Sejak Jokowi dan Ahok maju sebagai pasangan pimpinan DKI
Jakarta 5 tahun yang lalu, kegemparan tampak terjadi di Indonesia. Iya, Pilkadanya
di DKI tapi yang gempar seluruh Indonesia. Tidak seperti Pilkada DKI
sebelumnya. Memang sih, DKI kan ibukota negara tapi ya memang dua sosok ini
fenomenal karena sama-sama melawan arus dari sosok pimpinan dan pejabat serta
politisi yang lain. Mereka bersih alias anti korupsi, berasal dari masyarakat
awam alias non militer, bahkan Ahok adalah minoritas dari segi agama dan ras
nya serta asal daerahnya alias Kristen (Non Muslim), keturunan Cina dan berasal
dari Belitung (non Jawa). Semua karakter ini lengkap menjadikan mereka Liyan,
orang asing, orang yang berbeda dari yang biasa. Ketika ada orang berbeda maka
reaksi sekelompok orang biasanya menolak karena merasa terancam. Apalagi dua
orang asing ini ingin menjadi pemimpin, tentulah terjadi penolakan yang membuat
gempar. Ditambah dunia silat politik Indonesia memang selalu dipenuhi intrik
ego dan kepentingan golongan yang tak pernah habis nya. Satu aksi politik yang
melawan HAM ditutupi oleh aksi lain yang semakin rentan menodai kemanusiaan dan
keadaban Indonesia. Ingat kan penemuan Alan Nairn, yang di sisi lain masih terus
dikritik akibat penelitiannya yang cenderung subjektif. Namun fakta adalah
fakta yang tidak dapat disangkal.
Dengan segala perjuangan dan kontroversi, Jokowi akhirnya
bisa menjadi presiden. Dan Ahok memimpin Jakarta. Dan hal ini yang ingin saya
sorot. Mengapa? Karena dampaknya sangat luas dan mengena buat saya pribadi.
Ahok memimpin Jakarta dengan cara baru yang belum pernah
dilakukan oleh pemimpin Jakarta sebelumnya. Meski tidak semua rencana pembangunan
adalah baru, namun Ahok langsung membawa perubahan-perubahan nyata. Beliau
bekerja tanpa basa basi khas orang Jawa kebanyakan. Bahkan gaya marah-marah
beliau menjadi viral dan menjadi momok baru bahwa Ahok itu galak bahkan banyak
yang berpendapat Ahok itu kasar. Dan sikap ini menunjukkan beliau galak pada
orang-orang yang tidak berfungsi dengan benar sesuai tugasnya di pemprov. Jika
ada yang kurang benar bekerja, tidak segan-segan akan dipecat oleh Ahok. Begitu
tegasnya sehingga banyak yang merasa sakit hati dan tidak cocok dengan gaya
beliau memimpin ini. Kalau saya pribadi jika konten marah-marahnya dan
kegalakannya ada alasan yang tepat, saya sih bisa menerima. Masak kejadian
salah dibiarkan saja. Tidak ada pembelajaran dong.
Dan tentu saja aksi galak ini diikuti dengan kerja langsung
mengeksekusi dan membuat beragam sistem serta program yang membawa pembaruan. Buktinya,
di tahun keempat beliau memerintah, sungai Jakarta menjadi lebih bersih, titik
banjir turun drastis, banyak pembaruan sistem transportasi, sistem budgeting
yang transparan sehingga mengurangi kutipan liar pada pelayanan masyarakat,
peningkatan kinerja aparat pemerintah, peningkatan kualitas pelayanan, peningkatan
kebersihan kota, penambahan SDM penjaga kualitas kota (sebut saja pasukan oren,
pasukan ungu dan lainnya) yang juga menyerap tenaga kerja, KJP, BPJS, perbaikan
pra sarana kesehatan, dan sebagainya yang banyak sekali. Kekurangannya? Ada juga.
