Sabtu, 09 Juli 2016
Carrie by Stephen King
Inteligensi Embun Pagi
Senin, 23 Mei 2016
Idola
Dia hebat begitu memukau semua
(Siapa dia? Bicara apa dia)
Semua kerumunan membicarakannya
Sayapun tertarik,
Bukan karena kehebatannya tapi krn cara dia menjadi hebat
Bukan karena pulasan senyumnya tp karena penasaran cara pengelolaan emosinya
Bukan karena berapa banyak dirinya muncul di media, namun karena ingin tahu apa keunggulan dan daya jualnya
Semua tampak gemilang
Tanpa cela
Tanpa duka
Tak tahu apa yg dia alami di luar panggung
Di dalam Angkot
Hujan di luar
Dingin seharusnya
Namun panas di dalam sini
Hujan di luar
Kami memegangi payung bertetes
Setidaknya tidak membasahi baju kami
Hujan di luar
Panas tubuh kami menguap di dalam
Tanpa ventilasi karena jendela ditutup
Embun menutupi kaca
Hujan di luar,
Jalanan mulai menggenang
Namun kering dan panas
Di dalam angkot merah ini
Minggu, 08 Mei 2016
Langkah-langkah Semu
Selangkahku disini
Disana mungkin ada teriak
Ada nestapa ketika otonomi tubuh dikoyak
Ada sebuah jiwa diremukkan
Selangkahku berjalan ke depan
Namun tetap ku dengar angka2 mengerikan, memertanyakan kemanusiawiann manusia
Tetap ku baca berjuta sengsara karena kemarahan, duka dan tangis akibat cabikan kekerasan
Langkahku kemana lagi....
Agar menyasar mengurangi nestapa jiwa para korban
Mencegah tangan2 kotor mempermainkan nasib sesama
Agar setidaknya mengurai sebenang dari bola kusut yg terus bergulir...
Minggu, 01 Mei 2016
Hay Perempuan!
Jam-jam Beracun
Minggu, 06 Maret 2016
Ava dan Pepper
Ketika saya membaca halaman-halaman awal, saya tahu penulis ini sungguh one of a kind, karena berani menulis secara sederhana dan mengambil hal kecil yang mungkin tidak banyak orang sadari dan tertarik. Yaitu sudut pandang seorang anak perempuan. Cara penulisanpun sangat konsisten menjaga alur dan ciri khasnya dari awal sampai akhir, dari cara memilih nama-nama panggilan setiap tokoh di dalamnya, cara memasukkan konsep-konsep khas untuk memberikan kesan kuat akan tokoh utama yang menceritakan kisahnya, dalam hal ini hobi dan cara pikir Ava yang selalu mengartikan segala sesuatu melalui pemahaman verbal. Yang mungkin semakin menarik buat saya untuk membaca, karena sayapun sering terpesona dengan arti kata-kata.
Semakin membaca, saya semakin merasa bukan suatu kebetulan saya memilih buku ini, meski waktu itu saya sedang rajin membisiki ke diri saya untuk berhemat dan tidak membeli tambahan buku lagi, karena di rumah sudah bertumpuk banyak buku yang belum dibaca. Saya merasa buku ini datang secara indah tapi getir di saat yang sama, karena ternyata topik buku ini adalah penghayatan seorang anak yang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), topik yang menjadi ranah kerja saya selama ini. Disini seorang ZZ mampu menggambarkan secara membumi mengenai penghayatan anak-anak yang selama hidupnya tidak mengalami kasih sayang dan hanya dicaci sert dikucilkan. Sehingga ketika cinta itu datang, mereka merasa sangat posesif dan tidak mau melepaskan.
Kegetiran-kegetiran kekerasan yang dialami Ava, si anak perempuan sebagai tokoh utama, dari Papanya digambarkan secara jelas dari sudut pandang khas anak-anak yang sederhana dalam mengambil kesimpulan sebab akibat.
" Papa juga kesal kalau melihatku. Padahal, kadang-kadang aku tidak melakukan apa-apa. Kurasa, berarti semua Papa memang seperti itu. "Dan ternyata tidak hanya Ava yang memiliki kondisi yang kurang lebih sama, seperti fakta pahit dalam hidup ini bahwa sungguh banyak anak-anak yang terpaksa hidup dalam kubangan kekerasan, Ia bertemu dengan P, seorang anak di Rusun Nero, tempat tinggal Ava yang baru. Pertemuan dengan P membuat Ava dan P saling menguatkan persepsi mengenai kondisi kehidupan mereka. Tampak bahwa logika bertumbuh di diri anak-anak, bahwa anak adalah subjek, bukan objek.
"Iya. Papaku jahat sih, Aku sudah biasa."
"Oh ya? Papaku juga jahat, kok. Mungkin semua Pap memang jahat."
"Iya juga. Tapi kamu juga kan nanti jadi Papa. Nanti kamu juga jahat, dong?"
"Kalau begitu aku nggak mau jadi Papa, ah. Aku nggak mau jadi jahat."
"Kamu jadi kakek saja. Kakek Kia baik, soalnya."
"Boleh, aku jadi Kakek saja. Kamu jadi nenek ya?"
"Nggak, ah. Aku mau jadi mama. Mama aku baik, soalnya."
" Oh, ya? Mama aku jahat."
"Masa?"
"Nggak tahu. Tapi kata Papa, sih, dia jahat. Kalau orang jahat bilang orang lain jahat, berarti orang lain itu lebih jahat dari orang jahat itu, kan?"
"Aku nggak mengerti."
"Ya sudah."Sampai bagaimana sulitnya bagi kedua anak ini memahami kejadian-kejadian di sekitarnya. Misalnya pendapat Ava mengenai Mamanya.
"Kuharap Mama tidak terlalu penurut, jadi dia tidak menuruti Papa terus. Papa tidak boleh dituruti. Kata Kakek Kia, tidak boleh menuruti setan. Papa kan setan."Lalu pendapat Ava dan nalar P mengenai keputusan yang dibuat Mama yang pada akhirnya bercerai dengan Papa, yang ternyata sangat rumit untuk mereka.
"Mama sama Papa kamu mau cerai, tahu?" kata P lagi.
Lalu, dia memandangku. ... "Kenapa?"
Dia mengangkat bahu, "Aku dikasih tahu Mas Alri. Tapi nggak tahu kenapa. Mungkin karena Papa kamu jahat."
Aku berpikir, itu memang benar,"Tapi kan Papa jahatnya dari dulu. Kenapa pisahnya baru sekarang?"
"Nggak tahu. Mungkin karena kalau dulu, Papa kamu punya rumah bagus dan kerjaan yang bagus. Sekarang, dia mau judi saja."
"Terus kenapa?"
"Jadi, kalau dulu Mama kamu cerai, dia bisa kehilangan rumah dan uang dari Papa kamu. kalau sekarang, nggak kehilangan apa-apa. Soalnya, rumahnya sudah nggak ada. Uangnya juga semakin habis."
Dia blang, "Kan, dulu kamu pernah bilang alasan Mama kamu kabur ke hotel. Sama saja seperti ini, kan alasannya?"
Aku mengangguk, "Jadi mereka cerai karena Papa ga punya uang lagi?"
"Kayaknya sih begitu, Biasanya sih, begitu." "Jadi, cerainya bukan karena Papa jahat, dong?"
"Hmm, bukan."Begitulah mereka berdua saling menguatkan satu sama lain, meski baru berkenalan secara singkat. Bahkan ketika Ava harus "kabur" dari Rusun Nero bersama Mamanya, akibat Papanya Ava mengamuk sedemikian rupa, Ava terdorong untuk kembali ke Rusun Nero "hanya" untuk bertemu P kembali. Beberapa orang menyatakan ini seperti cinta monyet, cinta masa kanak-kanak. Mungkin ada benarnya. Namun saya lebih melihat bahwa tampak bahwa anak (kita) akan sangat lengket pada orang yang memahami dan melihat dunia 'sama' dengan kita. Apalagi kondisi si anak (kita) kekurangan sumber kasih sayang tulus yang ajeg. Disitulah akar dari magnet yang tercipta di antara P dan Ava, saya pikir.
