus 2015

Jika Dia Tidak Seperti Harapanmu

Kemarin saya bertemu dengan salah satu penasehat perkawinan. Penasehat ini juga menuliskan sebuah buku. Karena saya kebetulan berada pada satu acara dengannya, maka saya mendapatkan buku yang ditulisnya itu. Sekilas saya pun membaca buku tersebut, sebuah buku yang akan jarang saya lirik di toko buku. Lalu saya membaca pada bagian mengenai perselingkuhan. Menurut penulis atau sang penasehat itu, perselingkuhan muncul tidak hanya niatan si pasangan yang berselingkuh melainkan lebih mendasar karena adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam pernikahan (baca : dari pasangannya) sehingga si pasangan itu berselingkuh. Lalu, muncullah pertanyaan saya, apakah sebegitu bahayanya sebuah harapan yang tidak dipenuhi dalam komitmen monogami pernikahan? apakah alternatif sikap yang dapat dimunculkan ketika kita menemukan bahwa harapan saya tidak terpenuhi oleh pasangan saya? Maka saya mencoba mengurai pemikiran saya, yang tentu saja awam di bidang pernikahan ini, karena apa yang saya pikirkan hanyallah refleksi pribadi dari segala pengalaman dan insight-insight yang didapat dari sumber yang acak. Ketika kita memilih untuk hidup berpasangan dengan seseorang, disadari atau tidak, ada beragam harapan yang tersimpan dalam diri masing-masing individu kepada pasangannya. Harapan-harapan ini bisa berasal dari sosialisasi yang kita serap dari lingkungan sekitar kita ataupun dari refleksi pribadi kita masing-masing. Harapan-harapan ini beragam bentuknya, bahkan bagi pasangan-pasangan yag hidup dalam lingkungan atau budaya yang sama. Coba cek deh, dan bandingkan antara kita dan pasangan kita dengan pasangan lainnya yang cukup kita ketahui. Pasti kita temukan harapan-harapan dan perilaku-perilaku dan/atau sikap-sikap yang berbeda yang dipraktekkan dalam kehidupan perkawinan mereka, meskipun kita berasal dari lingkungan yang relatif berbudaya sama. Dalam konteks ini saya mengasumsikan harapan, perilaku dan sikap notabene mengekspresikan atau didasari dari harapan-harapan yang mereka bawa ke dalam pernikahan mereka. Namun kenyataannya, banyak salah kaprah terjadi. Kebanyakan dari kita, menganggap harapan-harapan ini standar adanya. Bahwa istri mengharapkan suami yang mapan secara finansial, memberikan pemenuhan kebutuhan rohani dan badani, menjadi panutan dll. Suami mengharapkan istri yang dapat mengasuh anak, menyelesaikan pekerjaan domestik, sabar, pengertian, dsb. Padahal,mana bisa sih harapan seseorang sama dengan harapan orang lainnya? Kecuali kita robot yang diciptakan oleh satu pabrik saja dengan satu variasi, baru bisa percaya harapan itu sama. Faktanya saja, kita tercipta dari dua bibit individu yang berbeda baik gen nya maupun sifat karakternya... jadi tentu saja akan banyak ragam harapan yang kita bawa dalam hidup berpasangan. Nah, tampaknya karena harapan-harapan dalam hidup berpasangan ini dianggap standar, maka sering kali pembicaraan dan diskusi serta kesepakatan mengenai harapan-harapan tidak dilakukan oleh banyak pasangan. Masing-masing individu menganggap atau berasumsi pasangannya sudah paham mengenai harapan dirinya. Demikian juga sebaliknya. Sehingga banyak pasangan yang hidup berumah tangga berdasarkan asumsi belaka. Tidak terjadi sesi klarifikasi maupun diskusi apalagi kesepakatan. Dampaknya? Terjadilah pertikaian-pertikaian yang tak kunjung reda. Maka saya pikir, penting sekali bagi pasangan-pasangan untuk saling mengkomunikasikan harapan-harapan ini. Sehingga tidak salah kaprah dan tidak terjebak dalam pertikaian-pertikaian yang tidak semestinya terjadi. Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika kondisi ini sudah terlanjur terjadi, bahwa ternyata ada harapan-harapan yang tidak terkomunikasikan dan terlanjur menjadi harapan yang tidak dapat 'dipenuhi' oleh pasangan kita? Untuk menelaah pertanyaan ini, saya teringat beberapa aspek pernikahan yang saya hayati yaitu komitmen, kasih sayang dan ketidaksempurnaan. Pertama, komitmen. Dalam pernikahan, komitmen adalah perekat abadi. Artinya tanpa komitmen, pernikahan bubar jalan. Maka ketika kita menemukan pasangan kita tidak sesuai dengan harapan kita, jangan buru-buru putus asa, tapi ingatlah lagi bahwa ada komitmen dan tanggung jawab yang perlu kita jalani bersama. Lalu, untuk menjalaninya maka kita butuh hal kedua yaitu, kasih sayang. Kasih mengajarkan kita untuk dengan lapang dada menerima pasangan kita secara utuh dengan rasa rela. Lalu ternyata komitmen dan kasih sayang juga dilengkapi oleh kesadaran bahwa semua yang alami di dunia ini memiliki ketidaksempurnaan. Dalam arti, tidak ada yang bisa memiliki semua karakter pasangan impian kita. Dan semua ini membawa pada satu sikap yang saya pikir paling bergunga dalam menyikapinya yaitu BERSYUKUR. Ya, bersyukur. Kata agung yang tidak mudah untuk diterapkan secara sepenuhnya dalam hidup kita yang fana dan penuh materialisme yang bersifat hedonistik. Bersyukur bahwa pasangan kita baik adanya. Bahwa kita bersama berkomitmen untuk membangun tim kerja agar menciptakan keluarga yang harmonis dan saling mendukung pertumbuhan bersama. Bersyukur bahwa meski dia tidak bisa dijadikan teman diskusi, namun dia sangat konsisten melindungi kita sebagai anggota keluarganya. Bersyukur bahwa meski dia tidak pandai memasak, namun ia menjadi pembimbing pelajaran yang baik bagi anak-anak kita. Bersyukur meski dia tidak tinggi pangkatnya dalam pekerjaan, namun ia amat memahami diri kita sehingga sering memberikan perhatian-perhatian kecil. Bersyukur meski dia tidak setiap minggu memberikan bunga dan mengajak kita berkencan nonton bioskop utk me time berdua, namun dia rajin mengantar si kecil ke sekolah serta menanyakan kabar harian kita. Banyak hal kecil yang patut disyukuri dan menjadi sebuah berkah yang tak berkesudahan. Banyak bentuk cinta kasih pasangan kita yang mungkin tidak sesuai dengan harapan kita, namun tetap saja bentuk itu adalah bahasa cinta kasih pasangan kepada kita. Tangkaplah maksudnya dan resapi sehingga sikap bersyukur muncul otomatis. Well, tulisan ini tamppak sederhana dan standar. Karena semua orang berpikir demikian dan berharap demikian. Namun, bagaimana dengan pasangan anda? Apakah ia memiliki harapan yang sama? Dan apa yang akan kamu lakukan jika ternyata dia tidak seperti harapanmu?

Tidak ada komentar: