Selasa, 27 Juli 2010

CUCI OTAK

Aku pecandu. Ya, aku pecandu. Bukan, bukan pecandu narkoba. Bukan juga pecandu alkohol atau gila kerja, ataupun pecandu belanja. Aku pecandu majalah. Ya, betul. Aku pecandu majalah. Aku pecandu majalah wanita. Kalau kaum fanatis menjadikan kitab suci agama mereka sebagai pedoman hidup, aku menjadikan majalah-majalah perempuan sebagai injilku. Kemanapun aku melangkah, aku akan mencari petunjuk dari majalah-majalah itu. Apa yang aku baca dari majalah itu, itulah yang aku terapkan dalam hidupku.

Seperti sekarang, mengenai suamiku. Sejak sebelum menikahinya, aku merasa kurang cocok dengannya. Namun karena alasan usia dan Ibuku yang sudah setuju, maka aku pun mengiyakan pinangannya untuk memperistriku. Semakin tahun bertambah dalam pernikahan kami, semakin banyak hal yang membuatku semakin tidak nyaman bersamanya. Buatku ada-ada saja kekurangannya. Tak ada karakternya yang sesuai menurut injilku, majalah-majalah tersayangku itu,

Suatu artikel di majalah Anggun, pernah menyebutkan bahwa suami seharusnya romantis terhadap pasangannya. Misalnya, mengatur candle light dinner ketika ulang tahun pernikahan atau ulang tahun pasangannya. Membelikan bunga secara tiba-tiba ketika pulang kerja di sore hari. Memijat dengan rasa sayang ketika pasangannya sedang kelelahan. Dan sebagainyaa.... Ah, seandainya, Dion, suamiku seperti itu. Aku akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.

Di artikel lainnya, di majalah Suami Istri Bahagia, disebutkan bahwa suami sebaiknya memiliki sikap-sikap sempurna terhadap sang istri. Misalnya, selalu mengatakan sayang secara spontan pada istri, meninggalkan pesan-pesan yang menggambarkan perasaan sayang suami kepada istri, menganggap istri sebagai pasangan yang paling sempurna baginya, menyanjung kelebihan istri, dan seterusnya. Ah... sekali lagi aku berkhayal, seandainya saja Dion seperti itu kepadaku. Aku akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.

Pendek kata, aku sudah berusaha sebisa mungkin mendorong Dion untuk menjadi suami ideal yang digambarkan para majalah itu. Namun hasilnya tetap nol. Aku sudah memberikan pesan-pesan romantis di meja kerjanya, sampai-sampai sang sekretaris di kantornya heran karena aku sangat sering mendatangi kantor Dion ketika ia tak berada di tempat. Pesan-pesan elektronik dan via pesan singkat pun tak lupa kukirimkan. Aku pun mempelajari masakan-masakan favoritnya sehingga setiap malam aku dapat menyediakan masakan ala chef ternama di meja makan kami. Padahal tadinya membedakan mana garam atau gula saja sudah merupakan tugas berat bagiku. Aku sudah berusaha memberikan perlakuan nan romantis di tempat tidur baginya. Namun semua usahaku tampaknya hanya ditanggapi dingin saja oleh Dion.

Aku pun mulai tidak puas dengan semu majalah yang aku baca. Untuk kesekian kalinya aku mencari lagi. Kali ini aku mencari majalah yang memberikan cara-cara jitu agar suamiku semakin romantis dan menyayangiku. Aku pun pergi ke sebuah toko buku kenamaan yang memiliki berjuta-juta koleksi majalah, baik yang berbahasa asing dan lokal. Tak juga aku menemukannya. Yang ada malah aku menemukan ide-ide untuk berbelanja berbagai produk fashion. Mulai dari jepit rambut, mascara baru, baju sampai sepatu wedges yang lagi trend. Maka aku sudahi hari itu dengan keluar menenteng sejumlah tas dengan berbagai barang, namun tidak berhasil menemukan majalah berisi tips yang aku inginkan itu.