Jalinan cerita cukup ketat dan menarik untuk terus diikuti. Dan ada titik-titik gemas dimana saya ingin cerita ini normal saja dan happy ending. Terutama ketika Ava dan P melarikan diri dan pergi ke tempat-tempat yang jauh dari orang-orang dewasa yang menyayangi mereka. Entah karena memang saya mengidentifikasikan sebagai orang dewasa yang peduli dengan mereka, entah karena saya memilikirkan harapan saya ketika anak saya diposisi mereka. Begitulah manusia selalu mengidentifikasikan kejadian dengan dirinya. Namun seperti semua kejadian dalam hidup, dalam pelariannya, Ava dan P bertemu dengan banyak orang yang mengajarkan mereka bahwa banyak karakter baik yang bisa menyayangi anak-anak secara tulus. Seperti ketika mereka bertemu Pak Tukang Sate dan Ibu Tukang Sate. Setidaknya mereka menemukan sosok-sosok yang berbeda dengan yang biasa mereka alami. Begitulah, anak sangat membutuhkan role model, sosok contoh yang hidup dan walk the talk, mempraktekkan apa yang ingin diajarkan dan disampaikan kepada anak. Kasih sayang dalam bentuk nyata.
Nafas lega akan muncul di beberapa titik cerita karena tampak P dan Ava akan memiliki hidup yang baik dan sehat sebagaimana mestinya. Namun tidak di cerita ini.
Cerita ini mengajarkan juga bahwa sering kali orang dewasa lengah tanpa maksud khusus, kepada anak-anak. Orang dewasa memberikan penalaran, yang memang sudah semestinya sebagaimana tugas orang dewasa. Namun di selah-selah keputusan itu, sering kali orang dewasa terlalu lelah untuk memeriksa dan mengklarifikasi apakah si anak-anak tersebut telah memiliki rencana dan persepsi khas mereka sendiri. Itulah yang terjadi di cerita ini bahwa orang dewasa "kalah" dan gagal memahami penghayatan anak-anak. Dimana orang dewasa gagal memberikan dunia anak yang sehat.
Cerita ini sangat direkomendasikan bagi siapapun yang prihatin dan bekerja di isu anak untuk memahami penghayatan anak dalam sikon KDRT serta kemiskinan yang membelitnya, dimana anak mendapatkan pengalaman traumatis dalam segala bentuk-bentuk kekerasan dan penelantaran. Meski seperti yang diungkapkan di halaman 225 buku ini mengenai alasan :
"Alasan itu ada. Kadang-kadang tidak masuk akal. Kadang-kadang, mengada-ada. Kadang-kadang, tidak pernah kita ketahui. Tapi, pasti ada."Namun semakin saya mempelajari kasus-kasus kekerasan anak, tampaknya tidak ada alasan yang membenarkan untuk membiarkan kekerasan anak.
Terus terang, akhir cerita ini sangat mengenaskan dan saya jadi memikirkan si penulis, apakah dia berada dalam keadaan yang baik-baik saja... karena sering kali cerita kita adalah refleksi hidup kita. Saya harap tidak untuk cerita ini.
Sabtu, 05 Maret 2016
Alasan-alasan
Manusia berpikir, menemukan penjelasan-penjelasan.
Menentukan alasan utk semua yang terjadi.
Mencari hubungan di antara ketidakjelasan
Agar terang dan aman
Namun proses pencarian alasan malah sering membuat tersesat krn kadang bercampur baur dg niat yg kurang murni dan sering menyalahi kemanusiaan
Alasan-alasan bertebaran di.kepalaku
Bertanya, menganalisa, menautkan satu sama lain, melahirkan tindakan yg kuharap berguna
Kadangpun aku tau alasan2 hanya alasan yg tak berguna, membuat stagnan saja
Manusia berpikir maka dia ada, begitu sang filsuf menyatakan
Manusia mencari penjelasan n berpikir dan dunia pun berputar.....
Persahabatan
Bertemu mereka sore tadi. Selalu menghangatkan jiwa. Saling berbagi dan belajar ttg cinta dan cita, ttg hidup.
Dunia mungkin luas, mungkin berjuta orang yg kau temui, tapi hatimu jiwamu tau siapa yang kita sebut sahabat.
Peluks satu2.
Senin, 29 Februari 2016
Palace of Illusion Divakaruni
Sesudah membaca setiap buku, saya usahakan akan membuat resensi dan kilasannya seperti dalam postingan kali ini.
Buku pertama yang saya baca di tahun ini adalah buku novel The Palace of Illusion (Istana Khayalan) oleh penulis perempuan asal India, Chitra Banerjee Divakaruni. Seperti yang tertulis di sinopsis cerita, novel ini merupakan penulisan ulang kisah Mahabarata dengan menggunakan sudut pandang tokoh perempuan, yang menjadi ciri khas buku-buku karangan Divakaruni, Tokoh utama dalam buku ini adalah si empunya sudut pandang yang menceritakan sejak awal sampai akhir, yaitu Dropadi atau Panchali.
