Sabtu, 11 Desember 2010

Kebijakan dalam Angkot

Kalau dihitung-hitung sudah hampir 20 tahun-an saya jadi penumpang angkot (angkutan kota/angkutan umum) yang setia. Jadi sudah kenyang dengan segala macam polah tingkah, perasaan was-was serta antisipasi yang dirasakan ketika menaiki angkot. Angkot yang saya naiki pun beragam jenisnya, dari yang angkot kecil, seperti mobil kijang sampai bis-bis besar ber-AC. Maka layaklah kalo angkot menjadi tema tulisan saya sekarang ini, mengingat angkot memainkan peranan yang penting dlm perjalanan hidup saya. (yah meski terdengar berlebihan, tp ada benernya juga loh.)

Kalau mau membahas bahayanya naik angkot, sepertinya banyak kalangan sudah tahu. Maka kali ini saya mau sedikit berbagi cerita tentang nilai positif yang bisa ditarik dari para penumpang angkot (di Jakarta khususnya).

***

Sore itu saya bergegas pulang dari kampus, tempat mengajar saya, menuju ke rumah. Agak kaget juga melihat rentetan kendaraan bermotor telah menjalar seperti ular nan panjang di jalan raya. Saya mengecek jam, ternyata baru jam 3 sore. Ternyata memang kemacetan tidak bisa juga saya hindari di daerah ini, saya membatin. Maka, setelah membungkus jajanan dari pinggir jalan, saya pun naik angkot merah menuju daerah rumah saya. Angkot ini pun penuh. Beruntung saya masih kebagian duduk, meski dekat pintu dan kaki saya harus terus menahan keseimbangan, terutama ketika si angkot direm. Pegal juga rasanya. Rata-rata penumpang di kanan-kiri saya berusaha mengusir penat dan rasa kesal akan macet dengan menutup mata mereka. Entah apakah benar-benar tidur atau sekedar mengalihkan perhatian. Menyesal juga, saya tidak membawa earphone telpon seluler saya. Jadinya saya tidak bisa mendengarkan musik dari radio untuk menemani kemacetan yang memakan energi.

Ketika macet akhirnya tidak lagi terlalu panjang, saya pun mendapatkan tempat duduk yang lebih enak. Tentu karena ada beberapa penumpang turun, sehingga memberikan sedikit ruang utk kaki saya beristirahat karena tak perlu lagi menjaga keseimbangan. Setelah merasa sedikit nyaman, perhatian saya teralih dengan beberapa penumpang yang masuk.

Seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan masuk, dengan masing-masing tampak sibuk menjaga barang bawaannya. Saya rasa mereka tak lebih tua dari anak yang duduk di kelas 3 SD. Karena keterbatasan tempat duduk, si kakak (anak laki-laki yang tampak lebih tua) memangku si adik (anak perempuan). Ternyata mereka tidak hanya berdua. Sesudah mereka naiklah si bungsu, anak laki-laki yang kira-kira maksimal berusia 3 tahun. Si bungsu yang tampak belum bisa menjaga dirinya, dengan cueknya berdiri dekat kaki kakak-kakaknya sambil menggenggam sepotong roti. Lalu masuklah Ibu mereka yang paling repot, membawa satu gembol tas yang tampak sangat penuh dan ditambah sekantong plastik berisi 3 kotak kue yang berukuran sedang. Di tangan si Ibu tampak juga memegang sebuah telpon seluler yang berbunyi. Tempat duduk yang tersisa hanyalah tempat duduk bekas posisiku tadi, yaitu hanya sebelah pantat (maaf) saja yang bisa tertampung sedangkan kaki penumpang harus menahan keseimbangan agar tak terjatuh ketika angkot mendadak mengerem. Kesulitan pada si Ibu ditambah dengan beban seorang anak yang dipangkunya, sebuah tas yang terselempang di bahunya dan sebuah tas berisi kotak-kotak kue. Jangan lupa pula bahwa ia harus mengawasi kedua anak tertuanya.