Mataku melihat tak tentu arah ke pinggir trotoar. Mobilku dikendarai oleh supir setiaku. Si supir sudah hafal kebiasaan belanjaku. Maka ketika melewati suatu sudut kota dengan sebuah toko, sekecil apapun, si supir akan melambatkan mobil, agar aku bisa meneliti isi toko itu sekilas. Begitu juga kali ini. Mataku tertaut pada sebuah toko buku kecil yang kelihatan begitu antik. Aku pun memberi tanda kepada si supir, agar menepi dan berhenti di depan toko tersebut. Tak ada label nama nan menarik di depan toko itu. Toko itu hanya berdiri dengan bersahaja dan rapi. Lis jendela dan pintunya tampak sederhana, terbuat dari kayu jati kokoh dicat terang. Terpampang tanda ’buka’ di depan pintunya. Terlihat beberapa buku dan majalah yang tak aku kenal di etalasenya. Aku pun turun dari mobil sambil meneliti satu per satu buku dan majalah yang ada. Perlahan aku mendorong pintu itu. Berkelininglah bel kecil di pintu.

Langkahku agak bingung karena belum mengenal denah toko itu dengan baik. Aku berhenti sejenak di depan pintu yang tertutup otomatis. Aku memandang ke kiri, dimana kebetulan tampak berderet-deret majalah. Langsung saja aku mengarahkan langkahku ke situ. Aku mulai merasa tepat berada di situ, sebab kulihat banyak majalah perempuan yang dipamerkan. Aku membuka satu per satu majalah itu. Aneh. Isi majalah-majalah itu tampak berbeda dari majalah-majalah yang selama ini aku baca. Karena asyik meneliti isi majalah-majalah itu, aku tak mendengar si penjaga toko datang.

”Bisa saya bantu, Bu?” tanyanya ramah dengan suara dalam dan berat.

Aku sedikit terlonjak, kembali menyadari bahwa aku berada di dalam toko buku kecil itu. Aku mendongak dan menyadari lelaki penjaga toko itu telah ada di dekatnya. Wajahnya yang sudah sedikit menua tampak ramah. Rambutnya yang mulai beruban tidak mengurangi wajahnya yang simpatik.

”Yyaaa... saya hanya ingin membeli beberapa majalah ini, Pak...” jawabku sedikit tergagap.

”Baik, Bu. Silahkan Ibu memilih dan melihat-lihat dulu.” katanya tenang sambil berjalan menuju ke tempat kasir dekat pintu.

Aku pun kembali menekuni beberapa majalah itu. Dan seperti tersihir, aku kembali tenggelam dengan materi bacaan yang berbeda dengan yang pernah aku baca. Aku pun memutuskan untuk membeli beberapa majalah dan membayar sambil mengucapkan terima kasih kepada si bapak penjaga toko.

Aku pun tak sabar ingin sampai di rumah menikmati majalah-majalah baruku ini. Sampai rumah, tas-tas berisi belanjaan dari pusat perbelanjaan tadi tak kugubris. Aku biarkan si supir dan si mbok, pembantu rumah tanggaku yang menanganinya. Aku hanya ingin cepat mandi dan bersantai di sofa favoritku membaca majalah-majalah baruku tadi.

Badanku sudah terasa segar. Sabun aroma terapi dengan harum bunga melati sudah menyegarkan pikiranku. Aku pun beranjak ke atas sofa favoritku dan meraih semua majalah-majalah yang baru kubeli. Aku membuka majalah pertama. Majalah Perempuan namanya. Aku membaca halaman demi halaman. Aku melihat artikel-artikel yang mengangkat sejumlah perempuan yang berjuang untuk hidup. Ada yang ditinggal oleh suaminya dan harus menghidupi lima orang anak dengan menjadi buruh tani. Ada yang harus meninggalkan keluarganya dan merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah. Ada juga yang sudah berusia renta dan masih mencari batu setiap harinya di sungai dekat rumahnya. Hm... cerita-cerita yang amat berbeda dari yang selalu aku baca selama ini. Aku terhenyak sejenak, merenungi bahwa rupanya ada orang-orang yang perlu sangat berjuang dalam hidupnya.

Lalu, artikel lainnya yang paling menarik minatku adalah artikel yang membahas mengenai sisi positif dari suami yang perlu disyukuri para istri. Artikel itu menyebutkan bahwa suami yang baik akan selalu ada pada masa-masa yang sulit sekalipun. Suami yang baik juga tidak segan berbagai tugas rumah tangga dan bahkan mengurus anak ketika istri sedang melakukan tugas lainnya. Suami yang baik selalu berusaha menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarganya. Suami yang baik adalah suami yang selalu bekerja keras dan memegang komitmen kesetiaannya. Suami yang baik adalah suami yang tak pernah mengekang perkembangan pribadi sang istri.