" Dengan tegas aku tidak menghiraukan mereka dan terus membaca. Buku yang dengan rinci menguraikan secara cermat dan muram undang-undang tentang barang-barang miliki rumah tangga - termasuk para pelayan dan istri-istri - membuat kelopak mataku terasa berat. Tetapi aku bertekad mempelajari apa yang perlu diketahui seorang raja. (Kalau tidak, bagaimana aku bisa berharap akan berbeda dari gadis-gadis bodoh ini, atau dari istri-istri ayahku, yang menghabiskan hari-hari mereka dengan bersaing untuk memperoleh kemurahan hatinya? Kalau tidak, bagaimana aku sendiri bisa kuat?) Maka aku tidak memperdulikan bujukan musim panas dan memilih berjuang dengan buku itu."
" ... Guru Dre berpendapat perempuan-perempuan bajik langsung dikirim ke kelahiran mereka yang berikutnya, dan kalo beruntung mereka berinkarnasi menjadi laki-laki. Tetapi aku berpendapat kalau toh loka-loka itu memang ada, semua perempuan baik pasti akan pergi ke loka dimana kaum laki-laki tidak diizinkan masuk sehingga akhirnya mereka akan bebas dari berbagai tuntutan laki-laki. Tetapi dengan bijaksana aku menyimpan teori ini dalam hatiku."
".. Perempuan tidak berpikir demikian. Aku pasti akan maju untuk menyelamatkan mereka waktu itu, seandainya aku mampu. Aku tidak peduli apa yang dipikirkan siapapun....Selama ini aku menyangka diriku lebih baik dari ayahku, lebih baik dari pada semua laki-laki yang menyebabkan penderitaan ribuan orang yang tidak bersalah demi menghukum satu laki-laki yang sudah berbuat salah kepada mereka. Tetapi aku juga ternoda karenanya, balas dendam sudah tertanam di dalam darahku. Jika sudah tiba saatnya aku tak bisa menolaknya ..."
" Ketika aku masuk ke balairung pernikahan, suasananya langsung hening sempurna. Seolah-olah aku adalah pedang yang dengan sekaligus sudah memutuskan setiap tali suara. Di balik kerudungku, aku tersenyum suram. Nikmati saat-saat penuh kekuasaann ini, kukatakan kepada diriku sendiri. Barangkali ini momen satu-satunya."
"Meskipun kita berduka, kita harus tetap hidup demi masa depan.' Aku mulai dengan berbicara kepada para perempuan itu seperti seorang ratu kepada rakyatnya, tetapi sementara kata-kata terbentuk dalam mulutku, aku berbicara sebagai seorang ibu di antara kaum ibu dan kami menangis bersama-sama."
"Hastinapura sesudah perang menjadi kota yang kebanyakan pendudukanya adalah perempuan, janda-janda yang tidak pernah menyangka bahwa kelangsungan hidup keluarga akan bergantung kepada mereka. Mereka yang lebih melarat sudah terbiasa bekerja, tetapi kinni sesudah tidak mempunyai perlindungan laki-laki, mereka mendapati diri mereka dieksploitasi. Perempuan-perempuan kaya, yang dimanja dan terlindungi sampai sekarang, adalah korban yang paling mudah... Keadaan ini sangat buruk - dan itu menyelamatkan aku. Aku tahu bagaimana rasanya tidak berdaya dan putus asa.... Sudah saatnya aku menyingkirkan rasa kasihan pada diri sendiri dan melakukan tindakan nyata. Aku memutuskan membentuk ruang sidang terpisah, tempat para perempuan bisa mengutarakan kesengsaraan mereka kepada sesama perempuan..."
"Semua (harta) ini memungkinkan kami membantu mereka yang melarat untuk memiliki rumah sendiri dan membeli barang-barnag untuk memulai usaha. Tidak lama kemudian, pasar kaum perempuan menjadi pusat perdagangan yang subur di kita, karena pemilik-pemilih yang baru ini merasa bangga atas barang dagangan mereka, dan cerdik tapi adil dalam transaksi mereka. Kami melatih mereka yang menaruh minat untuk belajar, menjadi guru bagi anak-anak gadis dan laki-laki. Dan bahkan pada masa sesudahnya, di bawah pemerintahan Parikesit, ketika dunia sudah masuk ke dalam Abad Keempat Manusia dan Kali, roh gelap, mencengkeram dunia dalam cakarnya, Hastinapura tetap menjadi salah satu kota dimana para perempuan bisa menjalani kehidupan sehari-harinya tanpa diganggu.