Tentu Ahok bukan Superman. Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa Ahok
memiliki gaya bicara ceplas ceplos yang ternyata masih sulit diterima banyak
orang di Jakarta yang notabene kota yang keras ini, lalu proses normalisasi
sungai yang menuntut relokasi sejumlah warga ternyata diindikasikan terjadi
proses yang kurang ramah mengkomunikasikan kepada warga setempat sehingga Ahok
banyak dituduh melawan HAM ketika menggusur mereka, lalu isu hot lainnya adalah
tentang Reklamasi yang membawa tuduhan bahwa Ahok berpihak dengan banyak
pengusaha tionghoa yang akan diuntungkan jika Reklamasi dijalankan. Isu relokasi
warga yang dianggap penggusuran dan isu reklamasi ini memang kasus yang
kompleks dan saya tidak akan membahasnya disini. Disini saya hanya memaparkan
bahwa dari sudut pandang saya Ahok banyak kerja tapi juga ada kekurangannya
atau sisi yang perlu ditingkatkan.
Salah satu kasus yang semakin atau bahkan membuat Ahok cukup
terpuruk adalah tuduhan penistaan agama Islam. Hal ini terjadi akibat adanya
pernyataan Ahok yang mengaitkan salah satu ayat Al Maida yang dianggap Ahok
menjadi alat pembohongan kepada rakyat untuk tidak memilih pemimpin non muslim,
alias Ahok. Pernyataan ini tidak membuat marah rakyat di Pulau Pramuka saat
itu, namun justru menjadi kasus penistaan setelah bergulir potongan video oleh
Buni Yani. Peradilan pun dilaksanakan dengan diikuti sejumlah aksi demo massal
yang memperlihatkan kekuatan massa muslim yang bersifat brutal serta terkesan
mau main hakim sendiri. Beberapa pihak memaklumi ini karena mengindikasikan
Jokowi melindungi Ahok agar tidak diadili. Dari segi kemanusiaan dan kasus,
saya menyetujui bahwa Ahok tidak bersalah. Karena di dalam pernyataan itu beliau
tidak berusaha menjelekkan suatu ajaran namun justru menyatakan fakta
dialaminya setiap kali mengikuti Pilkada atau semacamnya bahwa ayat tersebut
menjadi tools politik untuk menjatuhkannya, karena beliau non muslim. Namun
tentu hal ini sangat sensitif dan membawa kemarahan luar biasa bagi umat muslim
tertentu. Meski kemarahan ini kemudian bisa ditilik sifatnya. Ada yang sifatnya
memang genuine, artinya tidak dibuat-buat namun sayangnya kebanyakan tampaknya
adalah kemarahan hasil hasutan tertentu yang lebih buruknya lagi memiliki
agenda tertentu. Teori konspirasi mulai berbicara disini. Apalgi ketika ajang
Pilkada dimulai dan kompetitor Ahok pada Pilkada adalah Agus dan Anies yang notabene
berstatus mayoritas daripada Ahok. Maka jadilah isu agama menjadi isu
penggoreng yang pas.
Singkat kata akhirnya Ahok kalah pada putaran pertama dan
kedua Pilkada Jakarta. Dan memang menyedihkan melihat Ahok kalah. Namun yang
paling menyedihkan sebenarnya bukanlah kekalahan Ahok sebagai pemimpin, namun
bahwa warga Jakarta ternyata lebih banyak yang memilih pemimpin berdasarkan
alasan kesamaan agama, serta faktor tata krama yang kurang dianggap pas.
Artinya warga Jakarta masih termakan isu primordialisme dan faktor permukaan
saja, tidak dapat secara kritis menangkap esensi dari sebuah aksi. Ahok Cina
dan Non Muslim maka tidak pantas jadi pemimpin karena berbeda. Ahok kasar maka
tidak pantas menjadi pemimpin. Meskipun Ahok punya sekian banyak pekerjaan yang
baik, maka sebagian besar warga Jakarta tetap memilih yang lain karena
alasan-alasan seagama dan ingin cara baru yang lebih santun. Mereka tidak
menelaah lebih lanjut apa yang ada di balik tools agama dan cara santun itu,
yang diindikasikan justru akan kembali membawa cara-cara koruptif,
diskriminatif dan mengutamakan golongan tertentu.
