Sesudah membaca setiap buku, saya usahakan akan membuat resensi dan kilasannya seperti dalam postingan kali ini.
Buku pertama yang saya baca di tahun ini adalah buku novel The Palace of Illusion (Istana Khayalan) oleh penulis perempuan asal India, Chitra Banerjee Divakaruni. Seperti yang tertulis di sinopsis cerita, novel ini merupakan penulisan ulang kisah Mahabarata dengan menggunakan sudut pandang tokoh perempuan, yang menjadi ciri khas buku-buku karangan Divakaruni, Tokoh utama dalam buku ini adalah si empunya sudut pandang yang menceritakan sejak awal sampai akhir, yaitu Dropadi atau Panchali.
" Dengan tegas aku tidak menghiraukan mereka dan terus membaca. Buku yang dengan rinci menguraikan secara cermat dan muram undang-undang tentang barang-barang miliki rumah tangga - termasuk para pelayan dan istri-istri - membuat kelopak mataku terasa berat. Tetapi aku bertekad mempelajari apa yang perlu diketahui seorang raja. (Kalau tidak, bagaimana aku bisa berharap akan berbeda dari gadis-gadis bodoh ini, atau dari istri-istri ayahku, yang menghabiskan hari-hari mereka dengan bersaing untuk memperoleh kemurahan hatinya? Kalau tidak, bagaimana aku sendiri bisa kuat?) Maka aku tidak memperdulikan bujukan musim panas dan memilih berjuang dengan buku itu."
" ... Guru Dre berpendapat perempuan-perempuan bajik langsung dikirim ke kelahiran mereka yang berikutnya, dan kalo beruntung mereka berinkarnasi menjadi laki-laki. Tetapi aku berpendapat kalau toh loka-loka itu memang ada, semua perempuan baik pasti akan pergi ke loka dimana kaum laki-laki tidak diizinkan masuk sehingga akhirnya mereka akan bebas dari berbagai tuntutan laki-laki. Tetapi dengan bijaksana aku menyimpan teori ini dalam hatiku."
".. Perempuan tidak berpikir demikian. Aku pasti akan maju untuk menyelamatkan mereka waktu itu, seandainya aku mampu. Aku tidak peduli apa yang dipikirkan siapapun....Selama ini aku menyangka diriku lebih baik dari ayahku, lebih baik dari pada semua laki-laki yang menyebabkan penderitaan ribuan orang yang tidak bersalah demi menghukum satu laki-laki yang sudah berbuat salah kepada mereka. Tetapi aku juga ternoda karenanya, balas dendam sudah tertanam di dalam darahku. Jika sudah tiba saatnya aku tak bisa menolaknya ..."
" Ketika aku masuk ke balairung pernikahan, suasananya langsung hening sempurna. Seolah-olah aku adalah pedang yang dengan sekaligus sudah memutuskan setiap tali suara. Di balik kerudungku, aku tersenyum suram. Nikmati saat-saat penuh kekuasaann ini, kukatakan kepada diriku sendiri. Barangkali ini momen satu-satunya."
"Meskipun kita berduka, kita harus tetap hidup demi masa depan.' Aku mulai dengan berbicara kepada para perempuan itu seperti seorang ratu kepada rakyatnya, tetapi sementara kata-kata terbentuk dalam mulutku, aku berbicara sebagai seorang ibu di antara kaum ibu dan kami menangis bersama-sama."
"Hastinapura sesudah perang menjadi kota yang kebanyakan pendudukanya adalah perempuan, janda-janda yang tidak pernah menyangka bahwa kelangsungan hidup keluarga akan bergantung kepada mereka. Mereka yang lebih melarat sudah terbiasa bekerja, tetapi kinni sesudah tidak mempunyai perlindungan laki-laki, mereka mendapati diri mereka dieksploitasi. Perempuan-perempuan kaya, yang dimanja dan terlindungi sampai sekarang, adalah korban yang paling mudah... Keadaan ini sangat buruk - dan itu menyelamatkan aku. Aku tahu bagaimana rasanya tidak berdaya dan putus asa.... Sudah saatnya aku menyingkirkan rasa kasihan pada diri sendiri dan melakukan tindakan nyata. Aku memutuskan membentuk ruang sidang terpisah, tempat para perempuan bisa mengutarakan kesengsaraan mereka kepada sesama perempuan..."
"Semua (harta) ini memungkinkan kami membantu mereka yang melarat untuk memiliki rumah sendiri dan membeli barang-barnag untuk memulai usaha. Tidak lama kemudian, pasar kaum perempuan menjadi pusat perdagangan yang subur di kita, karena pemilik-pemilih yang baru ini merasa bangga atas barang dagangan mereka, dan cerdik tapi adil dalam transaksi mereka. Kami melatih mereka yang menaruh minat untuk belajar, menjadi guru bagi anak-anak gadis dan laki-laki. Dan bahkan pada masa sesudahnya, di bawah pemerintahan Parikesit, ketika dunia sudah masuk ke dalam Abad Keempat Manusia dan Kali, roh gelap, mencengkeram dunia dalam cakarnya, Hastinapura tetap menjadi salah satu kota dimana para perempuan bisa menjalani kehidupan sehari-harinya tanpa diganggu.
"Semakin banyak orang-orang membujukku untuk tidak ikut serta, semakin kuat tekadku Mungkin itulah masalahku selama ini, memberontak terhadap batas-batas yang ditentukan masyarakat untuk kaum perempuan. Tetapi apa alternatifnya? Duduk, membungkuk diantara para nenek, bergunjing dan mengeluh, mengunyah daun sirih yang sudah dicacah ddengan rahang tak bergigi sambil menunggu kematian? Tidak bisa diterima! Aku lebih baik mati di gunung. Kematian mendadak dan bersih, akhir yang pantas dinyanyikan para penyair, kemenangku yang terakhir di atas istri-istri lain : Dia satu-satunya permaisuri yang berani mendampingi para Pandawa pada petualagnan akhir yang mengerikan ini, Ketika terjatuh, dia tidak menangis, hanya mengangkat tangannya sebagai salam perpisahan yang gagah. Bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?"