"Semakin banyak orang-orang membujukku untuk tidak ikut serta, semakin kuat tekadku Mungkin itulah masalahku selama ini, memberontak terhadap batas-batas yang ditentukan masyarakat untuk kaum perempuan. Tetapi apa alternatifnya? Duduk, membungkuk diantara para nenek, bergunjing dan mengeluh, mengunyah daun sirih yang sudah dicacah ddengan rahang tak bergigi sambil menunggu kematian? Tidak bisa diterima! Aku lebih baik mati di gunung. Kematian mendadak dan bersih, akhir yang pantas dinyanyikan para penyair, kemenangku yang terakhir di atas istri-istri lain : Dia satu-satunya permaisuri yang berani mendampingi para Pandawa pada petualagnan akhir yang mengerikan ini, Ketika terjatuh, dia tidak menangis, hanya mengangkat tangannya sebagai salam perpisahan yang gagah. Bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?"
Rangkaian
Hidup adalah serangkaian kejadian, yg saling bertaut tanpa tahu sebelumnya berkaian kemana
Hidup seperti memegang seutas tali, menitinya sambil menikmati kejadian yg hadir d sekitarnya, mengambil peranan yg bisa kita jalani. Menyapa dan berbagi dg orang2 yg ditemui, serta kadang kala melepas tali kita utk serangkaian kejadian bermakna. Dan moment2 itu berakhir, sehingga kita kembali meniti tali hidup kita, ruas demi ruas.
Rasa senang dan sedih, manis dan asam. Rasa marah dan kecewa, pedas dan getir. Rasa bahagia yang menyegarkan. Campur aduk dan membentuk jiwa yang kaya.
Hidup adalah serentetan peristiwa, satu mengantar pada yg lain. Satu mempersiapkan manusia utk berjuta lainnya. Satu dialami dan dipelajari tanpa tahu apa gunanya kelak. Ketika di satu titik masa, coba lihat ke masa lalu dimana keluh kesah mewarnai hati, maka semua tampak logis dan estetis. Everything fall gracefully in its place.
Tanpa perlu ngotot, namun ttp kerja keras
Tanpa perlu memaksa, namun ttp konsisten n persisten
Maka hidup memberikan yg manusia butuhkan dan memfasilitasi agar bs hidup sepenuhnya....
Minggu, 28 Februari 2016
Menulis 1
Untuk menulis ga perlu berumur tertentu, berprestasi tertentu. Yg diperlukan hanyalah keberanian, rasa ingin tahu, keinginan berbagi, sedikit rasa marah, sedikit rasa sedih dan kemampuan ekspresif yg tulus. Mari menulis.
Rabu, 17 Februari 2016
Bising
Media massa dan media sosial sering kali kongkalingkong membungkus isu sedemikian rupa sehingga orang2 lupa apa hal yg bermakna dlm hidupnya. Bergulirnya e-poster ttg kelompok support kepada sebuah kelompok marginal, memicu komentar2 dan pendapat informil yg menyudutkan. Betapa tidak nyan bagi kelompok support itu. Bermaksud membantu malah terinjak injak. Bergulirnya analisa informil ditanggapi dengan tanpa pikir panjang oleh seorang mentri dg larangan. Hebohlah dunia.maya n masyarakat (umum?) ..... mempermasalahkan yg tadinya adem2 saja. Buahnya, diskriminasi kepada kaum marginal semakin nyata. Dan ilmuwan serta tokoh masy (seakan) diuji. Disini terlihat siapa yg turut arus dan makan umpan mentah info yg ga jelas n menyudutkan kelompok ttt. Mana yg berusaha mnerima dan merangkul.
Dan memang ga hanya terjadi kali ini. Sudah berulang kali massa dg mudah termakan isu yg kemudian smkn bulat menggelinding dibungkus "kaidah" agama....
Kapan kita belajar dan lbh bijak? Tampaknya masih akan mjd proses yg panjang.