Kesedihan saya ditambah dengan penghayatan saya sebagai kaum
minoritas di Indonesia. Saya perempuan, keturunan Cina, non Muslim dan saya
bekerja sebagai profesional di bidang kemanusiaan. Maka lengkaplah alasan saya
untuk semakin merasa khawatir bahkan paranoid ketika pemimpin macam Anies yang
didukung oleh sejumlah organisasi politik dan ormas yang bersifat diskriminatif
dan fundamentalis. Buat saya, pemimpin untuk rakyat Indonesia yang beraliansi
dengan oraganisasi macam ini sudah menyalahi Bhineka Tunggal Ikha, semboyan
dasar negara kita. Dan sejarah kita sudah mencatat bahwa aksi diskriminatif dan
fundamentalis akan membawa pada aksi-aksi yang melanggar HAM terutama kepada
kaum minoritas, seperti saya.
Ketika beberapa massa mengadakan demo massal aksi damai bela Islam beberapa kali dengan tujuan
mendorong peradilan Ahok, saya mengalami rasa
takut setiap kalinya. Mengapa? Karena saya teringat pada kasus-kasus
pelanggaran HAM berat sebelumnya yang didasarkan pada diskriminasi SARA. Ingat
kasus Mei 1998? Kasus ini yang saya asosiasikan paling dekat dengan diri saya. Karena
waktu itu banyak terjadi kasus perkosaan dan pembunuhan kepada perempuan etnis
tionghoa. Sangat mengerikan. Dan mau ga mau ingatan itu, kembali kepada saya. Membayangkan
bahwa aksi massa bisa berkembang ke arah kerusuhan yang bersifat sama, sangat
mengerikan. Betul, buat beberapa orang mungkin kondisi saya dikatakan lebay. Meski
belum ada sih yang mengatakan itu kepada saya, namun saya sendiri merasa sering
kali bahwa saya menjadi lebay dengan ke-minoritasan saya akibat banyak nya
aksi-aksi intoleran akhir-akhir ini. Saya menjadi semakin mempertebal keyakinan
saya bahwa saya berbeda. Saya minoritas yang cenderung terpinggirkan. Sampai-sampai
saya harus mendoktrin diri saya sendiri bahwa tidak semua kaum muslim sebegitu
diskriminatifnya. Yang tadinya merupakan keyakinan saya, karena saya memiliki
banyak sahabat muslim yang beragama dengan kuat namun sangat egaliter dan
bersikap baik kepada saya. Sekarang saya harus menerapi diri saya sendiri agar
tidak menggeneralisir seluruh orang yang bercirikhas atau berpakaian muslim
adalah orang yang fundamentalis dan diskriminatif.
Jadi ketika Anies menang, meskipun saya sudah mempersiapkan
diri sehingga secara rasional saya tidak kaget-kaget amat, namun kekhawatiran
saya ini ga bisa disangkal. Bahwa saya khawatir dalam pemerintahannya Anies
akan toleran sekali pada aksi-aksi intoleran yang dilakukan oleh ormas macam
FPI dan orpol macam PKS. Bukan suudzoon atau prasangka buruk, tapi saya belajar
dari pengalaman dan fakta sebelumnya. Selain itu saya khawatir semua kemajuan
kerja dari jaman Ahok akan membuat Jakarta mundur kembali. Semua sistem dan
pembangunan akan terabaikan dan seperti kembali ke jaman batu.
Ya, saya berusaha menghibur diri bahwa di balik setiap pintu
yang tertutup ada pintu-pintu lain yang terbuka. Tapi memang buat saya sekarang
tidak mudah untuk menemukan pintu-pintu tersebut. Semoga ....