Aku langsung menutup mataku. Berkelebatlah gambaran Dion yang selalu ada di sisiku, baik ketika aku sangat sedih ketika Ibuku meninggal maupun ketika aku sangat bangga menerima penghargaan sebagai karyawan terbaik di kantorku. Terbayang juga bagaimana bahagianya kami ketika Dian, permata hati kami lahir dalam kondisi sempurna. Bagaimana sabarnya Dion menunggui aku menyusui Dian pada malam-malam bulan pertama aku menjadi Ibu. Tak lupa gambaran lain, ketika Dion bersedia mengasuh Dian setiap malam sementara aku dinas keluar kota. Dion juga tak pernah absen mengajak aku dan Dian berekreasi ke tempat yang menyenangkan ketika akhir pekan. Ia pun tak lupa mengutamakan kegiatan peribadatan bersama meski artinya harus membatalkan janji dengan rekan bisnis. Ah, Dion... ia selalu bekerja keras di kantor dan menabung untuk pendidikan Dian. Dia tak pernah melarangku untuk meraih semua kesempatan yang ada untuk mengembangkan karierku sehingga aku berada di posisiku yang sekarang ini...

Ternyata, Dion adalah suami yang baik.

Aku meraih majalah lain di meja. Nama majalahnya Blessing. Aku membuka halaman demi halaman. Di dalamnya, aku menemukan artikel tentang seorang Ibu yang setia mendampingi suami yang berprofesi sebagai nelayan dan selalu mengucap syukur akan semua berkah yang diberikan Sang Kuasa kepada keluarga mereka. Rupiah demi rupiah ditabung sehingga dua anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi. Di artikel lain, seorang ahli menjabarkan, hidup kita tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Agar hidup terasa lebih bermakna, mulailah menghitung hal-hal positif yang kita miliki. Jangan terpaku pada kondisi yang kita tidak punyai. Cobalah melihat dan mensyukuri hal-hal baik yang terjadi dalam hidup kita. Deg! Kata-kata si ahli menusuk hatiku. Ternyata selama ini aku terlalu fokus pada apa yang dikatakan oleh majalah-majalah pedomanku itu, bahwa suamiku kurang ini kurang itu. Namun aku tak menyadari dan mensyukuri bahwa suamiku adalah seorang pribadi yang baik. Otakku sudah tercuci oleh semua propaganda bahwa suami yang baik haruslah romantis, haruslah menyanjungku dan sebagainya. Mata hatiku tertutup, bahwa Dion adalah suami yang mengagumkan. Mau berbelanja sepulang kantor sementara para suami lainnya sudah nyaman duduk santai di depan televisi. Mau mengeloni Dian, sementara aku sibuk dengan tugas mengetikku di depan komputer. Mau membatalkan pertemuan bisnis di akhir pekan karena aku dan Dian ingin sekali mengikuti outbond dengan rekan-rekan kantorku. Ah, entah berapa kali ia memperlihatkan cintanya yang nyata kepadaku tanpa aku mensyukurinya dan membalasnya dengan tulus.

Ternyata selama ini, tanpa aku sadari, aku sudah menjadi perempuan yang paling bahagia sedunia.

Dengan kesadaran yang baru, akupun bangkit dari sofaku. Dan mengambil majalah-majalah baru yang mencerahkan itu. Aku simpan majalah-majalah itu dengan rapi di rak buku. Lalu aku memanggil si Mbok. Aku memintanya menjual semua majalah-majalah lamaku ke tukang loak. Uang hasil loakannya aku berikan kepada si Mbok. Teriring rasa terima kasih dan tatapan heran, si Mbok pun melaksanakan perintahku. Ia heran melihat perubahan sikapku yang merelakan semua majalah-majalah, (bekas) ’injilku’ itu kepada tukang loak. Apalagi memberikan uang loakannya kepadanya, karena selama ini aku terkenal sangat perhitungan dengan setiap sen uang yang aku miliki.

Aku masih pecandu. Bukan, bukan pecandu majalah lagi. Bukan pecandu gambaran suami ideal yang palsu. Tapi pecandu hidup, pecandu tawa positif dan rasa syukur atas semua yang aku alami. Aku akan memulai hidup baru.

Sejak saat itu, tak terasa hatiku pun kian penuh dengan rasa bahagia. Dian, anakku, semakin sering tertawa dan memelukku. Dion pun semakin tampak sempurna bagiku.