Tebakan saya, si Ibu pastilah penumpang kawakan angkot juga, seperti saya. Karena ia tampak dengan yakin (atau mungkin memang terpaksa krn faktor keekonomisan biaya) untuk membawa 3 orang anak dan perlengkapan "perangnya" dengan menaiki angkot. Memang ketenangan seorang Ibu dengan begitu banyak beban bisa dipahami oleh seorang yang bisa menggunakan angkot. Karena, di dalam angkot, meski tidak saling kenal, terasa ada solidaritas yang mengikat dan mengalir dengan spontan. Ketika si bungsu masuk, seorang ibu (dan tangan saya sendiri) langsung spontan memegangi tangan si bungsu agar si bungsu tidak terjatuh akibat goyangan kendaraan. Ketika Ibu memasukkan kantong plastik berisi kotak-kotak kue, tangan-tangan penumpang angkot langsung dengan sigap menarik plastik itu masuk dan menahannya agar tidak roboh. Bahkan penumpang yang di dekat pintu membantu si Ibu menarik tas yang tampak terabaikan. Intinya, semua berusaha membantu meringankan beban si Ibu yang tampak sangat repot itu. Disini tampak empati antar penumpang (yang kebetulan rata-rata perempuan) terhadap beban yang dirasakan si Ibu tadi.

Inilah kebijakan yang saya selalu temui ketika menaiki angkot. Ketika ada seorang penumpang (yang biasanya ibu-ibu) membawa anaknya serta ketika menaiki angkot, apalagi ketika si penumpang ini membawa lebih dari 1 orang anak, maka otomatis semua penumpang sebisa mungkin berusaha menjagai si anak. Dari memegangi tangan si anak ketika si Ibu berusaha naik atau ketika si Ibu turun dari angkot. Jika kita terbiasa menaiki angkot, kita akan paham bahwa bantuan ini akan sangat berarti bagi keselamatan seorang anak, yang sering belum mampu mengawasi keselamatan dirinya sendiri.

***

Ada lagi cerita lain tentang kebijakan yang saya temui di angkot. Waktu itu, dengan trayek yang sama, saya tengah menaiki angkot ke tempat saya mengajar. Angkot itu tidak begitu penuh, tapi cukup padat lah. Naiklah seorang Ibu yang telah berusia lanjut, yang layak dipanggil Nenek. Si Nenek duduk di sebelah seorang Ibu yang tampak sedikit junior dari si Nenek. Entah ada angin apa, si Ibu junior ini bertanya ini itu kepada si Nenek, mengenai kemana tujuan si Nenek, dari mana Nenek itu, sampai... pada informasi terpenting dan membuat hati beberapa penumpang terketuk. Si Nenek bercerita bahwa tadi ia baru saja pulang dari rumah menantunya, orangtua dari seorang cucu yang diasuhnya di rumah. Ia sekedar bertandang untuk meminta uang biaya pembelian seragam cucunya, yang memang sehari-hari menjadi tanggung jawab si Nenek. Cucunya sudah lama tinggal dengan si Nenek, yang hanya petani sayur itu. Cucunya diambil Nenek untuk tinggal bersamanya karena Nenek melihat sang menantu tidak layak berperan menjadi orangtua yang baik, karena melakukan kebiasaan 'kumpul kebo'. Maka meski sulit, Nenek rela merawat si cucu. Trenyuhlah saya mendengar cerita itu. Meski cerita itu tadinya diceritakan kepada si Ibu junior tadi, namun sampai juga pada telinga saya karena posisi duduk kami yang berdekatan. Tak disangka oleh si Nenek (oleh saya juga), cerita itu tampak mengetuk hati Ibu junior (dan saya juga pada akhirnya) untuk memberikan uang ala kadarnya mengingat kesulitan biaya yang diceritakan si Nenek. Ah, betapa peristiwa itu selalu menggayuti hati nurani saya. Bahwa di tengah keegoisan metropolitas yang ganas, ketulusan dan kasih sayang selalu mempunyai cara tersendiri untuk menolong mereka yang papa. Yah, meski besaran rupiah yang saya dan Ibu junior tadi sampaikan ke Nenek tidak seberapa.

Cerita-cerita kecil ini selalu mengingatkan saya, bahwa kebaikan bisa ditemukan dimana saja, termasuk di dalam angkot. Memang tidak mengabaikan bahaya-bahaya yang harus diwaspadai ketika kita menggunakan fasilitas angkot ini, namun ternyata di tempat yang tidak ramah pun bisa ditemui senyum dan gapaian bantuan yang tulus.

Jadi, lain kali kalau anda naik angkot, siapkan tangan anda untuk membantu penumpang lain yang memang membutuhkan bantuan kecil dari anda. :)

Tidak ada komentar: